Aku menata meja makan dengan aneka menu sarapan sehat untuk Mas Edwin, karena aku yang memasak serta mengolah semua makanan yang terhidang saat ini. Ya, walaupun saat ini ada bibik yang membantu pekerjaan di rumah, tetapi aku lebih menikmati jika makanan aku olah sendiri.
Jangan tanyakan bagaimana termanjakannya lidah suamiku, yang sangat menyukai semua yang aku hidangkan. Semoga pagi ini pun ia kembali makan dengan lahap.
"Eh, Mas. Udah rapi. Makan yuk!" ajakku sembari menarik kursi makan untuknya. Digulungnya lengan baju kemeja hingga siku, lalu ia pun mencuci tangan pada mangkuk yang terbuat dari bahan melamin yang sudah aku sediakan.
"Aku ambilkan ya, Mas," ucapku lagi padanya.
Kedua tanganku lincah menyendokkan satu centong nasi merah ke dalam piringnya dan juga telur orak-arik yang aku masak menggunakan margarin. Lelaki itu hanya tersenyum tipis, sambil menerima piring yang aku letakkan di depannya.
Memang selalu seperti ini, jika kami baru saja akan melakukan ritual dan ia lagi-lagi kalah. Wajah malunya begitu kentara, disusul senyumnya yang terlalu dipaksakan. Aku tahu dia malu dan tak enak hati, tapi lagi-lagi ia selalu saja tak mau pergi ke dokter dan itu yang menjadi masalahnya.
Byuur!
Huk!
Huk!Edwin menyemburkan nasi merah yang baru saja ada di dalam mulutnya. Bahkan remah nasi yang keluar berhamburan dari mulutnya, mengenai wajahku.
"Eh, Mas. Ada apa?" tanyaku panik sambil memberikannya segelas teh hangat.
"Ini nasi apa sih? Bukan nasi goreng ya? Rasanya gak enak!" protesnya dengan wajah kesal.
"Iya, Mas. Ini bukan nasi goreng, tapi nasi merah," jawabku dengan suara lembut. Tanganku juga sibuk mengambil nasi yang tersangkut di rambut dan baju kaus yang aku pakai.
"Aku gak suka! Kenapa kamu buatin nasi merah? Emangnya di kepala kamu udah kehabisan ide untuk masak apa? Harusnya buka youtube. Jangan ngasal kayak gini masaknya," omelnya panjang kali lebar dan aku sebagai istri yang tingkat kesabarannya paripurna, mencoba untuk mengatur napas agar tidak emosi dengan ocehan Mas Edwin.
"Mas, justru aku terlalu cerdas saat ini, karena memasakkan kamu menu sehat," balasku dengan penekanan suara. Aku yang tadinya duduk di sebrangnya, kini pindah dan memilih duduk di sampingnya. Dia melihatku dengan kening berkerut dan raut wajah yang masih sangat kesal.
"Mas, nasi merah itu baik untuk hormon lelaki, karena nasi merah itu seratnya tinggi, Mas. Makanan ini bisa mencegah dan mengatasi EDIN," terangku dengan berbisik, mencoba memberi wawasan lain untuk Mas Edwin.
"EDIN itu apa? Kamu aneh-aneh saja," tanyanya balik dengan wajah kebingungan.
"EDIN itu ejakulasi dini. Penyakit kamu, Mas. Ayolah, Mas. Makan ya? Plis!" rengekku manja padanya. Aku tahu ia tak suka, dan tersindir dengan ucapanku. Buktinya saat ini ia berdiri dari duduknya, lalu pergi begitu saja meninggalkanku yang tergugu di ruang makan.
Lelakiku sudah membuka pintu depan, bersiap untuk berangkat ke kantor, tanpa menyentuh kembali sarapannya. Cepat aku tersadar. Gelas jus alpukat yang sudah aku buat setengah jam yang lalu. Buah alpukat madu dengan kualitas terbaik, aku buat jus tanpa campuran apapun.
"Mas, tunggu!" teriakku sembari berlari membawakan gelas jus alpukat ke teras depan. Dia sudah bersiap di atas motor Nm*x dan baru saja selesai memakai helem.
"Apa lagi? Kamu masih pagi jangan buat mud aku turun dong!" suaranya meninggi. Motor ia mundurkan dengan mesin yang sudah menyala. Aku terus saja mengikutinya sambil menyodorkan gelas jus alpukat.
"Mas, kamu'kan gak mau sarapan. Jadi, minum aja jus ini," aku memberikan jus alpukat pada suamiku. Mas Edwin memutar bola mata malasnya, lalu dengan terpaksa menerima gelas dari tanganku. Didekatkannya permukaan gelas pada hidungnya.
"Jus apa ini? Bukan jus sawi atau jus bayam'kan? Baunya aneh!" protesnya lagi masih asik memandangi sekaligus membaui permukaan gelas.
"Mas, ini cuma jus alpukat. Biar kamu sehat dan kuat," jawabku lagi dengan senyuman manis. Ia pun menyerah dan akhirnya mau memasukkan pinggiran gelas ke dalam mulitnya.
"Cuih!"
"Puh!"
"Puh!"
Mas Edwin kembali meludahi jus yang sudah susah payah aku buat untuknya.
"Duh, Maria! Kamu bikin aku kesal saja. Masuk sana! Aku gak mau minum jus atau makan nasi merah. Aku sehat dan kamu aja yang gak bisa ngertiin aku!" teriaknya melengking, hingga bibik yang tengah menjemur baju di samping, ikut memperhatikan kami.
"Mas, tapi ini minuman yang sehat untuk kamu, Mas. Di dalam alpukat mengandung vitamin C, K, dan B yang sangat penting untuk kelancaran peredaran darah, menuju organ-oragan vital pada tubuh. Termasuk senjata kamu, Mas. Biar bisa bangun," jawabku lagi tak ingin menyerah.
"Aku gak ngerti sama kamu Ria! Udahlah, aku mau ke kantor!" Mas Edwin pun meninggalkan pekarangan rumah dengan mengeber motornya. Ia kesal dengan apa yang pagi ini aku lakukan. Padahal ini semua demi kebaikannya.
Hatiku kembali resah. Rumah besar kami aku pandangi dengan seksama. Mobil ada, motor punya tiga. Pembantu ada, supir juga ada. Pekerjaan bagus. Namun sayang, senjata suamiku tak bisa berbuat apa-apa. Jujur aku ingin sekali memiliki anak dan hidup berumah tangga sebagaimana mestinya orang lain. Sayangnya, Allah masih memberikan ujian yang tak tahu kapan akan berakhir.
Lamunanku buyar, saat dering telepon nyaring terdengar. Kulangkahkan kaki masuk ke ruang tengah, untuk mengangkat panggilan itu.
"Hallo, assalamualaykum."
"Wa'alaykumussalam. Maria, siang ini bisa ketemu Mama gak? Ada yang mau Mama kenalin ke kamu. Kandidat wanita yang siap hamil anak Edwin."
"Hah?! Apa?"
****
Bersambung
"Maaf, Bu. Sampai kapanpun, hanya saya yang akan menjadi istri Mas Edwin. Jika Ibu masih mempertanyakan kesuburan saya, ayo kita ke dokter. Saya sayang Ibu, tapi bukan berarti Ibu yang mengatur rumah tangga saya. Sudah dulu ya, Bu. Pisang goreng saya gosong, kelamaan ngobrol di telepon!"TutTutTutTak kuberikan ijin pada mertua, untuk menyahut ucapannku. Enak saja! Perlu menikahi berapa perempuan untuk membuat Mas Edwin sembuh? Percuma! Karena kuncinya ada pada Mas Edwin. Lelaki itu yang harusnya bisa berbuat lebih baik untuk kehidupan rumah tangganya.Kupijat kuat kepala. Masih pagi, sudah ada saja kabar yang membuat moodku hancur.TringTringKupandangi telepon rumah yang kembali berdering. Sudahlah, pasti mertua perempuanku lagi yang menelepon memarahiku. Lebih baik aku acuhkan saja. Kubiarkan telepon itu berdering nyaring beberapa kali, sampai bibik ikut menghampiri."Non, itu teleponnya," tunjuk bibik saat aku cuek saja
Sabtu pagi yang kelabu, sehabis salat Subuh aku memilih langsung ke dapur untuk membuat sarapan. Mas Edwin sudah aku bangunkan untuk salat, tetapi suamiku itu masih saja memeluk gulingnya dengan erat dengan mata yang terpejam rapat. Stelah pertengakaran semalam, aku benar-benar tak ingin banyak bicara padanya. Selama di kamar sampai kami akhirnya tertidur, taka da kalimat yang keluar dari mulutku.Aku khawatir, jika kami berdebat kembali, bisa-bisa terjadi pertengkaran hebat yang selama ini aku hindari. Suami yang aneh! Memerawani istri dengan alat getar, bukan punya sendiri. Benar-benar menjijikkan. Sudah kuiris daging tipis-tipis, maksud hati ingin membuat dendeng balado untuk sarapan hari ini. Apalah daya semangatku hancur gara-gara tingkah suami yang mengesalkan.“Non, itu airnya sudah matang. Kenapa masih melamun? Kalau sedang tak enak badan, biar Bik Isah aja yang masak, Non,” ujar Bik Isah padaku sembari membawa ke
Mas Edwin baru keluar kamar pada pukul sembilan pagi. Saat aku tengah menggunting daun-daun layu pada tanaman kesayanganku, dia datang menghampiri dengan wajah bengkak;layaknya orang baru bangun tidur. Dia menggaruk perut berulang kali sampai kausnya tersingkap tinggi. Dia duduk memperhatikan keasikanku yang tengah bercumbu dengan aneka tanamanku. Aku melirik sekilas, lalu tersenyum.“Mau sarapan, Mas?” tanyaku berbasa-basi. Lelaki itu , meneguk jus jeruk yang ada di atas meja teras milikku . “Nanti saja,” jawabnya singkat. Ponselku pun kini menjadi sasaran. Entah apa yang ia cari di sana, yang jelas ia suka sekali membuka ponselku;tanpa ijin pula. Aku membiarkan saja karena memang tak ada yang rahasia di sana. aku bukan tipe wanita yang mudah tertarik dengan lelaki lain, atau sekedar berbasa-basi dengan teman lelaki. Seseorang yang ada di depanku saat ini adalah rejeki terbaik dari Tuhan, maka dari itu rejeki itulah yang harus aku sukuri.&
“Jika kita mengadopsi bayi saja, kamu mau tidak?” pertanyaan darinya membuatku terlonjak membeku. Kutatap matanya untuk mencari apa maksud dari ucapannya. Adopsi bayi? Tidak, itu bukan solusi. “Aku sudah tak berminat dengan kalungmu, Mas. Aku mau pulang saja!” ucapku ketus sambil menahan air mata. Kutinggalkan ia yang terkejut atas respon dan kepergianku. Tas belanja pun aku tinggalkan begitu saja dengannya. Aku tak perlu semua itu, Mas. Aku perlu dirimu saja yang sehat. Dai berteriak memanggilku, namun kuabaikan. Membiarkannya kerepotan sendiri membawa banyak barang belanjaan.Sambil mengusap kasar air mata yang turun membasahi pipi. Tak kupedulikan orang-orang yang memandang iba sekaligus penuh tanya ke arahku. Menjauh sementar dari Mas Edwin adalah salah satu cara aku mengobati rasa sakit hatiku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya? Tega sekali menukar nafkah batin dengan mengadopsi seorang anak. Bukannya aku tak bisa me
Enam Tahun Tanpa Malam Pertama 8Sebenarnya aku sangat malas untuk pulang ke rumah hari ini, tetapi mama memintaku untuk menuruti keinginan Mas Edwin. Beliau masih berpikir bahwa memang aku kesepian karena memang memiliki momongan. Anak yang aku urus nanti anggap saja sebagai pancingan agar aku segera memiliki momongan. Ingin rasanya mulut ini mengatakan yang sebenarnya, tetapi aku sungguh amat malu jika sampai keluargaku mengetahui kekurangan suamiku.Taksi online sudah bersiap di depan rumah. Sudah lima menit dia menunggu di sana, sedangkan bokongku masih menempel erat di kursi teras. Benar-benar enggan beranjak. Ditambah lagi minggu pagi yang biasanya hari santai bagiku, kini harus menegang dengan perbuatan Mas Edwin.“Ria, ayo barangkat! Itu taksinya kelamaan nunggu loh,” tegur mama sambil menggelengkan kepalanya. Aku menoleh, lalu menampilkan mimic wajah memohon agar aku tak perlu pergi saja. Namun sayang se
Senin adalah hari yang berat untuk siapa saja. Itu yang selalu aku dengar dari sebagian orang. Di mana setelah dua hari berlibur di hari Sabtu dan Minggu, maka Senin kalian wajib menyemangati diri dan pikiran. Walau sebenarnya kalian begitu enggan.Sama seperti diriku yang selalu membenci Senin. Terutama Senin pagi ini, di mana aku harus bangun lebih pagi karena sudah ada Raka yang mulai kemarin menjadi anak angkatku.Aku mengusap malas sisi kiri ranjangku, tempat biasa Mas Edwin terlelap. Tak ada dia di sana. Aku bangun dari posisi berbaring, lalu sambil mengucek mata kupastikan lagi bahwa benar tak ada suamiku tidur di sana. Lalu ke mana dia? Aku bertanya dalam hati. Lalu menoleh ke arah pintu kamar.Sepertinya semalam ia tidur di sampingku. Apakah kemudian dia pindah ke kamar Raka? Jika ia, kenapa anak lelaki itu nampak begitu spesial bagi suamiku? Kupakai sandal kamar. Kubetulkan letak piyama tidurku sebelum keluar dari kamar.Lampu teng
Enam tahun tanpa malam pertama 10Mas Edwin sudah berangkat bersama Raka. Lelai kecil itu tak mau jika aku yang mengantarnya sekolah pagi ini. Katanya belum kenal. Ya Tuhan, aku adalah ibu angkatnya, bukan orang lain yang sama sekali tidak ia kenal. Sumpah aku begitu bingung dengan pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya. Segitu antipatinya dengan orang lain. Kupandang mangkuk besar berisi nasi goreng buatanku yang masih tersisa sangat banyak. Mas Edwin tidak mau memakannya. Suamiku menemani Raka makan sosis bakar dan juga roti. Sarapan buatanku tak tersentuh samak sekali dan itu sangat membuatku kecewa.“Bik, ini semua beresin aja, Bik. Kalau ada pemulung kasikan pemulung aja. Bibik pisahkan lebih dahulu untuk dimakan,” pintaku pada Bik Isa. Dengan langkah malas, aku masuk kembali ke dalam kamar. Jika pagi hari seperti ini, aku selalu bingung mau melakukan apa, karena tidak memiliki keahlian lagi selain memasak dan membuat kue. Namun pagi ini suasana h
Aku mencoba menenangkan hatiku yang panas. Pemaparan data siswa yang diberitahukan oleh petugas administrasi sekolah tadi, sangat membuatku syok dan sakit kepala. Suamiku impoten. Senjatanya tidak bisa bangun. Jadi, bagaimana bisa ada namanya di data orang tua Raka, dan kenapa juga nama anak lelaki itu sama seperti suaminya. Hidayat; adalah nama keluarga dari Mas Edwin. Raka anak angkat dan tidak mungkin langsung secepat itu menyematkan nama keluarga di belakang namanya.Ini adalah sebuah teka-teki yang harus segera aku temukan jawabannya dari suamiku. Tak mungkin aku bertanya pada anak sekecil Raka. Walau aku tahu ia anak yang cerdas, ia pasti bisa menjawab dengan jujur apa yang akan aku tanyakan, tetapi tidak akan baik bagi kondisi hatinya saat ini.“Bagaimana sekolah hari ini, Raka?” tanyaku saat kami sudah berada di dalam mobil menuju jalan pulang.“Baik. Ada PR matematika,” jawabnya singkat dan padat. Kepalanya sama sekali tidak meno