Share

Bab 1

Kencana POV

Suara teko panas yang tengah mendidih begitu ricuh cukup untuk membangunkan kawanan kucing milik tetangga di luar rumah. "Apa yang mau kamu buat di pagi buta Ken?,"tanya seorang gadis pirang yang memunculkan wajah dengan garis halus bekas bantal menjalar.

"Bisakah kau cuci dulu wajahmu dan sikat gigi dulu?,"

Tidak. Kalimat itu tidak terlontar dari bibir ku. Hanya tertahan memenuhi kerongkongan saja. "Ken?,"ulang Nacita. "Bubur,"ucapku tanpa berusaha menambahkan kata yang ku rasa sudah cukup panjang. "Ouh. Bagi ya Ken. Aku malas lagi memasak masakan apapun sekarang,"ucap Nacita.

"Hmn,"

"Nah gitu dong. Oiya Ken, Elina tadi malam chat aku. Karena katanya kamu nggak bisa dihubungi sama sekali. Elina mau tanya tugas Pak Hanif. Kamu sudah kerjakan?,"tanya Nacita. "Sudah,"ucapku memindahkan air panas ke mangkuk. "Haruskah kamu bertanya Nacita? Dia itu Batari Kencana Had

"Cukup,"ucapku tak ingin mendengar nama itu terdengar bercampur dengan nama ku. "Ouh maaf Ken lupa. Kapan coba aku punya otak secerdas kamu Ken? Entah apa yang mau ku tulis di tugas akhir,"ucap Nacita sangat doyan berkeluh kesah saat kedua matanya mulai terbuka. "Makanya ikut dengan ku bunuh diri,"ucapku menyajikan bubur ayam ke atas meja makan.

"Astagfirullah. Mati kalau belum waktu nya terasa sakitnya Ken. Lagian aku juga nggak sampai niat begitu juga. Aku belum nikah Ken,"ucap Nacita tak pernah bosan membawa serta kisah romansanya kapan pun perbincangan di mulai. Padahal saat kehidupan romansa dibawa ke jenjang lebih serius banyak hal yang perlu di urus.

Dan tentu saja aku tidak akan mencapai masa itu. Setelah melihat bagaimana hancurnya kehidupan pernikahan Ibu dan pria itu. Apa perlu ku mimpi kan sebuah cerita bahagia dalam kehidupan pernikahan? Sama saja dengan membodohi diri. Daripada mati dengan perlahan seperti itu akan jauh lebih baik jika aku mati dengan cepat saja.

"Ken,"ucap Nacita mengembalikan fokus pikiran yang mulai mengambang. "Tuh kan malah melamun,"cebik Nacita sebal. "Maaf ulang,"ucapku. "Itu nah aku tanya. Kamu sudah dapat dosen belum buat bimbingan tugas akhir?,"tanya Nacita. "Apa aku harus melibatkan banyak orang sebelum kematian?,"tanyaku.

"Haduh kematian lagi. Kencana cukup kita bahas kematiannya ya. Kamu harus bersyukur diberi nafas. Meskipun tidak berguna paling tidak kamu harus bisa menjadi versi terbaik dan membuat Ibu mu di atas sana yang melihat bangga dengan putrinya,"ucap Nacita. "Terbaik untuk kembali di khianati pria brengsek sepertinya juga?,"tanyaku.

"Bukan Ken. Coba kamu sedikit membuka diri. Sedikit saja. Pasti kamu bisa melihat banyak hal selain kematian yang lebih menarik dan tidak semua laki-laki seperti dalam mindset mu. Seperti Ilham contohnya,"ucap Nacita kembali menyebutkan kisah romansanya. "Hmn,"ucapku enggan berkutat dengan bahasan yang sangat tidak masuk akal.

Nacita begitu mencintai pacarnya saat ini. Karena keduanya masih di mabuk asmara. Tapi ketika tahun berjalan pasti mulai ada konflik dan disana lah sifat menjijikkan seorang pria akan terungkap. Pria yang biasanya akan mengucapkan kalimat manis bak gulali.  Maka akan menjadi ucapan pedas.

Belum lagi dengan bumbu tangan tanpa sungkan terangkat ke udara. Aku sudah lebih dahulu mengenal banyak jenis pria. Apalagi seperti Ilham yang sangat jelas pria itu tak lebih dari pria dengan seribu janji manis. Tapi mana mungkin aku mengatakan pada Nacita. Gadis itu tengah di mabuk asmara. Sekalipun setan mengatakan A asal bersama kekasihnya, pasti akan dilakukannya.

Sia-sia jika memberitahu sekarang. Tunggu saja saat nanti keduanya putus, baru bisa memberi dukungan. Hidup kok hanya untuk berpijak pada perasaan. Buktinya 20 tahun tanpa cinta, nafas ku tidak terputus. Apalagi seumur hidup jika aku memilih jalan itu. "Nanti waktu kelulusan, Ilham yang bawa buket sambil melamar ku Ken,"ucap Nacita.

Melamar di depan publik? Sungguh bisa ku pastikan jika aku bertemu dengan pria itu akan memukulnya kencang. Bisanya dia memberi angan semanis itu pada gadis polos seperti Nacita. Jangankan melamar, pria yang berani mendekatinya saja seharusnya sudah di pukul habis oleh semua ajudan Ayahnya.

Sepertinya pria itu perlu di musnahkan saja. Keberadaannya sama seperti ku di dunia sebagai parasit. Selalu saja menyusupkan kalimat manis yang tidak mungkin. Karena pada akhirnya pria dengan karakter baik dan pilihan Ayahnya saja yang pantas bersama dengan Nacita. Tapi apa daya? Otaknya sudah terlalu dipenuhi dengan romansa.

Sepertinya aku juga perlu menabung tissu mulai dari sekarang. Sebelumnya pria yang biasa saja menghabiskan persediaan tissu di kost. Apalagi untuk korban pria brengsek seperti Ilham. "Ken?,"ucap Nacita menyentuh tangan ku ringan. "Kamu melamun terus kenapa? Harusnya aku yang tanya nih kamu kenapa bisa diam-diam begitu?

Oiya sampai lupa. Ken ada temen kelas kita yang mau kenalan sama kamu loh. Dia baik kok dan pasti kamu sudah sangat kenal,"ucap Nacita bersemangat. "Tidak perlu,"ucapku sembari berlalu mencuci mangkuk. Muak dengan pembahasan yang selalu membawa pria di dalam kehidupan ku. Apa dia bisa menjamin tidak akan pernah menjadikan ku seperti Ibu ku?

Akh tidak. Pasti dengan segala janji manisnya mampu meluluhkan hati Ayahnya Nacita dan berakhir menikahi ku. Kekerasan dalam rumah tangga dan akhirnya aku akan mati setelah menderita sakit keras karena selalu dapat perlakuan sangat kasar dari pria brengsek itu. Alur yang sangat monoton tapi terdengar nyata.

-^-

Riuh beberapa makhluk berlalu lalang kesana kemari seolah tengah ada hal yang menarik. "Kencana tumben sendirian?,"tanya Elina bergabung dengan ku di teras kelas. "Nacita pergi,"ucapku membuatnya mengangguk paham tanpa harus boros kata seperti Nacita.

"Kamu sudah dapat gimana rancangan pabrik yang mau kamu buat belum?,"tanya Elina. "Sudah,"ucapku menatap beberapa orang malah tampak berkerumun menatap ke gedung dan lantai yang sama dengan tempat ku berdiri. "Ada apa?,"tanyaku bingung. "Nah pertanyaan bagus. Karena itu juga aku masih tinggal di teras.

Hari ini asisten dosen baru masih muda, ganteng lagi. Jadi ya lumayan kalo aku minta jadi pembimbing ku. Sekalian cuci mata setiap bimbingan biar semangat,"ucap Elina. Yang benar saja cuci mata, menambah semangat bimbingan? Dulu sebelum menikah ku lihat wajah pria brengsek yang menikahi Ibu ku tidak ada saingan nya.

Tapi wajah yang mumpuni itu juga yang akhirnya menghancurkan. "Duluan,"ucapku berlalu pergi. "Eh kemana Ken? Bentar lagi datang bapaknya,"ucap Elina berusaha menghentikan ku. Dia saja memanggil bapak. Ck lagi-lagi bayangan pria itu lagi tergambar setiap kali ada yang menyebut kata bapak. Lagian kalo masih muda kenapa dipanggil bapak?

"Ken mau ikut aku sama Ilham jalan kah?,"teriak Nacita yang sudah naik di atas motor. "Tidak perlu,"ucapku berlalu pergi. "Yang kok kamu masih mau sih sama temen nggak waras kayak gitu?,"ucapan sinis Ilham terdengar begitu ringan tak menghalangi langkah ku. Bukan sekali jika ada yang mengatakan tidak waras dan memang begitulah adanya.

I'm crazy.

Semilir angin yang meniup pelan anak rambut ku membuat terik matahari tidak begitu menyengat. "Permisi. Saya boleh bertanya dimana jurusan Teknik Kimia,"sepasang sepatu hitam mengkilap menghentikan langkah ku tepat di depan gerbang. "Lurus nanti ada petunjuk jalan,"ucapku mengambil langkah ke kanan berlalu pergi. 

"Mbak sebentar. Saya boleh tanya ke mana arahnya?,"tanyanya kembali menghalangi langkah ku. BEM semakin buruk saja kinerjanya. Lagipun sudah tua kenapa masih susah ingat jalan? "Anda bisa lihat tulisan di sana sendiri kan?,"tanyaku kesal menatapnya tajam. "Maaf jika saya mengganggu hari Anda. Tapi saya hanya bertanya saja. Apa saya salah,"tanyanya kian membuatku muak.

Tanpa peduli pertanyaannya, ku langkahkan kaki keluar dari universitas tempat otakku di paksa berpikir. Masih ada aja modus seperti itu. Jika memang dia niat bertanya seharusnya bertanya pada satpam yang berjaga. Dari wajah nya sepertinya dia yang dikatakan Elina, asisten dosen baru. Dia menjadi asisten dosen? 

Baru masuk saja sudah tersesat. Apa yang meyakinkan dari ajarannya? Ck otak jernih ku jadi tercemar hanya karena asisten dosen menyebalkan. Laju kendaraan yang melintas di dua jalur seolah memanggil ku ke sana. Akh tidak tidak. Aku sudah banyak dibantu keluarga Nacita untuk bisa sampai di langkah saat ini.

Mereka masih mau menjadikan anak yang seharusnya sudah mengemis di bawah lampu merah sebagai putri mereka. Paling tidak aku harus lulus dulu sebelum benar-benar mati. Memang tidak ada yang mengharapkan ku. Tapi pantang membuat orang lain yang sudah banyak berjasa kecewa. "Ken mau ikut nggak,"sebuah motor berhenti tepat di depan mata ku.

"Tidak,"ucapku tetap melanjutkan langkah yang terjeda. "Daripada siang siang jalan kaki. Nanti skincare mu luntur loh,"ajak Revan ku abaikan. Skin care? Benda apa itu? Aku saja bahkan tidak pernah mengusap wajahku dengan apapun. Kecuali saat lebaran dan Bundanya Nacita memoleskan bedak di permukaan wajahku.

"Ken aku mau ke perpustakaan. Sekalian mau tanya tentang tugas akhir itu gimana,"ucap Revan tak ku pedulikan. Nanti kalau lelah pasti dia akan pergi dengan sendirinya juga. Jadi tidak perlu sungkan menolak ajakan para jenis yang tak punya akal itu. "Nak Kencana Bunda mu datang tadi,"ucap Bu Kost menampilkan wajahnya sumringah di depan pintu.

"Terimakasih Bu,"ucapku bergegas. Sebutan Ayah Bunda itu hanya sebuah kata tanpa makna. Aku hanya menumpang berlindung bersama mereka saja. Tidak mungkin aku mengabaikan nya. "Kencana sayang. Baru pulang ya? Ayah sama Bunda tadi rencananya nanti malam. Tapi takut kalian lagi belajar atau ada kelas malam,"ucap Natasya.

"Terimakasih sudah datang Bun. Maaf Nacita nya masih keluar,"ucapku tanpa berusaha menutupi apapun. "Loh anak itu masih sama pacar nggak jelasnya itu kah?,"tanya Natasya mengajakku duduk bersamanya. "Masih terjebak romansa masa muda,"ucapku. "Aduh Bunda nanti yang dimarahin Ayah kalo gitu Nak. Nacita itu sudah dibilangin jangan pacaran.

Kamu belum bisa memilih laki-laki mana yang baik yang buruk. Kalau laki-laki nya berani datang ke rumah izin mau pacaran sama Ayah Bunda kenapa nggak? Dua kali Ayah itu dapat informasi pacarnya tapi ya begitu Nak. Nacita sama Ayahnya sama-sama keras kepala,"ucap Natasya mencurahkan pikirannya.

"Nanti saya coba bicara,"ucapku membuatnya tersenyum lebar sembari mengusap puncak kepala ku. "Kamu memang paling paham apa yang Bunda mau. Oiya sayang setelah lulus S1 kamu mau gimana Nak? Kerja atau lanjut S2?,"tanya Natasya. Mau mati bisakah?

"Saya mau bekerja saja. Sudah terlalu banyak merepotkan Bunda dari kecil,"ucapku. "Eh mana ada. Karena ada kamu, Nacita nggak pernah sendirian lagi mainnya. Kamu kuliah saja ya sayang. Kamu itu cerdas dan mau berkembang. Oiya kalo dari Nacita kami sudah lihat laki-laki yang dibawa pulang. Dari Kencana mana nih?,"tanya Natasya menyenggol lengan ku.

"Tidak ada,"ucapku. "Kalau kamu yang bilang Bunda percaya kok. Semalam ada anak buah Ayah ke rumah sayang. Dia sudah mapan dalam profesi dan orang tuanya Bunda kenal dengan baik. Nah Bunda pikir dengan melihat karakter kalian berdua. Memang lebih cocok ke kamu Nak,"ucap Natasya membuatku menghela nafas lelah.

Tidak apa biarkan saja rencana itu terbentuk tapi aku akan berjalan menuju kematian ku saat setelah hari kelulusan tanpa ada yang mendengar langkah ku menjauhi ruangan. Hidup selama 20 tahun cukup membuatku lelah dengan bayangan masa lalu yang buruk. Aku hanya ingin saat setelah semua usai menjadi kenangan yang akhirnya pudar oleh waktu.

Menjauh sejauh matahari melintas di langit hingga tak satupun bisa menarik ku kembali dekat. "Izin Bu,"ucap pria berbaju loreng. Sepertinya ajudan baru Ayah. "Ada apa toh Sen. Kamu kok kayak habis kejar maling aja,"ucap Natasya terkekeh. "Izin Bu. Nona Nacita dibawa kabur pacarnya. Saya sudah mengejar tapi mereka masuk jalan tikus,"ucap Arsen.

Dasar pasangan labil. Jika saja Nacita tidak terlebih dulu termakan bujukan dan ucapan manis laki-laki pasti dia bisa berpikir jernih. Dengan kabur seperti ini bukannya mendapat restu tapi mendapat masalah. "Ayah. Telfon Ayah sekarang Sen,"ucap Natasya lemas. Semua hal yang berhubungan dengan putri semata wayangnya tak pernah membuatnya duduk dengan tenang.

"Bun. Biar Kencana yang cari Nacita ya,"ucapku bergegas keluar tanpa peduli panas yang menerpa. Sekali saja kapan gadis itu akan dewasa. Jika terus terusan begitu bagaimana cara ku mati dengan tenang? Ck menyebalkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status