Share

Bab 3 - Pra Perayaan

“Berjalan pelan saat mendaki lebih baik daripada diam menatap puncak.”

                                  *****

Jevian bukanlah cicit pertama keluarga Pradirga sehingga hal semacam perjodohan tai kucing ini sudah pernah terjadi. Sepupunya yang bernama Kinara dua tahun yang lalu ditunangkan dengan putera pengusaha kelapa sawit asal Jambi yang bernama Rezza, huruf Z nya pakai dua, hasil perjodohan singkat juga. Bulan lalu saja, Jevano sempat ingin dijodohkan dengan sepupu sesama keturunan Pradirga yang bernama Devara, namun Jevano menolak. Alasan perjodohan ini tidak terlalu dipaksakan adalah karena Jevano bersikeras tidak ingin melompati sang Kakak, padahal memang dia secara pribadi tidak menyukai Devara. Gadis itu terlalu manja dan semaunya sendiri memerintah apapun yang ia inginkan, dan fakta yang diungkap kemarin adalah bahwa perjodohan tersebut atas dasar ide dari Devara sendiri bukan dari kedua orangtuanya.

Hari itu ia pulang, dua hari setelah peresmian perusahaannya. Dengan perasaan yang bercampur aduk, semuanya ada dan saling melengkapi kecuali rasa bahagia dan terharu. Ia membuka pintu rumah yang sebenarnya ia malas masuki. Setelah masuk, beberapa asisten rumah tangga menyambut Jevian dan mengantarkannya langsung ke kamar yang dulu ia tempati. Jevian memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemen sejak kepulangannya menimba ilmu dari luar negeri. Keputusan yang riskan sebenarnya, mengingat ia masih memiliki tanggung jawab terhadap adiknya, tetapi Jevano malah mendukung untuk ia tinggal sendiri.

“Jevano sudah memberitahu, kan?” tiba-tiba Ayahnya menyusul ke kamarnya dan langsung memberikan pertanyaan perihal perjodohan kemarin.

“Sudah, Pa.”

“I think this is gonna be the best for you two. Kalian berdua akan memperkuat perusahaan masing-masing. Image kalian di publik juga bagus sekali,” ucapnya bangga.

Jevian tidak menjawab, hanya memberikan senyum pahit di wajahnya yang manis berhiaskan lesung pipit. Jika Ayahnya telah berkata demikian, maka artinya keputusan sudah mutlak.

“Pa, maaf Jean istirahat dulu ya.” usir Jevian secara halus. Dengan senyum yang tidak luntur, Djatmiko mengiyakan perkataan anaknya. Ia sangat bangga pada Jevian, sebentar lagi dua perusahaan besar akan saling bekerja sama. Keluarga Haryono mungkin bisa dibilang salah satu dari semua kolega bisnis yang sepadan dengan keluarga Pradirga. Cucu wanitanya dikenal sebagai pebisnis muda yang akan berkarier gemilang, sebelas dua belas dengan prestasi yang Jevian dapatkan. Makanya, saat perwakilan keluarga Haryono melayangkan candaan tentang isu perjodohan kala rapat besar perusahaan waktu itu, Djatmiko langsung mengambil tindakan.

“Kamu tidak akan rugi menerima perjodohan ini, Jean. Wanita yang Papa pilih definisi dari sempurna. Percayalah,” ucapnya sebelum benar-benar menghilang dari kamar anaknya.

Alih-alih senang dengan semua yang diucapkan Ayahnya, Jevian justru stress berat. Walaupun gadis itu sudah terverifikasi sempurna-menurut Ayahnya-belum tentu mereka cocok, apalagi sejak mengalami patah hatinya yang terakhir, Jevian belum pernah membuka hati untuk para wanita yang selama ini mendekatinya, baik itu secara terang-terangan maupun secara halus. Ia tidak mengelak bahwa cerita masa lalunya masih belum jelas, ingin bertemu gadis itu sekali lagi sebelum ia benar-benar membuat keputusan, apakah ia akan menerima perjodohan begitu saja atau membantahnya. Keputusasaan kembali hadir ketika ia ingat sudah lima tahun lamanya mereka tidak bertemu barang sedetikpun. Lalu bagaimana cara ia menuntaskan cerita itu?

Menurut Jevian, hanya gadis itu yang mencintai dan mau menerima Jevian sebagai dirinya sendiri, sedangkan wanita-wanita yang lain hanya mau melihatnya seperti bagaimana ia dibentuk oleh orang tuanya.

“Mas Jean, coba nyanyi lagu Shane Filan yang Girl In My Heart.”

“Ngga mau, suaraku jelek.”

“Mas, kalau bukan karena suaramu, aku ngga mungkin kenal kamu.”

Begitulah gadis itu mengenalnya. Satu-satunya orang yang menyukai ketika ia bernyanyi, bahkan ketika Ayah dan Ibunya membenci nyanyiannya, teman-teman banyak iri padanya, dan wanita lain yang berteriak-teriak hanya karena melihat parasnya.

When I was young

I was always searching for a love to measure up to yours

Someone who could be what you mean to me

Jevian bersenandung lirih, sangat lirih yang mungkin hanya didengar hatinya sendiri. Matanya mulai memejam, bibirnya masih menyebut lirik dan nada yang membentuk lagu kenangannya dahulu. Irama saling bertaut dengan sesak yang mulai hadir.

I never thought I’d find what I was looking for

The one that was worth waiting for..

Kala itu ia sangat bahagia, ada orang lain yang mau mendengarkan suaranya selain dirinya sendiri. Dahulu, Jevian remaja selalu bertanya kapan ia mempunyai teman yang akan mendengarkan suaranya? Selama ini ia dibungkam oleh keadaan, tidak pernah bersuara selain kata “iya”

Was right in front of me

Hingga dia hadir mengabulkan semua pinta Jevian pada Tuhan selama bertahun-tahun. Membayar kesedihan yang selama ini Jevian terima, “ah mungkin bahagiaku akan dimulai dari sekarang”

Wish it will always be

And it always feel like home

Kapanpun Jevian lelah, ia selalu bersandar pada gadisnya yang ia sebut sebagai rumah. Memeluknya tanpa sekat, menggenggamnya dengan erat. Dia yang selalu menyambutnya dengan cinta ketika ia kembali dipaksa orangtuanya.

I’m just saying I can’t imagine where I’l be

Without you always loving me from the start

Namun mungkin benar orang-orang yang mengatakan bahwa, semakin erat kau genggam, semakin ingin dia terlepas. Nyatanya gadis itu meninggalkan dirinya dalam kegelapan, lagi. Gadis itu adalah senja yang hanya memberinya cahaya indah sesaat, kemudian ia kembali dipeluk malam kelam. Karena pernah merasakan keindahan, ia semakin sakit ketika kembali merasakan kegelapan. Ia susah-susah menyalakan sinarnya, tidak lama ia harus meredupkannya kembali.

Peri mimpi menari-nari di hadapannya, ia senang bisa melihatnya lagi walaupun hanya dalam mimpi. Gadis itu menghampiri dan mencium tangan Jevian kemudian tersenyum dan berkata,

“Mas Jean, kasian Vano.” lalu gadis itu menghilang, lenyap dan tak tersisa.

Mata Jevian terbuka dengan cepat dan langsung bangun, karena masih gelisah akibat mimpi tadi, dia keluar dari kamar.

Di sana, di ruang tamu, ia melihat Jevano sedang disidang oleh Ayahnya. Pria paruh baya itu tengah mengacungkan jarinya di hadapan Jevano yang masih diam tidak berkutik. Pasti Jevano melakukan kesalahan fatal sehingga Ayahnya terlihat marah besar. Ia masih melihat ke arah sana, terlihat Jevano sudah berdiri dan sedikit menjelaskan beberapa kalimat. Namun Ayahnya tidak merespon baik dan semakin marah.

Secepat kedipan mata, Ia tertegun melihat sang adik ditampar sangat keras oleh Ayahnya. Badan Jevano bahkan sampai terjatuh ke lantai.

“Dasar anak nakal. Apa kurangnya Papa sama kamu? Masih kurang uang yang saya berikan, HAH?”

“Vano ngga butuh uang Papa,” jawabnya tak kalah sengit.

“Kurang ajar sekali kamu!” Djatmiko menjambak rambut Jevano agar wajah Jevano menatap ke arahnya. Darah mulai keluar dari bibirnya yang robek akibat tamparan, lebam di pipinya kini mulai terlihat.

Jevian yang masih terkejut refleks berlari menuruni tangga dan melepaskan tangan Djatmiko dari rambut Jevano dengan kasar.

“Pa, bicarakan dulu baik-baik.”

“Bicara apalagi? Anak ini selalu membantah peraturan saya akhir-akhir ini. Sudah seharusnya saya pukul dia.” bela sang Ayah tak mau kalah.

“Anda itu tidak pantas disebut sebagai seorang Ayah,” ucap Jevian datar. Matanya memerah akibat rasa marah dan rasa kantuk yang belum hilang.

“Jevian, jangan ikut-ikutan kurang ajar juga ya kamu!” gelegar Djatmiko yang kembali naik pitam mendengar kedua anaknya hari ini yang ia rasa sudah keterlaluan tidak hormat kepada orang tua.

“Biar Jevian saja yang ajarin Jevano.”

Detik itu juga ia melenggang pergi, ia menitah Jevano dan membantunya berdiri. Kemudian kedua anak laki-laki itu keluar dari rumah yang bukan secara harfiah. Mereka keluar dari susunan gedung itu. Jevian berencana membawa Jevano ke apartemennya untuk sementara waktu. Sementara di dalam gedung bersusun itu, Ayahnya memanggil keduanya dengan suara yang menggelegar, terdengar juga beberapa barang yang pecah dan jatuh dengan keras. Tapi keduanya tetap pergi, mengindahkan suara-suara bak di dalam jahanam.

“Kenapa Papa bisa sampai tampar kamu, hm?” Jevian membuka obrolan ketika sudah sampai di mobil.

“Hehehe aku ketahuan ikut Festival Musik di Kampus.”

“Festival apa?”

“Festival akhir semester itu loh.”

“Nyanyi?”

“Iya. Ah lega banget rasanya bisa merasakan nakal,” ucap Jevano sambil tersenyum, membuat Jevian mau tak mau juga tersenyum.

Jevian menginginkannya lagi, kembali pada saat dirinya ikut festival seperti yang Jevano rasakan.

Ia ingin bernyanyi lagi, dan didengar gadis itu lagi.

Tunggu.

Mengapa semua menjadi saling berhubungan? Mimpi itu, Jevano dan Festival Musik. Mungkin ia harus menggabungkan puzzle agar tanya itu terjawab.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status