Share

Bab 2

"Mau mati kok takut?,"

Langkah tegas ku mendekati gadis pirang yang ragu untuk melompat di tepi dermaga. "Ken kamu ngapain ke sini?,"tanya Nacita tampak terkejut dengan kehadiran ku. "Mau mati?,"tanyaku berdiri menatap ombak yang menghempas kuat dermaga.

Miris. Beberapa saat lalu mata ku di suguhkan romansa masa muda. Hanya dalam sekejap hanya wajah putus asa yang tersisa. "Kencana kamu ngga akan pernah tau. Ilham itu orang paling ku sayang dan ku percaya. Kamu ngga tau kan gimana peduli nya dia selama ini? Tiba-tiba dia berubah begitu aja,"ucap Nacita bercucuran air mata.

"Aku belum pernah mencoba bunuh diri di sini. Kemungkinan tengkorak mu bisa langsung retak. Tapi kalo kamu terjun secara vertikal, mungkin tulang mu lebih dulu patah terkena batu pemecah ombak. Kulit mu perlahan tergores batu karang. Darah yang tercecer dengan bagian tubuh terpencar ditambah air laut yang asin.

Kemungkinan kamu mati sangat kecil, apalagi banyak orang yang bisa saja melintas. Yang ada kamu hanya menahan pedih saja. Atau bisa juga kalo misalnya ada buaya air asin melintas. Hmn aku tidak mau tersiksa dan kepastian mati yang terlalu banyak sih,"ucapku menyisir pelan rambut yang tertiup angin.

"Ih Ken kok kamu malah dukung aku bunuh diri sih. Kamu juga kenapa ngga pukul aja Ilham atau apa gitu?,"tanya Nacita persis seperti anak kecil telat di jemput pulang. "Kamu tuh coba ngerti Ken. Ilham tuh selalu ada dalam kondisi apapun. Terus sekarang dia hilang gitu aja,"ucap Nacita mengusap wajahnya frustasi.

"Kamu sholat kan. Bukan setiap kamu sholat dan mengaji meminta pada Tuhan? Apa itu tidak cukup? Dia juga selalu ada kan,"ucapku terdengar religius padahal kaki ku saja hanya saat di rumah atau lebaran menginjak masjid. "Apa kau benar-benar bosan hidup? Lompat lah. Jika kau lekas tiada aku bisa dengan senang hati terjun,"ucapku melihat sapuan kencang ombak.

"Sudah cukup. Salah bertanya aku. Bisanya bertanya sama pakar uji coba bunuh diri. Nggak nggak. Aku nggak mau mati muda dan menyakitkan begitu,"ucap Nacita membungkam bibir ku. Gadis ini hanya terguncang saja bukan sepenuhnya ingin melompat. Tapi hanya karena percintaan terlalu mahal untuk melompat.

"Eh masih di sini ternyata,"Suara sumbang tak asing menyapu indra pendengaran ku. Daripada suaranya lebih merdu suara burung nasar. Beberapa saat lalu baru melepas satu kekasih, dirinya sudah membawa kekasih baru. Apa selain brengsek dia buta?

Wanita dengan rambut pirang 3 warna, baju nyaris semua terbuka, alis yang tinggi sebelah, blush on kelewat merah, warna bibir merah mengkil

Cukup. Aku tidak mau body shaming dan memberatkan otak ku. Sungguh ini pasangan apa pantas di anggap sebagai manusia? "Oh ini mantan yang kamu bilang ngga bisa ngapa ngapain terus punya temen cewek gila?,"tanya wanita aneh itu menunjuk Nacita. "Oh ternyata begini yang kamu maksud Kak? Lebih cantik ya dari aku?,"cibir Nacita. Ck haruskah dia meladeni.

Seperti ini terdengar seperti Ilham bak pria idaman semua wanita. Nyatanya jauh lebih rendah dari bangkai. "Vodka nya sudah habis berapa botol? Kamar Melati losmen sudah penuh ya? Jadi gimana? Striptis nya laku ya? Apa perbincangan romantis seperti itu?,"tanyaku mempersingkat waktu.

Sepertinya sekarang pun, Natasha makin lemas begitu tau putri tunggal nya tidak kunjung pulang. "Vodka? Striptis? Losmen?,"tanya Nacita membungkam bibir nya menatap kedua makhluk ababil tak tau diri. Gadis pirang itu terlalu polos dan muda dalam berpikir.

"Iya kenapa? Dia lebih paham daripada kamu. Baru di sentuh aja sudah deg degan apalagi yang lain?,"ucap Ilham membuat sebuah tangan melayang bebas. "Kamu ngga jijik dengan sampah Cit?,"tanyaku berlalu dengan santai tanpa peduli. "Oh iya lupa Ken. Gimana ya jadi perempuan berkelas ngga sebanding dengan mu ra han,"ucap Nacita terdengar melangkah mengikuti langkah jenjang ku.

"APAAN DASAR CABE CABEAN. NGGA WARAS!?,"

Tanpa berusaha membalas, sudut bibir ku sedikit terangkat. "Jeruk kok bilang jeruk,"ucap Nacita sebal tanpa ada lagi air mata yang menitik. "Capek salah jodoh terus?,"tanyaku di anggukinya pasrah. Terkadang aku juga bingung dengan gadis pirang itu. Apa motivasi gadis itu selama pendidikan hanya untuk mencari kekasih saja?

Dari SMP sampai kuliah selalu saja ada kekasih yang menemani nya. Dan semua itu selalu berakhir dengan toxic relationship. "Kapan coba ada orang yang tepat buat ku?,"tanya Nacita membuat sebuah ide cemerlang terbit. "Bunda mau menawarkan lamaran bagus dari rekan Ayah,"ucapku.

"Lagi-lagi. Kamu aja deh yang temui,"ucap Nacita. "Daripada salah pilih?,"tanyaku. "Akh tapi aku bosan Ken. Kamu ngga tau betapa bosannya hidup di dunia yang sama,"ucap Nacita sebal. "Daripada bosan hidup?,"ucapku ringan.

-^-

Bunyi teko panas yang tengah memanasi air tidak kalah ribut dengan suara perbincangan di ruang tamu. "Kan Bunda sudah bilang dia bukan pria baik Cit,"ucap Natasya memberikan gambaran. Sementara gadis pirang itu hanya menunduk dalam.

"Iya Bun. Nacita nggak ulangi lagi kok,"ucap Nacita terdengar serius. Tunggu saja dua minggu kemudian pasti sudah ada lagi kekasih barunya. Sungguh anak itu. Apa sesusah itu hidup sendiri? "Mending ikuti pilihan Bunda aja deh. Ada perwira muda nggak kalah ganteng kok daripada masyarakat sipil.

Orangnya sudah dari sejak kecil Bunda sama Ayah kenal. Apalagi keluarga nya Bunda kenal,"ucap Natasya memulai lagi strategi marketing nya. "Bun. Kencana aja. Kan Kencana lebih tua dari Nacita Bun. Kasihan ku lihat Kencana selalu sendiri tanpa pasangan kemana mana,"ucap Nacita sangat di luar logika.

"Tidak perlu,"ucapku. "Apanya yang ngga ada. Kencana aja Bun. Sekali kali. Masa Nacita terus,"ucap Nacita merengek. "Ah iya. Kencana juga sepertinya cocok kalo dengan Adhikara. Bagus bagus. Tapi Bunda punya dua calon dan dua duanya sudah cocok untuk kalian,"ucap Natasya.

"Sepertinya saya mau ke kamar mandi dulu Bun,"ucapku jelas tidak ada pilihan. Tapi sangat tidak mungkin wajah kecewa seorang wanita yang sudah sangat berjasa seperti Natasya tercipta karena ku. "Akh alasan aja Kencana ini Bun. Ehm request boleh nggak Bun? Jangan yang kaku coba? Yang keren gitu. Bukan kayak siap kan pasukan.

Bukan keren kalo itu mah. Malah jadi ilfeel,"ucap Nacita panjang lebar menahan lengan ku. "Bunda juga tau loh selera anak muda kayak kalian. Percaya sama Bunda ngga ngecewakan. Mau ya?,"tanya Natasya. "Aku ikut Kencana Bun. Kencana kan lebih tua,"ucap Nacita mengeratkan genggaman pada lengan ku.

"Iya Bun nanti Kencana datang,"ucap ku begitu menerima tatapan begitu penuh keyakinan dari Natasya. "Nah gitu dong. Bentar Bunda kabari dulu mereka ya,"ucap Natasya sumringah berlalu masuk. "Ken kamu serius?,"tanya Nacita. "Aku hanya punya kamu dan keluarga mu yang masih menganggap ku manusia. Apa bisa ku kecewa kan?

Apalagi seorang Ibu?,"tanyaku sembari berlalu keluar menghirup udara segar di teras. "Non, mau bakso?,"sapa pria bertubuh atletis. "Makasih,"ucapku menyandarkan kepala pada bahu kursi tunggu. "Non nggak jalan?,"tanya Arsen sembari menikmati makanan favorit nya. "Sudah,"ucapku. "Bukan jalan dari dalam ke luar kost loh ya. Tadi waktu jalan banyak yang wara wiri bawa pacar.

Mumpung malam minggu Non,"ucap Arsen. "Para hamba cinta Pak. Lagian harusnya saya yang bertanya. Bapak sudah mapan kenapa belum menikah? Kapan izin menikah?,"tanyaku. "Duh beda Non. Kalo saya menikah harus benar-benar cari yang memang siap di ajak berumah tangga. Bukan yang mau main-main,"ucap Arsen.

"Kenapa memangnya kalo main-main. Cari istri kan? Bukan asisten rumah tangga?,"tanyaku. "Iya istri. Bukan maksudnya saya suruh suruh. Yang bener-bener mau di ajak ke rumah di kenalkan dengan orang tua dan menerima memang saya bukan dari orang kaya,"ucap Arsen.

"Tapi banyak tuh yang datang ke rumah tiap libur hanya mengurus pengajuan nikah,"ucapku mengingat ingat. "Beda itu Non. Kebanyakan perwira dan mereka juga lebih mapan dari saya,"ucap Arsen. "Jangan jadikan harta dan materil sebagai standar. Yang ada rumah tangga mu di isi dengan suami yang sibuk bekerja.

Istri yang tak henti mengejar pekerjaan juga harus siap di rumah untuk suami dan buah hati. Juga anak yang terlantar akibat kurang kasih sayang keduanya. Pertengkaran akibat rasa lelah dari bekerja jadi makanan pokok buah hati mu. Aku hanya memberi saran. Jangan di ikuti karena kamu juga tau aku hanya berbicara,"ucapku.

Iya membicarakan apa yang pernah ku alami semasa kecil. Keluarga yang sangat berantakan padahal harta tak perlu di kira. "Ya ngga begitu lah Non. Saya malah lebih baik istri saya di rumah saja. Melakukan apa saja hobi nya. Tapi saya kagum dengan pemikiran Anda tentang kehidupan pernikahan Non,"ucap Arsen.

"Lupakan aku hanya melantur,"ucapku memalingkan wajah ku. "Non Kencana pasti ngga nyesel kalo sudah ketemu dengan Danton Adhikara,"ucap Arsen membuatku menghela nafas berat. "Cukup aku tidak mau mendengar apapun tentang hal berbau ke arah topik yang kamu bawa,"ucapku sebelum Arsen membuka bibir nya.

"Ya sudah Non. Begini saja mau dengar cerita saya habis tugas kemarin?,"tanya Arsen membuatku menaikkan sebelah alis ku. "Tidak perlu,"ucapku singkat. "Sudah malam. Selamat malam,"ucap ku melanjutkan kalimat ku yang tertunda sembari masuk ke dalam rumah. Apa pentingnya membahas kegiatan tugas nya?

"Ken kamu harus tanggung jawab pokoknya. Gimana nih cara kabur nya? Aku ngga mau Ken,"ucap Nacita merangsek ke atas ranjang. "Harus kabur?,"tanyaku bergabung. "Beda Ken. Aku tuh ngga cocok dengan orang yang terlalu kaku,"ucap Nacita masih saja beralasan."Tapi ngga brengsek seperti Ilham,"ucapku membuat bibirnya terkatup rapat.

Apa sesusah itu melupakan sosok pria brengsek yang bahkan tidak bisa dianggap sebagai pria? Belum saja Nacita menyanggah kembali kalimat yang ku ucapkan, bunyi ketukan halus dari balok kaya tipis di belakang ku.

"Kencana sini sayang. Bunda mau cerita sesuatu nih,"panggil Natasya lembut. Pasti tentang kisah pria yang baik hati berkedok sesuatu. Apa se penting itu menemukan pasangan? Pria hanya akan begitu jika matanya belum terkena wajah wanita lain. Atau dirinya masih di mabuk cinta.

Ujungnya yang disalahkan pihak perempuan. Seperti tidak bisa memenuhi keinginan dan kebutuhan. Apa harus jadi bodoh saat menjadi istri? Pria dewasa kan yang di nikahi. Bukan bayi yang harus di urus. Bayi saja masih tau siapa yang mengurus. Beberapa tahun pasti sudah tercium bau bau pertengkaran.

"Lihat. Ini yang namanya Adhikara. Gimana ganteng nggak pilihan Bunda,"ucap Natasya menunjukkan foto pria dengan seragam biru. "Itu calon yang mau dikenalkan ke Kencana Bun?,"tanya Nacita. "Iya dong,"ucap Natasya begitu bangga. "Akh mau juga yang begitu.

Yang mau Bunda kenalin ke Nacita bukan anak culun kan Bun,"ucap Nacita berubah 180 derajat dengan beberapa saat lalu. "Ya nggak lah. Gimana Kencana sayang. Suka dengan yang Bunda pilihkan? Atau ada yang mau kamu tanyakan? Nomor telfon nya mungkin,"ucap Natasya sangat bersemangat.

"Bun kalo ini mah Kencana juga mau,"ucap Nacita. "Gimana Nacita? Mau Bunda catat kan pertanyaan buat Adhikara?,"tanya Natasya. "Tidak perlu. Terimakasih Bun sudah banyak berjasa untuk saya,"ucapku menarik senyum kecil sebelum beranjak pergi. "Loh kenapa sayang? Ngga suka ya dengan pilihan Bunda?,"tanya Natasya ku gelengkan pelan.

"Tidak. Saya sangat menyukai. Hanya saja saya selalu membenci keberadaan makhluk jenis itu, yang terlalu mengganggu,"ucapku implisit enggan menyebutkan masa kelam ku dulu. "Eh sayang ngga boleh gitu. Kalau memang pilihan yang Bunda ceritakan belum mampu menggelitik hati mu, Bunda ngga keberatan kok sayang,"ucap Natasya menggenggam tangan ku erat.

"Kencana sebenarnya bukan bingung Bun. Cuma trauma dengan masa lalu nya aja. Iya kan Ken,"ucap Nacita ku gelengkan. "Bun. Dengan menikahkan saya dengan teman Bunda itu merepotkan dan yang ada saya malah menciptakan jarak karena tidak berusaha jadi menantu,"ucapku berniat negosiasi.

"Loh kalo memang nggak cocok ya nggak papa Ken. Udah ngga usah ingat yang dulu dulu ya. Sekarang terserah Kencana deh mau nya gimana,"ucap Natasya hanya ku balas senyuman tipis. Sangat tidak mungkin ku katakan, aku ingin mati. Bukan diri ku jadinya yang pergi meninggalkan dunia. Malah wanita baik hati di depan ku dengan riwayat stroke nya.

"Nanti Kencana datang untuk bertemu. Kencana susah memikirkan pertanyaan jika hanya melihat potret nya saja. Berbeda jika melihat ekspresi nya. Lebih tau yang mana kejujuran dengan kebohongan dari raut yang tercipta,"ucapku. "Kamu seriusan mau langsung ketemu aja Ken?,"bisik Nacita ku angguki pelan tanpa kalimat lain.

"Bagus. Bunda suka prinsipnya Kencana. Sebentar ya sayang coba Bunda tanya sama temen Bunda dulu kapan baiknya kalian bertemu secara langsung. Makasih ya sayang,"ucap Natasya meninggalkan kecupan hangat di kepala ku sebelum berlalu. Memancing ingatan lama tentang kecupan di tempat yang sama.

Hanya saja bedanya kecupan itu di tunjukkan untuk mengusir bukan untuk memberikan kasih sayang. Mirisnya hanya karena satu wanita lain, bahkan ungkapan anak perempuan cinta pertama ayahnya perlu ku ubah. Anak perempuan cinta pertama Ibunya.

Wanita yang hingga akhir hayatnya hanya bisa menahan sakit melihat rumah tangga nya terlepas begitu saja. Sungguh manusia tanpa belas kasih sama sekali. Tidak. Bukan hanya manusia, tapi juga takdir. Mengutuk masa muda ku menjadi kehancuran permanen.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status