Share

Luka yang Belum Kering

Ekna menaiki satu per satu anak tangga dengan hati-hati. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mamanya yang tiba-tiba berteriak di dalam kamar. Pembantu yang menjaganya tengah menjemur baju di belakang. Tak ada yang menjaga anak itu.

"Mamaa! Mama kenapa?" kalimat polos itu terucap dari mulut Ekna setelah berdiri di ambang pintu.

Alih-alih ingin memeluk sang Mama, Ajeng melempar gelas ke hadapan Ekna. "Keluar anak kurang ajar!"

"Nyonya, astaga!" bik Minah lari tergopoh membersihkan pecahan kaca menggunakan lap yang sejak tadi ia bawa, takut jika anak juragannya itu terluka.

Sedangkan kaki Ekna berdarah akibat serpihan kaca yang terpental mengenai kakinya. Ia menangis dengan keras. Bukannya sang mama menolong, ia menarik lengan si anak keluar kamar. Turun dari lantai dua dan mendorongnya secara brutal.

"Mama!" Ekna berteriak sebelum ia benar-benar terjatuh berguling-guling. Ia berharap jika ia mendapatkan tatapan khawatir sang mama. Namun sepertinya ia harus menunggu ayam betina berkokok dulu baru mimpinya terwujud.

Tubuh Ekna mendarat di atas dinginnya lantai dengan luka di kepala serta sikunya. Ia masih sadar, mencoba berdiri dengan menahan tangis. Menatap sang mama yang menatap kosong ke arahnya.

Tak ada rasa bersalah atau kasihan.

Mengapa dunia ini begitu kejam pada anak sekecil itu? Lihatlah, dia, anak berumur lima tahun, diumur semuda itu ia sudah diuji. Memang cobaan tak pernah memandang umur.

Sedangkan Ajeng, dia adalah seorang ibu yang mentalnya terkoyak habis akibat penculikan itu. Ketakutannya selalu menghantui di setiap malam. Rasa sakit itu semakin membuatnya sesak ketika melihat anak itu. Darah lelaki itu–mengalir deras di tubuh Ekna. Dan lelaki itu–merenggut segalanya.

Lalu–mereka bisa apa?

Ini salah siapa?

Takdir? Atau Ekna?

Atau lebih tepatnya ... Lelaki itu?

.

Herdian membopong Ekna kecil tergesa-gesa membawanya masuk ke mobil. Ia begitu panik setelah pulang dari kantor melihat anak semata wayangnya berdiri di bawah anak tangga dengan darah di kepala serta kakinya.

"Papa, kepala Eks.. hiks.. beldalah pah. Mama kenapa jahat sama Eks." jelas Ekna merasa ketakutan.

"Pak, cepat antar kita ke rumah sakit terdekat." Herdian sampai tak mendengarkan celoteh anaknya. Sungguh demi apapun juga ia sangat mengkhawatirkan anaknya ini.

"Eks tidak nakal 'kan pah?"

"Eks, diam dulu. Tidak usah berbicara banyak. Ya Allah–"

.

"Dia anakmu Ajeng! Darah dagingmu sendiri. Kenapa kamu tega sama anak sekecil itu?" Herdian membentak Ajeng yang terdiam mematung, duduk di sofa ruang tengah dengan menyalakan televisi dengan volume tinggi.

Herdian tampak frustasi melihat istrinya yang acuh, tangannya memilih meremas kepalanya sendiri.

"Aku tak sengaja mendorongnya."

"Tak sengaja? Sudah berkali-kali kamu melakukan hal sekejam itu. Dimana hati nuranimu?"

"Dia hadir tanpa persetujuanku, mas. Lelaki itu memperkosaku tanpa moral. Rasa sakit itu masih ada, bahkan obat yang dokter berikan tak ada efeknya. Aku gak tau sampai kapan aku seperti ini. Bahkan hingga saat ini Tuhan tak memberikanku seorang anak. Aku bisa sembuh jika memiliki anak, mungkin."

Herdian duduk di sebelah istrinya, merangkul wanita yang ia cintai itu. Namun sang istri menggeser duduknya, memberi jarak.

"Aku ijinin kamu menikah lagi." suara Ajeng begitu serak, ia menahan rasa sakit setelah mengucapkan kalimat tadi.

Herdian bergeming. Sungguh dia tidak pernah meminta untuk menikah lagi, bahkan untuk berpikir seperti itu pun tidak. "Kenapa kamu berbicara seperti itu? Sedikitpun terlintas dari pikiranku untuk menduakanmu saja tidak ada. Tapi–argh!"

Ajeng tampak putus asa. Ia mengerti jika permintaannya ini sungguh egois. Yang ia inginkan hanyalah anak dari suaminya. Ia berjanji akan menyayangi anak itu.

"Aku sangat terbebani karena lahirnya anak itu, mas. Aku merasa jika kamu punya anak beban itu akan hilang."

Dari balik pintu kamar, Ekna menguping pembicaraan orang tuanya. Jelas ia tak paham apa yang diucapkan mereka. Namun satu yang ia tahu–

Jika mamanya sangat membencinya.

.

Lambat laun Ekna semakin besar, hari ini adalah hari pelepasan siswa kelas 6. Ekna tumbuh menjadi lelaki tampan dan cerdas. Tak sulit baginya mendapat nilai paling sempurna seangkatannya.

Semua orang bertepuk tangan ketika penyerahan penghargaan dari kepala sekolah pada Ekna. Namun mata lelaki itu terus menyorot di bangku penonton, mencari seseorang di antara kerumunan itu.

Tidak ada.

Kenapa begitu menyakitkan ketika ia berekspektasi berlebihan dan ternyata hasilnya adalah nihil.

Bahkan ini adalah permintaan sederhana, ia tak minta mobil remote control keluaran terbaru atau barang mahal lainnya. Ekna hanya ingin kehadiran kedua orang tuanya di hari berharganya ini. Tapi ... Kenapa hal semudah ini baginya sangat mustahil?

Yang dia tau, dia adalah anak diluar nikah. Dia lahir dari benih penjahat yang membuat hidup ibunya menderita bertahun-tahun.

"Ekna, orangtuamu dimana? Kamu tidak mau berfoto?" tanya wali kelasnya.

Rasanya semakin sesak, dadanya terasa ditindih dengan berbobot berton-ton beratnya. Saking sakitnya, ia tak bisa menangis. Ia kehilangan rasa ... Bahagia .... Sedih ... Dan tawa ...

Tit..tit..

Tit..tit..

"Sial! Ekna Firdausy! Lo mau bunuh gue dengan mengunci gue di dalam kamar?" teriak seorang lelaki menggedor pintu penuh dengan emosi.

Lelaki dengan piyama strip lebar warna pastel-putih itu tak bergerak sama sekali. Hanya terlihat perutnya yang naik turun dengan tarikan nafas yang halus. Mata sipitnya terbuka, ia akhirnya bangun lalu mematikan alarm ponselnya. Berdiri dengan membuat gerakan untuk merenggangkan persendian. Mengambil minuman panas dan mencampurkannya dengan air dingin di dispenser dapur bersih. Ia baru sadar jika ia semalaman tidur di sofa panjang. Kemudian–

Ah sial! Anak itu berulah kembali. Sahabatnya yang bernama Danu itu semalam ke apartemennya dengan keadaan mabuk berat. Apalagi kalau bukan karena cinta? Kemudian ia mengunci anak itu di dalam.

Alhasil, ia terpaksa tidur di luar.

"Wio bangke!" Danu tak kehabisan cara agar membuat Ekna mau membuka pintu, ia menggedor pintu semakin keras dengan makian. Ketika ia mendorong pintu dengan keras, pintu itu terbuka sehingga tubuhnya terhuyung keluar.

Ekna menangkap tubuh Danu, sesaat mereka saling menatap kemudian Ekna melepaskannya. Danu terjatuh.

"Gue masih normal." ia berjalan memasuki kamarnya, mengambil handuk.

"Lo mimpi itu lagi?"

"..."

"Beh! Orang ditanya bukannya jawab malah diam kek patung."

"Woi bangke!"

Ekna masuk kamar mandi, badannya sangat lengket karena tidur di luar tanpa AC. Ia teringat mimpinya semalam, entah hingga kapan ia bisa sembuh total dari perasaan itu.

Rasanya ia telah dikutuk oleh ibunya sendiri.

Meskipun begitu... setidaknya perasaan bersalahnya itu sedikit terobati setelah merasakan apa yang ibunya juga rasakan.

Setelah ia mandi, ia kembali ke ruang tengah. Melihat Danu yang telah pulang tanpa pamit, seperti biasa ia datang—pergi bak jelangkung.

***

"Pagi Ekna!"

Ekna hanya melengos pada wanita dengan setelan blazer hitam rok mini lengkap dengan heels tinggi nan lancip itu.

Ekna tampak—kesal?

"Ekna, maafin aku, please ... Ini demi karir aku di sini." wanita itu mencegat langkah Ekna.

Ekna berhenti, menatap tajam sepasang mata sayu milik wanita cantik itu. "Aku sudah punya pacar, Citra."

"Siapa?"

"Nadhira Khasanah."

Citra menarik nafasnya, ia percaya jika Ekna tak mudah pergi darinya. "Siapa?"

"Mau tau sekarang?"

Citra mengangguk mantap.

"Dia pacarku ... dibelakangmu" Ekna menuding seorang wanita di belakang tubuh Citra, ia tengah membawa square tray di depan lift memunggungi mereka.

"Di-dia? Bahkan dia tak ada apa-apanya dari aku, Ekna! Dimana seleramu yang dulu?"

Memang dilihat dari belakang, Nadhira tampak biasa saja.

Tanpa rasa peduli, Ekna melangkah menemui Nadhira yang menyambutnya dengan senyuman sumringah. Hingga tanpa di duga, bibir Ekna mendarat di pucuk rambut gadis itu.

Nadhira yang mendapat serangan di jam pagi ini mendadak nge-lag. Konslet.

Kenapa gadis itu tiba-tiba lemah di depan Ekna?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status