Author's POVHabis Maghrib Andrean dan Embun bersiap-siap. Seorang wanita pegawai salon datang di antar Cici untuk merias Embun. Hanya sebentar saja karyawan salon mendadani wanita itu karena Embun ingin dandanan yang natural dan sederhana saja. Embun tahu jika menghadiri jamuan makan, apalagi acara sebesar itu perlu penampilan yang layak dan tepat tanpa berlebihan. Memiliki kesan alami baik dalam berbusana atau berias. Karena dia nanti akan bertemu dengan karyawan perusahaan dalam berbagai jabatan. Terlebih akan bertemu ibu mertua dan tantenya sang suami. Pasti mereka yang akan memperhatikan penampilannya malam itu. Perempuan selalu seperti itu.Gaun berbahan satin denga kombinasi brokat warna pastel menjadi pilihannya untuk dipakai. Gaun yang dibelikan Andrean ketika mereka sedang menghabiskan akhir pekan di pantai waktu itu.Cici dan karyawan salon pamitan setelah menyelesaikan pekerjaannya. "Makasih ya, Mbak Cici.""Sama-sama, Mbak. Kalau ada apa-apa jangan sungkan ngubungi saya
Author's POV"Hamil?" Pak Darmawan mengeryitkan dahi sambil lebih mendekatkan tubuhnya pada sang putra, bertanya untuk memastikan bahwa apa yang didengarnya tidak salah. Apalagi suara Andrean tenggelam oleh musik yang berdentum keras.Andrean yang sudah terlanjur bicara menjawab dengan anggukan kepala. Harusnya ia bisa menahan diri untuk tidak memberitahu siapa pun terlebih dulu. Biarkan mereka tahu ketika kandungan istrinya sudah membesar.Sepertinya Bu Salwa tidak mendengar ucapan anak tirinya. Wanita itu tengah memandang panggung dan menikmati lantunan lagu nostalgia yang dibawakan oleh seorang penyanyi perempuan. Dan Hendriko sendiri tengah menyibukkan diri dengan ponselnya ketimbang peduli dengan suasana dinner malam itu. Mereka berdua tidak mendengarkan ucapan Andrean baru saja.Pak Darmawan langsung berbinar dan tersenyum. Ini kabar yang luar biasa untuknya. Dia akan segera memiliki cucu dari menantu yang dianggap mandul. Sebelum papanya bicara lagi, Andrean berbisik di telinga
"Halo, Mir.""Mas, ada di mana?""Lagi keluar. Ada apa?""Bisa nggak temui aku di Teras Cafe. Please, ada yang mau aku omongin. Tolonglah!""Kamu sama siapa?""Aku sendirian. Teman-temanku sudah pulang.""Baiklah, tunggu di situ." Terdengar dari suaranya, Miranda sedang cemas. Makanya Hendriko bergegas untuk menemuinya.Tidak butuh waktu lama, lelaki itu sampai di depan kafe tempat Miranda menunggu. Di hampirinya gadis yang duduk sendirian di bangku dekat jendela. "Ada apa?" tanya Hendriko setelah duduk."Mas, mau minum apa?""Kopi hitam tanpa gula."Miranda melambai pada pelayan kafe dan pesan minum yang diinginkan sepupunya."Kamu kenapa kusut gitu?" tanya Hendriko pada gadis berwajah polos yang tampak gelisah. Biasanya make up tak ketinggalan jika dia keluar rumah. Tapi pagi ini Miranda terlihat berantakan."Aku mau dijodohin."Hendriko kaget. Melihat wajah kusut Miranda, apa dia tidak mau dijodohkan dengannya. Bukankah selama ini gadis itu memang menyukainya? Ah, mungkin dia suda
Author's POVUntuk beberapa saat mereka terjebak oleh keheningan. Bu Atun yang tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi ikut merasakan canggung dan tak enak hati. Wanita itu beranjak pergi ke dapur belakang.Embun yang melihat Bu Salwa datang menghampiri segera mengangguk dan tersenyum. Kemudian menyalami dan mencium tangan mertuanya.Bu Salwa tercengang melihat perubahan pada diri Embun. Tubuhnya tidak berubah tapi perutnya membesar. Baju yang dikenakan menunjukkan kalau sedang berbadan dua."Embun, k-kamu mengandung?" tanya Bu Salwa dengan nada bingung dan tak percaya. Demi meyakinkan diri, tangan wanita itu meraba perut Embun yang terasa keras dan membulat. "Ya Allah, kamu hamil.""Ya, Bu," jawab Embun sambil tersenyum.Bu Salwa terdiam menatap wanita di depannya. Beliau masih tidak percaya. Namun rabaan telapak tangannya tadi tidak bisa berbohong. Perut itu menyembunyikan bayi di dalamnya."Sudah berapa bulan?""Lima bulan."Lima bulan, sama dengan usia pernikahannya dengan Andrea
Author's POVDi butik, Bu Salwa duduk termenung di belakang meja kerjanya. Beliau memikirkan putra satu-satunya. Sampai sekarang Hendriko belum ada niatan untuk serius menanggapi perjodohannya dengan Miranda. Apalagi setelah tahu Embun sedang mengandung, pasti Hendriko makin kesal terhadap dirinya. Ini yang makin membuat Bu Salwa gelisah.Beliau belum pernah melihat Hendriko seserius itu menyukai perempuan. Sikapnya yang dingin menyusahkannya untuk dekat dengan gadis mana pun. Makanya lebih baik perjodohan itu segera dilaksanakan saja. Semoga saja Miranda yang telah dikenalnya sejak kecil bisa meluluhkan hati putranya. Gadis itu juga sudah mengenal bagaimana Hendriko, jadi tak akan kaget lagi dengan sikapnya yang dingin.Bu Salwa keluar dari ruang pribadinya. Beliau memilih baju hamil yang tergantung di deretan hanger bagian kiri. "Selamat siang, Bu," sapa ramah seorang wanita yang telah berdiri di sebelahnya. Dia langganan butiknya belum lama ini."Selamat siang juga, Mbak Karina. M
Author's POVSudah berkali-kali Karina menghubungi Fariq, tapi panggilannya tidak terjawab. Wanita itu tampak panik sambil memperhatikan seluruh penjuru mall di lantai dasar. Entah berapa kali saja wanita itu menatap pintu masuk. Harusnya dia tidak setakut itu. Kenapa juga harus takut, toh Fariq hanya miliknya dan yang dikandung Embun juga bukan anak Fariq. Tapi entah kenapa hatinya tidak tenang. Ia takut semua orang yang pernah dihasutnya akan tahu kalau ternyata Embun pun bisa mengandung. Bahkan lebih lancar dari dirinya.Karina duduk di bangku kayu dekat kaunter handphone. Tatapannya bergantian antara ponsel dan pintu kaca yang di lalui para pengunjung.Sementara Embun dan Yani baru saja keluar dari sebuah toko sepatu. Yani sedang membelikan sepatu sekolah untuk anak bungsunya. Kebetulan hari itu Yani masuk shift pagi, jadi bisa bertemu dengan Embun. Lantas mereka jalan bersama setelah Embun dapat izin dari suaminya. "Embun, kamu harus hati-hati dengan perempuan gila seperti Karin
Author's POVPuluhan panggilan tampak di layar notifikasi. Ada beberapa pesan masuk juga. Fariq kembali menelepon balik Karina."Ya Mas, kamu di mana?" teriak panik istrinya saat menerima telepon."Mas ada di parkiran mobil.""Astaga, aku tungguin sejak tadi di pintu masuk lantai satu.""Mas nyariin kamu di lantai tiga tadi.""Terus ...." Nada panik Karina makin meninggi."Nggak ada akhirnya Mas turun lagi.""Oh, aku di bawah.""Oke. Kamu tunggu di depan mall. Mas kesitu sekarang.""Iya. Cepetan!"Fariq menutup panggilan. Dan mengendarai mobilnya menuju tempat Karina berada. Setelah mobil berhenti di depan mall, Karina buru-buru masuk."Kenapa aku telepon berulang kali nggak Mas jawab?""Sejak meeting terakhir tadi ponsel Mas silent.""Astaga, aku sampai kebingungan nungguin.""Kenapa bingung. Kamu bilang tadi lagi beli baju, 'kan? Mas cari ke sana!"Karina memutar tubuhnya menghadap sang suami. Dia ingin mendengar cerita suaminya bertemu atau tidak dengan sang mantan. Namun Fariq tid
Author's POV"Lain kali nggak usah pergi belanja kalau bukan Mas yang ngantar. Kalau butuh apa-apa yang urgent catat saja dan berikan pada Pak Karyo biar beliau yang membelinya.""Hu um.""Kapan beli perlengkapan untuk bayi kita?""Setelah acara tujuh bulanan saja, Mas.""Oke." Sebenarnya ada yang ingin dikatakan pada sang istri. Tentang kecemasan yang melebihi dari apa yang sudah ia ucapkan. Perasaannya takut kalau ada yang berniat mencelakai istrinya. Dia juga tahu kalau adiknya sendiri menyukai Embun. Dari cara memandang saja Andrean tahu kalau Hendriko memiliki perasaan itu.Andrean merapatkan tubuhnya kemudian memeluk erat sang istri. Embun yang tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dipikirkan suaminya, membalas pelukan itu meski terhalang oleh perutnya. Dia pikir, Andrean sedang meminta untuk berhubungan intim. Salah duga itu justru berujung manis. Kemesraan tercipta di malam yang belum larut. Dan selimut warna dark grey itu menutup tubuh setelah petualangan manis mereka."Seben