Beranda / Urban / Enam Tahun Tanpa Malam Pertama / 5. Bik Isah dan Mang Dirman

Share

5. Bik Isah dan Mang Dirman

last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-07 17:12:11

 Sabtu pagi yang kelabu, sehabis salat Subuh aku memilih langsung ke dapur untuk membuat sarapan. Mas Edwin sudah aku bangunkan untuk salat, tetapi suamiku itu masih saja memeluk gulingnya dengan erat dengan mata yang terpejam rapat. Stelah pertengakaran semalam, aku benar-benar tak ingin banyak bicara padanya. Selama di kamar sampai kami akhirnya tertidur, taka da kalimat yang keluar dari mulutku.

 Aku khawatir, jika kami berdebat kembali, bisa-bisa terjadi pertengkaran hebat yang selama ini aku hindari. Suami yang aneh! Memerawani istri dengan alat getar, bukan punya sendiri. Benar-benar menjijikkan. Sudah kuiris daging tipis-tipis, maksud hati ingin membuat dendeng balado untuk sarapan hari ini. Apalah daya semangatku hancur gara-gara tingkah suami yang mengesalkan.

 “Non, itu airnya sudah matang. Kenapa masih melamun? Kalau sedang tak enak badan, biar Bik Isah aja yang masak, Non,” ujar Bik Isah padaku sembari membawa keranjang pakaian setengah kering yang siap dijemur. Aku menoleh, lalu dengan wajah datar mengecilkan api kompor.

 “Maaf ya,Bik. Saya benar-benar tak semangat memasak. Bibik yang teruskan ya?” kataku dengan suara malas.

 “Siap, Non. Mending Non olah raga biar segar. Kalau sabtu gini banyak yang olah raga di taman depan, Non. Ajak Tuan sekalian,” usul Bik Isah membuatku mendapat ide. Ya ampun kenapa aku baru memikirkannya? Benar, suamiku harus banyak olah raga disertai mengonsumsi makanan sehat, agar hormon kelaki-lakiannya bekerja dengan  baik. 

 “Ya deh, Bik.  Saya mau ajak Mas Edwin olah raga. Udah lama memang kami tidak jalan pagi,” kataku lagi sembari beranjak pergi, berjalan menuju kamar.

 Suamiku masih mendengkur dengan keras. Kudekati dan kuusap lengannya dengan lembut. “Mas, bangun. Salat, habis itu kita olah raga yuk, jalan pagi!” bisikku di telingannya. Lelaki itu sedikit bergidik geli, menggerakkan sedikit kepala, membuka mata dengan menyipit lalu tidur kembali.

 “Mas, ayo olah raga!” rengekku lagi sambil mengguncang tubuhnya yang masih berbaring miring di depanku.

 “Lima menit lagi,” ucapnya dengan suara serak, tanpa membuka mata. Aku hanya bisa mendesah pasrah, lalu bangkit dan berjalan menuju lemari. Kuambil baju olah raga dan juga celana training, tak lupa rambut kusisir rapi, lalu kuikat tinggi, menyerupai ekor kuda. Kulirik Mas Edwin yang tak kunjung bangun. “Mas,bangun dong! Ini udah hampir setengah enam!” panggilku dengan suara setengah berteriak kesal.

 “Iya, bawel!” ucapnya kesal, sambil merenggangkan tubuhnya, khas orang bangun tidur. Kuperhatikan dirinya tanpa suara. Lelaki itu menggaruk bagian tengah tubuhnya dari balik celana tidur berbahan katun yan ia kenakan, lalu pindah menggaruk perutnya hingga baju kaus belelnya tersingkap ke atas. Aku baru sadar, jika milik suamiku tidak berdiri di pagi hari. Padahal, setahuku harusnya bisa berdiri karena memang hormonnya kembali aktif. Namun tidak dengan milik Mas Edwin. Apakah ini sudah dalam tingkat kasus yang cukup parah dan tak bisa disembuhkan?

 Kudekati dia yang masih bermalas-malasan di pinggir tempat tidur. Bukannya langsung ke kamar mandi, suamiku malah membuka ponselnya dan terpaku fokus di sana.

 “Mas, aku mau tanya. Biasanya’kan pagi hari ada yang bangun, Mas. Kenapa punya kamu tidak?” tanyaku dengan hati-hati khawatir ia tersinggung. Terlambat! Matanya kini malah melotot ke arahku dengan ekspresi wajah garang. Aku sampai menggigit bibir merasa bersalah karena sudah merusak semangat paginya di hari sabtu ini.

 “Karena memang aku special. Kenapa? Kmau keberatan? Mau cari lelaki yang bisa bangun tiap pagi? Sana pergi ke kamar Mang Dirman!”

 “Ngaco!” emosiku kembali tersulut. aku memilih bangkit dari dudukku dan tanpa menoleh lagi, langsung saja keluar dari kamar untuk berolah raga di taman Biarkanlah Mas Edwin terserah mau apa, yang jelas kepalaku yang panas harus segera didinginkan. 

 Aku sedang membungkuk di kuris teras, karena mengikat tali sepatu olah raga. Sudah ada Mang Dirman yang tampak sedang bergerak pelan melakukan gerakan ringan pagi hari. Sepertinya lelaki itu juga baru bangun tidur. Bagaikan dihipnotis oleh seseorang, mataku dengan tidak sopannya melihat pada bagian tengah lelaki yang usianya tak beda jauh dari suamiku. Jika saat ini Mas Edwin berusia tiga puluh satu tahun, maka Mang Dirman berusia tiga puluh delapan tahun. Masih seumuran dengan Bik Isah.

 Ya Tuhan, benar yang ditulis oleh artikel yang kubaca kemarin. Sejatinya, lelaki yang sehat alat reproduksinya, maka bagian tubuh intimnya akan bereaksi. Berate suamiku memang benar-benar tak sehat.

 “Mau olah raga, Non?” tanyanya sat aku sudah berjalan mendekati pagar rumah.

 “Iya, Mang. Gak mungkin pake baju begini mau perang’kan?” sahutku membuat lelaki itu tergelak. Lekas ia membukakan pintu pagar untukku dan masih dengan senyum lebarnya, mempersilakanku untuk keluar pagar. Pintu pagar kembali tertutup, lalu aku pun memulai pemanasan sembari bertegur sapa dengan beberapa tetangga yang kebetulan juga sedang berolah raga.

 Aku iri saat ini. Begitu banyak pasangan yang mondar-mandir di taman untuk lari pagi, atau sekedar berjalan sehat. Kupandangi mereka bergantian, baik yang lelaki maupun yang perempuan. Pasangan yang tampak harmonis, sekaligus terlihat sangat sehat. Sebenarnya aku tak ingin membandingkan dengan rejekiku yang yang di rumah saaat ini;siapa lagi kalau bukan Mas Edwin. Namun rasa penasaran ini terlalu besar dan sudah berlangsung lama, karena sudah enam tahun tanpa jawaban. Apakah aku harus membicarakannya pada Teh Leni; kakak sepupu yang sangat dekat denganku? Apa yang sebaiknya aku lakukan pada pernikahanku selanjutnya?

 Puas lari pagi ringan selama satu jam setengah, aku pun kembali ke rumah sambil membawa kue rangi dan juga sebungkus lontong sayur untuk sarapanku pagi ini. Kenapa Mas Edwin tidak aku belikan juga? Itu karena aku benar-benar menjaga pola makan suamiku yang tidak boleh banyak santan dan juga berlemak.

 “Bik … biik!” kupanggil Bik Isah yang tak terlihat batang hidungnya di dapur. Sekeliling rumah sepi, sepertinya memang Mas Edwin kembali berselancar ke alam mimpi. Mang Dirman pun tak terlihat. Pada ke mana nih, orang rumah?  Aku takut ada sesuatu Antara Mang Dirman dan Bik Isah khilaf. Khawatir mereka melakukan hal yang tak baik di belakangku. Kucoba menenagkan detak jantung yang tak beraturan, lalu memberanikan diri untuk berjalan ke kamar belakang, tempat Bik Isah tidur sekaligus ruang setrika yang ada di sana.

 Sayup samar dapat kutangkap suara dua orang yang sepertinya tengah berbicara dengan cukup seru. Sukurlah! Batinku. Paling tidak telinga ini tidak mendengarkan desahan yang mengerikan. Suara itu berasal dari kamar setrika Bik Isah. Pelan aku melangkah dengan kaki telanjangku, lalu sedikit berjinjit mengintip dari balik celah jendela.

 “Emang ini untuk bersihin telinga, Bang?” tanya Bik Isah pada Mang Dirman.

 “Bisa jadi. Soalnya panjang gini. Padahal mah bersihin telinga mah cukup pake ujung korek api, atau nggak pake katen bat yak an, Neng?” 

 “Alat getar. Wah, jadi cukup digetar telinganya, lalu kotorannya longsor sendiri ya, Bang,”

 “Ha ha ha …,” aku benar-benar tak tahan dengan obrolan mereka berdua. Bisa-bisanya vibrator dikira alat untuk membersihkan telinga. 

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nur Kholif
ada lucunya juga kak .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Enam Tahun Tanpa Malam Pertama   95. Malam Pertama

    Edisi Malam Jumat"Wajahmu mengerikan sekali." Zamir menatap sinis Rena yang masih mendekam dalam penjara. Hari ini adalah tahun keenam ia dihukum. Masih ada empat tahun lagi yang harus ia lewati di dalam penjara untuk membayar semua perbuatannya yang telah merugikan banyak orang, sekaligus melakukan tindakan hampir membunuh seseorang dengan sengaja."Kalau lu kemari cuma mau mengejek gue, sebaiknya lu pergi aja!" Rena bangun dari duduknya dan bermaksud meninggalkan Zamir. Lelaki teman tidurnya sekaligus lelaki yang membuat semua rencananya yang hampir menguasai harta Erlan berhasil."Raka menikah hari ini. Pestanya sangat meriah. Apa kau tidak ingin lihat, bagaimana kebahagiaan kembali padanya? Heh, wanita yang pernah ia nikahi, kembali menjadi istri sahnya dan kau tahu, dia akan menjadi salah satu penerus keluarga Teja Corp. Ah, satu lagi ... Erlan juga

  • Enam Tahun Tanpa Malam Pertama   94. Pernikahan Siwi dan Raka

    PTM 48Hari pernikahan besar antara Siwi dan Raka digelar di sebuah hotel bintang tiga milik Teja yang baru saja sebulan resmi beroperasi. Berlangsung di ballroom yang cukup megah dan luas, pasangan Siwi dan Raka-lah yang pertama kali menggunakan tempat itu sebagai lokasi sakral mengucapkan janji suci pernikahan. Ruangan yang dengan kapasitas menampung maksimal kurang lebih seribu lima ratus orang. Namun tidak perlu khawatir dengan kapasitas maksimum itu, karena tamu dijamin tidak akan berdesakan dan penuh karena area foyer dari ballroom ini sangat luas.Ada yang menarik dari acara pernikahan anak pemilik hotel baru di Jakarta ini, tidak adanya pelaminan megah, tempat tamu memberikan doa dan selamat. Lalu di mana kedua pengangtin itu akan duduk? Siwi dan Raka memiliki konsep bahwa mereka yang akan berkeliling menyambut tamu yang datang. Kenapa tidak ada pelaminan dalam sebuah pesta pernikahan? Bukankah pelaminan itu hal wajib dalam sebuah pe

  • Enam Tahun Tanpa Malam Pertama   93. Pesta Ulang Tahun Ayumi

    6 Tahun KemudianHari Sabtu yang begitu dinantikan oleh anggota keluarga besar Teja dan Ria pun tiba. Hari yang akan dilangsungkannya pesta ulang tahun Ayumi; cucu mereka yang telah berusia delapan tahun.Pesta digelar dengan meriah di dalam rumah Teja yang baru saja selesai direnovasi. Yah, setali tiga uang. Sambil mengadakan pesta ulang tahun, Teja juga mengadakan syukuran acara rumah barunya yang semakin bagus dan mewah. Ada beberapa tamu artis dan petinggi yang datang memberikan selamat.Pesta yang digelar di dalam ruangan, tetapi juga tamu dipersilakan untuk menikmati pemandangan luar rumah yang sangat asri. Teja berhasil mendesign rumahnya dengan ide dan sesuai keinginannya sendiri. Begitu melihat hasilnya, ia sangat puas.Semua tamu yang datang ke rumahnya tentu saja membawa banyak kado untuk Ayumi. Gadis kecilnya yang semakin hari semakin cantik d

  • Enam Tahun Tanpa Malam Pertama   92. Ketuk Palu Hakim Pengadilan

    Rena terus saja menggaruk tubuhnya yang terasa sangat gatal. Tidak hanya di kedua kaki dan tangan, Rena juga mengalami rasa gatal di leher dan juga wajahnya. Entah apa yang terjadi sehingga tahanan lain tidak mau satu sel dengan Rena, karena amat jijik dengan bau busuk serta kudis yang muncul di permukaan kulit wanita itu.Seorang dokter sudah didatangkan untuk memeriksa Rena dan ia pun sudah diberikan salap dan juga obat yang harus diminum sehari tiga kalia agar rasa gatalnya hilang. Namun sangat disayangkan, wanita itu masih terus menggrauk seluruh tubuhnya. Jangankan tahanan lain, sipir penjara dan pengacaranya saja tidak sanggup duduk berlama-lama di dekat karena karena bau bangkai seperti bangkai tikus tercium hidung mereka. Rena pun hampir frustasi dengan keadaannya yang sangat menyedihkan. Tidak ada siapapun yang bisa menoleongnya, karena kedua orang tuanya juga masuk ke dalam penjara, karena kasus penggelapan

  • Enam Tahun Tanpa Malam Pertama   91. Permintaan Siwi

    PTM 44Kondisi kesehatan Evan berangsur pulih. Polisi menjadwalkan reka ulang kejadian esok hari. Kepada pihak kepolisian, Evan sudah mengakui kesalahannya atas penyekapan berencana bersama tiga orang pria suruhannya. Semua itu ia lakukan karena sakit hati—merasa dipermainkan oleh Siwi. Jejak ciuman Siwi dengan Raka yang nampak di matanya, membuat lelaki itu buta dan nekat melakukan kejahatan yang belum pernah ia lakukan.Erlan pun sudah mulai pulih, tetapi masih dirawat di rumah sakit, karena kepalanya masih sering sakit. Lelaki itu belum mengetahui perihal pengakuan Evan dan Rena yang sudah mendekam di jeruji besi. Pak Sulis yang meminta pada pihak kepolisian untuk menahan diri memberitahukan apapun pada Erlan, karena Erlan memiliki riwayat penyakit jantung.“Siapa kamu?” tanya Erlan pada wanita bertubuh semok yang tengah duduk termenung di sofa kamar perawatannya. Wanita itu menoleh, lalu dengan sigap be

  • Enam Tahun Tanpa Malam Pertama   90. Tertangkap

    Siwi terbangun berjam-jam berikutnya. Sinar matahari pagi yang masuk ke kamar perawatannya, membuat Siwi merasakan matanya sedikit silau. Setelah matanya dapat menatap jelas langit-langit kamar, Siwi pun merenggangkan ototnya yang kaku. Kulitnya terasa tertarik dan begitu kebas karena tangannya terlalu lama diikat pada sisi tempat tidur.Jika kemarin ia belum terlalu merasa ya nyeri di sekujur tubuhnya, tapi pagi ini tubuhnya terasa sangat sakit. Siwi menoleh ke samping, tepatnya ke arah sofa. Papa dan mamanya tengah terbaring dengan lelap. Entah pukul berapa mereka baru tidur setelah menjaganya semalaman. Jam di dinding sudah menunjukkan angka sembilan dan Siwi mulai merasakan cacing di dalam perutnya melakukan orasi.Siwi ingin bangun setengah duduk untuk mengambil air, tetapi tubuhnya tidak mampu digerakkan. Kali ini ia meringis saat merasakan nyeri pada pinggang dan juga pangkal lengan. Merasa ada pergerakan dari brangkar putriny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status