Share

Bab 3

Lorong jurusan yang masih senggang sangat menggambarkan kesibukan di setiap ruang. "Ken kamu mau siapa yang jadi dosen pembimbing mu?,"tanya Nacita membolak balik buku yang sangat terpaksa di baca. "Entah,"ucapku membenarkan letak kacamata yang membingkai wajah tirus ku.

"Entah lagi. Gimana kalo tanya sama Kak Alvin aja?,"tawar Nacita membuat ku mendongak. "Siapa lagi Alvin? Bukan kamu sudah setuju bertemu Pramudhita semalam?,"tanyaku. "Heish ngga semuanya tentang pacar Ken. Alvin itu loh asisten dosen yang ganteng tuh,"ucap Nacita tampak berbinar.

"Dan berakhir aku meminta nomor nya,"ucapku hafal dengan semua kelakuan gadis di sebelah ku. "Eh ya kali. Mending sama tentara aja deh. Kalo asisten dosen jatuh cintanya tentang buku. Atau kamu aja kah sama Kak Alvin,"ucap Nacita kian meracau tak karuan. "Hentikan,"ucapku memasuki dosen tanpa peduli siapapun yang ada di dalamnya maka dia yang akan menjadi dosen pembimbing ku.

Lagipun dia tidak akan keberatan jika aku mati di tengah penyelesaian dan semakin mengurangi tugasnya. Entah Alvan Alvin siapapun itu yang penting punya dosen pembimbing dulu. Teriakan Bu Leni terlalu mengerikan untuk di ulang berkali-kali. "Permisi,"ucapku mengetuk pelan pintu kaca pembatas. "Iya silahkan masuk Dek,"ucapnya.

Cih, apa semua pria seperti ini yang disukai Nacita. Penuh dengan kata-kata manis di bibirnya. "Saya ingin meminta Anda menjadi dosen pembimbing tugas akhir jika berkenan,"ucapku tanpa tedeng aling-aling membuatnya mengerutkan keningnya bingung. "Oh iya bisa Dek. Sudah ada ide?,"tanya Alvin aneh. Yang benar saja. Bahkan orang buta juga tau aku tengah membawa kertas.

"Saya sudah mencoba menulis sampai bab 2. Mohon dikoreksi adapun alasannya sudah saya sertakan di sini,"ucapku menyerahkan semua kertas yang ku bawa. "Silahkan tulis nama dan nomornya. Nanti saya hubungi untuk konsultasi berikutnya ya,"ucap Alvin menarik senyum khas seperti semua mantan Nacita. Meninggalkan ruangan tanpa banyak kata sepertinya aku membuat keputusan yang salah dengan memilih pria yang 'ramah' sebagai dosen pembimbing ku.

Akh sudahlah. Tidak juga ku selesaikan tugas akhir itu. "Kencana ayo ke pantai besok,"ajak seorang gadis berambut coklat menghampiri ku. "Untuk apa?,"tanyaku. "Biar aku aja. Ken ayo ke pantai ya,"ucap Nacita membuatku memutar bola mata malas. Pasti hanya kegiatan membuang waktu dengan tertawa di pesisir air. Tenggelam.

Tidak terlalu menyakitkan mati tenggelam, hanya menyiksa saja. "Ken,"panggil Nacita membangunkan dari lamunan. "Dengan siapa?,"tanyaku. "Eh siapa yang mau bawa Kencana,"tanya Reva begitu heboh. Apa hebatnya pergi ke pantai? "Kencana sama aku aja ya,"tawar Adrian semarak. "Gimana Ken?,"tanya Nacita hanya ku angguki singkat sebelum berlalu pulang.

Enggan membuang waktu hanya untuk bermain tidak jelas. Bunda Natasya memintanya lekas pulang. Sebagai balas budi tentu dirinya mau tidak mau harus pulang dengan cepat. Melewati jalanan yang tampak sunyi, matanya melihat beberapa wajah tertunduk lesu di tepi jalanan. Sapu mereka di tangannya petunjuk bagaimana hidup telah membuatnya menjadi semakin keras.

Mengingat uang yang diselipkan Natasya di kantung nya, dirinya menepi membeli beberapa jenis makanan untuk mereka. Tidak perlu banyak alasan baginya melakukan itu. Mereka masih perlu hidup tapi ujian untuk bertahan hidup terus menyerang. Sementara dirinya tidak perlu hidup tapi masih selalu ada penopang hidup yang tidak perlu di sisinya.

"Ken kamu cepat sekali pulangnya,"keluh Nacita dengan nafas masih memburu. "Ku pikir kamu pergi dengan yang lain,"ucapku santai. "Bunda suruh pulang cepat kan hari ini. Uh ngga sabar lihat orang yang dipilih kan buatmu Ken,"ucap Nacita begitu antusias. Sepertinya ingatan tentang pria brengsek di dalam otaknya sudah menepi. "Untuk apa?,"tanya Kencana hanya dibalas kekehan kecil Nacita.

"Nah anak-anak cantik Bunda sudah pulang. Duh kalau begini kan Bunda ngga perlu capek capek cari kalian. Berangkat yuk,"ajak Natasya. "Bun sepertinya Nacita saja, aku tidak perlu,"ucapku bergegas masuk ke dalam kost usai menyalami nya lembut. "Eh Ken ikut Bunda dong. Kan kita mau pilih baju buat nanti malam. Pasti kamu punya model baju yang kamu suka kan,"ucap Natasya menahan tangan ku dengan penuh harapan.

Akh tatapan itu selalu saja berhasil membuatku tidak bisa berkutik. Tanpa pernah gagal, akhirnya tubuhnya menolak berpadu dengan isi kepala ku. "Tau ngga Bun. Kencana itu kayaknya kurang cocok deh kalo yang Bunda pilihkan kaku begitu,"ucap Nacita berkomentar. "Cocok dong. Kan kamu belum pernah bertemu dengan Adhikara secara langsung,"ucap Natasya begitu yakin. Dasarnya semua pria sama saja. Kecuali Ayahnya Nacita.

-^-

Warna warni jenis dress terpampang di butik milik teman Bunda. Namun sepertinya tidak ada yang membuatku tertarik. Semua itu terasa hambar dan hanya membuang uang untuk sebuah pertemuan yang hanya akan berakhir saat aku mati dalam waktu dekat.

Mengabaikan obrolan Nacita dengan Natasya saat memilih dress, justru mata ku lebih tertarik melihat beberapa jenis bunga yang tampak mekar dengan indahnya. Sama seperti bunga yang dibesarkan Ibu ku dulu. Semua bunga yang tumbuh diseluruh rumah begitu indah. Akh pasti Ibu ku sudah sangat bahagia melihat ku tengah menderita seperti ini.

Mengapa juga dia harus menikah jika tau pria menyakiti nya saja hingga akhir hayatnya. Kalo tidak kan, aku tidak akan capek- capek berpikir bagaimana bisa cepat mati. Memikirkan bagaimana indahnya bunga yang pernah disiram dan dirawat dengan sepenuh hati oleh wanita itu tak bisa membohongi mata yang mulai berkeringat.

"Daripada nangis ingat mantan pernah kasih bunga, mending bawa bunga ini saja,"ucap sebuah suara bariton mengangsurkan setangkai bunga. Apa pria itu berpikir semua orang akan menangis hanya karena masalah cinta? Tanpa ingin menatap wajahnya, ku kembalikan bunga yang dirinya berikan. "Sempit,"ucapku kesal kembali menghampiri Nacita.

Lebih baik mendengarkan percakapan yang tidak menarik sama sekali dibanding harus bertemu pria tidak waras seperti tadi. "Ken coba pilih-pilih dulu. Kamu mau yang seperti apa?,"tanya Natasya membuatku melirik sejenak sebelum mengambil nafas pelan. "Saya mengikuti apa saja yang Bunda pilihkan. Saya kurang baik dalam memilih pakaian,"ucapku. "Jeng. Coba buat anakku satunya yang pas yang gimana,"ucap Natasya menggandeng mendekati pemilik butik.

"Hmn kalau ini pakai apa saja cocok jeng. Kulitnya putih jadi masuk semua warna, terus badannya juga bagus. Coba yang warna navy ini. Gimana jeng?,"tanyanya menempelkan kebaya padaku. "Ih cantik loh jeng. Roknya ngga belahan yang neko-neko kan,"ucap Natasya memastikan. Sembari kembali ku tatap bosan Nacita yang tak kunjung mendapat baju. Entah berapa jam lagi gadis itu akan memilih baju.

"Nggak jeng. Cocok dengan anakmu pokok nya,"ucapnya pandai sekali marketingnya. "Bun. Aku mau yang ini aja. Ken kamu bener itu aja,"tanya Nacita menatapku heran. "Perlu berbeda?,"tanyaku singkat. "Salah nanya orang kan. Tapi bener sih Ken. Kamu pakai apa saja cantik, kalau aku harus cari yang pas body. Ken ayo lihat aksesori,"ucap Nacita menarik ku mendekati berbagai benda yang terlihat  sangat tidak berguna.

"Eh Ken kamu tau tadi Kak Alvin baik banget loh. Masa dia mau kasih nomernya tanpa ku minta dong,"ucap Nacita begitu hebohnya. Dasar pria genit. Sudah tua tidak mau mengingat usia, masih saja mendekati mahasiswi nya. Memalukan. "Ken,"panggil Nacita membuyarkan lamunan yang sempat tercipta. "Kenapa kamu tertarik dengannya Cit?,"tanyaku heran. Apa yang menarik dari pria tua, genit sepertinya.

"Dia itu baik tau. Ganteng, pintar lagi. Siapa coba yang ngga suka,"ucap Nacita sepertinya sudah terkena virus dari pria aneh itu. "Bahas apa ini kok asyik banget kedengerannya?,"tanya Natasya. "Hanya Nacita dan dosen pembimbing Bun,"ucapku. "Nacita ada hubungan apa nih sama dosen pembimbingnya?,"tanya Natasya. "Nggak ada Bun. Kencana kali,"ucap Nacita malah menunjukku.

"Kalau Kencana Bunda ngga percaya Cit. Kencana belajar terus ngga kepikiran sampai sana. Bunda tunggu di mobil kalau gitu ya,"ucap Natasya. Sementara gadis di sebelahku masih saja bingung. Padahal semua itu sama saja bentuknya. Apa sulitnya tinggal mengambil saja? Dasar perempuan.

-&-

Natasya sedari tadi tak hentinya mengatakan kalimat yang sama. Seolah tidak ada kalimat lain yang bisa diungkapkan lagi selain cantiknya anak Bunda. Sementara Nacita tak hentinya membuat update di sosial medianya menyertakan diriku. "Oiya dong Pak,"ucap suara bariton khas itu membuatku menoleh melihat Angga berjalan mendekat.

"Nah ini putri kami. Nacita, Kencana,"ucap Angga tampak mengenalkan kami pada beberapa wajah disana. "Mbak Nata setiap hari makin cantik aja. Menolak tua,"ucap salah seorang perempuan paruh baya. Obrolan basa-basi macam apa itu? Terlalu membosankan terdengar di telinga. Bahkan rasanya bukanlagi membosankan tapi memuakkan. "Halo,"sapa seorang pria bertubuh atletis membuatku menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangan.

"Kencana,"ucapku enggan menyentuh tangannya yang terulur. "Danton sepertinya saya ngga sanggup kalau yang dingin. Danton yang ini saja ya,"ucap pria di sebelahnya berlalu menuju Nacita. "Saya Adhikara,"ucapnya duduk di depan ku. "Aku sudah tau jadi tidak perlu di ulangi,"ucapku. "Maaf?,"tanya Adhikara tampak bingung. "Sebelum kemari kamu sudah tau nama ku kan,"ucapku.

"Iya. Saat ini masih berkuliah?,"tanya Adhikara membuatku menghela nafas sebal. "Apa hanya itu yang kalimat yang ingin kau tanyakan? Kenapa tidak secara langsung apa yang ingin kamu ketahui yang belum kamu ketahui sebelumnya dariku,"ucapku membuatnya mengatupkan bibir rapat-rapat. "Baik-baik. Setelah mengetahui biografi saya, apa Anda berkenan melanjutkan niat baik kedua orangtua?,"tanya Adhikara.

"Jangan gunakan kata Anda. Terlalu enggan mendapat banyak koreksi dari orangtua. Tujuan pertemuan ini saling mengenal. Nama ku Kencana. Terserah mau memanggil ku seperti apa,"ucapku mengaduk pelan milk shake di depan mata ku. "Baik. Jadi Kencana, apa kamu mau melanjutkan niat baik kedua orang tua?"tanya Adhikara membuatku menghela nafas kasar.

"Apa aku punya pilihan lain? Hidupku hanya untuk dua orang disana yang banyak membawa arti. Maka jangan pernah tanyakan hal membodohkan seperti itu. Jika diriku enggan tentu saja. Tapi aku bukan manusia tidak tau diri,"ucapku terus terang membuatnya mengangguk mengiyakan. "Saya anggap setuju berarti. Kamu tau kan pekerjaan saya membuat banyak syarat sebelum pernikahan.

Kapan sekiranya kamu siap menikah?,"tanya Adhikara membuatku menghentikan tangan yang tengah mengaduk milk shake. "Aku enggan menikah apalagi usia kita tidak cukup  matang untuk menikah. Jadi kamu cukup tau maksudnya kan,"ucapku. "Baik. Setelah menikah jika saya tinggal di asrama apa kamu keberatan?,"tanya Adhikara. Jauh sekali pikirannya. Sedangkan diriku akan mati setelah wisuda tentu saja tidak akan ada cerita Kencana menikah.

"Pikiran Anda terlalu jauh. Tapi aku bukan orang pemilih. Dimanapun tinggal tidak ada bedanya,"ucapku. "Yang terakhir. Boleh bertukar nomor?,"tanya Adhikara membuatku mengambil ponsel dari dalam tas. "Lihat sendiri. Aku juga lupa berapa nomor ku,"ucapku menyodorkan ponsel ku. "Kamu serius Ken?,"tanya Adhikara. "Aku tidak pernah membuka ponsel. Dia hanya benda persegi empat tanpa makna.

Kecuali ketika kedua orangtua menghubungi ku,"ucapku. "Gadis unik,"ucap Adhikara terkekeh membuat kedua keningku bertaut. "Gila bukan unik. Aku terlalu gila bukan terlalu unik,"ucapku mengoreksi. Gadis mana lagi yang akan selalu berencana bunuh diri dalam setiap kesempatan. Siapa lagi kalau bukan diriku. Naasnya selalu gagal karena ada yang melihat aksi ku.

"Seharusnya aku perlu bertanya padamu. Apa kau tau masa lalu kelam diriku?,"tanyaku. "Tidak perlu. Semua orang punya masa lalu. Itu hanya akan jadi cermin. Masa lalu mu itu adalah bagian pendewasaan,"ucap Adhikara. Dewasa dengan punya pikiran selalu ingin bunuh diri? Apa itu makna kata dewasa yang dia maksud?

"Ken sepertinya ada yang menghubungi mu,"ucap Adhikara membuatku melirik panggilan masuk dari nomor berderet tak dikenal. Pun diriku juga tidak ingin tau. "Apa tidak lebih baik diangkat saja? Gimana kalau ternyata dosenmu. Mengingat sepertinya hanya orangtuamu dan saudarimu saja yang tersimpan di sana kontaknya,"tanya Adhikara membuatku menekan tombol hijau enggan mendengar ceramah.

"Halo. Siapa?,"

"Halo Dek. Untuk konsultasi bisa besok ya. Terkait Bab 2 ada yang perlu diperbaiki. Selebihnya sudah baik,"

"Baik besok saya kesana,"ucapku segera mematikan panggilan. "Dosen pembimbing tugas akhir,"ucapku kembali menyimpan ponsel. "Tidak kamu simpan?,"tanya Adhikara. "Terlanjur mati ponselnya,"ucap ku enggan lagi membuka ponsel. "Bisa kita percepat saja? Ingat tujuan pertemuan ini hanya mengenal bukan langsung menikah,"titahku membuatnya mengangguk paham sembari beranjak mendekati para orangtua.

"Saya Kencana,"ucapku mengenalkan diri tanpa diminta. "Ya ampun cantiknya sayang,"ucap seorang wanita paruh baya mengusap tanganku. "Terimakasih,"ucapku. "Mbak Novita kalau Kencana agak beda dengan Nacita. Kencana lebih awet diemnya dan lebih tenang. Jadi memang karakternya agak dingin,"ucap Natasya. "Oh ngga papa. Malah bagus berarti semakin spesial. Panggilnya Mama aja ya sayang. Kalau Ayahnya Adhikara Rama,"ucap Novita.

"Iya Ma,"ucapku tidak sesulit beberapa orang pada umumnya. "Ma Adhikara sama Kencana mau berkenalan semakin dekat dulu. Nanti ketika sama-sama siap bisa saling menghadap,"ucap Adhikara membuat beberapa wajah tampak mengembang. "Oalah iya ngga papa. Saling kenalan dulu satu sama lain,"ucap Angga begitu bahagia. Padahal tinggal bilang iya sesusah itukah Nacita?

"Kalian sudah tukeran nomor?,"tanya Muria. "Aduh Pak Muria. Anak muda zaman sekarang kalau mau kenalan langsung saja. Ngga perlu tukeran kayak zaman dulu,"ucap Natasya. "Iya loh sekarang sudah canggih,"ucap Novita memulai nostalgia di antara mereka. Apa bagusnya mengulang sesuatu yang sudah akan usai?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status