Lantas tidak berapa lama mereka saling bertukar serang. Masing-masing terhempas ke belakang, dengan Panca yang terhempas ke bawah dan Tetua Patri yang terhempas makin ke atas."Bocah sialan! Ambil ini!" tekan Tetua Patri.Dengan cepat dia melakukan gerakan tangan setelah memutar sejenak tombaknya, lalu melemparnya ke arah Panca.[Tombak Ular Merah Penelan Gunung]FIUFSontak saja, cahaya merah yang terpancar menyelimuti badan tombak, membentuk seekor ular besar dengan taring menyeramkan. Di bawah, Panca sesaat mendelik dan sejenak mengayunkan pedangnya juga, yang setelah itu, terlihat cahaya kekuatan pedang membentuk seekor naga biru yang dibaluti eksistensi petir.[Tebasan Naga Penghancur]DUARRRLedakan energi terdengar begitu dahsyat, sampai cahaya antara kedua kekuatan itu terpancar memenuhi area sekitar. Hempasan anginnya juga saat itu sangat hebat, hingga membuat debu-debu tak ayal menutupi pandangan mereka."Huh. Kau pikir kau bisa kabur ke mana?"Lalu sesaat debu itu mulai me
"Sekarang tunduklah!"Tetua Patri lantas memutar tombaknya, melemparnya ke atas, dan kemudian melancarkan teknik Hujan Darah Penghancur Bumi.Puluhan tombak cahaya merah tampak melesat ke arah Panca. Panca yang merasa terpojok, terpaksa harus menggunakan teknik yang baru saja dia kuasai, yaitu Ajian Naga Guntur.JEDARSangat cepat petir menyambar tubuh Panca dan menghempaskan angin dahsyat ke berbagai arah. Terlihat tanah di sekitar Panca retak hebat dan pada waktu yang bersamaan, seekor naga cahaya biru menampakkan dirinya, terbang mengitari tubuh Panca."Ajian Naga Guntur!" tandas Panca."Huh. Sudah kuduga. Kau adalah murid tua bangka itu." Tetua Patri, berucap lirih. Dia menghempaskan tangannya ke depan, mempercepat lesatan puluhan tombak yang menggempur Panca.JEDARPanca menancapkan pedangnya, dan petir menggelar seiring itu. Naga cahaya biru yang mengitari tubuh Panca, segera bergerak maju dan menyemburkan napas api birunya.Sesaat kedua kekuatan itu saling menekan, mempertahank
"Ampun, Tuan. Ampun." Pengawal itu segera menyimpuh dan beberapa kali bersujud."Apa yang membuatku tergesa? Aku tidak ingin mendengar sesuatu yang buruk karena kelalaian kalian!""Tidak, Tuan. Tidak ada kelalaian yang kami buat. Hanya saja, ada berita buruk. Saat jalan pulang, kami mendengar suara ledakan tidak jauh dari tempat ritual. Setelah mengeceknya, tempat itu porak-poranda. Kami menemukan mayat Tetua Patri dan dua pengawal dengan kondisi mengenaskan.""Apa?" Galuh Primuja berceletuk dengan sangat keras."Ampun, Tuan. Tetua Hugeng bersama yang lainnya sedang menuju ke sini."Betapa terkejutnya Galuh mendengar kabar tersebut. Dapat dibayangkan bagaimana perasaan seorang Galuh yang harus melihat mayat adiknya, ketika Tetua Hugeng dan lainnya sampai di kediaman Jelak Hitam. Terlebih lagi berapa hari kemarin, dia telah berduka atas kematian putra bungsunya.Selain Galuh, seluruh keluarga juga terguncang atas hal itu. Mereka menangis dan berniat untuk menyelidikinya. Mereka akan me
"Aku tidak mengerti. Hanya berharap dia tidak apa-apa," balas Huzen. "Hm. Dilihat dari lukanya, seharusnya sudah merusak dantiannya. Namun, ketika tadi kuperiksa. Ternyata dantiannya baik-baik saja. Ini cukup aneh. Atau sebuah kejaiban? Entahlah."Huzen hanya bisa mendengar pernyataan itu tanpa memberi komentar. Pengetahuannya tentang medis sangatlah minim....Sementara di ruangan lain. Tiga orang biksu tengah menangani masing-masing satu pasien yang dibawa Huzen."Tuan!" Satu orang biksu tampak mengalirkan tenaga dalamnya kepada Wira, setelah beberapa saat tadi memberikannya ramuan. Namun, tanpa diduga Wira seketika bangkit, yang membuat sang biksu terlonjak hingga terdorong dua langkah ke belakang."Tuan? Tuan? Di mana tuanku?"Keagresifan Wira saat itu membuat sang biksu tidak bisa melakukan apa pun. Dia menggeleng sambil menunjukkan raut linglung."Di mana tuanku?" Wira lalu menoleh ke belakang, pada dua biksu yang tengah mengobati Yati dan Hanum. Namun, sontak saja Wira terdia
Mereka tidak menjawab dan tetap melanjutkan langkah. Beberapa saat, mereka pun tiba. Dari luar, terdengar suara jerita yang sangat keras seorang wanita.KREKSuara pintu terdengar. Di dalam, Yati yang jongkok bersandar di sudut ruangan dengan rambutnya yang sudah awut-awutan, lekas menyorot tatapannya ke arah pintu. SIUUFTetua Kalingga yang lebih dulu masuk, sontak dikejutkan dengan sebuah vas berwarna hijau pudar yang melesat ke arahnya. Untung saja Tetua Kalingga sangat gesit, sehingga dapat menangkap vas itu dengan mudah."Pergil kalian! Pergi! Jangan! Jangan lakukan itu! Pergi kalian! Tidak. Aku tidak mau! Jangan!" Yati melantangkan suaranya."Apa yang terjadi?" Master Hubalang Luda menepuk pundak satu biksu di sana, lalu bertanya."Izin, Tuan Master. Beberapa saat tadi wanita itu sudah sadar. Namun, dia langsung berontak dan seolah-olah kami akan melakukan sesuatu padanya. Kami sudah berusaha menangkan, tapi dia tetap seperti itu. Sepertinya ada yang salah dengan mentalnya," ja
Kali ini Wira tidak banyak bicara dan menerima apa perkataan Tetua Kalingga. Malam itu mereka habiskan dengan bermeditasi, untuk memulihkan kekuatan.***Di tempat lain, tepatnya di sekte Pedang Kuno. Tetua Sura diam-diam masuk ke dalam kamar Panca, di saat biksu yang berjaga sudah terlelap. Dia mendekat ke ranjang dan melakukan berapa gerakan tangan, yang kemudian terlihat cahaya aura memancar pada tubuh Panca.Setelahnya, Tetua Sura tersenyum miring dan lantas menyayat pergelangan tangan Panca, hingga membuat darah mengalir lancar. Darah yang mengalir itu lalu ditampung Tetua Sura dalam sebuah cangkir. Setelah cangkir itu penuh, Tetua Sura segera menghentikan pendarahannya dan menutup luka tersebut hingga tanpa bekas sedikitpun.Kemudian, Tetua Sura kembali merapalkan gerakan tangan dan mengalirkan tenaga dalamnya pada Panca. Tidak lama, Tetua Sura menghentikan aksinya dan pergi diam-diam dari ruangan....Malam beganti pagi. Mereka kini kembali menempuh perjalanan. Di jalan, dua ka
"Setelah berjalan begitu jauh, dua kali kita menemui tempat yang sama. Sepertinya ada yang aneh dengan tebing batu ini," ucap Tetua Kalingga, kemudian turun dari tunggangan, disusul oleh Wira dan Huzen."Aku juga merasakan hal yang sama. Pola garis bebatuan di sana tampak teratur. Apa sebuah simbol atau semacamnya?" Huzen membalas.Wajah mereka mendongak, menilik sisi demi sisi tebing batu yang menjulang hingga tiga puluh kaki di depan sana.Tidak lama, sontak saja mereka merasakan adanya eksistensi lain di sekitar situ."Hm ... aku merasa ada yang sedang mengawasi kita," lirih Huzen.Tetua Kalingga dan Wira mengerti. Kaki mereka sedikit menyerong, bersiap siaga apabila ada pergerakan aneh yang mengancam.Dan benar saja. Kuda yang mereka kendarai mulai resah. Seketika rerumputan di sekitar membeku dan perlahan berjalan mengepung tempat mereka berpijak.SIUF SIUF SIIUFDari atas, puluhan anak panah berlapis es menghujan ke arah mereka. Menyadari hal itu, Tetua Kalingga segera merapalkan
"Bagaimanapun alasannya. Kalian tidak bisa mendapatkannya, kecuali ...."Seta Lugina menambah, dan butuh waktu beberapa detik untuk Tetua Kalingga, Wira, dan Huzen menunggu lanjutannya. Sayangnya, Seta Lugina hanya memperdengarkan suara helaan napas agak panjang setelah itu."Apa yang kalian cari, tidak ada di tempat kami." Aji menjelaskan, membuat perhatian tertuju padanya.Mereka bertiga tidak mengerti. Semuanya telah dilakukan sesuai arahan, tetapi dengan yang satu ini ... entahlah?Kemudian Seta Lugina mengambil perhatian. "Tiga tahun lalu kami berkonflik dengan suku Cuanci. Padahal sebelum itu, hubungan kami baik-baik saja. Namun, semenjak mereka hendak menguasai wilayah kami. Sejak itulah kami kehilangan lotus salju kelopak enam.""Jadi maksud Tuan Seta ...." Tetua Kalingga, menimpal."Jika ingin mendapatkan apa yang kalian cari, maka pergilah ke Lembah Buleleng. Karena lotus salju kelopak enam telah diambil oleh suku Cuanci.""Diambil suku Cuanci?" sambung Wira. "Lantas kenapa