Sudah terjatuh tertimpa tangga pula. Mungkin peribahasa itu cocok disandangkan padamu, Elgin. Setelah lima belas hari ibumu berpulang, ayahmu juga ikut kembali ke langit.Banyak tetangga yang mencibir, jikalau keluarga Zoidern terkena covid. Ya meksi, ayahmu sempat panas tinggi, Dokter Farhat tidak membenarkan itu adalah gejala covid 19.Penghujung tahun yang mengenaskan. Siapa yang dapat memperhitungkan kematian secara akurat? Tanda-tanda mungkin saja bisa disadari. Namun, apakah bisa ditentukan?Batu nisan yang ada di sana, kamu peluk erat seakan tak ingin lepas lagi. Mata yang paling indah di semesta tak kunjung berhenti mengeluarkan permata indahnya. Kamu terlihat sangat rapuh, ketika menangis.Payung-payung hitam yang ada di atas kepala, satu per satu mulai bepergian. Masker yang kita kenakan basah terkena derasnya musim hujan. Saat itu, hanya tersisa aku, kamu, dan Rossa. Gadis cantik di sampingku masih setia memayungimu. Ketulusannya berbahaya untuk hubungan kita. Aku akui, ra
"Kenapa!? Kenapa kamu jahat banget sama aku, El!? Kamu pembohong! Kamu bilang, kamu cinta sama aku. Tapi kenapa kamu ninggalin aku kayak gini!?" Aku menangis, menjerit keras, hingga lelah sendiri berteriak-teriak seperti orang gila.Sudah hampir sembilan bulan kamu, Elgin Zoidern, menghilang. Padahal tidak lama lagi, kita akan merayakan anniversary yang ke-tiga tahun. Ya, hubungan kita telah terjalin lama, tetapi rasa sayangku sudah melebihi kapasitas. Ibarat tangki, kurasa air yang ditampung sudah membanjiri dunia. Terlalu cinta itu memang tidak baik. Namun, aku masih saja melakukannya.Aku menceritakan keluh-kesahku tentang hubungan kita pada Wita—adikku. Ya, seperti yang kamu tahu, aku adalah seorang remaja yang memiliki sikap introvert. Bagiku, menyendiri adalah teman yang paling mengerti, di kala sunyi. Saat itu, adikku menyarankan agar, aku menabung untuk membeli tiket ke Palangkaraya—Kalimantan Tengah.Bukannya aku tidak mau berjuang, El. Kamu tahu, kan? Aku belum mempunyai pe
Sejak malam sial itu, insomniaku semakin menggila. Aku tidak bisa tidur nyenyak, setelah ayah bertengkar hebat dengan ibu. Di satu sisi, keluargaku sudah tidak punya uang, untuk membayar hutang bulanan. Sementara itu, menerima perjodohan adalah jalan menyakitkan, yang mau tak mau sepertinya harus kutempuh.Jujur, hatiku sebenarnya masih berharap kamu kembali. Aku tidak ingin membangun mimpi dengan orang baru. Ketika keluargaku membutuhkan banyak uang, kala itulah, ia datang dengan segudang kekayaan. Siapa yang tidak tergiur dengan harta melimpah? Semua orang butuh uang, bukan?"Bu, Keyra izin keluar sebentar, ya?" ucapku meminta pada wanita paruh baya, yang sibuk mencuci piring, di wastafel."Jangan lama-lama, ya, Nak!? Di luar sana banyak orang asing, Ibu takut kamu kenapa-kenapa," seru ibu tanpa menoleh ke arahku.Aku berdandan rapi. Rambut cokelat panjang, kugerai ke belakang. Di ujung rambutku dibuat gelombang bak ombak kecil, di tepian pantai. Pagi itu, sengaja tak kupakai make u
Nomor WhatsAppku telah diblokir oleh Kak Irene. Entah apa alasannya. Pesan terakhirnya begitu menyayat hati kecilku. Apakah hubungan kita sebenarnya tidak direstui keluargamu, Elgin? Di sana, kakakmu menuliskan,"Lupakan dia. Akan jauh lebih baik, kalau kamu sama Elgin nggak sama-sama. Mamah setuju banget sama Rossa. Kakak rasa, El bakal nikah sama Si Rossa. Bukannya kenapa, Dek. Kakak juga nggak mau kamu tersiksa lagi ke depannya. Menikahlah dengan pria lain, yang jelas bukan adikku."Sebenarnya, kamu bener-benar menginginkan atau hanya mempermainkan? Jangan membohongi hati yang tulus, Elgin! Aku tidak suka permainan, dan membenci setiap kalimat palsu. Tidak usah berucap janji, jika hanya ada kehampaan setelahnya. Hubungan kita bukan sehari atau dua hari. Lama. Aku menghabiskan banyak waktu, untuk menjadi satu-satunya di hatimu.Aku sepertinya memang harus melupakan semuanya. Menjalani hidup tanpa senyuman lagi, mungkin sudah takdirku begitu. Usahaku mencari uang untuk tiket pesawat
Gaun putih berkilau yang sangat indah kukenakan dengan wajah murung. Desainnya terlihat rapi, tidak cacat sedikit pun. Aku tampak sangat cantik, di pantulan bayangan cermin. Beda sekali rasanya, ketika seorang desainer merancangkan sebuah gaun pernikahan untuk orang kaya. Telingaku memanas, dan sudah muak dengan pujian dari Nyonya Mira—desainer terkenal khusus bagian pakaian pernikahan."Neng, calon suamimu itu gantengnya kelewatan, tahu! Harusnya kamu ngerasa beruntung, karena udah bisa dapetin hatinya Si Dean. Jarang-jarang loh, ada orang kaya yang mau sama orang berada." Di balik pujiannya, wanita pirang itu memberikan ejekan yang begitu menyakitkan. Tajamnya lisannya, berhasil mencabik-cabik kalbuku. Karena kelelahan, aku memutuskan untuk duduk sebentar, di kursi yang telah disediakan. Aku menopang dagu sambil membuka ponsel. Tidak ada notifikasi favorit lagi, yang menghiasi layar depan. Tanpa keberadaanmu, aku merasakan sepi yang paling tidak nyaman. Kubiarkan saja Nyonya Mira
Aku tidak diperbolehkan naik ojek lagi oleh Ganta. Si Posesif itu melarang banyak hal, dan membatasi ruang gerakku untuk bebas. Seorang supir dan seorang wanita muda telah menunggu, di depan teras rumahku. Aku bersiap pagi-pagi sekali untuk melakukan perjalanan, dari Desa Simpang ke Kota Martapura.Bu Ningsih–tetanggaku yang suka ikut campur urusan orang, sedang menyapu halaman depan rumahnya. Dia memperhatikan pergerakanku layaknya seorang spy profesional. Aku risih dilihat-lihat olehnya. Wanita pirang berdaster itu memberikanku senyuman palsu. Karena tidak enak jika tak membalas, aku pun tersenyum balik padanya. Ya, tentu saja, senyum terpaksa pula."Buk, nanti matanya jatoh, loh!" seruku sambil menahan tawa. Niat untuk membuatnya berhenti melototiku, aku malah kena apesnya."Mentang-mentang jadi sama orang kaya, udah belagu aja tingkahnya, ya, Jeng?" Bu Ningsih menyenggol bahu Bu Rahma, yang baru datang mengunjungi rumahnya. Mereka berdua memang sering menunggu tukang sayur lewat
Beberapa hari belakangan, Ganta semakin disibukkan dengan urusan internal perusahaannya. Aku merasa sedikit lega, lantaran dia tidak terus berkunjung ke rumah. Aku risih. Ternyata ada lelaki yang nekad menempuh jarak satu jam, hanya untuk menemui sang kekasih. Terlihat sederhana, tetapi menurutku itu berlebihan, karena dalam sehari, Ganta bisa datang bolak-balik sebanyak tiga kali–pagi, siang, dan malam. Rumah Ganta ada di Kota Martapura. Sedangkan, tempat tinggalku ada di Desa Simpang Tiga.Berita tentang pernikahan kami sudah tersebar ke mana-mana. Tetangga sebelah rumah heboh, karena aku mendapatkan calon suami yang kaya-raya. Mereka mungkin berasumsi, aku menggunakan ilmu pelet untuk menggaet seorang Ganta. Padahal dalam kenyataannya, aku sendiri saja tidak tahu, dari mana dia mengenalku. Seingatku, dia bersama ayahnya–Tuan Ergar, tiba-tiba datang ke rumah, dan melamar di malam hujan rintik itu. Saat rembulan tertutup awan hitam, aku baru selesai mencuci piring-piring kotor. Seba
"A aku di mana?" tanyaku sambil memijat dahi, yang masih terasa sedikit nyeri. Pandangan kuarahkan ke sekitar, hanya terlihat dinding putih, dan juga langit-langit yang mempunyai warna yang sama. Mataku perlahan fokus pada seseorang, yang menatapku dengan sorot khawatir."Anda sedang berada di rumah sakit, Nona," jawab Selly yang duduk di samping kananku."Apa yang telah terjadi padaku?" Aku mencoba bangkit, tetapi tubuhku masih terasa lemah. Otomatis, aku pun tak bisa berbuat apa apa. Hanya bisa berbaring.Ganta mengatakan kejujuran yang begitu pahit, "Aku nggak sengaja mendorongmu hingga mengenai kayu, di ujung sofa."Pantas saja, jika aku ada di rumah sakit, ternyata pria itu yang menjadi alasannya. Tak pernah kusangka, dia akan bermain tangan, dan berlaku kasar layaknya ayahku. Kupikir, dia sangat berbeda denganmu, Elgin. Namun nyatanya, lelaki di dunia ini sama saja. Jika ada yang bilang berbeda, mungkin ia hanya beda dalam cara menyakiti.Aku tidak lagi menjawab, ataupun bertany