Hampir satu jam lamanya Owen duduk sendiri di lobi hotel, ia masih betah berlama-lama sendiri di sana, bermain-main sendiri dengan ponselnya. Tampak tak peduli dengan situasi di sekitarnya, termasuk dengan para penguntit. Namun, di balik itu sesungguhnya, penglihatan dan pendengarannya sangat tajam menerima setiap kejadian di sekitar. Dan otaknya bekerja keras dan cerdas menganalisis dan merespon setiap informasi yang masuk. Beberapa menit sebelumnya ia memutus pembicaraan dengan seseorang di seberang, yang tak lain adalah Shoujin. Seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan berjalan mendekatinya, Owen pun berdiri untuk menyambutnya. Wanita itu mengenakan jeans ketat panjang dipadukan dengan blus berwarna hitam tanpa lengan dan dengan rimpel di bagian leher. Sedangkan kakinya mengenakan sepasang heels berwarna merah. Rambutnya diikat longgar. Sebelah tangannya menenteng clutch berwarna senada dengan heels-nya. Dan tentu saja, kacamata hitam
Setelah berhasil melumpuhkan Owen, sekarang saatnya untuk mengorek sedikit informasi dari pria androgini itu sebelum menghabisi nyawanya. Setelah itu ia akan memulangkan Gloria pada majikannya, karena sepertinya Gloria tak akan bisa atau tak mau pulang sendiri. Namun, kesadaran Owen perlahan kembali saat merasakan dua tangan menyelusup dari belakang ke bawah ketiaknya dan mengangkatnya tanpa sedikit pun kehati-hatian. Dan saat kedua tangan itu hendak menyeretnya, Owen sigap menghunus pisau dari sarungnya yang terkait ke ikat pinggangnya, lalu menghujamkan ke kaki orang itu. "Aargh!" pekik lawan Owen. Pisau Owen menancap menembus sneakerlawannya. Ya, itu adalah sneaker orang yang duduk di dekat meja resepsionis di lobi hotel. Orang itu memekik dengan suara tertahan ketika menarik paksa pisau dari kakinya. Darah merembes menembus sneaker-nya. Setelahnya ia menyerang Owen dengan pisau di tangannya. Namun, serangan tak ter
"Tidak, dia tidak tahu. Aku tidak mengatakannya." "Ya, tentu saja. Nanti kutelepon lagi." Bocah pirang menutup sambungannya ketika Shoujin duduk di sebelahnya. "Aku harap aku tidak membuatmu menunggu terlalu lama." "Aku sama sekali tidak menunggumu. Apa itu?" mata Nicky tertuju pada kemasan berlogo Bigg's Taco. "Untukmu ..." "Kau tetap membelinya? Aku tidak mau!" tolak Nicky ketus. "Kita lihat saja," tukas Shoujin sambil membawa taco yang dibelinya ke dapur. Sementara Nicky hanya memandang tak mengerti. Lima menit kemudian Shoujin kembali dengan sepiring makanan. Diletakkannya piring itu di atas meja. Lalu sebelum duduk, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan meletakkannya di atas meja. Baru setelah itu ia duduk di sofa yang sama dengan Nicky. "Apa ini? Tidak terlihat seperti taco." Makanan di atas meja itu tersaji dengan tak semestinya—tersaji di atas piring, tortilla
Kenneth dan Yuri mengunjungi penjara tempat Blake menjalani hukuman. Setelah melalui pemeriksaan dan dinyatakan 'bersih', keduanya diperbolehkan memasuki ruang kunjungan. Setelah beberapa menit menunggu, muncullah sesosok pria berbadan kira-kira setinggi Kenneth, dengan lengan berotot. Kenneth memberikan tatapan ambigu padanya. Pria itu lalu duduk berhadapan dengan Kenneth dan Yuri, di balik kaca transparan yang menjadi pemisah antara narapidana dengan pengunjung. Pria itu adalah Blake. Yuri mengangkat gagang telepon. Kemudian Blake pun melakukan hal yang sama, dengan kedua siku bertumpu pada meja. Ketiga orang di tempat itu berhadapan dengan wajah tanpa ekspresi. "Bagaimana keadaanmu?" Yuri membuka dialog. "Kupikir kau ke sini bukan untuk menanyakan keadaanku." "Ya ..., kau benar. Dan sejujurnya aku juga tidak begitu peduli." "Dan aku juga tak butuh itu. Lalu siapa orang ini?" "Dia Kenneth, rekanku di divisi yang berbeda," han
Karina baru saja pulang dari Rhein's. Ia melemparkan ponsel dan tas selempangnya ke ranjang. Waktu terus berjalan. Ia sedikit gugup sekaligus bersemangat. Ia bergegas membersihkan dirinya dari peluh dan rasa lelah setelah bekerja. Ia harus tampil sempurna. Saat ini dengan mengenakan kimono mandi, Karina sedang berdiri menghadap ke lemari pakaiannya. Matanya menelisik ke setiap tumpukan dan deretan pakaian yang tergantung dalam lemarinya. Ia mendesah, tak tahu harus memakai apa untuk kencan pertamanya setelah sekian tahun. Pendengarannya menangkap suara dering ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Seseorang menelepon. Sederet angka tanpa nama tertera di layar ponsel, tetapi ia yakin mengenali nomor itu. "Halo, I* ..." "Aku baru saja memikirkannya. Aku ingin kau memakai kado yang kuberikan tahun lalu. Bisa?" singkat dan jelas, arahan yang diberikan seseorang di seberang. "Hum, baiklah." Sambungan telepon terputus. Kenapa tak terpikirkan sebelumnya? Outfit itu sepertinya ide yang
Setelah mengunci pintu kamarnya, Nicky perlahan membuka pintu kamar Aaron sedikti. Melongok ke dalam kamar itu, memastikan penghuninya sudah tidur. Pelan-pelan Nicky menutup kembali pintu kamar itu. Akhirnya ia bisa keluar dari rumah dengan tenang. YES! Ini Jum'at malam, weekend telah datang, waktunya bersenang-senang. Malam belum begitu larut, masih ada dua jam sebelum tengah malam tiba. Nicky berjalan meninggalkan rumahnya dengan mengenakan hoodie berwarna hitam dengan kombinasi oranye. Wajahnya tersembunyi di balik tudung. Ia berjalan sambil menopang lengan kirinya yang masih terasa nyeri. Di ujung blok ia berhenti. Di sana sebuah Wrangler Jeep telah menunggu. Shawn berada di belakang kemudi, Charlie di sampingnya, dan Kevin di bangku belakang. Nicky masuk ke dalam dan duduk di sebelah Kevin. Shawn melajukan mobil yang dikendarainya. St. Angelo di malam hari masih ramai. Di malam hari St. Angelo menampakkan sisi lain wajahnya—penuh warna d
Di dalam kamar, Kenneth melempar ponselnya ke atas kasur. Ia mendengus. Diteguknya sedikit air dari gelas yang baru saja diisinya di lantai bawah beberapa saat lalu, kemudian diletakkannya gelas itu di atas nakas di samping ranjangnya. Ia mencoba menahan diri akan rasa penasaran, khawatir dan curiga tentang apa yang dilakukan Nicky. Berkali-kali ia mencoba menghubungi ponsel Nicky sejak dua jam yang lalu, tetapi tak mendapat respon. Pesan chat pun tak satu pun dibalas. Entahlah, ia bahkan tak sanggup menjelaskan pada dirinya akan berbagai emosi negatif yang saat ini bersekongkol menderanya. Alasan logis bahwa saat ini sudah lewat tengah malam, adik kesayangannya mungkin sudah mendengkur pulas hingga tak mendengar dering ponselnya. Ditambah kemungkinan bocah tomboi itu mensenyapkan ponselnya. Kenneth hanya sangat merindukan Nicky dan ingin mendengar suaranya. Apa hanya ada satu alasan saja untuk meneggelamkan akal sehat Kenneth saat ini, dan menggantikannya de
"Dasar sial! Sekalinya ikut kalian, aku malah harus terjebak di sini. Tempat apa ini? Memangnya aku kriminal?! Aku 'kan hanya nonton," gerutu Nicky. "Apa kau bisa diam? Aku mengantuk," rutuk Shawn. "Tidak biasanya ada razia. Sejauh ini semua aman-aman saja. Tapi kenapa kali ini ...?" heran Kevin. "Apa pun itu, aku hanya tidak mau Aaron menceramahiku." Shawn dan dua orang yang tak dikenal telah terlelap, atau pura-pura terlelap. "Nasibku bisa lebih buruk lagi kalau jatuh ke tangan ibuku," keluh Kevin. "Tenanglah Nick, tak ada gunanya kau mengomel seperti itu. Tak akan membuatmu keluar lebih cepat. Lebih baik kau tidur saja," hibur Irina. Nicky berdecak kesal. "Panas sekali. Bagaiamana aku bisa tidur? Hei, Sir. Opsir, Hei ...!" panggil Nicky pada penjaga. "Lagipula aku harus tidur di mana?" "Pundak Kevin, mungkin." Charlie menyahut. "Tidak, terima kasih. Pundak Kevin sama sekali tidak nyaman." "Bagaimana k