Bukan Vanessa namanya kalau tidak menepati janji, walau tadi jantungnya hampir turun ke perut gara-gara sentuhan dan bisikan Revan, ia tetap mencoba biasa saja. Di lapangan sudah ada Revan dan teman-temannya, Vanessa segera menghampiri mereka. "Hebat juga lo, berani ngajak Yuki ribut." Ucap Revan mengawali percakapan.
"Gue nggak ngajak ribut. Dia duluan,"
"Gue mau ngomong sesuatu." Ucap Revan serius.
"Nggak mau ada mereka." Vanessa memandang teman-teman Revan.
"Buset, kita diusir? Kemaren, nih, pertama ketemu malu-malu kucing, lembut. Sekarang sangar gini, cuy." Ucap Reyhan sambil menepuk bahu Eshar. Sedangkan Wisnu, ia tak tahu apa-apa.
"Karena kemaren kebelet pipis," jawab Vanessa. Berdekatan dengan mereka terlalu sering, rasanya biasa saja. Lebih seru dulu, saat dia mengagumi mereka dari jauh.
Revan mengibaskan tangannya, mengusir mereka.
"Siapa, sih?" Tanya Wisnu bingung.
"Gebetannya Revan." Jawab Eshar menarik tangan Wisnu agar menjauh.
"Apa?" Tanya Vanessa datar.
"Pertama, lo jangan kepedean karena gue udah belain lo dari Yuki. Itu semua atas dasar kemanusiaan."
"Dari kemaren atas dasar kemanusiaan mulu, sekali-kali kebiasaan, kek." Gumam Vanessa berbisik, Revan masih bisa mendengar walaupun tidak jelas. Cowok itu mengeluarkan sebuah benda dari saku hoodienya, ia tunjukkan di hadapan Vanessa.
"Jam pasir, buat?" Vanessa menatap Revan penuh tanda tanya. Lama-lama lehernya bisa patah kalau terus harus mendongak.
"Gue mau buat permainan. Berapa banyak tembakan yang bisa lo lakuin dengan waktu jam pasir ini. Gue mau tes skill lo, nggak masalah'kan? Gue juga punya hak sesama ketua tim basket." Ucap Revan dengan angkuhnya.
"Semacam..taruhan?"
"Maybe. Kita banyak-banyakan poin aja deh. Berapa banyak poin yang bisa lo kumpulin selama 14 hari. Kalau gue menang, lo harus mundur jadi jabatan ketua tim basket putri dan nurutin satu permintaan gue,"
"Apa permintaannya?"
"Gue pikir nanti."
"Fine. Kalau gue yang menang, lo harus mundur dari jabatan lo sebagai ketua tim basket putra, sekaligus ketua umum, dan lo juga harus nurutin satu permintaan gue, yang masih gue pikirin juga." Revan tampak berpikir, haruskah melepas jabatan ketua umum? Ah, nggak mungkin. Ia pasti menang.
"Oke. Kita bakalan mulai setiap pulang sekolah selama 14 hari."
Vanessa tertawa remeh. "Kayak karantina aja 14 hari,"
"Kenapa, takut?" Revan melipat tangannya di depan dada. Mendekati wajah Vanessa hingga gadis itu membelalakkan matanya kerena dapat merasakan hembusan napas Revan.
Vanessa segera mendorong kedua bahu Revan, cowok itu nyaris terjengkang ke belakang. Untung tinggi. Ia membersihkan kedua bahunya yang bekas tersentuh tangan Vanessa. "Siapa takut," Vanessa merampas jam pasir itu dari tangan Revan sambil tersenyum sumringah. Lalu ia pergi sambil meloncat-loncat kegirangan.
Vanessa turun dari angkot putih itu di depan cafe milik sepupunya yang luar biasa jenius. Ia baru masuk kuliah dua semester yang lalu tapi sudah memiliki cafe dari hasil keringatnya sendiri. Sering ada pekerjaan dari dosen atau uang hasil ia menjuarai lomba-lomba ia kumpulkan sampai terbangunlah cafe ini.
Vanessa menghempaskan tubuhnya pada sofa lalu memejamkan matanya. Tak lama sofa sebelah berdecit. "Woi, tumben nggak langsung ke ruangan gue?" Tanya sepupunya, Lelana.
"Iya deh, yang udah punya ruangan pribadi. Capek gue, buatin caramel macchiato, La." Terkesan ngelunjak memang. Pesan sama big boss, ujung-ujungnya nanti nggak bayar. Vanessa memang memanggil tanpa embel-embel 'kak' karena sudah biasa sejak kecil. Teman nyolong mangga tetangga.
"Enak aja, lo. Dateng-dateng sambat, merintah lagi." Vanessa hanya nyengir. Lana beranjak sambil mengomel.
"Berangkat juga, pake acara ngomel." Ia menyenderkan kepalanya lalu memejamkan mata lagi.
"Caramel macchiato atas nama Nessa yang mintanya gratisan." Ucap Lana sambil berjalan ke meja Vanessa.
"Tidur mulu, lo. Awas aja kalo sampe sofa cafe gue kena jigong."
"Santai aja, pak bos." Vanessa menyeruput minumnya dalam-dalam.
"Racikan gue sendiri tuh,"
"Iya, makasih."
"Kenapa sih lelah gitu muka lo. Pelajaran anak SMA seribet apa sih," tanyanya sombong.
"Seribet cintaku padamu. Sombong amat! Ini bukan masalah pelajaran, gue ditunjuk jadi leader basket putri." Memang hanya Lana tujuannya saat butuh teman curhat secara langsung.
"Terus kenapa? Lo 'kan jago,"
"Gue capek, La. Tapi gue seneng, gimana dong?"
Lana menghela napas, ekstra sabar menghadapi bocah labil. "Jalanin aja dulu, kalo nggak nyaman tinggalin."
"Yeu..bucin!"
"Itu perumpamaan Nes. Sama kayak hubungan, kalau udah nggak nyaman, buat apa dipertahankan? Sama aja nyiksa diri sendiri."
"Quotes of the day. Pepet tuh, gebetan lo yang suka ikan." Lana pernah cerita kalau ia sedang mendekati cewek di kampusnya, tapi katanya nggak mungkin. Saat Vanessa tanya kenapa nggak mungkin, jawabannya malah nggak mungkin aja.
"Anak kecil jangan mikir cinta-cintaan. Sekolah yang bener. Kalo ada cowok, kudu, harus bin wajib kenalin sama gue dulu. Gue yang seleksi, kalo nggak lolos sama kriteria gue, langsung buang jauh-jauh."
"Yang mau pacaran gue atau lo sih, kok yang dijadiin paten kriteria, lo?"
"Kriteria gue udah paling cocok buat lo, karena gue pasti milih yang terbaik buat sepupu gue ini." Ucap Lana menarik gemas kuncir kuda Vanessa.
"Sakit, sialan."
"Gue mau balik," pamit Vanessa sambil mengelus kepalanya yang sedikit cenut-cenut.
"Bayar dulu!"
"Tahun depan!" Ucapnya ngacir berlari keluar.
Karena besok adalah hari Sabtu, sesuai rencana Ayah Revan, mereka akan berangkat ke Yogyakarta menjenguk nenek sekaligus menjemput ibu Revan karena keadaan neneknya sudah pulih. "Re! Sabun cuci muka ada di kamu nggak?" Rere yang sedang mengemil sambil menonton kartun favoritnya menjadi tidak tenang karena dari tadi abangnya ribut sendiri.
"Enggak, cowok kok ribet banget, sih? Kita cuma nginep semalam, Bang! Gusti paringono sabar." Ucap Rere sambil mengelus dada. Padahal dirinya yang kaum hawa saja sudah selesai berkemas dari tadi. Sedangkan kakaknya, masih mondar-mandir menyiapkan barang bawaan.
"Coba liat isi koper kamu," Revan mendekat ke arah Rere sambil membawa sabun muka yang ia cari-cari.
"Noh, di kamar." Revan mengangguk lalu mencomot snack Rere yang langsung dapat tabokan dari pemiliknya.
"Kaki tuh turunin. Nggak sopan, cewek kakinya nangkring-nangkring." Peringat Revan pada adiknya yang kakinya diangkat satu ke atas kursi.
"Hora urus!"
Revan menyeret koper mini adiknya sampai di depan televisi. "Jangan diberantakin, udah rapi itu." Ucap Rere saat melihat Revan yang membuka resleting koper.
"Iya-iya."
Rere menahan tangan Revan saat cowok itu hampir membuka bagian kecil dalam koper. "Eitss, itu jangan dibuka. Barang perempuan,"
"Oh, perempuan." Revan setengah tertawa mendengar pengakuan adiknya.
Untuk orang yang tidak bisa diam, suasana seperti ini sangat Vanessa hindari sebenarnya. Mau memulai obrolanpun rasanya wajah Revan tidak bersahabat sama sekali, dari tadi datar tidak ada ekspresi, sampai-sampai ia tidak berani berpegangan pada jaket Revan dan menjadikan jok pertahanannya."Turun," ucapnya datar setelah sampai di depan pagar rumah Revan. Pertama kalinya Vanessa diajak main ke sini."Iya, tau.""Bukain!" kalau bukan dalam rangka meminta maaf, tidak semudah itu menuruti perintah Revan. Yang Vanessa hentak-hentakkan conversnya berjalan menuju pagar. Membersilahkan si kuda besi antik dan tuannya masuk."Revan pulang!" Vanessa mengikut saja di belakang."Kebiasaan deh, ka
Biasanya Vanessa akan pulang bersama Revan, tapi kali ini ia harus berjalan kaki menuju rumahnya yang tidak terlalu jauh. Revan benar-benar marah padanya, sampai senyuman Vanessa tidak diindahkan sama sekali. Bahkan, ia terang-terangan melewati Vanessa yang berjalan di pinggir jalan. Semarah itukah? Padahal hanya 1 minggu."Papa benar-benar kecewa sama kamu, Revan. Apa cowok yang pandai berkelahi menurut kamu hebat? Memang hebat, tapi lebih hebat cowok berkelahi pakai otak, bukan otot," suasana ruang tengah rumah Revan sangat tidak bersahabat. Tidak ada yang berani menyela saat ayahnya sedang marah, apalagi beliau tidak pernah marah kecuali ada sesuatu yang sudah keterlaluan."Papa nggak pernah mengajarkan kamu jadi sok jagoan, Papa membebaskan apapun hobi kamu selagi itu positif. Papa nggak mau apa yang Papa alami menimpa kamu.""Papa yang pemberontak baru merasakan akibatnya setelah berkeluarga. Mengorbankan mama kamu untuk ikut banting tulang, men
Vanessa berjalan sambil bersenandung kecil, membawa kantong plastik putih berisi dua bungkus nasi goreng. Menuruti keinginan Regan yang aneh-aneh, ngidam nasi goreng. Paling ngeri sebenarnya jika melewati tembok bicara. Saat semua ungkapan lisan tidak diindahkan, tindakan para begajulan mencoret-coret tembok sengketa, meluapkan isi pikirannya. Macam bentuk grafiti dan kata misuh-misuh diabadikan dengan pilox berbagai warna. Memperburuk pemandangan. Tak jauh dari tempat itu, bunyi rusuh terdengar di seberang sana. Vanessa mendekat, mendapati sepeda motor yang terparkir awuran. Vanessa makin mendekat saat menemukan motor yang tidak asing. Itu vespa Revan! Di waktu yang bersamaan, ia melihat Revan sedang adu jotos entah dengan siapa. Vanessa menjatuhkan kreseknya lalu menerobos kerumunan. "Stop!!!" "Vanessa!" Tepat setelah itu Vanessa memejamkan mata, seseorang mendekapnya erat dari belakang. "Cabut, woi!" Setelah sese
Revan hengkang dari rumah Eshar bersama yang lainnya. Ingin cepat-cepat sampai kasurnya sendiri dan rebahan sampai siang, karena semalam tidurnya tidak aturan, disebabkan polah dua cecunguk yang tidak karuan. Tahu begitu, mending ia tidur di kasur yang ditempati Reyhan. Nyaman, tidak ada yang mengganggu, buktinya Reyhan bangun paling akhir, padahal bawah hidungnya sudah diolesi balsem. Memang dasar kebo.Tapi semua angan Revan gagal setelah mendapat kiriman pesan dari Bimo, teman sekelasnya.Karena weekend, kegiatan Vanessa setelah berbenah, hanya rebahan. Kalau sudah bosan kuadrat, paling nongkrong di depan televisi yang isinya dari pagi kartun. Karena mau nonton yang lainpun tidak bisa, tv selalu dalam kuasa Regan yang menonton tokoh kartun kelinci yang hanya bicara bwabwabwabwaa, tapi auranya menghantar Regan sampai gulingan di karpet.Vanessa memilih keluar rumah, sekedar cari angin menggunakan sepeda Regan. Semburat menguning yang muncul dari ufuk tim
Malam ini Revan cs sudah mengumpul di rumah Eshar. Para bujangga pencari cinta itu berencana menginap di rumah Eshar karena si playboy di rumah sendiri, maklum anak tunggal. Orang tuanya sibuk urusan bisnis.Karena Wisnu yang gila tenar, padahal sudah cukup tenar. Ia membelikan teman-temannya piyama yang didapat dari hasil endors di instagram, sekalian iklan katanya. Untuk pertama kalinya, malam ini Wisnu akan membuat channel youtube dengan konten pertama PESTA PIYAMA dan bintang tamu Revan, Eshar, dan Reyhan. Sebagai anak-anak most wanted mereka sudah terbiasa disorot banyak orang, walau tadi sempat ada perdebatan dengan Revan yang tidak mau gabung, tapi akhirnya dia menurut juga atas iming-iming Wisnu. Jadi konten malam ini tidak ada unsur paksaan. Semua suka rela.Mereka sudah duduk lesehan di karpet bulu kamar Eshar, menggunakan piyama masing-masing lengkap dengan penutup mata. "Van, lo nggak pake ini?" Tanya Eshar yang memakai penutup mata tapi
Vespa biru muda berhenti di depan gerobak bertuliskan LEGEND yang sebagian huruf sudah luntur digerus kerasnya jalanan. Vanessa mengikuti Revan seperti buntut. Setalah memesan, mereka duduk di kursi plastik yang disediakan. Harus mengantri dengan anak-anak bimbel yang berebut minta duluan sambil menyodorkan duit.Vanessa masih bingung dengan perangai Revan yang tidak konsisten. Cowok yang kini duduk di sebelahnya sambil bersenandung kecil. Sembribit angin yang dibawa angkot putih lusuh, pelit oksigen. Benar-benar kental polusi yang mengharuskan Vanessa menutup hidung dan mulut, sesekali terbatuk karena kepulan asap hitam menyergap rongga hidung tanpa permisi melalui celah jari."Emang gini keadaannya, Dek. Sekarang banyak cafe modern, kenapa mau mampir ke sini?" Vanessa dan Revan saling tatap. "Yang dicari kesannya, Pak. Bukan mewahnya." Jawab Revan."Kesannya apa sih, Dek? Cuma kayak gini doang." Ucap bapak itu sambil men