Semua keluarga sudah berkumpul di rumahku sore ini. Ada papa, oma, Om Deri, Tante Irfin dan anak-anaknya. Ada juga dari pihak dari suamiku, yaitu ibu, bapak, Ajeng;adikku dan juga beberapa sepupu lainnya.
Hari ini aku membuat sukuran acara ulang tahun pernikahanku dan Mas Edwin yang keenam. Sungguh tak putus aku panjatkan puji sukur, karena selama enam tahun ini, kami selalu bisa melewati ujian rumah tangga dengan baik dan hampir sempurna.
Aneka masakan aku hidangkan untuk menjamu para tamu. Mereka yang senang berkunjung ke rumahku, tentu sangat hapal betapa sedapnya setiap olahan makanan yang kubuat.
"Alhamdulillah, sudah enam tahun juga kalian lewati bersama. Lihat yang lain sudah beranak pinak, kamu memangnya tidak ingin, Ria?" tegur ibu mertuaku saat aku tengah menyendokkan kuah baso ke dalam mangkuk hidang.
"Doakan saja, Bu. InsyaAllah secepatnya," jawabku sambil memberikan senyuman hangat untuk ibu mertuaku.
"Ibu ya udah saban hari berdoa. Gak cukup kalau cuma doa, harus usaha dari kalian juga," tukas ibu mertua dengan suara meninggi. Aku hanya bisa menarik napas dalam, sambil mengatur detak jantung yang bertalu terlalu cepat saat ini.
Ke mana Mas Edwin saat ibunya bertanya perihal kehamilan? Harusnya Mas Edwin mendengar keluhan ibunya, biar aku tak selalu disalahkan.
"Hhmm ... kamu udah periksa? Yakin kamu subur?" tanyanya dengan suara remeh. Aku yang baru saja hendak menyuapkan kuah baso ke dalam mulut, tiba-tiba lemas bagai tak bertulang. Ya Tuhan, ingin sekali aku berteriak pada suamiku. Tolong ibu mertuaku diberi pengertian agar tak selalu menuduhku tak subur.
"Saya subur, Bu. Haid juga rutin dan tidak ada keluhan. Mungkin memang belum waktunya saja. Sabar ya, Bu," jawabku sambil menahan tangis.
"Alesan! Awas aja kalau sampai Ibu tahu kamu mandul, maka Edwin akan ibu minta menikah lagi!" ketus ibu mertuaku dengan marah. Ia berdiri dari duduknya, lalu meninggalkan aku yang tergugu tak bisa memgeluarkan bantahan apapun.
"Menikahkan lagi Mas Edwin dengan wanita lain? Heh ... yang ini saja masih diceukin!" ketusku dalam hati. Apa aku sakit hati? Tidak sama sekali, karena di sini Mas Edwin yang punya PR, bukan aku.
Baso, cake, dan aneka makanan sudah tak sedap lagi di mataku. Lebih baik aku masuk ke dalam kamar, berbaring sejenak, sampai rasa sakit di dada dan kepalaku hilang.
Setiap rumah tangga pastilah menginginkan hadirnya keturunan yang meramaikan rumah mereka. Tak terkecuali dirinya. Namun, apa mau dikata, saat sang suami tak bisa apa-apa. Sebagai istri tak mungkin ia mengatakan yang sejujurnya'kan?
Klek
Suara pintu kamar dibuka, lalu ditutup kembali. Kemudian terdengar suara anak kunci diputar dua kali. Aku yang tengah berbaring memunggungi arah pintu, menjadi malas berbalik. Pasti Mas Edwin yang baru saja masuk dan dengan segala rayunya mencoba menenangkanku dari ocehan ibu mertua.
"Ibu bilang apa, sampai kamu jadi bad mood gini?" tanya Mas Edwin saat bokongnya sudah mendarat mulus di atas kasur empuk kami. Ia tahu aku tak tidur, tetapi sedang kesal.
"Ibu ragu dengan kesuburanku, Mas. Trus, aku harus bilang apa? Gak mungkin aku bilang, sampai saat ini menantunya ini masih perawan. Ya'kan?!" nada suaraku sengaja aku tekan dalam, agar suamiku paham, bahwa saat ini aku benar-benar kesal.
"Heh ... begitu saja ngambek. Bukannya sudah biasa? Abaikan saja!" jawabnya santai, seakan tak ada beban.
"Mas, kamu mudah sekali berkata abaikan, tapi aku sebagai istri menahan malu, Mas. Kamu ngertiin aku juga dong!" tukasku tak terima. Ini sudah ratusan kali kami berdebat masalah sindiran orang tua masing-masing dan tak tahu sampai kapan ini semua akan berakhir.
"Jadi kamu mau, aku bagaimana?" tantangnya dengan sorot mata tak terima. Jika yang lalu-lalu aku pasti menunduk saat bola matanya mempelototiku, tetapi tidak kali ini. Aku membalas tatapannya dengan sorot mata lebih tajam.
"Aku mau, kamu berobat Mas. Bagaimana caranya aku gak tahu, pokoknya senjatamu harus bisa bangun sebagaimana mestinya."
"Kalau aku tidak mau berobat ke mana pun, lantas kamu mau apa? Minta cerai?"
"Maas ... bukan seperti itu. Ini semua juga demi kebaikan kamu, Mas. Apa enaknya baru pemanasan, kamu udah kalah. Aku pusing, kamu pusing. Gak enakkan?!"
"Oh, jadi kamu mau enak? Oke, aku akan beli vibrator untuk memuaskanmu."
Plak!
"Kamu tega, Mas." Entah darimana keberanianku melayangkan tamparan ke pipi Mas Edwin. Sungguh ucapan yang benar-benar keterlaluan.
Plak!
Wajahku terlempar kuat ke kiri dan aku rasa, ada darah segar mengalir di sudut bibirku. Hadiah ulang tahun pernikahan yang keenam dan sangat menyakitkan, karena untuk pertama kalinya dia menamparku.
"Dan kamu istri tidak bersukur!" tunjuknya menekan keningku dengan kuat.
"A-apa?"
Blam!
Pintu kamar dibanting kuat olehnya. Lagi-lagi aku hanya bisa mengeluarkan air mata pedih saat ini. Tidak, aku tidak akan menyerah dengan Mas Edwin. Jika dia tak mau ke dokter, maka aku yang akan membelikannya obat dan memberikan padanya, tanpa perlu ia ketahui.
****
Aku mengintip dari balik pintu kamar, memanstikan bahwa semua tamu sudah pulang. Termasuk mertua perempuanku. Suara di depan sana sudah sepi, hanya ada bibik yang bolak-balik membereskan rumah, dibantu oleh Mang Dirman. Sang supir kepercayaan Edwin.Aku memutuskan untuk keluar kamar, lalu berjalan menuju meja dapur. Cake buatanku tersisa hanya seperempat saja. Itu tandanya, semua tamu mencicipi dan suka dengan rasanya. Ada setitik rasa senang di sudut hati ini, saat apa yang kita lakukan untuk orang banyak dapat diterima dengan baik."Bik, basonya masih ada gak? Saya mau dong," ujarku pada Bik Isa saat dia melewatiku sambil membawa nampan berisi gelas kopi yang tersisa ampasnya saja."Habis, Non. Tadi dibawa semua sama nyonya besar," jawab Bik Isa sambil menunduk."Ya sudah, saya makan kue ini saja. Suami saya lihat gak, Bi?" tanyaku lagi, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, mencari keberadaan suamiku."Tuan sepertinya sedang mengan
Aku menata meja makan dengan aneka menu sarapan sehat untuk Mas Edwin, karena aku yang memasak serta mengolah semua makanan yang terhidang saat ini. Ya, walaupun saat ini ada bibik yang membantu pekerjaan di rumah, tetapi aku lebih menikmati jika makanan aku olah sendiri.Jangan tanyakan bagaimana termanjakannya lidah suamiku, yang sangat menyukai semua yang aku hidangkan. Semoga pagi ini pun ia kembali makan dengan lahap."Eh, Mas. Udah rapi. Makan yuk!" ajakku sembari menarik kursi makan untuknya. Digulungnya lengan baju kemeja hingga siku, lalu ia pun mencuci tangan pada mangkuk yang terbuat dari bahan melamin yang sudah aku sediakan."Aku ambilkan ya, Mas," ucapku lagi padanya. Kedua tanganku lincah menyendokkan satu centong nasi merah ke dalam piringnya dan juga telur orak-arik yang aku masak menggunakan margarin. Lelaki itu hanya tersenyum tipis, sambil menerima piring yang aku letakkan di depannya.Memang selalu seperti ini, jik
"Maaf, Bu. Sampai kapanpun, hanya saya yang akan menjadi istri Mas Edwin. Jika Ibu masih mempertanyakan kesuburan saya, ayo kita ke dokter. Saya sayang Ibu, tapi bukan berarti Ibu yang mengatur rumah tangga saya. Sudah dulu ya, Bu. Pisang goreng saya gosong, kelamaan ngobrol di telepon!"TutTutTutTak kuberikan ijin pada mertua, untuk menyahut ucapannku. Enak saja! Perlu menikahi berapa perempuan untuk membuat Mas Edwin sembuh? Percuma! Karena kuncinya ada pada Mas Edwin. Lelaki itu yang harusnya bisa berbuat lebih baik untuk kehidupan rumah tangganya.Kupijat kuat kepala. Masih pagi, sudah ada saja kabar yang membuat moodku hancur.TringTringKupandangi telepon rumah yang kembali berdering. Sudahlah, pasti mertua perempuanku lagi yang menelepon memarahiku. Lebih baik aku acuhkan saja. Kubiarkan telepon itu berdering nyaring beberapa kali, sampai bibik ikut menghampiri."Non, itu teleponnya," tunjuk bibik saat aku cuek saja
Sabtu pagi yang kelabu, sehabis salat Subuh aku memilih langsung ke dapur untuk membuat sarapan. Mas Edwin sudah aku bangunkan untuk salat, tetapi suamiku itu masih saja memeluk gulingnya dengan erat dengan mata yang terpejam rapat. Stelah pertengakaran semalam, aku benar-benar tak ingin banyak bicara padanya. Selama di kamar sampai kami akhirnya tertidur, taka da kalimat yang keluar dari mulutku.Aku khawatir, jika kami berdebat kembali, bisa-bisa terjadi pertengkaran hebat yang selama ini aku hindari. Suami yang aneh! Memerawani istri dengan alat getar, bukan punya sendiri. Benar-benar menjijikkan. Sudah kuiris daging tipis-tipis, maksud hati ingin membuat dendeng balado untuk sarapan hari ini. Apalah daya semangatku hancur gara-gara tingkah suami yang mengesalkan.“Non, itu airnya sudah matang. Kenapa masih melamun? Kalau sedang tak enak badan, biar Bik Isah aja yang masak, Non,” ujar Bik Isah padaku sembari membawa ke
Mas Edwin baru keluar kamar pada pukul sembilan pagi. Saat aku tengah menggunting daun-daun layu pada tanaman kesayanganku, dia datang menghampiri dengan wajah bengkak;layaknya orang baru bangun tidur. Dia menggaruk perut berulang kali sampai kausnya tersingkap tinggi. Dia duduk memperhatikan keasikanku yang tengah bercumbu dengan aneka tanamanku. Aku melirik sekilas, lalu tersenyum.“Mau sarapan, Mas?” tanyaku berbasa-basi. Lelaki itu , meneguk jus jeruk yang ada di atas meja teras milikku . “Nanti saja,” jawabnya singkat. Ponselku pun kini menjadi sasaran. Entah apa yang ia cari di sana, yang jelas ia suka sekali membuka ponselku;tanpa ijin pula. Aku membiarkan saja karena memang tak ada yang rahasia di sana. aku bukan tipe wanita yang mudah tertarik dengan lelaki lain, atau sekedar berbasa-basi dengan teman lelaki. Seseorang yang ada di depanku saat ini adalah rejeki terbaik dari Tuhan, maka dari itu rejeki itulah yang harus aku sukuri.&
“Jika kita mengadopsi bayi saja, kamu mau tidak?” pertanyaan darinya membuatku terlonjak membeku. Kutatap matanya untuk mencari apa maksud dari ucapannya. Adopsi bayi? Tidak, itu bukan solusi. “Aku sudah tak berminat dengan kalungmu, Mas. Aku mau pulang saja!” ucapku ketus sambil menahan air mata. Kutinggalkan ia yang terkejut atas respon dan kepergianku. Tas belanja pun aku tinggalkan begitu saja dengannya. Aku tak perlu semua itu, Mas. Aku perlu dirimu saja yang sehat. Dai berteriak memanggilku, namun kuabaikan. Membiarkannya kerepotan sendiri membawa banyak barang belanjaan.Sambil mengusap kasar air mata yang turun membasahi pipi. Tak kupedulikan orang-orang yang memandang iba sekaligus penuh tanya ke arahku. Menjauh sementar dari Mas Edwin adalah salah satu cara aku mengobati rasa sakit hatiku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya? Tega sekali menukar nafkah batin dengan mengadopsi seorang anak. Bukannya aku tak bisa me
Enam Tahun Tanpa Malam Pertama 8Sebenarnya aku sangat malas untuk pulang ke rumah hari ini, tetapi mama memintaku untuk menuruti keinginan Mas Edwin. Beliau masih berpikir bahwa memang aku kesepian karena memang memiliki momongan. Anak yang aku urus nanti anggap saja sebagai pancingan agar aku segera memiliki momongan. Ingin rasanya mulut ini mengatakan yang sebenarnya, tetapi aku sungguh amat malu jika sampai keluargaku mengetahui kekurangan suamiku.Taksi online sudah bersiap di depan rumah. Sudah lima menit dia menunggu di sana, sedangkan bokongku masih menempel erat di kursi teras. Benar-benar enggan beranjak. Ditambah lagi minggu pagi yang biasanya hari santai bagiku, kini harus menegang dengan perbuatan Mas Edwin.“Ria, ayo barangkat! Itu taksinya kelamaan nunggu loh,” tegur mama sambil menggelengkan kepalanya. Aku menoleh, lalu menampilkan mimic wajah memohon agar aku tak perlu pergi saja. Namun sayang se
Senin adalah hari yang berat untuk siapa saja. Itu yang selalu aku dengar dari sebagian orang. Di mana setelah dua hari berlibur di hari Sabtu dan Minggu, maka Senin kalian wajib menyemangati diri dan pikiran. Walau sebenarnya kalian begitu enggan.Sama seperti diriku yang selalu membenci Senin. Terutama Senin pagi ini, di mana aku harus bangun lebih pagi karena sudah ada Raka yang mulai kemarin menjadi anak angkatku.Aku mengusap malas sisi kiri ranjangku, tempat biasa Mas Edwin terlelap. Tak ada dia di sana. Aku bangun dari posisi berbaring, lalu sambil mengucek mata kupastikan lagi bahwa benar tak ada suamiku tidur di sana. Lalu ke mana dia? Aku bertanya dalam hati. Lalu menoleh ke arah pintu kamar.Sepertinya semalam ia tidur di sampingku. Apakah kemudian dia pindah ke kamar Raka? Jika ia, kenapa anak lelaki itu nampak begitu spesial bagi suamiku? Kupakai sandal kamar. Kubetulkan letak piyama tidurku sebelum keluar dari kamar.Lampu teng