Surya meninggi mencoba meraih singgasananya di puncak langit. Tanah Romawi pun dibanjiri sinar sang surya yang menyeruakkan kehangatan. Meskipun tak cukup hangat untuk mendekap seorang gadis di sudut penjara, sinar itu menyaksikan senyuman beberapa orang merekah di bawah atap kediaman Augustus. Entah kedamaian itu berencana singgah untuk sementara atau justru selamanya, tak seorang pun tahu. Setidaknya hari yang hampir digerogoti pertukaran suku kata berdarah dapat diselamatkan oleh sang pencipta Pax Romana.
Surya kini telah menduduki singgasananya. Tepat di atas kepala, ia menyaksikan seorang gadis berpangku tangan di sepanjang pagar. Angin bertiup menarikan anak-anak rambutnya begitu pula dedaunan yang mencoba menarik perhatian. Namun, tak ada apa pun di dalam netra yang mencerminkan pemandangan kota Roma. Meski pikiran jauh berkelana entah ke mana. Begitulah tenang Roma siang hari ini. Persis seperti hari-hari sebelum Caesarion tiba di sini.
Lima tahun silam, beberapa ratus meter menuju Pelabuhan Berenice. Panas terik menyulut keringat luruh di seluruh tubuh yang beradu dengan pasir. Tak ada kesadaran. Itu hilang entah bagaimana. Meski netra seperempat terbuka menantang sinar sang surya di singgasana, daksa tak kuasa digeser meski sedikit saja. Goresan luka memuntahkan darah menodai pasir sebagai alas berbaringnya. Sungguh tak ada yang menyenangkan dari hal itu selain aroma setiap luka yang menusuk indra penciumannya. Hanya dengan demikian ia tahu bahwa dirinya masih bernyawa. Sebab apabila seseorang menusuknya dengan jarum sekalipun, rasa sakit enggan membangunkannya. Mungkin jiwanya mengira ada di limbo, tapi langkah unta menarik perhatian pemiliknya untuk mendekat. Sekiranya ia bertanya-tanya mengapa si unta bersedia berjalan ke arah yang tak seharusnya ia datangi. Namun, ketika tungkainya mendekat, bola mata itu pun mel
Uap air saling berpelukan siang hari itu membentuk gumpalan awan guna mencegah intipan sang surya di singgasana. Hari itulah ketika Caesarion diperkenalkan kepada seorang pria paling kaya di Aswan. Dengan puluhan atau bahkan ratusan unta di balik dinding kediaman, belasan wanita berpakaian menantang netra para pria, dan pakaian mahal layaknya petinggi kerajaan, ia begitu bangga ketika berkata, "Aden, Nak. Itu namaku dan jangan pernah kau lupakan, mengerti?"Tarikan sudut bibir yang ditampakkan dibumbui keangkuhan. Caesarion tak bisa berpura-pura tak menyadari itu. Tapi bagaimanapun kesan pertama pria ini yang diberikan padanya atas nama harta, Caesarion tak tertarik. Hanya perlakuanlah yang ia harapkan tak terlalu kurang ajar sebab bukan sekali Caesarion melihat luka pecutan tertinggal di punggung beberapa pria. Itu menyalakan lampu merah dalam dirinya.Masih dengan tarikan sudut bibir yang sama, ia bertanya, "Siapa namamu tadi?""Caesarion," jawabnya tak terden
Baik sang surya maupun rembulan di cakrawala mulai merasa bosan apabila mereka mengintip Aswan dari singgasana. Sebab hanya ada satu pemandangan yang tak bersedia digantikan waktu meski luka semakin menghiasi tubuh; berlatihnya Caesarion untuk menjadi seorang gladiator. Meski awalnya pemuda itu menolak dan merasa tak dihormati, detik berikutnya pertimbangan soal tawaran itu segera dikesampingkan. Melihat sisi baiknya, apabila ia semakin hebat dalam ilmu bela diri, maka semakin mudah pula Mesir digenggamnya. Kira-kira begitulah asumsinya. Persis seperti saat ini ketika sepasang lengan bertemu untuk menghalau serangan. Kuda-kuda diperkuat di atas tanah berpasir hingga beberapa jemarinya berjinjit penuh kekesalan. Satu tinju hampir mendarat tepat di sisi wajahnya seperti kemarin, tetapi hari ini tangan Caesarion lebih cepat membelokkan arah tinju itu. Disusul dengan tinju yang cukup cepat Caesarion ciptakan untuk membalas, tindakannya tak mampu memberikan kemenangan sebab si la
Menyelesaikan latihan dan menjadi gladiator pemula yang luar biasa dalam waktu tiga hari bahkan tak pernah terjadi dalam mimpi Caesarion. Namun, kenyataan tak mampu disanggah meski hanya sesaat. Bahkan detik pun tak bersedia berhenti bergulir meski sekejap saja. Isi kepala dihantui kematian seketika dan hati sukar berhenti bicara. Seluruh tubuh pun berakhir diterjang keringat yang diadu dengan pasir-pasir setiap kali ia terjatuh."Belum cukup," gumamnya seraya mengusap sudut bibir dengan punggung tangan. Sungguh, itu tak membantu. Sudut bibirnya ternodai pasir sementara punggung tangan itu disinggahi pasir serupa. Namun, adakah waktu bagi Caesarion memikirkan hal semacam itu? Yang otaknya perintahkan bukanlah untuk berpikir secara rasional, melainkan terus bangkit, menghindar, menyerang, dan memenangkan pertandingan.Latihan bersama Femi dalam tiga hari terakhir ini pun terasa sia-sia sebab si pengajar mampu melihat pergerakan yang melambat lebih dari sebelumnya. Apabi
Sorakan Caesarion menarik sepasang sudut bibir Femi secara alami. Namun, tidak keduanya tertarik dalam ketinggian yang sama, melainkan sudut kiri bibir yang tertarik lebih tinggi. Femi menyeringai, itu benar. Namun, untuk apa? Ketika kata-kata tak lagi tertumpah dari bibir para penonton, atas dasar apa Femi menyeringai jikalau kaki saja tak dihentakkan meski sekali saja. Apakah ini sesuai dengan rencana? Tunggu, apakah Femi terlihat berdiri di arena gladiator dengan rencana dalam kepala?Amun, pemuda yang rumornya berusia enam belas tahun itu masih belum mampu memasang ekspresi untuk menjelaskan maksud dari tindakannya kali ini. Tak pantas untuk disebut tindakan, ini lebih merujuk pada pilihan yang menumbuhkan sekian tanda tanya di kepala para penonton termasuk tuan mereka. Bibir yang menganga itu bahkan tak mampu mencurahkan isi hati begitu sepasang netra menatap dua gladiator ini hanya berdiri saling tatap dengan kuda-kuda sempurna.Meski demikian, ada sesuatu yang t
Kekalahan Aden pada putaran pertama akibat kesalahan Femi bukanlah hal sepele yang tak layak disesali. Kepergian pria itu pula yang kini diseret secara paksa menuju sisi Biron tak dapat dihindari dan sudut netra hanya mampu membiarkan dia pergi. Terik sang surya terpancar dari singgasana di atas sana. Ia menyaksikan pertempuran lainnya di siang bolong selagi mencubiti kulit penghuni arena gladiator.Untuk saat ini Caesarion masih selamat. Namun, bukan berarti semua orang lupa akan kehadirannya. Memangnya siapa yang tak merasa antusias begitu mendengar mantan panglima kepercayaan Cleopatra berada di tengah-tengah mereka? Bahkan pemuda itu adalah bagian dari para gladiator yang akan bertarung. Meski kulit mereka sendiri tengah bertarung dengan sengatan sang surya sekarang, tampaknya tak ada yang lebih mengganggu ketimbang menanti nama Caesarion disebut agar ia bisa segera menunjukkan kemampuannya."Hei, dengar," ucap Aden yang tiba-tiba saja ada di sisinya. Caesarion tak
Embusan angin siang hari itu tak mampu menerbangkan percakapan yang telah berakhir beberapa menit silam. Meskipun dedaunan bersedia bergandengan dengan dewan angin, kata tetap bergelantung di dalam kepala Fioretta menanti gadis itu membuat kesimpulan untuk dilaporkan kepada Augustus. Namun, keheningan itu rasanya tak nyaman ketika atensi Fioretta dilempar pada semak-semak berbunga sementara Caesarion memasang senyuman di wajah. Hal itu pun membuat Fioretta menggenggam lengan pagar lebih kuat. "Lalu, Caesarion," pria itu memutar leher bersamaan dengan Fioretta yang membagi atensi padanya, "apakah kau membunuh Aden atau pria lainnya?" Ia terkekeh dalam gelengan, tapi hal itu tak mampu dipertahankan manakala kepala tiba-tiba saja tertunduk karena nostalgia. "Pasukan Romawi datang beberapa saat setelahnya. Mereka menangkap semua orang di arena gladiator tetapi aku berhasil melarikan diri bersama Amun." Barulah sekarang kepala kembali diangkat untuk menatap Fioretta. "Ya,