Hari menjelang sore kala urusan tentang Mursan dan Wati berakhir. Meski belum mendapat titik terang untuk menyelesaikan masalah Mursan setidaknya untuk sementara ada keputusannya, yaitu dengan memasung Mursan supaya tidak berkeliaran dan membahayakan para gadis di kampung ini.Arini mengusulkan supaya nanti Mursan di bawa kerumah saat adanya pengajian, siapa tahu haji Nurman bisa membantu menyembuhkan Mursan. Aku setuju, sebab aku juga berpikir hal yang sama dengan Arini.Aku dan Arini memutuskan pulang lebih dulu, sementara di rumah pak RT masih terlihat banyak sekali para warga yang penasaran dengan keadaan Mursan.Bisik-bisik masih terdengar sepanjang aku dan Arini melangkah meninggalkan halaman rumah pak RT. Sejujurnya aku bergidik ngeri, aku pernah menyentuh Salwa yang nyatanya telah mengumbar tubuhnya untuk banyak pria. Aku merasa jijik dengan tubuhku sendiri, setelah ini aku berencana memeriksakan diri ke rumah sakit. Biar bagaimanapun aku harus memastikan aku tak membawa pen
"Astaghfirullah!" Kami semua terperanjat, terkejut bukan kepalang melihat mas Wahyu memuntahkan sesuatu. Tak lama setelahnya jatuh tak sadarkan diri di hadapan pak Haji Nurman.Pak Haji memperlihatkan apa yang mas Wahyu muntahkan tadi pada kami. Sesuatu seperti batu akik berwarna merah kehitaman dan berbagai ukuran, ada yang sebesar biji salak, ada yang sebesar kepalan tangan bayi dan masih banyak lagi hingga membuat air dalam baskom yang tadinya setengah menjadi hampir tumpah. Satu diantaranya di keluarkan pak haji dari dalam air dan bentuknya lebih seperti jantung atau hati ayam dengan tekstur yang lembek tapi tidak larut dalam air, dengan guratan halus persis seperti urat."Apa ini Pak Haji?" tanyaku penasaran."Pedhot Sukmo!" gumam Ibuk yang terdengar jelas diantara kami."Betul sekali. Ini merupakan hasil dari air B*l*h p*r*nd* yang masuk kedalam tubuh suami kamu. Awalnya benda ini tidak berbahaya jika raga yang ia singgahi terus dalam pengaruh ilmu hitam, tapi akan sangat berb
"Salwa! Bangun kamu!" teriak Rodiya sembari menggedor pintu kamar Salwa.Salwa yang masih tidur pulas beberapa kali mengabaikan panggilan itu, ia kembali menarik selimut dan menutup telinganya dengan bantal."Kebo! Heh, bangun gak! Atau ku bakar semua pakaianmu!" teriak Rodiya lagi, entah ini sudah panggilan ke berapa kalinya. Namun, Salwa tetap saja tak mau keluar dari kamarnya.Pagi ini tepat pagi ke lima Salwa membuat alaram otomatis itu heboh menggemparkan seluruh penghuni rumah dan bahkan sampai ke beberapa rumah yang berada di dekat rumah kecil itu."Hish! Apaan sih tu orang, selalu teriak-teriak gak jelas!" gerutunya sembari menyibak selimut."Salwa!" Rodiya kian keras menggedor pintu, hingga rumah ikut bergetar."Apaan sih, Bik?" sewot Salwa setelah memperlihatkan batang hidungnya."Apaan, apaan! Kamu kira ini hotel, HAH! Bangun dan kerjakan pekerjaan yang kamu bisa!" hardik Rodiya."Ngerjain apaan emang?" ucapnya santai, membuat Rodiya semakin berang."Amit-amit jabang bayi!
"Kampung mati?""Iya, sebab di sana sudah tak lagi ada aktifitas kehidupan manusia maupun hewan ternak. Semua warga kampung satu persatu pergi meninggalkan kampung demi hidup tentram. Ada yang merantau ke luar daerah, ada juga yang ke kota. Nenek merasa, sakit hati Nenek terbayar dengan adanya wabah yang tak berkesudahan di tempat itu, hingga merenggut nyawa hampir semua laki-laki yang berbuat asusila terhadap Ratih. Terbayang tangisan Ratih ketika diadili di balai desa, dia adalah korban tapi dia juga yang di pojokkan, akhirnya mereka menuai apa yang mereka perbuat." mata sendu itu kini berkabut mengingat kembali kisah puluhan tahun yang lalu. "Lalu, kenapa Nenek tidak ikut Ibu saja dulu ke kota?" "Kala itu ada yang harus Nenek selesaikan di sini, Nenek mencari tahu sendiri kenapa kami bisa kalah dalam menuntut keadilan untuk Ratih.""Lalu?""Jawabannya ada pada lurah desa waktu itu, namanya Muhron. Rupanya dia sengaja melakukan itu sebab anak lelakinya sempat di tolak oleh Ratih
"Salwa jangan dekati!""Cepat masuk!" Mak Saroh menarik lengan Salwa untuk segera masuk kedalam rumah dan segera ia mengunci pintu."Siapa orang itu, Nek?" tanya Salwa setelah benerapa saat terdiam dengan pikirannya sendiri. "Sudahlah, lupakan saja. Tidurlah, besok kita pergi ke pasar." Mak Saroh bergegas menuju kamarnya sendiri meninggalkan Salwa yang masih penasaran.Mau tak mau Salwa masuk ke kamar juga setelah rasa penasarannya tak menemuka jawaban. Ia merebahkan diri dan menutup tubuhnya dengan selimut hingga batas dagu."Salwa, anakku!" suara lirih wanita itu kembali terdengar, namun kali ini terdengar samar. Salwa memilih mengabaikannya dan menyumpal telinganya menggunakam headset yang terhubung ke ponsel pintarnya. Tak lama ia pun terlelap.🌾🌾🌾"Salwa, tolong Ibu! Salwa anakku!" suara lirih seorang wanita kembali memanggil Salwa.Salwa sedikit kesusahan sebab di tempat ini begitu gelap. Ia terus melangkahkan kakinya, pencahayaan yang ia dapat dari senter ponsel memudahkann
Pagi ini mendung meyelimuti bumi, meski rintik airnya belum menyentuh tanah. Namun, dinginnya udara berhasil membuat jiwa kemalasan berkembang dengan sangat baik.Arini dengan sabar membangunkan suaminya ketika azan subuh terdengar saling berasahut-sahutan."Mas, bangun dulu yuk! Shalat subuh dulu." Entah sudah keberapa kalinya Arini mengguncangkan tubuh suaminya itu. Namun, Wahyu hanya berguling dan bergumam saja.Kesabaran masih bertahan hingga kumandang azan selesai, tapi Wahyu masih juga belum meninggakan buaian alam mimpi untuk segera menghadap sang pencipta dalam sujudnya. Kesabaran itupun terkikis dengan sendirinya."Ini terakhir kalinya aku bangunin, mau bangun atau gak usah bangun sama sekali!" ucap Arini tegas tepat di telinga suaminya.Wahyu yang sedari tadi hanya berguling, sontak melebarkan matanya dan segera duduk dengan tegak."Kok gitu ngomongnya?""Abisnya, di bangunin cuma ham hem ham hem doang! Kalu di bangunin buat shalat aja udah bikin tensi naik, mending gak usa
Siang ini Salwa kembali ke kampung mati sesuai petunjuk dari laki-laki yang mungkin seusia ayahnya itu. Sepanjang jalan ia memberi tanda tali rafia berwarna cerah karena ingat pesan neneknya, supaya dia kembali menemukan jalan pulang. Baru beberapa tanda yang ia pasang usai melewati jembatan, suara wanita kembali terdengar."Jangan beri tanda apapun, Nak! Nenekmu nanti akan mudah menemukanmu!" Salwa meneguk ludahnya kasar, ia gamang apakah harus dipasang tanda atau tidak. Lantas bagaimana nanti ia temukan jalan pulang?Ia menarik nafas dalam dan berkata lirih, meski tak ada sesiapapun di sana. Tapi, ia yakin bahwa wanita itu mengikutinya meski tak terlihat oleh mata."Jika tak kuberi tanda, bagaimana aku bisa keluar dari kampung ini nanti?"Hembusan angin terasa dingin menyentuh tengkuknya, membuat bulu romanya seketika berdiri. Bukan karena dia takut melainkan dia merasakan kehadiran seseorang yang tak mampu ia lihat, dan ia yakini bahwa seseorang itu adalah Ratih, ibu kandungnya.
"Apa syaratnya?""Syaratnya adalah Ratih harus membawa setidaknya 3 korban setiap satu purnama.""Tiga korban?" gumam Salwa."Ya, korban itu adalah laki-laki yang berhasil bersetubuh dengan Ratih dan berakhir jadi gila atau bunuh diri." jawab Randa dengan tatapan mata lurus kedepan."Bagaimana bisa?""Tentu bisa, dukun itu memasang susuk pada tubuh Ratih untuk menjerat korbannya. Awalnya aku tak setuju, bagaimana mungkin aku membiarkan tubuh wanita yang aku cintai dijamah oleh laki-laki lain?Namun, nenekmu menyetujuinya dan mengabaikan perasaanku. Asal Ratih normal kembali, apapun syaratnya akan dia penuhi.Tapi kembali dukun itu memberitahukan resiko atas apa yang akan terjadi akibat susuk itu. Ratih akan dikendalikan penuh oleh pemilik susuk, dan tak akan bisa lepas begitu saja. Aku kembali tercengang dibuatnya, tapi aku bisa apa? Nenekmu mengambil penuh keputusan tanpa melibatkanku. Saat itu, Nenekmu percaya diri sekali jika semua akan baik-baik saja. Memang benar adanya setelah