Entangled with Ex-husband's Uncle

Entangled with Ex-husband's Uncle

last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-28
Oleh:  Ayrene N.Ongoing
Bahasa: English
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
15Bab
896Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Sinopsis

Broken into half by the sudden news of her arranged marriage being fake. Eva Adams is slapped by the hard reality of her cousin being her husband's mistress. Hurt and torn, she falls into the temptations of fate. A night of getting into the wrong room brings forth a whole new experience in her life. Determined to run away and leave everything behind, she doesn't know that destiny has its own plans. What will happen when she crosses paths again with the strange man from the night? How will she cope with being caught in between her past and the uncertain future? Ronald Foxx, the youngest son of the Foxx Empire, is determined to take back everything that was taken from him. He takes the tough decision to visit his ambitious elder brother's mansion for what he's owed. He crosses paths with a strange but intriguing woman who later disappears from his life after that one night. What will he do after destiny gives them a second chance, yet she's entangled with the same family he wants to get his revenge from?

Lihat lebih banyak

Bab 1

No word to say...

Sejak meninggalkan puncak tempat aku dibesarkan, dunia yang ramai selalu terasa bising. Hari itu, panas terik berganti udara lembap setelah hujan singkat, dan aku berdiri di tepi jalan kota yang macet, menunggu taksi yang tidak kunjung datang. Keringat menetes pelan dari pelipisku saat aku memandangi gedung-gedung tinggi yang seolah mengejek kesabaranku.

Aku kembali dari medan perang dengan satu tujuan: bertemu Guru dan menggugat semua kebohongan yang ia tabur selama lima tahun terakhir. Namun ketika tiba, yang kutemukan hanyalah pondok kosong dan sepucuk surat lusuh.

Isinya singkat dan sangat menjengkelkan.

Guru mengaku telah memberikan liontin giok - satu-satunya petunjuk tentang asal usulku - kepada sebuah keluarga kaya di Havenport sebagai… mahar pertunangan masa kecilku. Ia bahkan dengan santai menulis bahwa calon tunanganku adalah seorang wanita luar biasa cantik dan sukses, jadi aku seharusnya bersyukur.

Bagian yang paling membuat darahku mendidih adalah pengakuannya bahwa semua gajiku selama aku “dibohongi” menjadi tenaga medis perang Shadow Strike sudah ia simpan “untuk masa depanku”. Lima tahun penuh. Dan aku tidak pernah melihat sepeser pun.

Kalau bukan karena usiaku sudah lewat untuk dianggap murid durhaka, mungkin aku sudah meledakkan pondok itu.

“Aku dibesarkan dengan susah payah, katanya,” gumamku kesal. “Bahkan pakaian dalamnya pun aku yang mencucikan.”

Aku menarik napas panjang, mencoba mengusir kekesalan. Jalan raya siang itu padat - klakson bersahutan, seorang bapak-bapak berjualan es teh di pinggir trotoar, dan orang-orang menatap layar ponsel sambil berjalan.

Tiba-tiba, dari belakangku terdengar suara seorang wanita naik nada.

“Sudahlah, Ayah! Aku sudah bilang aku punya pacar. Iya, aku dengar. Tetapi aku tidak bisa menikah sendirian begitu saja. Tolong jangan bahas ini lagi!”

Aku menoleh sekilas. Wanita itu berjalan cepat sambil memegang ponselnya - langkahnya tergesa, wajahnya terlihat kesal. Rambut panjang berwarna merah anggur tergerai di bahunya, bergoyang mengikuti gerak kaki. Gaun tipis yang ia kenakan tampak tidak cocok untuk suasana jalan yang padat.

Ia melangkah ke tepi zebra cross tanpa benar-benar memperhatikan kiri-kanan.

Dan pada saat bersamaan, sebuah truk besar membelok dari tikungan dengan kecepatan yang sama sekali tidak masuk akal.

Refleks mengambil alih tubuhku.

Aku menarik lengannya kuat-kuat. Wanita itu terhuyung dan hampir jatuh ke atap dadaku ketika truk itu melintas dengan suara angin yang menggetarkan jantung.

WHOOSH!

Sang pengemudi bahkan tidak melambat.

“Gila…” gumam wanita itu, wajahnya memucat.

Aku baru hendak melepaskan tangannya ketika menyadari sesuatu. Tarikan tadi membuat salah satu tali gaunnya terlepas dan melorot hingga memperlihatkan lebih banyak kulit dari yang pantas untuk di lihat pada siang hari.

“Maaf,” kataku cepat sambil menutup pandangan dan mengangkat tanganku setinggi telinga. “Aku tidak bermaksud...”

Wanita itu spontan memegang bagian atas gaunnya, wajahnya merah padam.

“Aku benar-benar tidak sengaja…” ulangku.

Setelah memastikan pakaiannya aman, dia menarik napas panjang, lalu menatapku seolah menilai apakah aku penjahat atau penyelamat.

Aku memilih mundur satu langkah, hendak pergi.

Namun suara langkah hak tinggi mengejar dari belakang.

“Hey! Berhenti.”

Aku menoleh. Wanita itu telah kembali tenang dan kini berdiri di hadapanku dengan ekspresi dingin bercampur kesal.

“Kau bukan orang sini, kan?” tanyanya.

“Kelihatan sekali, ya?” jawabku singkat.

Dia tidak membahas soal gaunnya lagi. Justru ia menatapku dari atas sampai bawah, seolah menilai kualitas barang di etalase.

“Kau lumayan menarik,” ujarnya datar. “Dan karena kau sudah menyelamatkan hidupku, bantu aku sebentar. Aku akan bayar.”

Aku terdiam.

“Apa maksudmu?”

“Berpura-puralah jadi pacarku selama dua jam. Ada kunjungan keluarga, aku butuh seseorang.”

Aku menggeleng. “Maaf, tidak tertarik.”

“Sepuluh ribu.”

Aku tidak bergeming.

Dia menyipitkan mata. “Lima puluh ribu.”

Aku terdiam sejenak karena nominal itu jelas bukan uang kecil. Tetapi aku tetap menggeleng.

“Ini bukan soal uang. Aku ada urusan...”

“Kau melihat tubuhku,” potongnya tanpa malu-malu.

Aku langsung menunduk, kelabakan. “Itu kecelakaan! Kau hampir mati, aku hanya...”

“Tidak peduli. Kau hutangi aku malu. Jadi kau ikut denganku, atau aku teriak bahwa kau melakukan pelecehan.”

Aku menatapnya tidak percaya. “Apa ini cara baru membalas budi?”

“Anggap saja begitu,” katanya enteng.

Aku akhirnya mendesah panjang. “Baik. Tapi uangnya harus diberikan dulu.”

Dia mengeluarkan ponsel, memintaku menyebutkan nomor rekening, dan kurang dari satu menit kemudian ponselku berbunyi menandakan saldo bertambah lima puluh ribu.

Wanita itu tersenyum tipis. “Nama?”

“Marcus Reed.”

“Baik, Marcus,” ujarnya sambil melangkah pergi, memaksaku mengikutinya. “Mulai sekarang, kau seorang eksekutif perusahaan impor-ekspor dari Bayfield. Ayahmu pemegang saham. Kita bertemu di Silvermont bulan Juni lalu. Kita dekat dan akhirnya jadian. Kau sedang dalam perjalanan bisnis dan menyempatkan mengunjungiku.”

Dia mengucapkannya lancar seperti membaca skrip drama.

Aku hanya mengangguk. “Jadi kita akan ke rumahmu?”

“Tidak. Rumah sakit.”

Ia membuka kunci mobil Porsche Macan merah yang mengilap.

“Kakekku dirawat di sana. Dia tidak pernah berhenti menekanku agar membawa pulang pacar. Kau hanya perlu tersenyum dan tidak banyak bicara. Sisanya biar aku yang urus.”

Aku masuk ke kursi penumpang dengan hati yang masih campur aduk.

Turun gunung mencari jawaban hidup ternyata justru menjerumuskan diriku ke pekerjaan sampingan sebagai… pacar kontrak dua jam.

Bukan awal yang kuprediksi untuk kehidupan baruku.

****

Begitu mesin mobil menyala, Victoria menatap jalan di depan dengan santai. “Kau kerja di sekitar area ini?”

Marcus yang duduk di kursi penumpang memasang sabuknya sambil menjawab seadanya, “Baru tiba. Ada beberapa urusan keluarga yang harus kuselesaikan.”

“Apa lagi itu?” Victoria mengerutkan kening, penasaran.

“Keluargaku sudah menjodohkanku. Aku ke kota ini untuk melihat calon pengantin yang katanya sudah dipilih.”

Victoria memutar kepala, menatapnya dari ujung mata. “Kau bahkan belum pernah bertemu orangnya?”

Marcus menggeleng. “Katanya wajahnya lumayan.”

Victoria mendengus pelan. “Zaman sekarang siapa sih yang tidak bisa kirim foto? Kalau keluargamu bahkan tidak memberimu satu pun, pasti ada sesuatu. Menurutku dia jelek, dan keluargamu takut kau kabur sebelum kesepakatan terjadi.”

Marcus mengerjap.

‘Apa jangan-jangan benar?’

Urusan uang masih bisa dipertimbangkan, tapi urusan seumur hidup bukan hal sembarangan. Namun ia datang bukan untuk memastikan pernikahan, melainkan untuk mencari cara mendapatkan kembali Liontin Giok itu.

“Aku lihat saja dulu. Kalau benar-benar tidak cocok, aku bisa pergi kapan saja.”

Victoria mendecak. “Tipikal laki-laki.”

Nada dering tiba-tiba memenuhi mobil. Nama penelepon muncul di layar digital.

Elise.

Victoria mengangkat jari ke bibir, memberi isyarat agar Marcus diam, lalu menekan tombol panggil. “Halo, Kak.”

Suara perempuan dengan nada jernih terdengar, “Aku dengar Kakek dirawat?”

“Iya. Aku sedang menuju ke sana.”

“Kirim alamatnya nanti. Aku akan mampir setelah rapat pemegang saham selesai.”

Victoria tersenyum tipis. “Bukankah kau sibuk sekali hari ini? Kalau terlalu padat, tidak perlu memaksakan diri. Ayah dan Mama sudah ada di sana.”

“Aku akan menyempatkan waktu. Kirimkan saja alamatnya.”

“Baik, Kak.”

Panggilan terputus.

Marcus berkomentar, “Kakakmu juga belum menikah? Pantas keluargamu cerewet.”

Victoria tertawa pendek. “Kakakku itu seperti burung Phoenix yang terbang tinggi. Cantik, cerdas, sukses, semua pria pasti minder. Jadi jangan harap sembarang orang bisa masuk ke hidupnya.”

“Dunia luas. Pasti ada pria hebat yang cocok dengannya.”

Victoria meliriknya. “Sudahlah. Yang jelas bukan orang sepertimu.”

Marcus terkekeh. “Aku juga lumayan hebat, tahu.”

“Kau? Percaya diri sekali.” Victoria menatapnya dengan sinis. “Untuk sekadar memegang sepatu Kakakku saja, kau belum tentu pantas. Mending urus saja tunanganmu yang tak berani menunjukkan wajahnya.”

Marcus tidak tersinggung, hanya tersenyum samar. Meski begitu, jauh di dalam pikirannya ia kembali bertanya-tanya apakah ucapan Gurunya tentang tunangannya yang cantik serta merupakan Presiden Perusahaan itu benar.

Mobil memasuki area Rumah Sakit Kota Havenport. Setelah parkir, mereka menuju bangsal VIP. Di dalamnya, seorang pria tua berambut putih terbaring lemah. Dialah Henry, kakek Victoria. Di dekat jendela berdiri ayah dan ibu Victoria, Richard dan Catherine.

Henry tersenyum ketika melihat mereka datang. “Victoria kecil sudah datang. Dan ini…?”

Victoria langsung menarik lengan Marcus dengan sikap manis yang agak berlebihan. “Kakek, ini pacarku, Marcus. Kebetulan dia ada di kota ini hari ini, jadi kubawa untuk menjenguk Kakek.”

“Pacar?”

Tatapan ketiga anggota keluarga itu langsung fokus pada Marcus, seolah sedang menilai kelayakannya dari ujung rambut hingga kaki.

Merasa diperiksa seisi ruangan, Marcus refleks menegakkan tubuh.

Henry tiba-tiba tersenyum lebar. “Kau pernah bertugas di militer?”

Marcus tertegun sesaat lalu mengangguk. “Benar, saya baru purna tugas. Pengamatan Anda tajam sekali.”

“Selama hidup, Kakek sudah melihat ribuan tentara. Cara berdiri, cara melihat, cara bernapas, semuanya berbeda. Kau bukan tentara yang buruk.”

Richard menyisir pandangan dari atas ke bawah pada Marcus, namun ekspresi jijiknya tidak ia sembunyikan. Dalam pikirannya: Kalau dia hebat, dia pasti bertahan dan naik pangkat. Kalau keluar muda-muda begini, jelas biasa saja.

Henry melanjutkan, “Apa pekerjaanmu setelah keluar?”

Marcus sedikit ragu. “Aku baru tiba. Belum sempat mencari pekerjaan.”

Ekspresi Richard mengeras. 'Menganggur pula.'

Victoria merasakan napasnya tercekat. 'Bukankah aku sudah memberi latar belakang palsu untukmu? Kenapa kau malah bicara sejujurnya?'

Ia melirik tajam - peringatan halus agar Marcus mengikuti ceritanya. Namun kini, semuanya sudah salah langkah.

Keluarga Blackwood melihat tatapan Victoria, namun masing-masing menafsirkannya berbeda.

Bagi Richard: Wajar kalau putriku malu. Pemuda miskin begini mana mungkin layak dikenalkan?

Henry justru tertawa pelan. “Jangan meremehkan orang yang sedang jatuh. Orang hebat pun memulai dari nol, termasuk Kakek dulu. Yang penting dia punya tekad dan karakter.”

Victoria hanya bisa tersenyum canggung. “Itulah alasanku khawatir Kakek tidak setuju.”

“Selama dia tulus dan bertanggung jawab, Kakek akan senang.” Henry menatap mereka lembut. “Kapan kalian menikah dan memberiku cicit? Kalau bisa cepat, Kakek bisa pergi dengan tenang.”

Victoria tersedak udara. “Kek, aku masih dua puluh empat tahun. Menikah bukan hal yang bisa diputuskan dalam semalam.”

Henry akan membalas, tetapi kata-katanya terputus. Wajahnya memerah tiba-tiba, napasnya memburu, seperti paru-parunya sedang berjuang keras mengambil udara.

Richard berteriak panik, “Dokter!”

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.

Tidak ada komentar
15 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status