Share

6. Ritual Kamar Mandi

 Mas Edwin baru keluar kamar pada pukul sembilan pagi. Saat aku tengah menggunting daun-daun layu pada tanaman kesayanganku, dia datang menghampiri dengan wajah bengkak;layaknya orang baru bangun tidur. Dia menggaruk perut berulang kali sampai kausnya tersingkap tinggi. Dia duduk memperhatikan keasikanku yang tengah bercumbu dengan aneka tanamanku. Aku melirik sekilas, lalu tersenyum.

 “Mau sarapan, Mas?” tanyaku berbasa-basi. Lelaki itu , meneguk jus jeruk yang ada di atas meja teras milikku . “Nanti saja,” jawabnya singkat. Ponselku pun kini menjadi sasaran. Entah apa yang ia cari di sana, yang jelas ia suka sekali membuka ponselku;tanpa ijin pula. Aku membiarkan saja karena memang tak ada yang rahasia di sana. aku bukan tipe wanita yang mudah tertarik dengan lelaki lain, atau sekedar berbasa-basi dengan teman lelaki. Seseorang yang ada di depanku saat ini adalah rejeki terbaik dari Tuhan, maka dari itu rejeki itulah yang harus aku sukuri. 

 Kuletakkan gunting di atas rak yang memang sudah terpasang rapi di dekat taman miniku. Kucuci tangan di kran air, lalu berjalan mendekati suamiku yang masih asik bercengkrama dengan ponselku. Kukeringkan tangan dengan tisu, lalu ikut meneguk jus jeruk yang tersisa setengah.

 “Lihat apa sih, Mas?” tanyaku ingin tahu.

 “Semuanya,” jawab Mas Edwin singkat.

 “Mas gak mau sarapan? Udah sikat gigi belum sih? Hawa mulutnya gak enak banget,” tanyaku saat membaui aroma tak sedap dari Mas Edwin.

 “Biarin bau, kamunya aja cinta,” balasnya dengan penuh rasa percaya diri.

 “Ya kali kalau gak cinta, udah saya tinggal’lah!” Aku memilih masuk ke dalam rumah;membiarkan suamiku melakukan apapun maunya terhadap gadget milikku. Tubuhku yang berkeringat membuat tak nyaman, aku putuskan untuk mandi saja agar tubuh dan kepalaku kembali segar. Tak kudengar suara pintu kamar yang terbuka, karena suara air shower yang aku putar full.

 Klik!

 Ada Mas Edwin berdiri di depan pintu kamar mandi dan bersiap untuk masuk. Dalam hati aku bersorak, sudah sekian tahun menikah, kami belum pernah melakukannya di kamar mandi. Apakah  Mas Edwin ingin mencobanya? Aku memperhatikannya dengan seksama, disertai getaran-getaran halus berdesir seiring lajunya darah yang mengalir cukup lancar pagi ini. Lelaki itu menutup pintu kembali dan memandangku biasa saja tanpa kabut di matanya. Dia melorotkan celananya sampai mata kaki;kalian tahu bagaimana reaksiku? Aku menggigit bibirku gemas tanpa sadar.

 “Mas,” panggilku dengan suara sedikit mendesah manjalita.

 “Kenapa? Aku mau buang air. Mules nih. Kalau kamu gak tahan baunya, keluar aja dulu. 

 “Oh, mau buang air,” aku pun mendesah kecewa. Tanpa berkata lagi, aku melilitkan handuk di badan, lalu menyelipkan ujungnya di lipatan bagian dada. Kakiku melangkah keluar dari kamar mandi dengan penuh kekecewaan. Duduk di tepian ranjang sambil menetralkan napas dan juga detak jantungku yang ternyata terlalu GR untuk disentuh suami sendiri. Ya Tuhan, apakah aku sudah berlakon bagaikan wanita kurang belaian? Isi kepalaku tak hentinya memikirkan bagaimana caranya agar membuat Mas Edwin berhasil memerawaniku, tapi mau pakai cara apa, aku pun bingung. Kulirik pintu kamar mandi yang tak kunjung terbuka dan ini sudah lima belas menit dia di dalam sana. Air mandi ditubuhku sampai mengering sendiri, karena terlalu lama menunggunya selesai melakukan ritual.

 Aku memutuskan untuk menghampirinya ke kamar mandi, lalu menetuk pintu itu sebanyak dua kali. “Mas, udah belum? Aku mau mandi nih!” seruku dari balik pintu.

 “Iya, sebentar,” jawabnya dari dalam sana. tak lama kemudian, terdengar guyuran air tanda ia sedang mandi. Aku menekan knop pintu ingin ikut mandi bersama, sayang sekali terkunci. Aku menghela napas kecewa dengan sikap Mas Edwin. Kenapa harus dikunci? Sehoror itukah dia dengan istri sendiri?

 Klik!

 Pintu kamar mandi terbuka lebar. Mas Edwin keluar dari sana dengan wajah segar sehabis mandi. “Kenapa gak mandi bareng aja sih, Mas? Aku nungguin kamu lama loh. Mulai dari kamu BAB seabad, sampai kamu mandi. Kenapa pintunya dikunci?” cecarku dengan suara penuh kekecewaan.

 “Gak ah! Nanti kamu perkosa,” katanya dengan wajah datar , lalu pergi begitu saja dari hadapanku. Mulutku terbuka ingin sekali meluapkan kekesalan padanya, tetapi percuma, yang ada nanti kami semakin bertengkar dan takkkan pernah menemukan solusi. Memperkosa katanya? Helloo??

 “Dah, mandi cepat sana! kita ngemal. Aku baru dapat bonus. Kita ganti kalung kamu dengan yang lebih bagus,” katanya sambil menarik baju dari dalam lemari. Tanpa sahutan, aku masuk ke dalam kamar mandi dengan lemas. Mas Edwin memang mapan dan mempu memberikan segalanya untukku, tetapi ia tak bisa mengisi kekosongan hati dan ragaku sebgai seorang wanita. Entahlah harus sampai kapan akan seperti ini.

 Kami sudah berada di dalam sebuah mal besar yang terletak di Jakarta Pusat. Sebelum masuk ke dalam toko emas, terlebih dahulu aku menemani Mas Edwin sarapan junkfood. Ayam fried chicken dengan paket lengkap nasi, union ring, burger, serta minuman bersoda yang ada topping es krim di atasnya. Sungguh bukan makanan sehat yang harus rajin sekali dikonsumsi oleh seorang lelaki yang memiliki penyakit impotensi. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan Mas Edwin yang seperti anak-anak saja. Malas berdebat, aku memilih menghabiskan es krim cup coklat yang sudah ada di tanganku.

 Selesai makan, kami pun masuk ke area pakaian. Mas Edwin memberikanku pakaian beberapa stel dengan harga yang tidak murah. Aku menikmatinya, walau di ujung hatiku merasakan kegersangan. Tak jauh dari kami memilih baju saat ini, ada pasangan suami istri yang juga sedang memilih pakaian. Sang istri tampak cantik dengan wajah polos tanpa make up, dan yang menjadi nilai plusnya dalah kondisi perut sang istri yang nampak membuncit besar. Jika saat ini aku sibuk memegang kantong belanjaan, maka wanita yang tak jauh dariku tengah mengusap sayang perut buncitnya. Aku benar-benar iri.

 “Kamu mau punya anak?” bisik Mas Edwin yang ternyata mengetahui apa yang saat ini aku perhatikan.

 “Mau, tapi jangan bilang aku bisa punya anak tapi dari orang lain,” balasku dengan sorot mata tajam pada suamiku. Lelaki itu hanya terkekeh, lalu meninggalkanku tanpa membalas ucapanku. Dia berbalik lagi, lalu mengambil totte bag belanjaan yang ada di tanganku, lalu membawanya pergi menuju kasir.

 Tiba di toko emas, kami disambut dengan begitu ramah. Mas Edwin meminta pada pelayan toko emas, agar merekomendasikan perhiasan emas atau berlian terbaik untukku. Hatiku membuncah sangat senang. Di satu sisi dia memang tidak sempurna, tetapi di sisi lain, dia begitu memujaku. Membelikanku pakaian bagus, emas, menyediakan tempat tinggal mewah untukku, dan juga selalu mencukupi semua kebutuhanku. Bukan hanya itu; biaya kuliah Ariani,adikku- juga Mas Edwin yang membiayai. Apakah aku termasuk seorang istri yang tidak bersukur dengan keadaan suamiku saat ini?

 “Yang ini saja!” tunjuknya pada sebuah kalung bermata kristal ungu dengan harga lima puluh juta. Lelaki itu memakaikan kalung super bagus itu di leher jenjangku. “Kamu suka?” tanyanya sambil berbisik, dan lagi jiwa matre kewanitaanku bersorak gembira, diikuti anggukan kepalaku, berikut lengkungan garis bibir yang teramat lebar. Perhiasan itu kembali dia berikan pada palayan toko untuk dibungkus. Mas Edwin juga menyerahkan satu kartu ATM untuk membayar kalung mahal yang baru saja dia pilihkan untukku. 

 “Jika kita mengadopsi bayi, kamu mau tidak?” pertanyaan dari lelaki itu sontak membuatku membeku.

****

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Enak bgt yah suami cek hp istri bebas. Mestinya istri jg cek hp suami biar adil
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status