"Maaf, Bu. Sampai kapanpun, hanya saya yang akan menjadi istri Mas Edwin. Jika Ibu masih mempertanyakan kesuburan saya, ayo kita ke dokter. Saya sayang Ibu, tapi bukan berarti Ibu yang mengatur rumah tangga saya. Sudah dulu ya, Bu. Pisang goreng saya gosong, kelamaan ngobrol di telepon!"
Tut
TutTutTak kuberikan ijin pada mertua, untuk menyahut ucapannku. Enak saja! Perlu menikahi berapa perempuan untuk membuat Mas Edwin sembuh? Percuma! Karena kuncinya ada pada Mas Edwin. Lelaki itu yang harusnya bisa berbuat lebih baik untuk kehidupan rumah tangganya.
Kupijat kuat kepala. Masih pagi, sudah ada saja kabar yang membuat moodku hancur.
Tring
TringKupandangi telepon rumah yang kembali berdering. Sudahlah, pasti mertua perempuanku lagi yang menelepon memarahiku. Lebih baik aku acuhkan saja. Kubiarkan telepon itu berdering nyaring beberapa kali, sampai bibik ikut menghampiri.
"Non, itu teleponnya," tunjuk bibik saat aku cuek saja berjalan menuju dapur.
"Biarkan saja, Bik. Biasalah, orang iseng yang nawarin jasa dukun online," jawabku asal sembari menahan tawa.
"Oh, emang ada dukun online, Non? Kalau gitu, jin online dan setan online ada juga dong?" Bibik bertanya dengan polosnya. Kali ini ia mengikuti langkah kakiku menuju dapur. Keningnya masihlah mengerut tanda penasaran dengan jawabanku.
"Non, emang ada?" tanyanya lagi dengan serius.
"Ada, Bik. Makanya Bibik jangan suka tiktokan, atau fesbukan, nanti foto Bibik disantet loh. Emang Bibik mau?" ucapku sedikit menakutinya. Yah, walaupun usianya menjelang setengah baya, tetapi Bik Isah suka sekali bermain media sosial. Jika saat senggang, pasti dia akan betah berlama-lama di depan ponsel. Pernah juga aku memergokinya tengah melakukan live saat menyetrika.
Ya Tuhan, aku berada di sekeliling orang-orang unik. Tidak suami, mertua, bahkan pembantu pun unik.
"Oh, gitu ya, Non. Berarti Bibik mulai sekarang, kalau mau posting foto pakai masker aja ya. Biar gak keliatan wajahnya," balas Bik Isa lagi dengan antusias.
"Gak usah posting foto apapun, Bik. Lebih bagus lagi, Bibik fokus mengerjakan pekerjaan rumah. Dah, saya mau masuk dulu." Aku pun masuk kembali ke dalam kamar.
Pagi ini, aku memutuskan kembali berselancar di media sosial, mencari informasi mengenai kesehatan lelaki, terutama organ vital. Susah sekali rasanya ingin buru-buru tak perawan. Harus ke sana-kemari, buka situs ini, itu, demi mendapat jawaban.
Aku tak boleh putus semangat. Aku mencintai suamiku dan ingin yang terbaik juga untuknya dan kehidupan pernikahan kami. Jadi, aku benar-benar harus berusaha untuk menyembuhkannya.
Senyumku mengembang, saat melihat salah satu artikel kesehatan pria. Kubaca dengan seksama, kuresapi, dan kutimbang-timbang dengan matang. Bisa saja, dengan cara ini bisa meningkatkan hormon yang meningkatkan gairah seksual suamiku.
"Bik, saya keluar sebentar ya," pamitku pada Bik Isah, saat mengambil kunci mobil yang aku simpan di atas lemari pendingin.
"Iya, Non. Hati-hati," balas bibik sambil tersenyum. Kulangkahkan kaki ringan menuju garasi. Sudah ada Mang Dirman yang membuka lebar pintu pagar.
Ya, walaupun bukan mobil mewah. Namun, mobil mungil ini cukup menolongku untuk sekedar bepergian dalam kota, atau sekedar ngemal. Hadiah ulang tahun pernikahan tahun lalu. Oh iya, aku lupa. Tahun ini kenapa Mas Edwin belum memberi kado? Sambil melajukan mobil Toyota A**a kuning, aku terus saja bergumam dan menerka-nerka. Apakah akan ada kejutan lagi untukku di tahun ini?
Asik dengan pikiran sendiri, akhirnya tanpa terasa, aku pun sampai di sebuah pasar tradisional. Aku membelanjakan beberapa bajan makanan untuk dikonsumsi suamiku. Aku membeli dalam jumlah cukup banyak, agar tak harus bolak-balik ke pasar.
Setelah puas berbelanja, aku pun mampir membeli es cendol kesukaanku di pasar itu. Tak lupa juga aku belikan untuk Mang Dirman dan Bik Isah. Cuaca sangat terik dan tenggorokanku terasa begitu kering. Maka aku putuskan untuk minum langsung di sana saja.
Pukul sebelas siang, aku sudah di rumah. Mang Dirman membantu menurunkan semua belanjaanku. Namun, tanpa ia sadari, aku kaget melihat sesuatu yang timbul dari balik celana batik yang ia kenakan. Sungguh kepalaku oleng seketika. Jujur, aku belum pernah melihat Mas Edwin seperti itu.
"Makasih, Mang. Ini es cendol minum aja dulu," ucapku pada lelaki itu. Kepalanya mengangguk, tetapi ia tersenyum kaku. Nampak sekali ada yang dia sembunyikan.
"Bik, Bik!" panggilku dengan suara sedikit keras. Bik Isah keluar dari kamarnya sambil menunduk.
"Ya, Non. Eh, dari pasar ya? Banyak sekali belanjaannya?" tanyanya berpura-pura sibuk melihat belanjaanku.
"Bik, lehernya kenapa?"
Huk
HukHukMang Dirman tersedak cendol yang baru dia minum. Aku yakin, telah terjadi sesuatu pada dua pembantuku ini.
Sebenarnya tak ingin suudzon, tetapi nanti aku bisa mengecek lewat CCTV. Lekas kukembali ke kamar, lalu masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Setelah merasa segar kembali, aku pergi ke dapur untuk membuat aneka olahan masakan sehat untuk suamiku. Persetan bila ia keberatan, malam ini akan aku paksa saja.
Sebuah kejutan saat sore hari, dia pulang lebih awal sambil membawa paper bag. Aku baru saja selesai mengolah masakan terakhir untuknya. Kusambut dia dengan penuh suka cita dan kuterima paperbag pemberiannya.
"Apa ini, Mas?" tanyaku dengan wajah merona malu.
"Hadiah untuk istriku yang cantik dan sabar," jawabnya sambil melepas kancing baju kemejanya satu per satu. Kami masih duduk di ruang tamu dan Bik Isah sudah datang membawakan teh dan kue pisang untuk dihidangkan pada kami.
"Terima kasih, Sayang. Boleh buka sekarang gak, Mas?" tanyaku tak sabar. Mas Edwin tak menjawab, ia menyelesaikan menyesap pelan tehnya, lalu lelaki itu mengangguk.
"Asik!" seruku begitu senang. Semoga logam mulia lagi, atau kalung emas seperti dua tahun lalu. Kubuka dengan tak sabar kotak berbetuk persegi yang dibungkus kertas kado berwarna merah muda.
"Apa ini, Mas?" keningku mengerut saat mencoba membaca tulisan yang ada di kemasan kardus itu.
"Sen**tive V**o. Alat bantu getar untuk wanita."
Kubaca dengan perlahan sambil memikirkan benda apa ini.
"Ya Allah, Mas! Aku ini istrimu, Mas. Bukan bintang film bokep!"
Brak!
Srek!
Kubanting, lalu kuinjak benda sialan itu di depan matanya.
****
~Bersambung~Edisi Malam Jumat"Wajahmu mengerikan sekali." Zamir menatap sinis Rena yang masih mendekam dalam penjara. Hari ini adalah tahun keenam ia dihukum. Masih ada empat tahun lagi yang harus ia lewati di dalam penjara untuk membayar semua perbuatannya yang telah merugikan banyak orang, sekaligus melakukan tindakan hampir membunuh seseorang dengan sengaja."Kalau lu kemari cuma mau mengejek gue, sebaiknya lu pergi aja!" Rena bangun dari duduknya dan bermaksud meninggalkan Zamir. Lelaki teman tidurnya sekaligus lelaki yang membuat semua rencananya yang hampir menguasai harta Erlan berhasil."Raka menikah hari ini. Pestanya sangat meriah. Apa kau tidak ingin lihat, bagaimana kebahagiaan kembali padanya? Heh, wanita yang pernah ia nikahi, kembali menjadi istri sahnya dan kau tahu, dia akan menjadi salah satu penerus keluarga Teja Corp. Ah, satu lagi ... Erlan juga
PTM 48Hari pernikahan besar antara Siwi dan Raka digelar di sebuah hotel bintang tiga milik Teja yang baru saja sebulan resmi beroperasi. Berlangsung di ballroom yang cukup megah dan luas, pasangan Siwi dan Raka-lah yang pertama kali menggunakan tempat itu sebagai lokasi sakral mengucapkan janji suci pernikahan. Ruangan yang dengan kapasitas menampung maksimal kurang lebih seribu lima ratus orang. Namun tidak perlu khawatir dengan kapasitas maksimum itu, karena tamu dijamin tidak akan berdesakan dan penuh karena area foyer dari ballroom ini sangat luas.Ada yang menarik dari acara pernikahan anak pemilik hotel baru di Jakarta ini, tidak adanya pelaminan megah, tempat tamu memberikan doa dan selamat. Lalu di mana kedua pengangtin itu akan duduk? Siwi dan Raka memiliki konsep bahwa mereka yang akan berkeliling menyambut tamu yang datang. Kenapa tidak ada pelaminan dalam sebuah pesta pernikahan? Bukankah pelaminan itu hal wajib dalam sebuah pe
6 Tahun KemudianHari Sabtu yang begitu dinantikan oleh anggota keluarga besar Teja dan Ria pun tiba. Hari yang akan dilangsungkannya pesta ulang tahun Ayumi; cucu mereka yang telah berusia delapan tahun.Pesta digelar dengan meriah di dalam rumah Teja yang baru saja selesai direnovasi. Yah, setali tiga uang. Sambil mengadakan pesta ulang tahun, Teja juga mengadakan syukuran acara rumah barunya yang semakin bagus dan mewah. Ada beberapa tamu artis dan petinggi yang datang memberikan selamat.Pesta yang digelar di dalam ruangan, tetapi juga tamu dipersilakan untuk menikmati pemandangan luar rumah yang sangat asri. Teja berhasil mendesign rumahnya dengan ide dan sesuai keinginannya sendiri. Begitu melihat hasilnya, ia sangat puas.Semua tamu yang datang ke rumahnya tentu saja membawa banyak kado untuk Ayumi. Gadis kecilnya yang semakin hari semakin cantik d
Rena terus saja menggaruk tubuhnya yang terasa sangat gatal. Tidak hanya di kedua kaki dan tangan, Rena juga mengalami rasa gatal di leher dan juga wajahnya. Entah apa yang terjadi sehingga tahanan lain tidak mau satu sel dengan Rena, karena amat jijik dengan bau busuk serta kudis yang muncul di permukaan kulit wanita itu.Seorang dokter sudah didatangkan untuk memeriksa Rena dan ia pun sudah diberikan salap dan juga obat yang harus diminum sehari tiga kalia agar rasa gatalnya hilang. Namun sangat disayangkan, wanita itu masih terus menggrauk seluruh tubuhnya. Jangankan tahanan lain, sipir penjara dan pengacaranya saja tidak sanggup duduk berlama-lama di dekat karena karena bau bangkai seperti bangkai tikus tercium hidung mereka. Rena pun hampir frustasi dengan keadaannya yang sangat menyedihkan. Tidak ada siapapun yang bisa menoleongnya, karena kedua orang tuanya juga masuk ke dalam penjara, karena kasus penggelapan
PTM 44Kondisi kesehatan Evan berangsur pulih. Polisi menjadwalkan reka ulang kejadian esok hari. Kepada pihak kepolisian, Evan sudah mengakui kesalahannya atas penyekapan berencana bersama tiga orang pria suruhannya. Semua itu ia lakukan karena sakit hati—merasa dipermainkan oleh Siwi. Jejak ciuman Siwi dengan Raka yang nampak di matanya, membuat lelaki itu buta dan nekat melakukan kejahatan yang belum pernah ia lakukan.Erlan pun sudah mulai pulih, tetapi masih dirawat di rumah sakit, karena kepalanya masih sering sakit. Lelaki itu belum mengetahui perihal pengakuan Evan dan Rena yang sudah mendekam di jeruji besi. Pak Sulis yang meminta pada pihak kepolisian untuk menahan diri memberitahukan apapun pada Erlan, karena Erlan memiliki riwayat penyakit jantung.“Siapa kamu?” tanya Erlan pada wanita bertubuh semok yang tengah duduk termenung di sofa kamar perawatannya. Wanita itu menoleh, lalu dengan sigap be
Siwi terbangun berjam-jam berikutnya. Sinar matahari pagi yang masuk ke kamar perawatannya, membuat Siwi merasakan matanya sedikit silau. Setelah matanya dapat menatap jelas langit-langit kamar, Siwi pun merenggangkan ototnya yang kaku. Kulitnya terasa tertarik dan begitu kebas karena tangannya terlalu lama diikat pada sisi tempat tidur.Jika kemarin ia belum terlalu merasa ya nyeri di sekujur tubuhnya, tapi pagi ini tubuhnya terasa sangat sakit. Siwi menoleh ke samping, tepatnya ke arah sofa. Papa dan mamanya tengah terbaring dengan lelap. Entah pukul berapa mereka baru tidur setelah menjaganya semalaman. Jam di dinding sudah menunjukkan angka sembilan dan Siwi mulai merasakan cacing di dalam perutnya melakukan orasi.Siwi ingin bangun setengah duduk untuk mengambil air, tetapi tubuhnya tidak mampu digerakkan. Kali ini ia meringis saat merasakan nyeri pada pinggang dan juga pangkal lengan. Merasa ada pergerakan dari brangkar putriny