Share

The Punishment

"Ibu pulang!"

Aku memalingkan wajah dari layar ponsel, menyelinguk ke belakang, melihat Ibu masuk dengan satu kantong plastik di tangan kirinya. 

"Udah makan, Mit?"

Cepat-cepat Aku menaruh ponsel, menurunkan ujung kakiku dari atas meja, kemudian menghampiri Ibu. 

"Belum, Bu." Aku merebut kantong plastik di tangan Ibu. Mengintip apa yang ada di dalamnya. Aku sudah menduga isinya, setiap pulang Ibu pasti membawa makanan. Tapi aku tetap ingin tahu menu makanan apa yang dibawa Ibu kali ini. Namun kali ini, ternyata hanya ada bahan-bahan mentah yang belum dimasak. 

"Nanti Ibu masakin." sahut Ibu.

"Ibu mandi aja sana. Biar Mita yang masak."

"Yakin?" 

Aku mengangguk mantap. Setelah itu aku langsung menuju dapur, bertepatan dengan Ibu yang menghilang di balik pintu kamar mandi. 

Setengah jam kemudian, Ibu menengok sampai mana proses memasakku, yang ternyata sudah selesai dan makanan sudah tertata rapi di atas meja.

"Ck, anak Ibu kalau masak pinter." Ucap Ibu setelah suapan pertamanya. "Giliran suruh bela-" 

"Ibu! Mita laperrr." potongku.  Mencegah Ibu mengucapkan sesuatu yang bisa menghilangkan nafsu makan. 

"Kamu itu! Ibu belum selesai ngomong. Tahu nggak tadi siang Ibu dapet keluhan dari sekolah." 

"Keluhan?" tanyaku heran. Berpikir, apa aku melakukan suatu kesalahan di sekolah hari ini? 

Aku meletakkan sendok ke atas piring. Nafsu makanku hilang seketika. "Siapa? Guru yang mana yang menghubungi Ibu?" 

"Pak Daniel."

Sudah kuduga. Dia pasti akan mengusikku. Apalagi dia kenal dengan Ibuku. Kenapa sih, dia harus mengajar di sekolahku?  Mengajar matematika lagi, dimana aku sangat bodoh di bidang itu. 

"Hm, kamu udah ketemu dia kemarin 'kan?" lanjut Ibu, Mengerti apa yang kupikirkan. "Hari ini dia mengeluh. Kamu sangat lemah dalam pelajaran yang di ajarkannya."

"Mau gimana lagi. Ibu tahu Mita dari dulu-"

"Makanya dengerin Ibu dulu. Pak Daniel bilang kamu harus ikut pelajaran tambahan."

Aku membelalak. "Hah?" bertemu dengan lelaki itu di sekolah saja terasa canggung, apalagi ditambah harus sering bertemu dengan beliau di jam pelajaran tambahan. 

Coba pertemuan pertama kami tidak seperti itu, aku pasti tidak akan se enggan ini untuk bertemu dengannya. 

"Mita nggak mau. Mita bisa belajar sama Gatra. Mita janji bakal berusaha." Itu bukan sekedar kata-kata. Aku memang sudah berniat untuk berusaha lebih keras lagi. 

Ibu mendesis kesal. "Mita, ini kesempatan buat kamu. Lebih bagus dibimbing sama yang ahli di bidangnya."

"Tapi, Bu…." Aku menghentikan ucapanku. Tidak bisa berterus terang pada Ibu tentang apa yang terjadi pada pertemuan pertama kami. 

"Kali ini saja," lanjut Ibu. "Perbaiki untuk nilai kelulusanmu. Untuk kesananya, Ibu tidak akan peduli." 

Kedua sorot mata Ibu sangat berharap. Membuatku tidak bisa menolaknya. Akhirnya, mau tidak mau aku menganggukkan kepala lemah. 

"Bagus." ibu melanjutkan suapannya sambil berbicara, "Besok jam 7 malem ke rumah Pak Daniel ya. Biar nanti pulangnya bisa bareng Ibu juga." 

"Tanyain sama Pak Daniel, Kenapa nggak di sekolah aja sih?" keluhku. Merasa tidak enak hati menginjakkan kaki di rumah itu lagi. Padahal waktu pertama melihat, aku takjub dan langsung menyukai rumah itu, sekarang rasanya tidak lagi. 

"Bukannya makasih sama Pak Daniel, malah ngeluh terus. Kamu tahu nggak berapa mahal tarif kalau Ibu harus panggil guru pribadi? Kamu tahu nggak kalau-"

"Iya-iya-iya Bu. Maaf, maaf. Nanti Mita makasih sama Pak Daniel." ucapku terpaksa. Melanjutkan makanku kembali. 

"Oh iya, Bu. Di rumah itu Pak Daniel tinggal sendiri? Istrinya?" 

Tidak ada salahnya 'kan sedikit mengulik kehidupan pria itu? Aku juga ingin tahu. 

Bagaimanapun dia sudah berani menyentuh daerah terlarang di salah satu bagian tubuhku, bagaimana jika ternyata lelaki itu sudah menikah? Wah, bahaya. 

Ibu menggeleng pelan. "Dia sendirian. Dia hanya pulang ke rumah itu jika sedang pulang ke Indonesia. Yang Ibu tahu, Pak Daniel belum menikah."

Aku membuang nafas lega mendengar jawaban Ibu. "Pak Daniel tinggal di luar negeri?" 

"Australia. Jika Pak Daniel tidak ada, pekerjaan Ibu hanya membersihkan rumahnya saja setiap pagi."

****

Langit baru saja gelap saat Aku tiba. Waktu masih menunjukkan pukul 18.30. Sengaja datang lebih awal, tentu saja karena Ibu terus mengingatkanku untuk datang dan sepertinya tidak akan berhenti mengirimiku pesan sebelum Aku muncul di hadapannya. 

Aku sungguh tidak percaya akhirnya menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Seperti pertama kali datang, dari luar rumah itu selalu tampak sepi. Bagaimana tidak, rumah sebesar itu tapi penghuninya cuma seorang. 

Aku harus masuk dari pintu depan, atau samping? Huh… Untuk masuk ke dalam saja aku bingung. Tapi ini masih setengah jam lebih awal dari waktu belajar yang disepakati, bagaimana jika aku menemui Ibu dulu?

Aku mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Ibu. Seperti biasa, Ibu akan langsung mengangkatnya saat mengetahui itu panggilan dariku. 

"Bu, Mita di depan. Ibu dimana?"

"Di dapur." 

Berarti pintu samping. 

Aku mematikan panggilan dan berjalan menuju pintu samping. Lagipula aku hanya hafal jalan menuju dapur dari pintu samping, bukan dari depan. 

Ibu sedang memasak. Celemek berwarna abu-abu melapisi bajunya agar tidak kotor. Aku melepas ranselku dan menaruhnya di lantai kemudian memperhatikan apa yang tengah dilakukan Ibu. 

"Pak Daniel belum pulang." Ibu memberi tahu.

"Huft." Aku mendengus kesal. "Tadi aku tidak perlu cepat-cepat datang." gerutuku. 

Entah kenapa Aku malah berharap kalau Pak Daniel tidak pulang saja. Dengan begitu pelajaran hari ini pasti batal. 

Tapi doa ku tidak didengar. 

Bunyi klik terdengar dari pintu depan. Tidak berselang lama, dari dinding kaca ruang dapur yang berbatasan dengan ruang tamu, aku bisa melihatnya lewat. 

Apa dia punya pekerjaan ditempat lain? Sepertinya tadi siang dia memakai busana yang berbeda di sekolahan. 

Kali ini pakaiannya tampak santai. Setelan jas hitamnya berubah menjadi celana formal biru tua tanpa luaran, hanya kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku. 

Ah, masa bodo. Apa yang dia lakukan bukan urusanku.  

Ibu berjalan keluar dapur. Entah kemana. Aroma kuah santan yang masih mendidih di atas kompor mengalihkan perhatianku. Lezat, sudah pasti. Ibu bisa memasak apa saja dan masakan Ibu pasti sangat enak. 

"Pak Daniel suruh kamu nunggu disini." ucap Ibu begitu kembali ke belakang kompor. 

"Bu, sepertinya Pak Daniel lelah sekali. Bagaimana jika Ibu memintanya untuk menunda-"

Tuk! 

Ibu meletakkan pisau dengan kasar di atas talenan sambil menatapku tajam. Aku meringis. 

"Mi-mita bercanda, Bu." Aku tersenyum, membuat Ibu tidak jadi melontarkan amarahnya. 

Mungkin sekitar 15 menit kemudian, tepat jarum pendek menunjuk di angka 7, dia datang dan langsung duduk di salah satu kursi meja makan. Aku memperhatikannya. 

Dia terlihat biasa saja melihatku. Maksudku, setelah kejadian di dapur waktu lalu, kita sering bertemu di sekolahan, tapi dia tidak tampak canggung sepertiku. Juga tidak ada tanda-tanda dia akan mengungkit kejadian kemarin itu. 

Baguslah. Aku juga harus sepertinya. Melupakan semua itu. 

Tapi itu ciuman pertamaku, walau aku tidak ingin mengingatnya, pasti akan selalu teringat. 

"Disini saja?" suara Pak Daniel terdengar. Memastikan jika aku tidak keberatan belajar di ruang makan. 

Aku mengangguk. Melirik Ibu yang masih berkonsentrasi dengan masakannya sebelum menyusul Pak Daniel untuk duduk di meja makan. 

Kali ini pasti aman 'kan? Ada Ibu di dekatku. Yang bisa mengawasi diriku. Ya, pasti aman. 

Aku duduk berhadapan dengannya. Melihat rambutnya basah seperti beberapa waktu lalu, seperti deja vu. Juga aroma maskulin khas nya, yang begitu menguar. Aku menduga ini memang wangi dari sabun atau sampo yang ia pakai.

Perhatianku teralihkan pada tiga buah buku yang tadi dipeluknya, diletakkan di atas meja, kemudian digesernya ke hadapanku. 

"Materi hari ini."

Glek! 

Apa-apaan, dia ingin membunuhku? 

Aku menatap tidak percaya. Bagaimana otakku bisa menelan sekaligus semua isi buku itu? 

Ingin rasanya aku berteriak meminta tolong pada Ibu yang berjalan menghampiri kami hanya untuk meletakkan secangkir teh yang masih mengepul di hadapan Pak Daniel, kemudian Ibu kembali melenggang pergi. Tentu saja, Ibu tidak akan mau menolongku di saat-saat seperti ini. 

"Kita mulai." ucap pria itu santai sambil menyeruput teh miliknya. 

****

Leherku kram. Tanganku pegal. Bokongku panas. Apalagi pikiranku, sudah mati rasa. Satu jam berkutat dengan deretan angka-angka, rasanya membuat kepalaku mengepul. 

"Waktunya habis." ucap Pak Daniel sambil melirik ke arah jam dinding.

Ya benar. Kumohon sudahi saja sampai disini. 

"Bawa pulang. Itu akan menjadi tugasmu di rumah." 

Aku menghitung beberapa soal yang belum selesai. Yes, kalau begitu aku bisa meminta bantuan Gatra untuk menyelesaikannya. Aku tertawa sinis dalam hati. 

"Jika kau selalu memperhatikan selama belajar tadi, kau pasti bisa menyelesaikan semuanya."

Aku tersenyum. "Aku pasti bisa, Pak." ucapku yakin dan mulai membereskan buku-buku ku. 

"Jika ada yang salah atau ditemukan indikasi kecurangan, Saya tidak akan segan memberikan hukuman."

Aku hanya membalas perkataannya dengan senyuman yang tidak tulus.

****

Keesokan malamnya, dengan penuh percaya diri aku kembali mendatangi rumah itu. 

Memang benar, ada bagusnya aku setuju belajar disini karena jam pulangku nanti bertepatan juga dengan selesai nya pekerjaan Ibu. Aku bisa sekaligus membonceng Ibu pulang. Jadi Ibu tidak harus berjalan kaki lagi. 

Begitu tiba, aku pasti masuk lewat pintu samping. Selain karena terbiasa, aku juga jadi bisa menyapa Ibu terlebih dahulu. Tidak ada pekerjaan lain bagi Ibu selain memasak makan malam pada waktu aku datang. 

"Pak Daniel nunggu di perpustakaan." Ibu memberi tahu. 

"Perpus- dimana?"

Kenapa Pak Daniel tidak memberitahuku memindah tempat belajar? Hah, Sudah malam, Aku malas pergi keluar lagi. 

"Lantai atas."

"Hah?" Aku menaikkan kedua alis lalu menengadahkan kepala ke atas. Seakan bisa menembus dinding-dinding langit untuk melihat apa yang ada di atas sana. "Ada perpustakaan di atas?"

"Ke atas saja, belok kanan. Cari pintu berwarna coklat di sebelah kananmu."

Aku menurut. Menaiki tangga yang berada tepat di sebelah ruang dapur. Begitu tiba di atas, ada lorong ke arah kanan dan kiri. Cahaya yang hanya bersumber dari beberapa lampu hias yang menempel di dinding membuat sepanjang lorong temaram. 

Aku berbelok ke arah kanan, seperti kata Ibu. Dan langsung menemukan pintu berwarna coklat yang mencolok karena berbeda dari pintu lainnya yang berwarna hitam. 

Di bagian atas terasa lebih sejuk. Untung saja kaki telanjangku berbatasan langsung dengan karpet berwarna abu-abu gelap yang melapisi seluruh permukaan lantai. Jika tidak, rasa dingin pasti terasa lebih menyengat. 

Aku mengetuk pintu. Ada sahutan dari dalam yang menyuruhku masuk. Itu suara Pak Daniel. 

Aku membuka pintu dan melangkah masuk. Deretan rak buku yang berdiri sejajar membuatku terperangah. Pak Daniel benar-benar membuat sebuah perpustakaan di rumahnya sendiri. 

Aku berjalan menghampiri seseorang yang duduk di balik meja di ujung ruangan setelah menutup pintu. 

Pak Daniel mencopot kaca matanya begitu melihatku memberikan tugasnya kemarin. 

Untuk beberapa saat, dia tampak biasa saja. Aku terus memperhatikan ekspresinya. Merasa tenang. Semua jawabanku pasti benar dan hal itu pasti mengejutkannya. Tentu saja, si pintar Gatra yang sudah mengerjakannya. Semua jawabannya pasti sempurna. 

Tetapi tidak lama kemudian tampak kernyitan di dahinya. Apa ada yang salah? 

"Kemari lah. Berdiri di samping."

Aku menurut. Berjalan memutar meja dan berdiri di sampingnya. 

"Semuanya benar."

Aku menghembuskan nafas lega. Tapi kenapa ia terlihat tidak puas?

"Tapi," Pak Daniel kembali membuka mulutnya, membuat jantungku berdegup kencang. "Tiga soal terakhir," Pak Daniel menengadahkan kepalanya untuk menatapku. "Ini soal jebakan."

Hah, apa maksudnya? 

"Melihat kemampuanmu, pasti tidak akan mampu menyelesaikan soal yang belum Saya ajarkan."

Apa? Aku tergagap. "I-Itu, Mita tanya sama temen, Pak."

"Jadi begitu." Pak Daniel mengembalikan tatapannya ke arah buku ku. Namun sesaat kemudian kembali menatapku dengan tajam. "Mungkin Saya bisa memakluminya jika Mita hanya bertanya."

"Tapi saya tahu kamu berbohong." lanjut Pak Daniel. Aku tercekat. "Kemarin Saya sudah bisa melihat jawaban nomor dua salah, tapi sekarang berubah benar."

Aku tergagap. Tidak bisa mengatakan apapun lagi. 

"Kamu bukan bertanya. Kamu membiarkan seseorang mengerjakannya. Menyerahkan tugasmu padanya. Membiarkan dia mengutak-atik jawabanmu. Dia sangat pintar, bahkan melihat jawabanmu yang salah, lalu membenarkannya. Apakah seseorang akan bertanya jawaban dari soal yang sudah dijawab? Padahal kamu sendiri tidak tahu itu benar atau salah."

Pak Daniel menyilangkan tangannya di depan dada. "Bagaimana ini? Tidak akan ada kemajuan jika kamu terus seperti itu. Dan jika Ibumu-"

Aku berlutut di depannya. "Jangan. Jangan bilang ke Ibu, Pak. Mita mohon." Aku melihat Pak Daniel tidak bergeming. "Mita janji bakalan serius belajar. Mita janji. Maafin Mita, Mita juga janji nggak bakalan kayak gitu lagi. Ini salah Mita. Hukum aja Mita."

"Nah, kamu pasti ingat apa yang Saya bilang kemarin, ya?"

Aku mengangguk lemah. 

"Benar. Hukuman." Pak Daniel seperti bergumam untuk dirinya sendiri. "Seharusnya Saya katakan kemarin. Pasti membuatmu enggan melakukan sebuah kesalahan. Ingin tahu hukumannya?"

Aku tidak menjawab. Kenapa dia harus bertanya? Tentu saja aku tidak ingin tahu. Mendengar kata 'Hukuman' nya saja sudah menakutkan. 

Aku menunggunya melanjutkan, tapi Daniel terdiam. Tidak ada kata-kata yang keluar dari dalam mulutnya untuk beberapa saat. Membuat ruangan sangat sunyi. Degup jantungku yang sangat kencang, mungkin sanggup terdengar saat ini. Detik yang terlewati terasa lama sekali. 

Aku terlonjak mendengar keheningan yang tiba-tiba terpecah. Suara kursi Pak Daniel yang berputar ke arahku terdengar keras dan mengagetkan. 

Refleks, aku mendengak. Mendapatkan tatapan pria itu yang menggelap, sebelum ia menunduk dan berbicara pelan di samping telingaku. 

Setelah kejadian waktu itu, ini kedua kalinya aku berada sedekat ini dengannya. Dia berbisik. 

"Hukumannya adalah… Saya akan mengklaim salah satu bagian tubuhmu, menjadi milikku." 

Apa?! 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status