Leluhur Siang lalu menoleh ke arah Tikus Api Ungu, yang membuat Tikus Api Ungu langsung mengerti. Tikus Api Ungu segera merapalkan beberapa gerakan tangan dan seketika sebilah pedang muncul setelah cahaya keunguan memancar di telapak tangannya."Ambilah. Itu untukmu," ucap Leluhur Siang.Panca agak mendelik, lalu sedikit ragu-ragu mengambil pedang tersebut. Saat Panca menyentuh gagang pedang, pedang tersebut lekas memancarkan cahaya kuning kemerahan."Pedang apa ini, Leluhur Siang?""Pedang Naga Api," jawab Tikus Api Ungu.Hal itu membuat Panca terkejut. Sebagaimana dia ketahui, bahwa Pedang Naga Api adalah salah satu pusaka kuno legendaris yang tidak pernah ada yang tahu keberadaannya. Hanya ada banyak cerita hebat soal pusaka kuno itu, yang bisa membuat para pendekar tergila-gila ingin mendapatkannya."Pedang Naga Api? Benarkah ini untukku?" Panca masih tidak peracaya bahwa dia adalah pewaris dari pusaka luar biasa tersebut. Kini dia memiliki dua pedang yang hebat. "Tentu saja. Na
"KHI KHI KHI. Setelah tiga hari tidak bertemu, rupanya kau sudah mengumpulkan nyali untuk bersikap sombong. Huh. Tidak peduli betapa kerasnya kau melatih kemampuanmu. Pada dasarnya ini adalah alam kami dan manusia yang telah sampai di tempat ini, hanyalah daging segar yang pantas untuk dipanggang. KHI KHI KHI.""Jangan banyak omong," sela Panca."KHI KHI KHI. Hajar dia!"Atas perintah pemimpin makhluk neraka alam bawah, seluruh rekannya pun segera berlari ke arah Panca sambil menyeringai. Beberapa dari mereka kemudian melompat dan segera menggempur Panca dengan pedang besar bergerigi.Panca sedikit menyerong kakinya dan bergerak menghindar dengan sangat lihai, yang membuat para makhluk neraka alam bawah itu cukup terkejut. Bagaimana bisa seorang manusia yang tiga hari kemarin sangat lemah, sekarang memiliki kemampuan yang sangat baik.Para makhluk neraka alam bawah itu terus saja mengayunkan pedangnya. Namun, hingga beberapa detik berlangsung, belum ada yang membuat Panca merasa teran
Sangat familier, hingga sontak mata Wira mendapati sebuah cahaya kebiruan memancar di udara dan jatuh bak meteor tidak jauh di depannya. Bunyi ledakan energi terdengar jelas, seiring hempasan angin yang cukup hebat meluas ke segala arah."Mustahil. Apa aku tidak salah lihat?" celetuk Wira. Kemudian dia berucap lirih, sedikit tertegun. "Tuan?"Di sisi lain, Huzen juga membulatkan matanya. "Apakah ini ...?"Siapa lagi kalau bukan Panca. Terlihat dengan raut tegas, Panca mengayunkan pedang, seiring percikan petir menyelimuti tubuhnya. Hanya butuh sekian detik, para binatang siluman di tempat itu terpental hingga tewas setelah menerima serangan Panca."Tuan? Tuan!"Wira berlari ke arah Panca dengan perasaan sangat senang. Huzen juga menyusul. Tanpa basa-basi Wira memeluk Panca, yang saat itu Panca terdiam sejenak dengan tidak membalas pelukannya."Tuan? Awalnya aku sangat mengkhawatirkanmu, kemudian percaya kau tidak akan kembali, aku pikir aku tidak akan bisa lepas dari merindukanmu. Dan
“Tolong! Tolong kami!” Suara teriakan wanita terdengar dari hutan tidak jauh dari desa Jalung, Distrik Timur daratan Bulubalang. Mendengar teriakan tersebut, pria gagah bernama Panca Sena yang sedang berada dalam misi yang diberikan sang guru, bergegas untuk menemukan sumber suara. Dia melompat ke udara dan terbang memijaki ujung pepohonan. Tidak lama, dia turun di tengah-tengah sekumpulan pria yang sedang mengganggu dua wanita cantik, untuk memberikan beberapa serangan telak hingga para pria itu terhempas ke belakang.Setelahnya, cepat Panca Sena merangkul pinggang dua wanita tersebut dan melompat ke udara untuk menyisihkan keduanya.“Pengecut! Beraninya dengan wanita!” tandas Panca Sena. Dua wanita di belakangnya terlihat ketakutan sambil berpegangan tangan."Siapa kau? Dasar pengemis! Jangan ikut campur urusan kami!" Salah satu dari sepuluh pria yang berpakaian merah-hitam itu membentak.Namun, bentakan tersebut tidak membuat Panca gentar. Penampilannya yang seperti petapa gunung
Kondisi itu membuat Wadana terdiam. Namun, sepintas senyum liciknya tergambar pada bibir. Tanpa disadari Panca, Wardana sedang mengumpulkan energi pada tangan kanannya yang disembunyikan di belakang. Dengan sangat cepat Wardana menghempaskan telapak tangan kanan itu ke depan, yang membuat Panca terkejut dan lalu terpental setelah perutnya telak menerima kumpulan kekuatan yang cukup besar itu.SREEK"Uhuk!"Suara kerukan alas kaki terdengar, seiring kaki Panca menekan tanah untuk menghentikan dorogan serangan. Dia kemudian terbatuk dan mengeluarkan sedikit darah dari mulutnya.Tidak hanya itu. Wardana kini melanjutkan serangannya dengan sesaat merapalkan gerakan tangan dan dihempaskan lurus ke arah Panca. Pada waktu yang bersamaan, Panca yang mendapat serangan tersebut langsung sedikit melayang di udara, seiring cahaya petir kuning menyelimuti tubuh. Degup jantungnya berdetak lebih cepat dari yang biasa. Jiwanya seperti tertarik seiring rasa sakit mencecar sangat hebat."Aaaah! Aaah!"
Dia tidak menyangka, jika kakek yang kemarin membantunya kini dipertontonkan tubuhnya dengan posisi terikat di tiang besar. Tubuh kakek itu begitu mengenaskan, dimana seluruh tubuhnya dihiasi oleh memar dan sayatan akibat cambuk yang ayal dihantamkan algojo di situ."Inilah hukuman bagi siapapun yang hendak menentang sekte Jalak Hitam!"Seorang dengan jubah merah-hitam, melantangkan suaranya. Dia merupakan salah satu petinggi di Jalak Hitam."Heh? Memangnya apa yang dibuat kakek Hur?""Kudengar dia melindungi pembunuh tuan muda sekte Jalak Hitam.""Sangat disayangkan ya. Padahal yang aku kenal kakek Hur sangatlah baik hati dan ramah kepada orang-orang.""Memangnya apa yang terjadi sebelumnya?""Ada yang bilang tuan muda Wardana melecehkan dua cucu kakek Hur. Tapi seorang pemuda misterius menyelamatkan mereka dan sampai membunuh tuan muda Wardana.""Benar. Aku juga mendengarnya. Orang-orang sekte mengetahuinya dari seseorang yang katanya orang desa ini. Dikatakan juga kakek Hur membunuh
Dia pun teringat satu kejadian yang sama, di mana dia pernah dipojokkan seperti ini oleh seseorang hingga merenggut keperawanannya. Rasa traumanya langsung meluap tak terbendung. Sayangnya dia hanya bisa menangis dengan suara yang tersumbat gulungan kain.Sesaat, sang kusir yang tengah mengendalikan kuda itu pun merasa kereta sedikit bergoyang, seiring suara jeritan wanita tertahan dari dalam....NGIHIHIKTidak lama. Tiba-tiba saja perjalanan mereka terhenti. Seseorang penunggang kuda menghalangi jalan mereka."Siapa kau?" tandas rekan yang berada paling depan.Sementara itu, Budu menyembulkan kepalanya dari jendela, yang tatapannya langsung tersorot pada si penunggang kuda. Menyadari hal tersebut kurang baik, Budu turun dari kereta sambil memperbaiki posisi pakaian bawahnya yang terbuka. Rasik juga ikut turun, berlagak sama seperti Budu yang merapikan pakaian bawah.Seorang penunggang kuda itu bukan lain adalah Panca. Tanpa banyak bacot Panca melompat dari kudanya dan terbang di udar
Panca mengembus napas agak panjang, lalu mulai menjawab. "Seperti yang sudah kukatakan tadi, jika aku punya misi dari guruku di tempat ini. Lagipula, diminta sekalipun. Seorang pendekar tidak akan lari dari masalah, terlebih jika harus membuat orang lain memikulnya.""Aku tidak menyangka, kakekmu akan mengambil masalah ini hanya untuk menyelamatkanku. Dia melayangkan nyawa para bawahan Wardana kemarin hanya agar tidak ada yang buka mulut sehingga aku bisa terbebas. Sayangnya ada seorang yang melihatnya dan membeberkannya pada orang-orang di sekte. Maafkan aku," lanjut Panca.Hanum yang mendengarnya lekas sedikit membulatkan mata. Dia kemudian langsung mengingat kembali dan membayangkan apa yang terjadi pagi tadi. Dia tidak begitu mengerti, karena tiba-tiba saja orang-orang sekte datang dan membuat onar. Bukan hanya di rumahnya saja, melainkan juga kepada para warga di sekitar rumah.Tanpa penjelasan, Hanum dan Yati langsung dibawa oleh sekelompok orang sekte secara paksa. Sementara kak