Author's POVSudah berkali-kali Karina menghubungi Fariq, tapi panggilannya tidak terjawab. Wanita itu tampak panik sambil memperhatikan seluruh penjuru mall di lantai dasar. Entah berapa kali saja wanita itu menatap pintu masuk. Harusnya dia tidak setakut itu. Kenapa juga harus takut, toh Fariq hanya miliknya dan yang dikandung Embun juga bukan anak Fariq. Tapi entah kenapa hatinya tidak tenang. Ia takut semua orang yang pernah dihasutnya akan tahu kalau ternyata Embun pun bisa mengandung. Bahkan lebih lancar dari dirinya.Karina duduk di bangku kayu dekat kaunter handphone. Tatapannya bergantian antara ponsel dan pintu kaca yang di lalui para pengunjung.Sementara Embun dan Yani baru saja keluar dari sebuah toko sepatu. Yani sedang membelikan sepatu sekolah untuk anak bungsunya. Kebetulan hari itu Yani masuk shift pagi, jadi bisa bertemu dengan Embun. Lantas mereka jalan bersama setelah Embun dapat izin dari suaminya. "Embun, kamu harus hati-hati dengan perempuan gila seperti Karin
Author's POVPuluhan panggilan tampak di layar notifikasi. Ada beberapa pesan masuk juga. Fariq kembali menelepon balik Karina."Ya Mas, kamu di mana?" teriak panik istrinya saat menerima telepon."Mas ada di parkiran mobil.""Astaga, aku tungguin sejak tadi di pintu masuk lantai satu.""Mas nyariin kamu di lantai tiga tadi.""Terus ...." Nada panik Karina makin meninggi."Nggak ada akhirnya Mas turun lagi.""Oh, aku di bawah.""Oke. Kamu tunggu di depan mall. Mas kesitu sekarang.""Iya. Cepetan!"Fariq menutup panggilan. Dan mengendarai mobilnya menuju tempat Karina berada. Setelah mobil berhenti di depan mall, Karina buru-buru masuk."Kenapa aku telepon berulang kali nggak Mas jawab?""Sejak meeting terakhir tadi ponsel Mas silent.""Astaga, aku sampai kebingungan nungguin.""Kenapa bingung. Kamu bilang tadi lagi beli baju, 'kan? Mas cari ke sana!"Karina memutar tubuhnya menghadap sang suami. Dia ingin mendengar cerita suaminya bertemu atau tidak dengan sang mantan. Namun Fariq tid
Author's POV"Lain kali nggak usah pergi belanja kalau bukan Mas yang ngantar. Kalau butuh apa-apa yang urgent catat saja dan berikan pada Pak Karyo biar beliau yang membelinya.""Hu um.""Kapan beli perlengkapan untuk bayi kita?""Setelah acara tujuh bulanan saja, Mas.""Oke." Sebenarnya ada yang ingin dikatakan pada sang istri. Tentang kecemasan yang melebihi dari apa yang sudah ia ucapkan. Perasaannya takut kalau ada yang berniat mencelakai istrinya. Dia juga tahu kalau adiknya sendiri menyukai Embun. Dari cara memandang saja Andrean tahu kalau Hendriko memiliki perasaan itu.Andrean merapatkan tubuhnya kemudian memeluk erat sang istri. Embun yang tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dipikirkan suaminya, membalas pelukan itu meski terhalang oleh perutnya. Dia pikir, Andrean sedang meminta untuk berhubungan intim. Salah duga itu justru berujung manis. Kemesraan tercipta di malam yang belum larut. Dan selimut warna dark grey itu menutup tubuh setelah petualangan manis mereka."Seben
Keduanya memesan makanan dan minuman karena memang sudah waktunya jam makan siang. Usai makan mereka langsung membahas tentang pekerjaan, Fariq sudah hafal bagaimana rekan kerjanya ini. Andrean orangnya tidak bertele-tele.Justru dari Fariq sendiri yang berulang kali di telepon oleh Karina. Perempuan itu makin posesif setelah kemarin melihat Embun tengah mengandung. Dalam setengah hari ini tadi entah sudah berapa kali ia di telepon dan dikirimi pesan. Untung ponselnya dalam mode silent jadi tidak mengganggu pembicaraannya dengan Andrean."Saya akan mengundang Pak Andrean dan istri di acara dinner bulan depan. Datang ya. Nanti saya infokan tanggalnya kalau sudah dekat."Andrean termenung sejenak, lalu buru-buru mengangguk. "Insya Allah, saya akan datang."Setelah selesai bicara, Fariq lebih dulu pamitan dan pergi, sedangkan Andrean masih menyempatkan diri untuk menelepon istrinya.Tepat setelah ia selesai menelepon, pandangannya bentrok dengan tatapan seorang gadis yang baru masuk rest
Author's POV"Pak Andre," sapa Fariq sambil tersenyum. Dibalas senyuman juga oleh Andrean. Fariq kemudian mengenalkan Andrean pada istrinya. Mereka berdua sama-sama mengangguk. Sekarang Andrean tahu mantan madu dari istrinya. Bahkan tanpa bertanya pada Embun, satu per satu orang-orang dari masa lalu istrinya ia ketahui tanpa sengaja."Apa rumah Pak Andrean dekat sini saja?" "Tidak, Pak Fariq. Kebetulan tadi saya lewat sini." Tentu Andrean tidak memberitahu alamatnya. Fariq mungkin tak akan macam-macam, tapi bagaimana dengan istrinya? Bisa saja wanita itu sangat berbahaya."Oke, kami pergi dulu, Pak Andre.""Silakan!"Mereka hanya saling sapa sebentar, setelah Fariq dan Karina pergi, Andrean masuk ke minimarket. Dia mengambil apa yang dibutuhkan saja dan segera ke rumah sakit untuk menjemput istrinya.* * *"Kenapa harus progam bayi tabung, toh kamu juga pernah hamil dua kali. Berarti ada kesempatan besar untuk hamil lagi." Bu Salim terlihat keberatan ketika Karina menyampaikan niat
Author's POVMiranda meraih gelas jus dan menyesap isinya. Tiba-tiba saja grogi melanda. Jadi takut juga membayangkan menikah dengan pria dingin seperti Hendriko. Padahal kemarin ia sangat memujanya. Entahlah, gadis itu bingung sendiri."Kenapa diam?" tanya Hendriko."Kau tidak suka menikah denganku?" Pertanyaan serius itu membuat Miranda berdebar dan bengong. Hati yang sudah tertata rapi kini kembali berantakan karena kebingungan."Mir.""Memangnya Mas mau?"Hendriko menarik tubuhnya dan kembali bersandar pada kursi. Netranya masih menatap sepupunya. Membuat gadis itu makin serba salah. Menyesal juga ia bertanya seperti itu. Memalukan dirinya sendiri saja. Sekian lama ditolak, apa dia akan tunduk sekarang?Miranda ingat, tadi malam mamanya bilang kalau dibandingkan dengan Hendriko, sang mama lebih memilih Andrean. Sayangnya Andrean sudah menikah. Hendriko sendiri juga diam. Perdebatan beberapa hari yang lalu dengan mamanya berakhir dengan tangisan wanita yang telah melahirkannya itu
Author's POVPagi yang cerah. Andrean mengangkat koper untuk di masukkannya ke dalam mobil. Pagi itu untuk pertama kalinya sejak menikah, Andrean mengajak istrinya ke luar kota untuk bekerja.Embun tampil cantik dan segar dengan blouse hamil warna putih dan celana bahan warna army. Dia berdiri di depan pintu sambil menenteng tas warna hitam.Biasanya tiap pagi begini dia telah memakai baju kerjanya dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Namun mulai hari ini dia tidak bekerja lagi. Teman-teman dan beberapa dokter menyayangkan keputusannya. Tapi juga tidak melarang, karena bagi seorang istri berbakti pada suami adalah hal yang utama.Andrean memberi kode pada istrinya untuk diajak berangkat. Embun menoleh pada Mbok Darmi yang berdiri di sebelahnya. "Mbok, kami berangkat dulu, ya," pamit Embun."Hati-hati ya, Mbak. Nikmati waktu kalian sebaik mungkin," pesan wanita sepuh itu sambil tersenyum. "Makasih, Mbok." Embun melangkah menuju mobil. Andrean melambaikan tangan pada Mbok Darmi yang m
Author's POVAndrean tersenyum. "Hidup Mas terlalu kaku setelah kepergian orang-orang yang Mas cintai. Kakek, nenek, terutama mama. Walaupun Mas hampir tidak bisa mengingat sosoknya.""Mas, bisa menjaga diri. Tapi ketika dapat istri, justru dapat janda," ucap Embun sambil tersenyum.Pria itu menatap istrinya, tepat setelah Embun selesai bicara. "Kamu istimewa." Itu saja ucapan Andrean. Dan setelahnya mereka tidak berbicara lagi hingga kembali ke hotel.Usai Salat Isya mereka duduk di balkon kamar saling berdekatan dan lengan Andrean memeluk bahu istrinya. Mereka menatap jauh ke angkasa, pada bulan separuh yang bersinar terang di langit malam."Kamu merasa tenang di sini?" tanya Andrean."Iya."Andrean pun merasakan hal yang sama. Ketenangan justru dirasakan saat jauh dari kota kecil tempat tinggal mereka. Jauh dari orang-orang yang menjadi keluarganya. "Kita bisa pindah ke luar kota jika kamu mau. Mas bisa mencari pekerjaan lain."Embun mendongak, menatap suami yang bicara serius pad