Hai akak-akak. man-teman readers. Untuk beberapa hari ke depan, mungkin bakal slow update/ gak update. Soalnya jariku kejepit pintu, jadi agak susah ngetik cepat. Makasih pengertiannya.
Hari ini mood Lydia sangat bagus. Walau dia merasa masih perlu tidur sebentar lagi, tapi rasanya energinya sudah terisi penuh. Walau rapat kemarin menguras tenaga, tapi dia senang karena banyak makanan di rumah. Kemarin dulu, Selain memberi hadiah ulang tahun pada Lydia, Reino rupanya juga memesankan makan malam untuk di rumah. Kalau kata Liani, sebagai apresiasi untuk karyawan berprestasi. Ini sungguh diluar dugaan. Reino memberikannya hadiah ulang tahun saja sudah luar biasa. Ini malah ditambah dengan makan malam yang semuanya menu kesukaan Lydia. Entah dari mana Reino tahu makanan kesukaannya, tapi yang jelas Lydia perlu berterima kasih. Karena itu hari ini dia menyempatkan diri memesan sarapan mahal yang kira-kira akan disukai Reino. seharusnya ini dilakukan kemarin, tapi Lydia lupa. “Selamat pagi, Mbak Maya,” Lydia menyapa rekan kerjanya itu dengan sopan ketika mereka berpapasan di lift. “Selamat pagi juga. Tumben ceria amat,” jawab Maya ramah se
“Hei, Pak Reinonya ada?” “Oh, ada kok. Tapi dia sedang ada tamu. Kalian bisa menunggu sebentar kan?” tanya Lydia pada dua orang yang ada didepannya. Kiara dan Revan yang hari ini diminta menggantikan Bu Nia yang sedang cuti untuk ikut rapat, mengangguk pelan. Mereka duduk di sofa dekat dengan meja Lydia untuk menunggu bos besar punnya waktu luang. Lydia tidak terlalu menggubris dua orang itu karena memang ada setumpuk dokumen yang harus dia pisahkan. Salah satu pekerjaan sekretaris yang melelahkan ya ini. Menyusun dokumen yang harus ditanda tangani Reino, baik di atas kertas maupun online. “Apa kamu sibuk?” tanya Kiara menatap Lydia ragu-ragu. “Ada masalah?” Lydia yang tadinya fokus, kini menatap mantan rekan sekubikelnya dulu. Kiara tidak langsung menjawab. Dia menyikut Revan dengan pelan dan membuat pria itu melotot padanya. Setelah beberapa detik percakapan hanya dengan tatapan mata, akhirnya Revan yang berbicara. “Anak ini ingin minta maaf padamu.” Kalimat yang dilontark
“Coba katakan padaku, bagaimana kau bisa pacaran dengan Pak Reino? Dan sudah sampai mana hubungan kalian?” tanya Kiara saat jam makan siang. Kebetulan saja hari ini Reino ada janji makan siang dengan klien. Dia ingin membawa Lydia, tapi batal karena tidak mau kejadian yang kemarin terulang lagi. Kiara yang kebetulan mendengar percakapan itu langsung meleleh. Dia menganggap Reino pria gentle dan rumor yang beredar mungkin saja salah. Karena itu saat jam makan siang, dia menarik Lydia dan mengusir Revan. Katanya ini pembicaraan perempuan. “Itu terjadi begitu saja,” jawab Lydia asal. “Astaga kau ini. Kan pasti ada prosesnya gitu. Pas pendekatan gimana, terus nembaknya gimana. Cerita dong,” desak Kiara mendesak. Lydia jadi bingung harus menjawab apa. Hubungannya dengan Reino kan hanya pura-pura saja karena sudah Polar Bear itu bisa dibilang menyelamatkannya saat rapat beberapa waktu
“Oh, my God. Kenapa gak diangkat sih?” gerutu Lydia menaiki tangga darurat dengan ponsel menempel di telinga. Tidak berhasil menghubungi Reino, Lydia langsung menghubungi Pak Hadi. Dan untungnya pria itu mengangkat teleponnya pada dering ketiga. “Pak Hadi saya perlu bicara dengan Pak Reino sekarang juga.” “Maaf, Mbak. Beliau sedang berdiskusi dengan klien,” jawab Hadi sopan. Lydia menggeram marah. Dia tahu tidak seharusnya dia marah dan menginterupsi, tapi ini juga masalah yang penting. Bahkan jauh lebih penting dari apa pun. “Tolong bilang sama Pak Reino. Kedua orang tuanya saat ini baru saja sampai di kantor kita.” Tidak ada jawaban apa pun dari Pak Hadi, tapi Lydia tahu pria itu pasti sedang berusaha memberi tahu Reino apa yang terjadi. Butuh waktu agak lama memang, tapi Lydia dengan setia menunggu. “Pak Reino akan mencoba menghubungi mereka dan untuk sementara, Mbak Lydia boleh bersembunyi di kamar pribadi dulu.” “Okay. Thank you.” Lydia yang sudah sampai di lantai lima,
Warning! Ada sedikit adegan di bagian akhir.“Selamat pagi, Bu.” Lydia terhenyak mendengar sapaan yang ditujukan padanya itu. Tidak tahu harus menjawab apa, dirinya hanya tersenyum saja. Dan rupanya sapaan itu terus datang dari para pegawai yang lainnya, sampai Lydia kebingungan dibuatnya. Bahkan ketika Lydia tidak sengaja berpapasan dengan Pak Trisno saat menunggu lift, pria paruh baya itu juga menyapanya. Yah, walau dengan nada canggung yang agak dipaksakan sih. “Ada apa sih dengan semua orang hari ini?” gumam Lydia ketika turun di lantai lima. “Mungkin karena statusmu yang sudah naik,” jawab Maya yang kebetulan sedang menunggu lift untuk turun ke kantin. “Eh, pagi Mbak,” sapa Lydia sopan seperti biasanya. “Mau ngopi?” tanya Maya terlihat serius. “Kalau gitu aku taruh tas dulu ya.” Maya segera mengiyakan saja dan menunggu
Hari sudah malam ketika Liani menatap anaknya yang sedang mengemas beberapa pakaiannya ke dalam koper ukuran sedang. Wajahnya terlihat khawatir, tapi dia tidak kuasa melarang. “Harus selama itu ya?” tanya Liani tidak lagi bisa diam. “Mau gimana lagi, Ma. Nyonya besar maunya aku jadi asisten pribadinya selama dia di Indonesia. Dan dia minta aku tinggal di tempatnya. Katanya biar mudah,” jawab Lydia tanpa menghentikan aktifitasnya. Hanya helaan napas pasrah yang bisa diberikan Liani sebagai tanggapan. Dia juga tahu kalau anaknya tidak bisa menolak karena Lydia hanyalah karyawan biasa. Permintaan dari Nyona Besar tentu tidak bisa ditolak seenak hati kan? “Nanti perginya naik taksi online?” tanya Liani lagi. “Gak. Katanya nanti ada yang jemput,” jawab Lydia setengah berbohong. Nanti memang ada yang menjemput, tapi bukan sopir saja yang datang. Katanya Reino sendiri yang datang menjemput karena ada beberapa hal yang harus mereka lakukan lebih dulu. Tentunya dalam konotasi yang positi
“Coba bayangkan saja. Dia seenak hati nidurin aku dan pegang-pegang, tapi dia juga yang ngehina. Sakit hati juga tahu kalau keseringan dibilang rata,” sahut Lydia berapi-api pada ketiga sahabatnya yang lain. “Emang dia ngomong apa?” tanya Cinta hati-hati. “Katanya dadaku rata banget. Padahal dia suka-suka aja tuh meremasnya keras-keras,” jawab Lydia menggebu-gebu. “Bokongmu gak dibilangin rata juga?” tanya Vanessa sengaja ingin memancing. “Gak sih,” jawab Lydia jujur. “Tapi kalau dipukulin ya sakit juga.” “Dipukulin? Kekerasan maksudnya?” kini giliran Erika yang bertanya. “Ya... gak juga sih. Gimana ya ngomongnya? Yang kayak biasa ada di film-film gitu loh. Yang mainnya agak kasar.” “Kasar ya? Tapi enak gak?” lagi-lagi Vanessa ingin memancing. “Enak sih,” jawab Lydia sedikit lebih lirih dari sebelumnya, sambil menggar
“Kapan kalian mau kasih Mama cucu?” Pertanyaan Clarissa itu membuat Lydia tersedak, sementara Reino terlihat santai saja. Pria itu bahkan tidak membantu Lydia yang terbatuk-batuk kalau bukan atas perintah Clarissa. “Kamu ini masa istri tersedak gitu gak dibantuin sih?” hardik Clarissa dengan mata melotot. “Lydia kan bukan anak bayi yang gak bisa mengurus diri sendiri, Ma,” seru Reino sembari mengulurkan gelas berisi air pada Lydia. Ini adalah hari ketiga sejak Lydia tinggal di rumah orang tua Reino. Walau tidak selalu berada di rumah, dia tetap tidak terbiasa dengan kehidupan palsunya ini. Salah satunya ya itu tadi. Makan malam bersama, diselingi dengan pertanyaan ‘kapan ada cucu?’ Ugh, rasanya Lydia ingin cepat-cepat pulang ke rumah saja. “Kami gak buru-buru kok, Ma,” jawab Reino setelah batuk Lydia mereda. “Iya, Ma. Kami masih ingin menikmati masa-masa awal menikah dulu,” jawab Lydia menimpali jawaban Reino. “Apa itu artinya kalian menunda?” kali ini Leon yang bertanya. “