Share

05 Welcome to the game

Bukan Vanessa namanya kalau tidak menepati janji, walau tadi jantungnya hampir turun ke perut gara-gara sentuhan dan bisikan Revan, ia tetap mencoba biasa saja. Di lapangan sudah ada Revan dan teman-temannya, Vanessa segera menghampiri mereka. "Hebat juga lo, berani ngajak Yuki ribut." Ucap Revan mengawali percakapan.

"Gue nggak ngajak ribut. Dia duluan,"

"Gue mau ngomong sesuatu." Ucap Revan serius.

"Nggak mau ada mereka." Vanessa memandang teman-teman Revan.

"Buset, kita diusir? Kemaren, nih, pertama ketemu malu-malu kucing, lembut. Sekarang sangar gini, cuy." Ucap Reyhan sambil menepuk bahu Eshar. Sedangkan Wisnu, ia tak tahu apa-apa.

"Karena kemaren kebelet pipis," jawab Vanessa. Berdekatan dengan mereka terlalu sering, rasanya biasa saja. Lebih seru dulu, saat dia mengagumi mereka dari jauh.

Revan mengibaskan tangannya, mengusir mereka.

"Siapa, sih?" Tanya Wisnu bingung.

"Gebetannya Revan." Jawab Eshar menarik tangan Wisnu agar menjauh.

"Apa?" Tanya Vanessa datar.

"Pertama, lo jangan kepedean karena gue udah belain lo dari Yuki. Itu semua atas dasar kemanusiaan."

"Dari kemaren atas dasar kemanusiaan mulu, sekali-kali kebiasaan, kek." Gumam Vanessa berbisik, Revan masih bisa mendengar walaupun tidak jelas. Cowok itu mengeluarkan sebuah benda dari saku hoodienya, ia tunjukkan di hadapan Vanessa.

"Jam pasir, buat?" Vanessa menatap Revan penuh tanda tanya. Lama-lama lehernya bisa patah kalau terus harus mendongak.

"Gue mau buat permainan. Berapa banyak tembakan yang bisa lo lakuin dengan waktu jam pasir ini. Gue mau tes skill lo, nggak masalah'kan? Gue juga punya hak sesama ketua tim basket." Ucap Revan dengan angkuhnya.

"Semacam..taruhan?"

"Maybe. Kita banyak-banyakan poin aja deh. Berapa banyak poin yang bisa lo kumpulin selama 14 hari. Kalau gue menang, lo harus mundur jadi jabatan ketua tim basket putri dan nurutin satu permintaan gue,"

"Apa permintaannya?"

"Gue pikir nanti."

"Fine. Kalau gue yang menang, lo harus mundur dari jabatan lo sebagai ketua tim basket putra, sekaligus ketua umum, dan lo juga harus nurutin satu permintaan gue, yang masih gue pikirin juga." Revan tampak berpikir, haruskah melepas jabatan ketua umum? Ah, nggak mungkin. Ia pasti menang.

"Oke. Kita bakalan mulai setiap pulang sekolah selama 14 hari."

Vanessa tertawa remeh. "Kayak karantina aja 14 hari,"

"Kenapa, takut?" Revan melipat tangannya di depan dada. Mendekati wajah Vanessa hingga gadis itu membelalakkan matanya kerena dapat merasakan hembusan napas Revan.

Vanessa segera mendorong kedua bahu Revan, cowok itu nyaris terjengkang ke belakang. Untung tinggi. Ia membersihkan kedua bahunya yang bekas tersentuh tangan Vanessa. "Siapa takut," Vanessa merampas jam pasir itu dari tangan Revan sambil tersenyum sumringah. Lalu ia pergi sambil meloncat-loncat kegirangan.

Vanessa turun dari angkot putih itu di depan cafe milik sepupunya yang luar biasa jenius. Ia baru masuk kuliah dua semester yang lalu tapi sudah memiliki cafe dari hasil keringatnya sendiri. Sering ada pekerjaan dari dosen atau uang hasil ia menjuarai lomba-lomba ia kumpulkan sampai terbangunlah cafe ini.

Vanessa menghempaskan tubuhnya pada sofa lalu memejamkan matanya. Tak lama sofa sebelah berdecit. "Woi, tumben nggak langsung ke ruangan gue?" Tanya sepupunya, Lelana.

"Iya deh, yang udah punya ruangan pribadi. Capek gue, buatin caramel macchiato, La." Terkesan ngelunjak memang. Pesan sama big boss, ujung-ujungnya nanti nggak bayar. Vanessa memang memanggil tanpa embel-embel 'kak' karena sudah biasa sejak kecil. Teman nyolong mangga tetangga.

"Enak aja, lo. Dateng-dateng sambat, merintah lagi." Vanessa hanya nyengir. Lana beranjak sambil mengomel.

"Berangkat juga, pake acara ngomel." Ia menyenderkan kepalanya lalu memejamkan mata lagi.

"Caramel macchiato atas nama Nessa yang mintanya gratisan." Ucap Lana sambil berjalan ke meja Vanessa.

"Tidur mulu, lo. Awas aja kalo sampe sofa cafe gue kena jigong."

"Santai aja, pak bos." Vanessa menyeruput minumnya dalam-dalam.

"Racikan gue sendiri tuh,"

"Iya, makasih."

"Kenapa sih lelah gitu muka lo. Pelajaran anak SMA seribet apa sih," tanyanya sombong.

"Seribet cintaku padamu. Sombong amat! Ini bukan masalah pelajaran, gue ditunjuk jadi leader basket putri." Memang hanya Lana tujuannya saat butuh teman curhat secara langsung.

"Terus kenapa? Lo 'kan jago,"

"Gue capek, La. Tapi gue seneng, gimana dong?"

Lana menghela napas, ekstra sabar menghadapi bocah labil. "Jalanin aja dulu, kalo nggak nyaman tinggalin." 

"Yeu..bucin!"

"Itu perumpamaan Nes. Sama kayak hubungan, kalau udah nggak nyaman, buat apa dipertahankan? Sama aja nyiksa diri sendiri."

"Quotes of the day. Pepet tuh, gebetan lo yang suka ikan." Lana pernah cerita kalau ia sedang mendekati cewek di kampusnya, tapi katanya nggak mungkin. Saat Vanessa tanya kenapa nggak mungkin, jawabannya malah nggak mungkin aja.

"Anak kecil jangan mikir cinta-cintaan. Sekolah yang bener. Kalo ada cowok, kudu, harus bin wajib kenalin sama gue dulu. Gue yang seleksi, kalo nggak lolos sama kriteria gue, langsung buang jauh-jauh."

"Yang mau pacaran gue atau lo sih, kok yang dijadiin paten kriteria, lo?"

"Kriteria gue udah paling cocok buat lo, karena gue pasti milih yang terbaik buat sepupu gue ini." Ucap Lana menarik gemas kuncir kuda Vanessa.

"Sakit, sialan."

"Gue mau balik," pamit Vanessa sambil mengelus kepalanya yang sedikit cenut-cenut.

"Bayar dulu!"

"Tahun depan!" Ucapnya ngacir berlari keluar.

Karena besok adalah hari Sabtu, sesuai rencana Ayah Revan, mereka akan berangkat ke Yogyakarta menjenguk nenek sekaligus menjemput ibu Revan karena keadaan neneknya sudah pulih. "Re! Sabun cuci muka ada di kamu nggak?" Rere yang sedang mengemil sambil menonton kartun favoritnya menjadi tidak tenang karena dari tadi abangnya ribut sendiri.

"Enggak, cowok kok ribet banget, sih? Kita cuma nginep semalam, Bang! Gusti paringono sabar." Ucap Rere sambil mengelus dada. Padahal dirinya yang kaum hawa saja sudah selesai berkemas dari tadi. Sedangkan kakaknya, masih mondar-mandir menyiapkan barang bawaan.

"Coba liat isi koper kamu," Revan mendekat ke arah Rere sambil membawa sabun muka yang ia cari-cari.

"Noh, di kamar." Revan mengangguk lalu mencomot snack Rere yang langsung dapat tabokan dari pemiliknya.

"Kaki tuh turunin. Nggak sopan, cewek kakinya nangkring-nangkring." Peringat Revan pada adiknya yang kakinya diangkat satu ke atas kursi.

"Hora urus!"

Revan menyeret koper mini adiknya sampai di depan televisi. "Jangan diberantakin, udah rapi itu." Ucap Rere saat melihat Revan yang membuka resleting koper.

"Iya-iya."

Rere menahan tangan Revan saat cowok itu hampir membuka bagian kecil dalam koper. "Eitss, itu jangan dibuka. Barang perempuan,"

"Oh, perempuan." Revan setengah tertawa mendengar pengakuan adiknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status