Share

Dia Menyebalkan

"Selamat malam."

Nadhira hampir mengumpat, tangannya mengelus dadanya yang berdetak kencang. Ingat tadi siang tidak dipedulikan Ekna, ia berniat untuk balas dendam. Nadhira berdiri, berjalan menjauhi lelaki itu, keluar basemen dengan memakai helm full face kebesaran.

Ekna tersenyum tipis. Bukannya mengejar Nadhira, ia malah pergi.

Sampai di atas, Nadhira noleh, dilihatnya Ekna menghilang. Ada perasaan dongkol ketika lelaki itu tak mengejarnya.

Awas saja jika nanti tiba-tiba peluk dari belakang, aku pukul titid-nya. Pikir Nadhira kesal.

Semakin jauh ia berjalan, tiba-tiba ponselnya mati, ia menyesal karena sejak tadi ia bermain game hingga lupa tidak mengisi baterai.

Entah mengapa, keadaan tidak pernah berpihak padanya.

"Hai, tidak mau menumpang?" suara itu berasal dari mobil hitam yang tiba-tiba muncul di sebelah kanan Nadhira.

Langkah Nadhira terhenti. Melirik sebentar kemudian berakhir pada ponselnya yang mendadak tak berguna. Tidak salah juga ia pulang bersama Ekna meski ia lagi marah padanya. Lagian ia tak bisa memesan ojek online atau menghubungi Viko dengan keadaan ponsel mati.

Tanpa rasa malu, Nadhira membuka pintu mobil, masuk dengan wajah masam.

"Bagaimana hari kedua kerjamu?" Ekna membuka percakapan.

"..."

Nadhira tak berniat untuk menjawab. Ia justru membuka helm, menaruhnya di atas dashboard dengan wajah masam.

Ekna memutar bola mata, lalu kembali mengemudikan mobil dengan tenang. Melihat Nadhira tak sedang baik-baik saja, Ekna kembali bertanya.

"Kamu kenapa?" segera ia tersadar, "soal tadi siang?"

"..."

Setidaknya dengan diamnya, Nadhira akan tau seberapa ngebetnya Ekna padanya.

"Maafin aku, ya?"

Nadhira menunggu kata-kata selanjutnya.

Hening.

Hening.

Nadhira melirik Ekna yang tak lepas memandang jalanan. Karena kesal Ekna tak memberinya penjelasan, ia berteriak, "EMANG KAMU PACARAN SAMA AKU ITU GAK NIAT!"

Ekna menghentikan mobilnya tiba-tiba sehingga tubuh Nadhira terhuyung kedepan karena tidak memasang sabuk pengaman. Kepala gadis itu terbentur kaca helm yang terbuka, ketika ia menegakkan kepala terlihat darah di pelipisnya.

Nadhira meringis, berteriak melengking karena kesakitan, "AAW!"

Atensi Nadhira beralih pada Ekna. "Kalau kamu tidak niat antar aku pulang, tidak usah repot-repot. AKU BISA PULANG SENDIRI!"

Gadis berkuncir buntut kuda itu mencoba membuka pintu mobil, tetapi terkunci. Ia menoleh. "Buka enggak?"

Dengan tatapan tenangnya, Ekna menggeleng. "Tidak"

Nadhira semakin geram, ia berteriak lagi hingga gendang telinga Ekna terasa bergetar, nyaris jebol. "aku benci sama kamu! Buka tidak atau aku te—"

Ekna memotong. "Baiklah-baiklah"

Ekna membuka kunci pintu mobilnya membuat gadis itu segera keluar tanpa ucapan apa-apa, berlari dengan perasaan dongkol. Matanya menggenang, hampir saja menangis.

Nadhira terus berlari hingga kakinya terasa lemas, ada perasaan lega ketika ia melihat gang perkampungan kosannya. Langkahnya semakin ia percepat, melewati gang gelap dan sempit.

Jika di siang hari, gang itu terlihat biasa saja, tetapi entah kenapa di malam hari begini membuat bulu kuduknya merinding. Bukan, bukan hantu yang meracuni otak Nadhira, tetapi setan berwujud manusia.

Mengerti maksud Nadhira, 'kan?

"Malam cantik." ucap seorang lelaki dengan tato diseluruh lengannya. "Bos, ada cewek cantik, nih!"

Nah, sudah dibilang, kan?

"Baru balik, ya! Mampir sini sebentar, senang-senang dulu sini." lelaki lain datang dari rumah dengan lampu temaram. Sepertinya itu tempat para lelaki setan berkumpul.

Kaki Nadhira bergetar, ia berjalan mundur. Nadhira yakin masih banyak lelaki di dalam rumah dengan lampu temaram itu. Ia harus mencari cara agar ia bisa lolos.

Hingga muncul-lah satu ide, "SETAN KEPALA BOTAAAKK!! AAAAAAHHH!!"

Nadhira lari kalang kabut.

"B-bos, udah gue bilang, kan, rumah ... rumah ini angker!" ucap lelaki dengan tato di lengannya, ia mengusap tengkuknya yang tiba-tiba merinding.

Lelaki berkepala botak plontos itu melihat seluruh bangunan rumah tua yang mereka tempati. Tangannya mengelus kepalanya, ia tersadar sesuatu lalu memukul kepala anak buahnya itu, "gue setannya, goblok!"

Nadhira lega setelah melihat gerbang kosnya, ia segera melesat masuk lalu menutup gerbang rapat-rapat. Atensi Nadhira berhenti pada sekumpulan lelaki yang tengah berkumpul di depan kamar Rian. Sekitar ada 5 lelaki serta seorang wanita yang nempel-nempel Rian bak perangko. Sudah dipastikan ia adalah pacar Rian.

"Lo baru ngapain, Ra, kaya baru dikejar-kejar penjahat aja." tanya Rian sedang menyesap lintingan tembakau.

"Emang penjahat" ucapnya ketus sembari memberikan helm kepada pemiliknya

Viko berdiri, menghampiri Nadhira yang masih berdiri canggung. "Lo pasti lewat gang itu?"

Nadhira mengangguk.

"Gue bilang seharusnya gue yang antar elo pulang." Viko melihat luka di pelipis Nadhira, berniat menyingkirkan rambut Nadhira tetapi gadis itu tepis. "Berdarah, Dhira."

"Tadi kebentur." Nadhira mengernyit. "Jangan bilang lo khawatir sama gue"

"Iya. Apa salahnya?"

"Ya salah!"

"Jelasin dong apa salahnya." Viko malah menggodanya.

"Hey, Dhira! Si Viko lu kasih apa bisa-bisanya dia suka sama lu yang gesrek itu, ha?" ucap Rian diakhiri gelak tawa teman-temannya.

Nadhira menatap sinis Rian, atensinya berakhir pada pacar Rian. "Mbak, mohon dijaga pacarnya, ya. Takutnya nanti kaya Viko"

"Dhira!"

"Kabuurr!!" gadis itu berlari masuk ke kamarnya, menguncinya dari dalam. Ia mengintip Viko dari jendela kamar, lelaki itu masih berdiri disitu. Mengetahui Nadhira mengintipnya, ia tersenyum, lalu menunjuk ponselnya.

Nadhira melihat ponselnya, ia mendapat voice note dari Viko. Nadhira memutarnya, "gue siap lo repotin tiap hari, Ra."

Jujur Nadhira tak bermaksud membuat Viko baper gara-gara dirinya. Padahal ia sudah berjanji tidak bakal menjadi mbak ghosting, fuckgirl, atau sejenisnya. Ia ke Jakarta hanya ingin mencari ayahnya saja.

Nadhira segera melucuti pakaiannya, menggantinya dengan dress pendek, lalu mencuci kaki dan tangannya. Setelah ia melakukan itu semua, Nadhira merebahkan tubuhnya di kasur sambil memakan cokelat. Retinanya tak lepas dari layar benda pipih itu, membalas chat dari kakak kandung ayahnya yang tau keberadaannya sekarang.

TOK ... TOK ... TOK ...

"Dhira! Ada ojol bawain pesananmu!" teriak Viko di luar pintu.

Nadhira keluar, menatap curiga ojek online yang berbalut masker medis di depannya. "Dari siapa, ya, pak?"

Lelaki dengan jaket ojol itu membuka maskernya, terlihat wajah Ekna yang tersenyum. Benar-benar Nadhira tengah dimabuk cinta oleh kepala dapur itu. Wajah ojek online saja bisa berubah menjadi Ekna.

"Sadar, Dhira." Nadhira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Maaf pak, tapi–"

"Apa kamu baik-baik saja?" mendadak suara ojek online itu mirip suara Ekna. Lelaki mirip Ekna itu menyisipkan rambut yang menutupi luka di dahinya.

"Pak Ekna?" kali ini Nadhira sadar jika lelaki di depannya ini adalah Ekna.

"Aku mau minta maaf soal tadi di Hotel. Aku sangat sibuk, lagian aku nggak mau buat hidup kamu diusik yang lain gara-gara pacaran denganku"

Emang begini rasanya pacaran dengan orang ganteng. Penuh resiko. Tapi tak apalah, Nadhira sudah terlanjur bucin dengan Ekna. Titik.

"Permintaan maaf?" ia mengangkat satu kantong plastik yang beraroma nasi goreng seafood. Sangat wangi hingga Nadhira melamun memandangi kantong plastik itu sejenak.

"Boleh!" Nadhira segera menerimanya.

Nadhira melihat Ekna kemudian atensinya beralih pada sekumpulan lelaki yang nongkrong di depan kamar Rian. Menyebalkan ketika Rian memberinya tatapan meledek. "Aku–aku mau makan dulu di dalam. Pak Ekna pulang sana, besok masuk pagi 'kan?"

Ekna tersenyum, ia mengusap pucuk rambut Nadhira hingga gadis itu nge-blush. "Obati lukamu dulu, okey? Aku lihat tadi jagoanku bisa jaga diri dari preman."

"Kamu tau"

Ekna hanya memberikan senyuman termanisnya yang membuat Nadhira juga ikut tersenyum. Kemudian mengecup pucuk rambutnya. Duh Gusti–otak Nadhira tiba-tiba nge-lag.

"Duh, Viko kalah finish, nih!" Rian memberi tepuk tangan paling meriah melihat adegan sinetron didepannya. Sedangkan Viko melongo tak percaya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status