Share

06 Kenangan usang

06 Kenangan usang

Semilir angin pohon alpen yang bergoyang-goyang diterpa angin berhawa jingga. Paling syahdu memang menikmati senja menuju peradaban, di teras rumah. Memandang wajah-wajah kusam dan tawa riang bocah-bocah yang bajunya momot karena kelamaan berenang di kali. Mobil yang mengangkut Revan dan keluarganya baru saja memasuki pekarangan rumah joglo yang penuh pajangan barang antik. "Assalamuaikum, ibuk, bapak?" ucap ayah Revan mengetuk pintu yang tertutup sebelah. 

Tak lama datang seorang pria yang jalan terbungkuk-bungkuk sambil menyincing sarung, membuat ketukan berirama yang dihasilkan tongkat reyot. "Tari! Suamimu sama cucuku dateng ini," lantas ketiganya segera menyalami tangan keriput nan gemetar itu.

"Ayo masuk-masuk, mamamu masih nyuapin mbah puteri." 

"Udah besar putu lanang ini, ganteng tenan." Ucap kakek sambil menepuk-nepuk bahu Revan. 

Revan tersenyum lalu merangkul pundak kakeknya. "Kakung jangan tua dulu, biar bisa lihat Revan nikah," 

"Ya semua tergantung Gusti, doakan saja semoga sehat selalu." Revan mengangguk .

Mereka meletakkan koper masing-masing di ruang tamu. Revan berjalan menghampiri nenek dan ibunya, lalu mencium tangan mereka. "Ini suapin dulu, Mama mau bikin minum buat kalian." Revan mengambil alih mangkok berisi bubur yang disiram sayur sup, asupan untuk neneknya.

"Mbah puteri sakit apa?" Tanya Revan sambil menyendokkan buburnya.

"Biasa, meriang." Jawabnya lemah.

"Nggak pernah dikelonin mbah kakung, ya?" Tanya Revan yang langsung mendapat tabokan dari ibunya. 

"Kamu itu, sukanya godain aja." Ucap ibunya yang hanya dijawab kekehan oleh Revan.

"Emang papa mamamu, yang masih muda?"

Revan tak menjawab hanya tersenyum.

"Mbah puterimu itu, sekarang mana mau dikelonin," sahut kakeknya yang bermain catur dengan ayahnya di teras samping. Kamar ini memiliki dua pintu dan pintu yang satunya langsung terhubung dengan teras samping, yang kebetulan dibuka. Jadi, ayah dan kakek Revan dapat mendengar percakapannya dengan sang nenek. 

"Bener, kenapa nggak mau?" Tanya Revan.

"Ah, kamu itu. Enggak usah ditanggepin. Lagian mbah puteri sama mbah kakungmu ini udah tua," 

"Tua juga masih butuh kehangatan." Revan terkekeh, sedangkan neneknya hanya geleng-geleng kepala.

"Sekali lagi, yuk. Udah habis ini." Ucap Revan menyuapkan sendok terakhir bubur.

Ibu Revan, Tari, meletakkan secangkir teh di meja samping ranjang sambil membuka beberapa tablet obat. "Tumbah habis, Buk? Biasanya sisa terus," 

"Berarti Mama nggak ahli nyuapin nenek jompo." Jawab Revan menyombongkan diri.

Nenek yang tidak terima langsung menapok pelan lengan Revan. "Enak aja kamu! Jompo gini jiwanya masih muda."

"Kangen berat itu sama kamu," sahut ibunya.

Dahi Revan berkerut geli. "Masa iya? Makanan kesukaan Revan apa hayo, masih ingat nggak?" 

"Pepes ikan asin sama tahu putih, daun kemanginya dibanyakin." Jawab nenek penuh keyakinan.

"Iya, hehe. Besok masakin, ya?" 

Nenek mengelus rambut Revan penuh kasih sayang. Usapan terlembut kedua setelah ibunya. "Pegang sendok aja tangannya gemeteran, makan disuapin. Gimana mau buatin kamu pepes?" Revan mengangguk mengerti.

"Nggak apa-apa, kapan-kapan aja. Mbah puteri cepet sehat, nanti ajarin istri Revan masak pepes terueenak." Neneknya tersenyum lalu mengecup kening Revan.

"Ngomong-ngomong, mana adikmu?" 

"Nggak tau. Main di luar kayaknya," 

"Sana cari, suruh makan dulu." 

Revan mencari keberadaan adiknya, cewek itu tak terlihat sejak tadi. Ia mencoba mencari ke belakang rumah, ia menemukan sepatu Rere, tapi di mana orangnya? Astaga! Baru sampai Jogja udah nangkring di atas pohon matoa. Senderan di dahan pohon sambil menikmati senja kian tenggelam. "Re, turun! Makan dulu," 

Rere melemparkan buah matoa pada Revan, ia membuka buah lokal yang kini sudah langka itu. Rasanya manis seperti kelengkeng tapi ukurannya lebih besar. "Ayo turun dulu." 

Revan selalu memperhatikan tiap Rere turun dari pohon. Revan akui dirinya payah dalam hal ini. Berenang saja ia baru pandai setelah masuk SMA, sedangkankan Rere, ia sudah biasa meliuk-liuk dalam air sejak balita. Hap! 

"Di sana tuh, masih banyak." Rere menunjuk segerompol buah yang sudah matang. 

"Terus..mau manjat lagi?"

"Iya dong!"

Revan duduk di undakan teras setelah selesai sholat jamaah dengan ayahnya yang mengimami. Ia melipir keluar sementara yang lainnya asik mengobrol urusan orang dewasa. Si adik durhaka asik menguras isi kulkas yang didiami berbagai jenis jajanan pasar. Revan mengeluarkan isi ponselnya, beberapa kali mengumpat saat main game online, bukan karena kalah, tapi tidak ada sama sekali jaringan. Sore tadi lumayan, walau macet-macet minta dibanting, tapi sekarang blass.

Alhasil ia hanya duduk-duduk santai, daripada buka hp cuma bikin gerah bodi, ditemani krik-krik suara jangkrik dan nyanyian anak-anak yang bermain di bawah sinar rembulan.

Kring-kring bunyi bel sepeda onthel digayuh kuat mendekati Revan. Seorang cowok dengan baju koko dan peci yang setengah miring, menarik rem sepedanya berdecit di depan Revan. "Revan?" 

Revan terkesiap, ia berdiri. "Jatmiko?" Cowok itu mengangguk. Lantas Revan segera menyerang dengan pelukan bertubi-tubi ala cowok. Jatmiko menyentakkan standar onthelnya lalu beringsut duduk di samping Revan.

"Gimana kabarmu?" Tanyanya.

"Gini-gini aja. Kamu gimana, masih pacaran sama kebo?" Revan tertawa geli.

"Masih, sekarang pacaran sama anaknya, emaknya udah wafat." Jawab Miko sedih.

"Turut berduka cita," Miko mengangguk. 

"Kok tau aku kesini?" Tanya Revan.

"Tadi bapaku bilang katanya dia lihat mobil di rumahnya Mbah Darmo. Terus aku iseng ke sini, eh beneran ada kamu."

"Iya, tadi baru dateng. Udah lama ya, aku nggak ke sini?"

"Lama banget. Terakhir ketemu aja kamu masih ingusan," mereka tertawa menceritakan sepercik kenangan usang yang lama dipendam.

Jatmiko adalah sahabat kecil Revan. Revan pernah tinggal di sini selama 3 tahun saat SD. Karena keadaan ekonomi keluarganya memburuk waktu itu, terpaksa ibunya harus ikut merantau, membantu ayahnya. Ia dititipkan di sini untuk sementara waktu, saat itu Rere masih bayi dan nenek kakeknya masih sehat.

"Apaan, wong aku yang bantuin kamu. Megap-megap hanyut di kali, aku balapan sama arus yang deres banget. Untung nggak sampe ke sawah tuh," Miko tertawa mengingat kejadian saat Revan hanyut di sungai. 

"Tau nggak? Habis itu perutku kembung, bolak-balik dikerokin mbah puteri sampe rasanya kulitku lecet." Tawa Miko meledak mendengar cerita Revan.

"Sekarang tambah ganteng, cewek banyak nih?" Miko menyenggol lengan Revan menggoda.

"Iya dong, masa tambah jelek. Kamu tuh, masih keriting aja. Dicatok kek," 

"Kurang ajar, dipuji malah ngenyek. Cariin cewek buatku bolehlah." 

"Aku aja masih kosong melompong, kamu minta dicariin." Memang kenyataannya Revan masih jomblo, dari tadi sok-sok an ngomongin nikah.

"Halah, masa nggak ada satu aja yang nyangkut?"

"Emang layangan, nyangkut?!" Sungut Revan menggebu-gebu.

"Aku balik dulu. Jadwalnya nina bobo-in si kebo." Pamitnya, lalu meraih stang onthel dan menungganginya miring-miring karena sepedanya terlalu tinggi.

"Besok aku ke rumahmu, ya. Mau liat kebo. Rumahmu masih di sanakan?" 

"Pindah ke pulau seribu!" Jawabnya sambli memacu sepeda onthelnya penuh tenaga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status