Share

Bab 1 - Tawa Seharga Berlian

“Segala hal yang dapat menambah nilai, maka lakukanlah.”

                                  *****

Jevian Mavazka Pradipta, nomor ke-empat setengah.

Dia adalah pria tidak bernilai, makanya dia menguras seluruh tenaga dan pikirannya untuk dapat bernilai. Ia ingin berharga, namun kenyataannya tidak ada rasa peduli kepadanya sebelum kata “kecuali” tercipta.

Anak lelaki itu menatap datar panggung peresmian yang telah dihadiri kakak lelaki serta ayahnya. Keduanya berdiri dengan gagah; jas yang rapi dan mahal, badan yang tegap serta rambut yang klimis. Iri? Tidak sama sekali, nyatanya mata elang itu mendominasi mata sayu lainnya sehingga semua yang ditampilkan hari itu hanyalah kepalsuan. Keyakinan semakin menggenggam erat hatinya kala netranya menemui lelaki itu kini mengepalkan tangan.

“Dengan ini, pada tanggal 14 Juli 2021 tepatnya di Jakarta, perusahaan teknologi berbasis green earth, PT. Jenius Berkala telah resmi beroperasi. Dimohon untuk bapak Jevian Mavazka Pradirga selaku Direktur Perencanaan untuk memberikan sambutan.” langkah tegas ia ambil diiringi tepuk tangan meriah dari berbagai sudut lantai dasar perusahaan baru itu. Matanya bersinggungan dengan mata lelaki itu.

Persepsi klasik yang masih ia pertanyakan kepada orang-orang adalah, kata siapa menjadi anak orang kaya itu enak? Nyatanya ada beberapa hal yang harus mereka bayar dari segala kemewahan yang mereka dapatkan. Ketulusan sangat jarang mereka temukan, beserta waktu, kasih sayang dan kepedulian.

“Habis ini Jevano, ya? Mau bikin perusahaan apa? Penasaran deh,” bisik seseorang dari arah belakang.

“Harus lebih bagus dari kakaknya sih.”

“Tapi mukanya kelihatan agak kurang bersahabat ya dibanding kakaknya, jadi ngga yakin,” ucap seseorang lainnya dan berbagai komentar yang tidak sengaja terdengar di telinganya.

Di usianya yang baru sembilan belas tahun, beban-beban kehidupan telah menancap pada dirinya, atau bahkan semenjak ia lahir beban itu memang sudah ada. Jevano merupakan putera kedua dari pengusaha kaya Djatmiko Pradirga, bukan sebuah nama asing bagi masyarakat Indonesia. Dia pengusaha yang namanya masih melambung tinggi meskipun nyatanya ia sudah keturunan ke-tiga yang menjalankan bisnis turun temurun keluarga Pradirga. Menyandang nama terakhir Pradirga saja itu sudah merupakan pecutan halus bagi keturunan-keturunannya.

Kehidupan yang ia sebut bagaikan kerajaan di negeri seberang itu dimulai dari Hamzah Noer Pradirga yang merupakan generasi pertama yang memiliki ketertarikan dalam membangun bisnis otomotif, sekaligus sebagai pembuka jalan bagi bisnis otomotif di Indonesia. Pada tahun 1931, Hamzah Noer merantau dari semarang ke Batavia -yang sekarang sudah berganti nama menjadi Jakarta- kemudian bekerja menjadi seorang supir bagi para pejabat. Kecintaannya terhadap dunia otomotif memicu semangatnya untuk berdagang, kebetulan memang waktu itu menggaet banyak kolega bahkan dari luar negeri sehingga dua tahun kemudian atau tepatnya pada tahun 1933, ia memberanikan diri membuka showroom pertama, cikal bakal semua cerita tercipta. Daripada sukanya, dukanya memang lebih terasa karena pada tahun-tahun itu penduduk masih awam pengetahuan tentang kendaraan yang bisa dijalankan dengan mesin, baik itu mobil maupun motor sekalipun, sehingga berpengaruh kepada kelambatan perkembangan bisnis dan sebenarnya hampir membuatnya menyerah.

Namun pada akhirnya gayung bersambut, melompati hampir dua dekade kemudian, dua anak Hamzah yaitu Anto dan Agus yang waktu itu sudah berumur remaja akhir, mulai menunjukan kemampuannya sebagai darah Pradirga ke-dua yang sangat lugas pemikirannya terhadap dunia bisnis. Anto sebagai anak tertua yang beruntungnya lebih paham, melanjutkan bisnis yang telah berdiri dengan apik. Pada tahun ia menjabat sebagai direktur, perusahaan itu semakin berkembang. Tahun-tahun yang cukup baik untuk meraup peningkatan setengah persen dibandingkan dengan laba pada awal perusahaan itu berdiri. Karena perusahaan yang Anto kelola menghasilkan benefit tinggi, ia dengan optimis membuka cabang bisnis lain yaitu perlengkapan mobil yang setelahnya dipegang oleh Agus.

Djatmiko sendiri merupakan Pradirga ke-tiga melalui garis keturunan Agus Pradirga. Sejujurnya, ia merasa sedikit pelan dalam meniti kesuksesannya jika dibandingkan dengan keturunan dari Anto yang notabenenya adalah sepupunya sendiri. Awalnya, Berlinda Pradirga merupakan wanita dari keluarga Pradirga pertama yang berhasil menembus bisnis secara global. Ia mendirikan perusahaan kosmetik terbesar kala itu yang langsung mengambil intensi kaum hawa dari berbagai kalangan. Di dunia bisnis, kompetensi bahkan antar keluarga itu merupakan hal yang wajar tercipta, bisnis bukan hanya tentang kerja keras, namun juga bagaimana cara mengelola inovasi dan tentunya fleksibel terhadap perkembangan zaman. Keresahan keluarga Agus semakin menjadi-jadi, terlebih Hamzah Noer yang kala itu masih hidup langsung menghadiahkan kenaikan saham di perusahaan induk bagi yang dia anggap berprestasi memajukan bisnis keluarga. Sejak saat itu, para orang tua keturunan Pradirga berambisi untuk menciptakan keturunan yang akan dibekali saham terbanyak, sehingga terciptalah didikan keras dari orangtua kepada anak-anaknya, gaya parenting yang biasa orang sebut dengan “straight parents”.

Djatmiko menerapkan jenis parenting tersebut kepada dua anak laki-lakinya. Sejak kecil, Jevian maupun Jevano tidak pernah merasakan yang namanya bermain perosotan di taman atau bahkan sekadar menendang bola dengan memakai kaus yang dibercaki lumpur. Jika memang sangat ingin, mereka hanya bisa melihat itu dari jendela rumah mereka yang mengarah ke arah lapangan kompleks. Teman-teman sebaya mereka bahkan sudah pandai menaiki sepeda pada usia tiga tahun, sedangkan mereka baru bisa menaiki sepeda saat umur Sekolah Dasar. Jevian pada umur delapan tahun sedangkan Jevano pada umur tujuh setengah tahun. Bagi Djatmiko dan Anggrek-ibu mereka-hal hal seperti bermain sepeda atau menggiring bola hanya membuang waktu mereka untuk belajar. Jika dikalkulasikan, satu jam bermain itu sama dengan mengerjakan matematika sebanyak 120 soal. Tentunya anak-anak mereka akan beberapa langkah lebih terdepan daripada anak lain yang menghabiskan satu jam mereka untuk hanya sekedar mengumpulkan kotoran.

“Jean, jangan lupa nanti les matematika!”

“Iya, Pa.”

“Vano, nanti ada jadwal debat bedah buku di perpustakaan, jangan sampai ngga datang.”

“Iya, Pa.”

“Jean, ajari dong itu adik kamu. Masak Mama lihat nilai biologinya turun jadi 90,” ucap sang Mama waktu itu.

“Iya Ma. Nanti Jean ajari.”

“Harus sukses ya, Jean. Masak kalah sama Berlian. Dia saja bisa kok dapat 98.”

Jevano kecil hanya bisa menangis, dan yang menenangkan hanya kakaknya, Jevian. Waktu itu, dengan air mata yang setitik-titik turun meninggalkan jejak pada buku catatannya. Sambil sesenggukan, ia menuliskan kalimat-kalimat yang dikatakan Jevian. Sampai catatan itu penuh lalu ia ketiduran, bahkan airmata masih mengalir dengan mata yang terpejam. Jevian memeluk adiknya, ikut menangisi kehidupan mereka yang menyedihkan.

Namun, apakah dari mereka tidak ada yang memberontak? Ada. Masih Jevano ingat pemberontakan pertama yang ia lakukan adalah nekat mengikuti les piano dan bolos les matematika. Tentu saja ia ketahuan, dan yang terjadi setelahnya adalah ia dihukum dikurung di kamar mandi semalaman, lampu dimatikan. Ia sendirian merasa ketakutan, kedinginan dan kelaparan karena sejak dibawa pulang paksa sehabis kepergok les piano, ia belum merasakan makanan. Kadang ia bertanya-tanya sendiri, tangan yang dulu menggendong dan menyuapinya makan, berharap dia hidup atau tidak? Ia bukan seperti seseorang yang mereka inginkan, ia hanya benda yang mereka dapat mainkan sesukanya. Pintu toilet dibuka secara pelan oleh Jevian, ia masuk dan langsung memeluk Jevano. Mungkin satu-satunya alasan Jevano mau bertahan hanyalah kakaknya. Tidak terbayang jika suatu saat bahkan Jevian meninggalkannya. Itu pemikirannya bertahun-tahun lalu.

Sekarang, ia berada di sini. Di antara kerumunan berjarak orang-orang yang tersenyum di depan tetapi membawa belati dibalik saku jasnya. Peresmian perusahaan kakaknya mendapat respons meriah bahkan dari kalangan keluarga besar Pradirga, yang ia tidak tahu apakah itu sebuah akting atau nyata. Jevian memang penggambaran yang sempurna sebagai sosok anak, ia lulusan Executive MBA di HEC Paris, ia mendirikan perusahaan di usianya yang masih dua puluh enam tahun, ia aktif di komunitas kepedulian lingkungan yang menjadi basic ia membangun perusahaannya, ia aktif dalam kegiatan amal, ia mendapat nilai sempurna selama bersekolah. Jevano merenung, hanya satu hal, ia jarang sekali melihat Jevian tertawa lebar sampai memperlihatkan giginya. Barangkali orang-orang berpikiran-ah, mungkin memang begitulah sifatnya, ia hanya tidak terbiasa pandai mengatur ekspresi di depan publik- tidak. Ia benar-benar tidak pernah melihat kakaknya tertawa lebar, hanya satu kali ia memergokinya. Kala itu Jevian yang masih SMA memakai headset sambil berbaring di tempat tidur. Rupanya ia sedang mendengarkan sebuah audio.

Jevano mengeja judul audio yang tampak berjalan ke arah kiri di handphone kakaknya.

Rekaman-band-the liar-SMA-pelita-harapan-2012.mp3.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status