Ratu Luna meliriknya, menyeringai kepadanya sebelum berubah menjadi senyum. “Kau juga datang untuk melihat kepulanganku?” tanyanya. Rambut hitam Ratu berkilau di bawah cahaya matahari, dan wajahnya yang bersih dan segar bersinar ketika ia tersenyum dengan manis.
Adrian tidak ingin membalas perkataannya walaupun sebenarnya ia mau. Ia mengingat apa yang Aiden katakan kepadanya tentang menjaga caranya berbicara, terutama kepada Luna— Sang ratu. Perkenalan pertama mereka adalah ketika Adrian masih berusia tujuh tahun dan hari itu juga tidak begitu mengesankan bagi Adrian, sehingga ia hampir melupakan seperti apa penampilan mereka setelah beberapa hari tidak bertemu. Tapi ia harus mengatakan sesuatu, jika ia tidak ingin ibu tirinya merasa diabaikan.
Adrian berdeham, “Ini adalah kejutan,” katanya.
“Selamat siang, Yang mulia.” sapa Aiden. Ia membungkukkan punggungnya, memberi h
Ketika Adrian tiba di ruang makan, ia melihat ayahnya sedang duduk di kursinya dengan kepala menopang pada tangan dan kedua mata terpejam. “Selamat siang, ayah.” Adrian menyapa ayahnya yang dibalas dengan sebuah lambaian tangan. Adrian sudah terbiasa dengan hal itu sehingga ia langsung mengambil tempat duduknya. Seperti biasa, Aiden selalu berada di dekatnya. Selalu terlihat tenang dalam situasi apapun. Aiden melirik ke arah Adrian dan ia dapat melihat kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya. Berbagai hal terus menerus berputar di pikirannya, Adrian mengerjapkan matanya beberapa kali dan melirik dari bahunya untuk mencari keberadaan Aiden, menunggu jawaban atas apa pun yang akan dikatakannya. Adrian meringis minta maaf. Aiden tidak mengatakan apapun, hanya menatap Pangeran muda tersebut yang masih terus menerus sibuk dengan pikirannya sendiri.
Cahaya matahari pada hari yang cerah, yang masuk menembus kaca membuat Iris memicingkan kedua matanya untuk melihat ke depan. Di teras ada tanaman yang tumbuh melilit tiang besi dan terlihat mengarah pada sinar matahari, seolah setiap tanaman tersebut juga menikmati hangatnya cahaya matahari. Iris sedang memanen beberapa macam bunga herbal pada area depan rumah kaca dan ia dapat mendengar suara gaduh tidak jauh dari posisinya. Ia menoleh ke arah suara tersebut. Dari kejauhan ia dapat melihat sekumpulan orang yang terlihat kecil, sedang berlatih di tengah hari yang panas. “Mereka terlihat bersemangat, bukan?” kata Max berjalan mendekat dengan membawa satu kotak kayu berisi tunas tanaman baru, arah matanya juga melihat ke arah yang sama dengan Iris. Iris mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya. “Ya, tidak biasanya.” katanya. Max tertawa. “Ada saatnya dimana mereka berlatih, saling melawan kawan mereka satu sama lai
Semua orang sudah kembali setelah matahari terbenam. Iris yang biasanya bertahan hingga larut pun sudah kembali terlebih dahulu, meninggalkan Max sendirian di farmasi. Suasana malam sangat hening hingga suara jangkrik dari taman serta air mancur yang mengalir pun terdengar jelas. Max dapat mendengar suara langkah kaki yang mendekat dari koridor. Ia melihat ke arah jam dan waktu menunjukkan saat itu sudah tengah malam. Indra penciumannya yang lebih tajam dari orang biasa membuatnya menyadari siapa yang datang Saat suara tersebut berhenti, seseorang menjulurkan kepalanya masuk ke dalam farmasi dan Max mengenali seseorang dengan rambut perak yang terlihat sangat mencolok dimanapun ia berada. Pangeran Adrian. “Apa yang kau mau, Max?” itulah kalimat pertama yang Adrian katakan ketika ia datang ke farmasi pada tengah malam. Seluruh ruangan farmasi bercahaya remang-remang, hanya terdapat cahaya redup dari lampu meja. Ia melihat Max sedang duduk
Pada malam itu, bulan purnama muncul dengan posisi tertingginya. Iris pergi ke rumah kaca sendirian dan membawa beberapa toples kaca yang telah berisi air hujan. Iris mencari satu spot yang terkena sinar bulan dan mulai meletakan setiap toples kaca tersebut beserta beberapa batu kristal yang selalu ia bawa. Tujuannya adalah untuk memurnikan air tersebut untuk menahan sihirnya agar tidak mudah untuk terlihat. Iris selalu menggunakan air tersebut untuk di usapkan pergelangan tangan, leher, dan belakang telinga— seperti sedang memakai parfum, namun satu perbedaannya adalah air tersebut tidak mengeluarkan aroma apapun. Sebenarnya, Iris tidak perlu melakukan hal tersebut. Namun, ia tidak ingin mendapatkan perhatian berlebihan hanya karena ia adalah seorang penyihir. Hal lainnya adalah karena ia menyadari keberadaan vampire di istana tersebut. Penyihir dan vampire bukanlah dua ras yang akan saling bersahabat satu sama lainnya. Beberapa kali Iris membaca buku sejarah
Iris berjalan menuju di pintu gerbang istana, merapatkan jubah panjangnya. “Kalau saja aku tidak lupa untuk membawa jubahku sendiri…” Iris menggerutu, memperhatikan jubah yang sedang ia kenakan. Sama seperti seragamnya, jubahnya juga terasa sangat berbeda di bawah sentuhan kulitnya. Jubah yang ia kenakan berwarna hitam dengan emblem kerajaan terbordir dengan benang perak dengan sangat detail pada bagian kiri. Iris menerima jubah tersebut dari Aria karena Aria mengatakan padanya bahwa ia sendiri meminta seragam tersebut untuk dibuatkan dengan alasan bahwa pekerjaan mereka memungkinkan untuk keluar istana dan menggunakan jubah resmi akan sangat membantu dengan identitas. Iris berpikir dengan keras. “Apa lebih baik aku pura-pura sakit saja? Atau meminum ramuan yang bisa membuatku langsung pingsan?” ia bergumam dengan sangat pelan. “
Iris tidak dapat menghilangkan rasa penasarannya. Sebab ketika mereka sedang berjalan untuk kembali ke istana, ia melewati satu taman yang entah kenapa lebih ramai dari biasanya. Di sana mereka menemukan anak-anak menarik-narik lengan baju ibu mereka dan menuntut jawaban, wajah mereka terlihat seperti mengharapkan sesuatu, sementara anak-anak yang lebih tua melompat dengan riang gembira. Para orang dewasa berkumpul dalam kelompok, setelah meninggalkan posisi yang biasanya mereka tempati, dan ada cukup banyak isyarat, gelengan kepala atas ketidakpercayaan dan tangan yang saling mengatup. “Apa yang terjadi?” Tanya Adrian.“Apa yang membuat mereka semua terlihat gembira dan terkagum-kagum seperti ini?” “...Saya tidak tahu,” salah satu pengawal menjawab. Ia juga melihat sekelilingnya dengan heran.
Adrian berdiri di tengah koridor sendirian, menoleh dengan pelan ke jendela dan menatap lurus ke arah pantulan dirinya sendiri pada kaca jendela dengan tatapan datar. Ia sendiri dapat melihat wajahnya sangat pucat. Ia mengambil nafas perlahan dan memejamkan kedua matanya, meletakan satu tangannya di dada kiri— merasakan detakan jantungnya sendiri. Seakan-akan jantungnya tiba-tiba berhenti berdetak. Adrian masih sadar ketika ia merasa tubuhnya bergoyang sebelum terjatuh ke lantai marmer. Iris yang saat itu sedang kebetulan berada di lokasi yang tidak jauh, mendengar suara yang cukup keras. Tanpa membuang waktu, Iris langsung berbalik dan mencari asal suara tersebut. Iris sangat terkejut ketika ia melihat Pangeran tersebut sudah tergeletak di lantai. “Yang Mulia!” Iris langsung berlari ke arahnya, tanpa mempedulikan buku
Setelah menunggu selama beberapa saat diluar kamar, Iris melihat keluar jendela. Warna jingga pada langit membentang jauh dan luar, pertanda malam akan segera tiba dan waktunya dunia beristirahat sekali lagi. Perputaran waktu yang tidak ada hentinya setiap hari. Iris pun memutuskan untuk kembali ke farmasi. Ia memutar tubuhnya dengan tiba-tiba, menabrak pelayan yang sedang berada di belakangnya. Iris langsung bergumam permintaan maaf.Ia baru mengambil beberapa langkah, ia melihat Aiden muncul dari balik dinding. “Oh? Iris?” Aiden berseru, ia bersama dengan pengawal yang biasanya selalu mengikuti Pangeran Adrian. Iris mengenali wajah mereka. Aiden mulai berjalan sedikit lebih cepat untuk mendekati Iris. Saat itu, Iris menyadari raut kebingungan tercetak pada wajahnya. “Kenapa kau diluar? Aku kira kau akan bersama dengan Max sekarang,” tanyanya.Iris menoleh ke arah pintu kamar Pangeran dari