Share

Lips, Then Hands, Then...

Dia semakin mendekat. "Dan kamu, tidak bisa menolak, Mita."

Aura yang menguar dari tubuhnya seakan mengikatku. Membuatku tidak berkutik. Jenis hukuman apa itu? Kenapa terdengar tidak biasa?  Kenapa dia tidak memberi hukuman yang biasa-biasa saja? 

Tubuhku… bagaimana bisa dia berhak memilikinya? Tidak. Mungkin itu hanya ancaman untuk menakutiku agar tidak melakukan sesuatu yang salah lagi. 

Aku tidak bisa berkata-kata karena saat ini, tatapannya seperti tidak ingin mendengar protes keluar dari mulutku. Aku tidak bisa menolak, benar katanya. Apalagi mengingat aku telah membuat kesalahan. 

Dia menjauhkan kepala nya. "Bangunlah." perintahnya sambil mengulurkan kedua tangannya. 

Aku menelan ludah. Memperhatikan jari jemari nya yang besar dan tampak kuat. Apa aku harus menyambut uluran tangannya? 

Tapi uluran tangan itu terlihat benar-benar hanya ingin membantuku untuk bangun. Tidak ada niat tersembunyi yang ingin ia lakukan. 

Akhirnya, aku memutuskan untuk menaruh kedua tanganku di atas tangan itu. Lihat, tanganku begitu kecil dan rapuh dalam genggamannya yang kokoh. 

Ada sebuah sengatan saat aku menyentuh kulitnya, yang rasanya tidak bisa kujelaskan, yang jelas rasa itu membuat jantungku melemah. 

Tidak, aku memang belum pernah merasakannya. Mungkin karena dia laki-laki? Ah, Tidak juga. Aku pernah menyentuh tangan Gatra tapi biasa-biasa saja. Tidak ada perasaan sedahsyat ini. 

Mungkinkah karena dia guruku? Benar. Mungkin karena pikiranku terus mengingat pertemuan pertama kami yang salah. Dan mungkin karena dia juga lelaki yang berkata akan memiliki tubuhku. Mungkin karena itu aku bisa merasakan sesuatu yang sangat asing. 

Dengan perasaan gelisah dan lutut yang lemas, aku berusaha untuk bangun. Menopang berat tubuhku di genggaman yang mencengkram tangannya. Saat kakiku mulai berpijak dengan benar, aku menarik nafas panjang. 

Mungkin saat ini aku harus meminta maaf sekali lagi. Mengubah suasana menjadi seperti biasa lagi. Aku yakin tidak akan bisa belajar dengan baik jika perasaanku setegang ini.

Niat ingin menundukkan badan untuk meminta maaf, tertunda. Karena saat aku menarik tanganku, dia tidak melepaskannya. Dia malah mengelus-elus punggung tanganku dengan ibu jari nya. Membuat bulu halus di seluruh lenganku meremang. 

Aku mencoba menarik tanganku, tapi dia malah balas menarik ke arah yang berlawanan. Membuatku sedikit limbung ke depan. Tatapannya kini kembali terpusat di kedua bola mataku. 

"Sudah saya katakan, kamu tidak akan bisa menolaknya." ucapnya lagi. 

Apa? Jadi dia serius? Aku menatap nanar kedua tanganku yang masih di genggamnya. Jangan bilang dia menginginkan… 

"Saya menginginkan ini." Senyum tipis tersungging di ujung bibirnya. "Ini milikku sekarang."

Duh, harusnya aku meminta belajar di lantai bawah saja tadi. Tidak mengikutinya ke dalam ruangan sepi ini. 

Bahuku menegang, nafasku terhenti sesaat, saat dengan cepat dia mendaratkan sebuah kecupan di punggung tangan kananku, lalu memutar kursinya sambil mengangkat tanganku ke atas. 

Dalam sedetik, dia sudah berputar menghadap arah yang berlawanan. Membuatku berdiri di belakang sandaran kursinya. Perlahan, dia meletakkan kedua tanganku di atas pundaknya, di sebelah kiri dan kanan. 

"Pijat." ucapnya sambil menepuk-nepuk punggung tanganku di atas pundaknya.  

Aku membelalak. Setelah semua yang dia katakan… Setelah membuatku berada dalam ketakutan… 

Dia hanya ingin dipijat? Apa ini hukumannya? Kenapa dia tidak mengatakan langsung jika ingin dipijat? Kenapa dia harus melakukan semua itu? 

Tapi, perlukah dia mendaratkan kecupan itu? 

"Oh iya, ponsel?" satu tangannya menengadah ke belakang. 

"Hm?" Aku mengangkat kedua alis. 

"Ponselmu."

Menyadari permintaannya, aku mengeluarkan ponsel dari saku celana kemudian memberikan ponselku padanya. 

Dari belakang, masih dengan memijat pundaknya, aku mengintip apa yang dia lakukan. Ternyata menyimpan -yang kutebak- nomornya sendiri di ponselku. 

"Untuk berjaga, jika kamu ingin bertanya-tanya."

****

Kututup payung biru bermotif bunga-bunga yang basah kemudian meletakkannya di keranjang payung yang di sediakan. Disaat-saat hujan seperti ini, Pak Herman, tukang bersih-bersih gedung sekolah, pasti menyediakannya agar para siswa juga guru yang membawa payung bisa meletakkan payung dengan rapi. 

Sebelum naik ke lantai atas menuju kelas, aku duduk di ujung tangga. Mengeluarkan sebuah kantong plastik dari dalam tote bag hitam milikku yang berisi sepatu dan kaos kaki yang perlu kupakai setibanya di sekolah. Karena becek, aku memilih memakai sandal saat berangkat tadi agar sepatuku tidak basah dan kotor.

Saat mencoba menyelesaikan ikatan tali sepatuku, ada sepasang langkah yang berhenti tepat di depanku. Aku sudah bisa merasakan aura itu. Itu pasti dia. Aku menarik nafas kemudian mendengak. Kugoreskan senyum tipis dan memberi salam untuk menghormatinya sebagai guruku. 

"Pagi, Pak." 

Dia tidak menjawab dan hanya memperhatikanku sesaat. Kemudian melangkah pergi. 

Aku menghembuskan nafas. Sebentar, kenapa aku menahan nafas? Ck, kenapa tubuhku selalu bereaksi berlebihan jika ada dia. 

Aku kembali berkonsentrasi mengikat tali sepatu. Namun, punggung tangan kananku seperti ingin diperhatikan. Aku menatapnya.

Waktu itu, bibir. Lalu, tangan. Kemudian apa?

Tidak. Apa yang baru saja kupikirkan? Kenapa seperti aku mengharapkan perlakuan seperti itu darinya lagi. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tidak, Mita. Kau harus sadar itu tidak boleh. 

Aku menyelesaikan simpul, mengambil sandal, dan memasukkannya ke dalam plastik bekas sepatu tadi, mengikat plastik dan menaruhnya kembali ke dalam tote bag. 

Dingin semakin menusuk. Kini petir juga menggelegar. Hujan benar-benar tidak mereda sejak dini hari tadi. Sambil meringis kedinginan, aku memasukkan tanganku ke dalam saku cardigan rajut berwarna merah muda yang melapisi tubuhku.

Hanya ada beberapa siswa yang baru tiba di kelas, termasuk Gatra yang sedang sibuk merapikan tumpukan kertas di meja guru. 

"Ngapain Gat?" tanyaku sambil menaruh tas di meja milikku.  

Tidak menjawab, Gatra malah memanfaatkan keberadaanku setelah menyadarinya. "Mit, bantuin donk."

Aku mendekat. 

"Bawain setengah ke ruang guru." jelasnya. "Nanti setengah lagi biar gue aja yang bawa kalau udah selesai."

Memang ada 2 tumpukan kertas yang menggunung. Aku mengambil salah satunya. 

"Ke meja siapa?" tanyaku. 

"Bu Indah."

Aku langsung pergi ke ruang guru begitu mendengar jawaban Gatra. 

Bu Indah. Guru Bahasa Inggris. Guru perempuan yang paling cantik di sekolah ini. Anak Laki-lakinya masih duduk di sekolah dasar namun sayang beliau sudah bercerai. Jadi kini menyandang status janda.

Kebetulan, beliau terlihat berdiri di depan pintu ruang guru sambil merapikan rambut panjang bergelombangnya. 

Niat ingin menyapa ku urungkan, saat melihatnya merapikan baju kerjanya sambil membuka 2 kancing teratas kemejanya,  membuat belahan dada nya hampir terlihat bahkan dalamannya yang berwarna hitam bisa mengintip, sangat kontras di kulitnya yang putih. 

Aku melihat kesana kemari, untung saja tidak ada orang lain di sekitar situ selain aku. Bagaimana jika murid laki-laki atau guru laki-laki yang melihatnya.

Untung tadi bukan Gatra yang kesini. 

Aku berjalan mendekat. Tapi aku berhenti, tidak jadi masuk saat melihat apa yang Bu Indah lakukan adalah berjalan mendekati meja Pak Daniel. 

Aku mundur, perlahan. Mengintip dari ambang pintu. Mencuri lihat dan dengar. Aku tahu tidak boleh melakukan hal ini. 

Tapi seperti biasa, aku tidak bisa menahan rasa penasaran. 

Tidak apa-apa 'kan? Yang penting jangan ketahuan menguping. 

"Pak Daniel, sedang sibuk?" Suara Bu Indah tidak terdengar seperti biasanya. Aku tahu. Bu Indah sengaja sekali membuat suaranya terdengar lebih lembut. 

"Hm." Jawab Pak Daniel singkat tanpa melirik sedikitpun kepada wanita dihadapannya. 

"Boleh saya tahu apa yang Bapak kerjakan?" Bu Indah merunduk mencoba mengintip apa yang di kerjakan Daniel di atas mejanya. 

Aku tahu apa yang sedang dilakukan Bu Indah. Dia sedang mencoba merayu Pak Daniel. Hah, aku ingin lihat apa pria itu tertarik. Bu Indah 'kan cantik. 

Dari tempatku berdiri, aku bisa mendengar Bu Indah mendengus. Tapi Pak Daniel bahkan seakan tidak menyadari ada wanita di depannya yang sedang mencoba menarik perhatiannya dan bahkan rela membuka pakaiannya. 

Bu Indah menyeret salah satu kursi ke samping Pak Daniel agar bisa duduk di sana. Kelakuannya, akhirnya membuat pria itu melirik sebentar ke arah Bu Indah namun dengan kening berkerut. Seakan pria itu melihat orang aneh di depannya, tapi tak lama kemudian pria itu kembali berkonsentrasi ke tengah mejanya. 

"Apa sih, yang membuat Bapak begitu serius?" Bu Indah mencondongkan badannya. Sengaja menggesekkan bagian depan tubuhnya ke lengan Pak Daniel. Aku tahu itu sengaja. Ya ampun, aku melihat hal yang menggelikan. 

"Bu Indah," akhirnya Pak Daniel bersuara. "Saya mohon untuk menjaga jarak. Ini membuat saya tidak nyaman." 

Bu Indah ditolak? Aku menutup mulutku. Takut-takut tawa keras dalam hati ku tidak sengaja sampai mengeluarkan suara. Entah kenapa aku merasa puas sekali. 

Sebentar, tapi kenapa aku sesenang dan sepuas ini saat melihat Pak Daniel menolak Bu Indah? 

Lama-lama tumpukan kertas yang kubawa berat juga. Ketukkan sepatu yang beradu dengan lantai juga membuatku menoleh ke belakang. Gatra terlihat berjalan menyusulku. Sepertinya Aku harus segera menginterupsi kegiatan Bu Indah. 

Aku berdehem dan mengetuk pintu ruang guru. Dua orang yang berada di dalam melihat siapa yang datang. Bu Indah terlihat kikuk dan cepat-cepat merapikan bajunya lagi. 

"Taruh aja di meja Ibu, Mit." 

Aku menurut dan masuk bersama-sama dengan Gatra yang sudah berhasil menyusulku. 

"Thank you, Mit." ucap Gatra pelan, setelah kami meletakkan tumpukkan kertas-kertas di atas meja. "Yuk, Gue traktir beli es."

"Dingin gini minum es." sahutku sambil berjalan pelan menuju pintu keluar. Gatra mengekor. 

"Ya udah gue traktir pelukan."

Aku menarik nafas terkejut. Beraninya dia mengatakan itu saat berada di ruang guru, namun tampaknya Gatra sama sekali tidak peduli karena dia malah tertawa. 

Aku melirik ke belakang, takut-takut Bu Indah yang sedang berjalan kembali ke mejanya mendengar kami tanpa sengaja. Tapi sepertinya tidak. Bu Indah tidak mendengarnya. Malahan yang kulihat adalah tatapan menusuk Pak Daniel ke arah kami.

Aku melotot ke arah Gatra. "Gila lo ya." ucapku pelan. 

Gatra terbahak. "Hahaha… canda Mit."

****

Ingin rasanya aku memaki pada gerombolan air yang jatuh dari langit namun tidak memberikan tanda-tanda berhenti. Menjengkelkan memang, bahkan sampai pulang sekolah saat ini hujan masih berlangsung. Bisa-bisa rumahku kembali terkena banjir. 

Tapi mungkin, di bagian bumi belahan lain pasti ada yang sedang membutuhkan nya. Jadi aku tidak bisa menyalahkan rahmat yang sedang diturunkan hanya karena jalanan yang becek dibuatnya. 

Mau tak mau aku mengganti sepatuku lagi dengan sandal karena untuk mendapatkan angkutan umum aku harus berjalan beberapa meter menjauhi gedung sekolah. 

Aku sungguh-sungguh tidak suka kakiku berada dalam sepatu dan kaus kaki yang basah, rasanya benar-benar tidak nyaman. 

Suara klakson mobil membuat langkahku terhenti. Aku menoleh. Mobil hitam yang bagiku tidak asing melaju kemudian berhenti di sampingku. 

Bukankah ini mobil Pak Daniel? 

Aku mencoba melihat ke dalam dari jendela mobil yang kemudian bergerak terbuka. 

"Masuklah." teriak Pak Daniel dari balik kursi pengemudi. 

Aku membuka pintu mobil penumpang bagian depan, kemudian cepat-cepat masuk dan menutup payung. 

"Ada apa Pak?"

"Kamu tidak bisa pulang."

"Hah?" Apa maksud perkataannya?

"Ibumu pasti belum memberitahu? Cepat telpon Ibumu." 

Aku menurut, mengeluarkan ponsel dari dalam tas lalu menghubungi Ibu. 

"Bu, ada apa? Pak Daniel bilang aku tidak bisa pulang?"

"Banjir Mit. Sungai meluap lagi." 

Aku memejamkan mata. Sudah menduganya.

"Kita ngungsi dulu ke rumah Pak Daniel."

Perkataan Ibu membuatku membuka mata dan langsung melirik ke arah Pak Daniel. 

Aku berteriak terkejut. "Kenapa? Biasanya juga di masjid." Aku protes. 

"Udah jangan banyak protes. Ibu lagi pulang dulu ambil baju. Jadi kamu pulang dulu ke rumah Pak Daniel, terus gantiin Ibu siapin makan siang buat Pak Daniel. Udah ya." Ibu memutuskan sambungan secara sepihak. 

Mobil yang kunaiki kembali melaju perlahan-lahan.

Kutatap benda persegi panjang di tanganku dengan tidak percaya. 

Kenapa waktu yang berlalu, seakan berperan untuk membuatku terus berkeliaran di sekitar lelaki itu. Huft, hal ini membuatku frustasi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status