Entah kenapa aku malah memejamkan mata. Berharap semua hanya mimpi. Tapi ini terlalu nyata. Kelembutan bibirnya di atas bibirku, terlalu nyata untuk menjadi mimpi.
Dia melepaskan sentuhannya, tapi masih tidak membiarkan kepalanya menjauh. Baik, ini Kesempatanku untuk menyingkir.
Namun lagi-lagi, tubuhku tidak mau bergerak menuruti keinginanku. Otakku mengatakan ini berbahaya, hatiku berteriak untuk segera pergi. Tapi aku hanya bisa diam. Tubuhku menginginkan dia melakukannya sekali lagi.
Astaga.
Seakan menjawab keinginanku, dia benar-benar menyentuhkan bibirnya sekali lagi. Kali ini bukan hanya menyentuh tapi dia juga sedikit menghisap bibirku. Aku bisa merasakan rasa mint pasta gigi yang segar darinya.
Apa karena dia tidak melihat penolakan dari diriku hingga semua ini belum berakhir?
Tapi, Kenapa juga aku menikmatinya? Lupa akan fakta bahwa dia adalah orang asing yang baru kutemui beberapa menit lalu. Aku tidak tahu siapa dia. Aku bahkan tidak tahu namanya. Aku hanya tahu dia majikan ibu. Majikan ibu! Dan ini, juga ciuman pertamaku!
Kenyataan itu membuatku tersentak. Dengan usaha keras aku mendorong bahunya menjauh. Berusaha rela melepaskan sesuatu yang sedang kunikmati.
Pria itu menarik sudut bibirnya. "Chocolate?" Ia masih mengamati bibirku.
Aku mengusap bibirku yang basah dengan tanganku. Oh ya, aku memang habis memakan coklat tadi.
Walau kakiku masih lemas, aku sadar tidak boleh berada terus disini bersamanya. Tanpa mengatakan apapun pada pria itu, aku turun dari kursi, memakai ranselku dan berjalan cepat keluar dari ruangan itu dari pintu yang berbatasan dengan ruang cuci tadi.
Sesampainya di gerbang depan, aku berpapasan dengan Ibu yang baru tiba. Ibu turun dari sepeda lalu mengembalikan sepeda itu kepadaku.
Ibu hanya menatapku heran, melihat aku menekuk wajah dan tidak mau mengatakan apapun. Tiba-tiba ibu menarik ranselku sesudah aku naik ke atas sepeda dan hendak melaju.
"Eh, kok resletingnya kebuka mit." Ibu membantu menutupnya dengan mudah. Loh, kenapa tadi resletingnya macet?
****
"PR lo udah selesai, Mit?"
Aku mengangguk pada Gatra yang mengekor di belakangku sejak masuk dari pintu kelas.
"Tumben." ucapnya penasaran. Gatra, setiap ada PR matematika pasti aku meminta tolong padanya untuk mengajariku. Atau kita akan belajar berkelompok.
Dia termasuk siswa yang cerdas juga teladan. Tidak pernah melanggar aturan sekolah, tidak pernah terlambat, pintar di semua mata pelajaran, selalu masuk ranking di peringkat 3 teratas, pakaian yang selalu rapi dan wangi, rambut yang tertata dengan potongan pendek.
Apa orang yang terlihat tanpa celah seperti itu adalah orang yang kaku? Atau orang pendiam yang tidak bisa berbaur?
Tidak. Gatra keren. Diluar jam sekolah ia selalu bergaya sesuai pada tempatnya. Koleksi sepatunya dari brand ternama luar negeri tidak terhitung. Aku tahu karena pernah bertandang ke rumahnya untuk kerja kelompok. Tentu harganya sangat mengerikan. Tapi aku tahu harga bukan masalah bagi Gatra yang terlahir dalam keluarga kaya. Dan Gatra, cukup pintar dalam bergaul.
Pertanyaan Gatra tentang PR matematika membuatku teringat lagi kejadian kemarin sore. Pada orang yang membantuku menyelesaikan tugas matematika itu. Pada orang asing yang mencuri ciuman pertamaku dan bodohnya aku yang terbuai ketampanannya.
"Mit. Mitaaa…"
Aku mengerjap-ngerjap. Gatra membantuku mengembalikan kesadaranku yang mulai melayang pada kejadian kemarin, dengan cara menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajahku.
"Eh, apa Gat?" Akhirnya perhatianku terfokus pada Gatra yang mendudukkan pantatnya di ujung mejaku.
"Lo nggak ngedengerin gue, Mit?" Gatra menyilangkan tangannya di depan dada. "Gue ta-"
Brugh!
Aku dan Gatra mengalihkan perhatian pada Sashi yang duduk dengan kasar di kursi sampingku. Nafasnya tersengal.
"Perasaan, hari ini nggak ada pelajaran olahraga." gumamku melihat Sashi yang masih menstabilkan nafasnya.
"Bukan. Hosh…"
Untuk seseorang yang sangat memperhatikan penampilannya, Sashi langsung mengambil cermin kecil dan sehelai tisu dari tasnya, menghapus keringat di wajahnya perlahan-lahan agar tidak merusak riasannya sambil melihat ke dalam cermin.
Aku yakin, sebenarnya Sashi Sudah cukup cantik tanpa semua riasan itu. Tapi hobi nya dalam merias diri juga tidak bisa disalahkan. Yang penting Sashi tidak berlebihan dalam merias dirinya sendiri dan cukup nyaman dipandang mata.
Kadang Sashi pun mengajariku sedikit pengetahuan bersoleknya. Sepertinya, Sashi memang punya bakat alami di bidang itu. Mungkin dia bisa menjadi MUA atau seorang fashion designer nanti.
"Ck," Gatra berdecak. "Nunggu dia ngomong, belanda keburu nyerang."
Aku tertawa kecil. Memang benar, setelah Sashi tiba dengan terburu-buru tadi, Sashi belum melanjutkan perkataannya tetapi malah lebih mementingkan riasannya dahulu. Padahal aku dan Gatra sudah penasaran dari tadi, ingin tahu alasan kedatangan Sashi yang berlari-lari.
Sashi tidak peduli dengan sindiran Gatra, sampai Ranti dan Gilang datang menyusul.
Gilang, pacar Sashi. Paling jangkung di antara kami. Dia kapten tim basket dan sama tampan dengan Gatra. Bedanya Gilang lebih suka melontarkan humor. Dia juga kadang lebih santai daripada Gatra.
Ranti meletakkan tasnya di bangkunya yang tepat di hadapanku. "Lo pasti belum denger, Mit." Tebak Ranti.
Sementara, Ranti adalah perempuan yang biasa saja. Sama sepertiku. Tidak ada sesuatu dalam dirinya yang terlalu menonjol. Namun dibanding Sashi, aku lebih satu frekuensi dengan Ranti.
Aku, Ranti dan Sashi menjadi sahabat sejak masuk SMA. Lalu ada Gilang, karena Ranti akrab dengannya. Lalu kami kenal Gatra karena Gatra sahabat Gilang.
Ah pokoknya setelah itu, sejak masuk SMA, kami saling berteman. Siapa sangka lama kelamaan Gilang dan Sashi saling menyukai satu sama lain.
Aku mengernyit tidak mengerti. "Denger apa?"
"Ish. Murid yang dateng duluan malah ketinggalan gosip." Gilang menyahuti.
"Ada guru baru." lanjut Ranti.
Gatra menurunkan pantatnya dari atas meja. "Kalau itu gue juga udah denger. Ada guru baru heboh amat sih."
Aku setuju dengan ucapan Gatra. Sudah sering ada pergantian guru dan menurutku tidak perlu sampai seheboh ini. Sampai beritanya harus disebar luaskan dalam lingkungan sekolah. Sampai setiap murid harus membicarakannya seperti Ranti dan Sashi.
"Gue yakin, Lo belum lihat sosok guru barunya. Ya kan, Mit?" Sashi akhirnya menurunkan cerminnya. "Ganteng bangeeeet."
"Jadi gitu. Gantengan dia ya daripada aku." Gilang pura-pura sewot.
Sashi terkikik geli. "Nggak donk. Bebeb Gilang masih tetep paling gantenggg."
"Bebeb gilaaa!" teriak Gatra sambil kembali menuju kursinya setelah bergidik ngeri mendengar percakapan Gilang dan Sashi. Bertepatan dengan bel masuk berbunyi.
Gilang yang belum menaruh tasnya, akhirnya buru-buru meninggalkan mejaku dan Sashi.
"Matpel pertama apa?" tanya Sashi.
"Matematika." sahut Ranti pelan sambil mencondongkan punggungnya ke belakang, agar kami dapat mendengarnya.
"Yes! Berarti guru baru kesini donk." Sashi kegirangan.
Aku tidak tahu semenakjubkan apa sosok guru baru itu. Setampan apapun beliau, pasti tidak bisa menandingi lelaki itu. Lelaki yang mendekati kata sempurna dari segi penampilan untuk seorang manusia, walaupun orang bilang di dunia ini tidak ada yang sempurna, tetapi lelaki itu memang jauh di atas rata-rata. Bagaimana jadinya ya, jika Ranti dan Sashi melihat seseorang yang kujumpai kemarin sore.
Aku menggeleng-geleng pelan. Mencegah pikiranku kembali mengingat hal itu. Aku perlu fokus untuk pelajaran hari ini.
Aku mengeluarkan buku dari dalam tas. Aku sudah berjanji pada Ibu akan memperbaiki nilaiku. Ujian hanya tinggal menghitung minggu. Paling tidak aku harus mendapatkan nilai rata-rata untuk soal ujian nanti.
Suasana kelas yang semula ramai, tiba-tiba hening begitu seseorang masuk. Aku ikut meluruskan pandangan ke depan kelas seperti yang lainnya, memperhatikan seseorang yang sudah berdiri di tengah ruangan.
Sekarang, aku tahu kenapa guru baru itu menjadi bahan pembicaraan yang menimbulkan kehebohan di lingkungan sekolah sejak pagi. Aku tahu kenapa Sashi jadi ribut sekali, dan Ranti yang biasanya tidak suka bergosip ikut tertarik, tidak seperti biasanya.
Iris abu-abu itu menyisir ruangan dari ujung ke ujung. Aku tercekat saat tatapan itu juga menangkap diriku.
"Pagi. Saya Daniel. Mulai hari ini menggantikan Pak Surya untuk mengajar mata pelajaran matematika."
Aku jadi ingat perkataannya yang dulu pernah menjadi seorang tenaga pengajar. Tapi siapa sangka dia akan menjadi guru di sekolahku?
Tanpa sadar aku menyentuh bibirku dengan ujung-ujung jari. Tidak menyangka kemarin aku melakukan itu dengannya. Dengan guruku?
Kebetulan macam apa ini? Kalau begini, bagaimana aku bisa lebih berkonsentrasi untuk belajar?
1 hari.2 hari.3 hari.Sudah 3 hari semenjak kepulangan Pak Daniel ke Australia. Tuan Lambert meminta Daniel menemaninya berkunjung ke makam almarhum sang istri, ibu Pak Daniel.Walaupun komunikasiku dengan Pak Daniel tidak terputus, tapi tetap saja rindu untuk bertemu dengan sosoknya.Namun aku tahu, banyak pekerjaan juga yang harus Pak Daniel urus, sepertinya dia tidak akan kembali dalam waktu dekat.Aku tahu resiko menjalin hubungan dengan seseorang yang memiliki posisi penting, memang seperti ini. Aku tidak bisa menuntut semua waktunya untuk di berikan kepad
Aku rasa Pak Daniel tidak bisa berpikir jernih sekarang. Jadi aku mengambil alih plastik yang ada di tangannya kemudian meletakkannya di bawah, di sembarang tempat, berikut juga plastik di tanganku, kemudian menuntun Pak Daniel duduk di sofa yang berhadapan dengan Tuan Lambert. Hanya keheningan yang ada. Membuat kita semua jadi sedikit canggung. Sampai akhirnya Ibu berpamitan untuk pergi ke kamar. Mungkin sebaiknya aku mengikuti langkah Ibu. Aku tidak perlu terlalu ikut campur di antara mereka. Urusanku cukup sampai membuat Pak Daniel bertemu dengan Tuan Lambert. "Kalau begitu Mita juga-" "Tetaplah disini. Saya pikir, Daniel bisa lebih nyaman jika ada dirimu." Baru setengah bangun, Tu
Pagi ini, aku sedang sibuk membuat sarapan begitu Pak Daniel keluar dari kamarnya. "Kopi?" tawarku. Dia menghampiri. Berdiri di dekatku. "Boleh." jawabnya. Untuk membuatkan kopi, aku meninggalkan sejenak sarapan yang sedang ku masak. Pak Daniel masih berdiri di sampingku. Tubuhnya bersender menyamping pada salah satu lemari dapur yang tinggi. Tangannya bersedekap di depan dada. Saat aku melirik, dia menelengkan kepalanya. Perhatiannya tidak pernah teralih dari diriku. Membuatku sedikit gugup diperhatikan seperti itu. "Apa?" tanyaku. Takut-takut dia sedang membutuhkan sesuatu.
"Terima kasih." sahut Ibu setelah mendengar tanggapan Pak Daniel. Walau perkataan Ibu tadi demi diriku, tapi aku merasa tidak suka. Aku berjalan mendekati ranjang. "Ibu ngomong apa sih? Ibu nggak akan pergi kemana-mana." Ibu hanya tersenyum kecil mendengar ucapanku. **** Selama 2 hari, Ibu harus menginap di ICU. Setelah kondisinya berangsur-angsur membaik, akhirnya Ibu dipindahkan lagi ke ruang rawat inap. Aku sama sekali tidak mengeluarkan kaki dari gedung rumah sakit demi menjaga Ibu. Bi Laksmi juga sering datang hanya untuk membawakan pakaian ganti untukku dan
Aku berlari menyusul mereka.Ibu ada di atas ranjang itu, dengan badan yang terus bergoyang-goyang karena ketiga petugas kesehatan itu menyeret ranjang Ibu sambil berlari, tapi mata Ibu terus terpejam. Hal itu membuatku langsung tahu kalau Ibu sedang tidak sadarkan diri.Sayangnya, seorang suster menghalangi kami agar tidak melangkah lebih jauh ke dalam unit perawatan intensif."Mohon ditunggu di luar aja ya, Mbak." pinta suster itu."Kita tidak disana. Bisa jelaskan apa yang terjadi?" Pak Daniel mencegah suster itu yang hendak pergi tanpa menjelaskan apapun."Tadi ada suster yang mau ganti infus, Pak. Pas suster ngecek, Ibu Li
"Kalau begitu, saya kembali ke ruangan, Pak." Si Dokter yang sedari tadi menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar di samping Pak Daniel, mengakhiri pembicaraannya.Pak Daniel mengangguk. Akhirnya mengalihkan perhatiannya kepada dokter itu. "Hm. Terima kasih."Setelah Dokter itu menghilang kembali ke ruangan tempat mereka keluar tadi, Pak Daniel melihatku kembali.Tanpa peduli Milen yang masih bicara dalam telepon, aku menurunkan ponsel dari telinga dan mematikan sambungan."Mita pikir, Bapak di sini bukanlah sebuah kebetulan." Aku memberanikan diri untuk bicara."I-itu…. Saya berobat di sini."
Aku langsung meminta cuti begitu mendengar kabar Ibu dan langsung kembali ke Jakarta.Di tengah kesibukannya, Milen malah membantuku mencari jadwal kereta yang bisa berangkat paling cepat dan menyuruhku untuk tidak panik.Jadi, masih dengan baju dinas, sore hari aku sudah sampai di sebuah rumah sakit dimana ibu di rawat.Walau seluruh tubuhku lemas seakan tulang-tulang di tubuhku lenyap, namun aku masih bisa berlari-lari kecil saat berusaha mencari kamar Ibu. Dan setelah menemukannya, melihat kedatanganku, Ibu sedikit terkejut. Sementara Bi Laksmi yang duduk di samping ranjang Ibu tampak lega.Dengan kaki bergetar, aku berjalan mendekat.
"Kemana aja, Mit?" Milen sedang melahap roti panggangnya begitu aku kembali. Penampilannya sudah rapi. Ia melirik jam di pergelangan tangan untuk melihat apa masih ada waktu yang tersisa untuk bersiap-siap. "Masih lama. Udah cepet sana siap-siap."Aku mengacuhkan Milen. Memang berniat untuk langsung masuk ke kamar mandi. Menyiapkan diri untuk bekerja dalam keheningan. Juga sambil berusaha mengumpulkan konsentrasi untuk bekerja nanti. Walau aku yakin pikiranku pasti akan terpecah belah nanti.Di tengah perjalanan, Milen yang sudah menahannya sedari tadi, akhirnya menyuarakan pertanyaannya."Jadi, tadi malem Mita tidur dimana?"Dari ujung mata, aku melirik Milen sebentar, kemudian kembali lagi berkon
Walau ragu, aku akhirnya berjalan mendekat perlahan-lahan.Merasakan kehadiranku, lelaki itu menoleh dan langsung menegakkan pundak, bersikap siaga akan kedatanganku.Dia tampaknya sama sekali tidak ingin menyapaku, namun dia terlihat ingin mengatakan sesuatu namun segera di urungkannya, terlihat dari pergerakan mulutnya yang terbuka kemudian menutup dengan cepat."Pak Daniel ada di dalam?" tanyaku.Dia hanya mengangguk."Baiklah kalau begitu, tadinya Mita ingin berpamitan, tapi nunggu Pak Daniel keluar aja." aku berniat pergi, tapi berbalik dan bertanya lagi pada pria itu. "Apa… Tuan Lambert juga ada di dalam?"