Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. 6 bulan sudah Salwa dirawat di rumah Murni di Jakarta. Awalnya Salwa menolak dan memilih kembali ke Jambi. Namun, dengan alasan lebih dekat jika harus kembali ke rumah sakit untuk kontrol, akhirnya ia setuju dengan Bik Jani tetap ikut bersamanya. Ia tak mau lagi merepotkan Murni dan Tri juga ketiga saudara tirinya.Kondisi Salwa semakin memprihatinkan, kian hari kian kurus. Rambut indah itu gini tak lagi tersisa sedikitpun dan hanya menampakkan kulit kepalanya saja. Cekungan mata kian kentara bahkan kini untuk bicara saja sudah mulai kesusahan.Satu bulan lalu, kenyataan pahit kembali menghantam mental Salwa. Dokter menemukan adanya pertumbuhan sel kanker yang sudah menyebar di area kerongkongan akibat virus APV yang di sebut kanker orofaring. Sejak itu pula, Salwa kehilangan suaranya.Meski begitu lemah oleh keadaan, semangatnya masih membara dalam dirinya. Ia menjalani hari-harinya dengan ikhlas, tak ada lagi air mata yang keluar dari mat
Aku menatap wajah lelah lelaki yang kini terlelap di sampingku, dengkuran halusnya terdengar teratur pertanda telah pulas tidurnya. Beberapa titik peluh masih menghiasi dahinya seusai permainan panas kami melepas rindu.Usia pernikahan kami menginjak tahun ke-14 dan telah di karuniai dua orang putra nan tampan dan sholeh. Ardhani Yasif si kakak yang mengijak usia 12 tahun dan Arbani Yusuf yang berusia 8 tahun.Mas Wahyu, suamiku bekerja sebagai sopir truk muatan antar kota, yang tidak setiap hari bisa pulang dan berkumpul dengan anak serta istrinya. Terkadang tiga hari baru pulang dan bahkan tak jarang satu minggu baru pulang.Kami bukanlah berasal dari keluarga mapan yang kaya. Kami sama-sama berangkat dari nol, membangun rumah tangga ini dengan keringat dan air mata tak jarang kami menahan lapar hanya demi kedua buah hati kami agar perut mereka merasa kenyang.Aku yang hanya bekerja sebagai buruh jahit di sebuah konveksi rumahan, hanya bisa membantu untuk kebutuhan dapur. Sementara
"Bund, kirain udah ke sebelah?" ucapnya berjalan mendekat."Bund, kamu nangis? Kenapa?" tanyanya dengan raut panik ketika jaraknya tinggal dua langkah lagi denganku yang duduk di tepi kasur."Oh, enggk kok Mas, tadi mau ambil baju malah kelilipan." jawabku menahan sesak di dada. Aku gegas berdiri sebelum ia semakin curiga."Aku ke samping ya, Mas. Mungkin gak masuk sampe sore soalnya agak sibuk hari ini. Nanti tolong jemput anak-anak pulang sekolah ya, Mas!" "Bunda bener gak papa?" "Iya, gak papa!" aku segera berlalu keluar kamar dengan air mata kembali berjatuhan tanpa permisi. Sesak dalam dada kian menjadi kala mendapati perhatiannya tak berkurang sedikitpun padaku.Aku terus menuju pintu samping yang langsung terhubung dengan kios tempatku menjahit. Belum ada siapapun yang datang karena jam kerja belum di mulai. Segera aku membuka rolling door dan memeriksa apa saja yang harus aku kerjakan hari ini.Usai menyiapkan segalanya, aku terduduk di depan mesin jahit. Pikiranku kacau, me
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, aroma minyak kayu putih menusuk indera penciumanku. Aku kembali sadar sudah berada di kamar."Bunda kenapa?" tanya si kakak terlihat khawatir. Ada juga si adek yang masih sesenggukan di samping si kakak."Bunda gak papa, Sayang! Kok nangis?" aku merengkuh kedua jagoanku ini. Aku tak boleh terlihat lemah di depan mereka.Tak lama masuklah mbak Ika dengan membawa air putih dalam gelas."Ibuk sudah sadar? Alhamdulillah!" "Saya kenapa, Mbak?" "Tadi Ibuk pingsan di dekat pintu ruang tamu. Terus kak Ardhan teriak panggil kami, yaudah kami angkat Ibuk bawa ke sini!" Jelasnya, sembari menyodorkan gelas berisi air putih."Terimakasih ya, Mbak! Terimakasih anak sholeh Bunda!" ucapku mencium pucuk kepala kedua anakku.Aku meneguk air putih hingga tandas dan mengembalikan gelas kosongnya pada mbak Ika."Bunda kenapa?" tanya si adek."Bunda gak papa, mungkin kecapekan aja!" jawabku sebisa mungkin terlihat baik-baik saja dihadapan anak-anak hebat ini."Kalau gi
"Kejutan!" sorak Erna sembari bangkit berdiri."Hai, Sal-wa!" ucapnya sengaja mengeja mana Salwa."Kok kalian bengong di situ! Kaget ya ada Erna?" tanyaku membuat suasana kian memanas.Mas Wahyu terlihat semakin gugup dan dengan cepat melangkah mendekat mendahului Salwa yang masih diam mematung ditempat."Astaghfirullah! Itu kenapa baju sama rok anak SD dipake, Wa? Udah lama gak beli baju ya? Atau mbak Murni lupa ukuran baju kamu?" cecar Erna dengan senyum sinisnya. Salwa semakin salah tingkah, wajahnya sudah memerah entah malu atau marah.Salwa bergeming, Erna justru melangkah mendekatinya."Duh masih wangi, habis perjalanan jauh masih wangi loh, apa sih parfum kamu, Wa? Aku mau ikutan beli dong, biar nanti wangi sepanjang hari." kekeh Erna. Salwa semakin kelimpungan sementara mas Wahyu hanya menunduk di sofa single sebelah kananku."Kamu sehat, kan, Wa? Lama loh kita gak ketemu, yuk duduk!" Erna merangkul Salwa dan membawanya duduk di sofa single sebelah kiri yang berhadapan langsun
"Salwa!!Bikinin kopi dong!" terdengar suara Erna cukup jelas dari pintu penghubung yang berada di samping dapur.Aku yang baru saja melangkah masuk kedalam rumah cukup terkejut mendapati pemandangan indah di depan sana.Salwa dengan daster lusuh panjang hingga bawah lutut tengah memegang alat pel dengan keringat yang mengucur membasahi dahinya. Rambut panjang yang biasa tergerai indah itupun kini ia ikat asal dan terlihat semrawut.Ia melangkah menuju dapur dengan raut wajah kesal. Ia berjalan mendekat dimana posisiku berada. Aku segera melangkah seolah baru saja masuk kedalam rumah. Saat Salwa bertemu denganku di dekat pintu masuk dapur, ia menatapku dengan mata berkaca-kaca seolah meminta pertolongan.Aku mengulum senyum tertahan melihat penampilannya, memperihatinkan."Tante," lirihnya dengan bendungan di kedua netranya yang siap meluncur."Kamu kenapa, Wa?" tanyaku pura-pura."Salwa capek, Tante! Mbak Erna nyuruh ini itu gak ada habisnya!" adunya dengan air mata mengalir.Dia piki
Setelah mobil berlalu meninggalkan halaman rumah, aku keluar menemui ibuk yang duduk di sofa depan tv. "Nduk, ibu mau tanya sedikit!" ucapnya setelah aku ikut duduk di sampingnya."Apa, Buk?""Semua aset yang kalian miliki atas nama siapa?" "Atas nama kami berdua, Buk! Ada apa?" "Nduk, Arini! Kamu ini polos apa bodoh sih! Sekarang amankan semua sertifikat dari aset-aset kalian, cepat bawa kesini!" Ibuk geleng-geleng kepala mendengar jawabanku bahwa memang semua aset yang kami miliki diatasnamakan kami berdua, karena sedari awal memang kami berangkat membangun rumah tangga ini benar-benar hanya dari pakaian yang melekat di badan saja.Hingga ditahun ke tiga kami berhasil membeli tanah yang akhirnya kami bangun runah ini, tahun berlalu kami mampu menambah sebidang tanah yang akhirnya kami buat untuk kiosku menjahit. Beberapa kendaraan termasuk tiga truk dan dua sepeda motor semua atas nama kami berdua. Hanya beberapa set perhiasan dan dua buku tabungan yang atas namaku sendiri.Ibu m
"Erna, jangan cari ribut terus dong! Kalau begini sikap kamu, Arini pasti curiga!" ucap Wahyu setelah tak lama mobil keluar dari gerbang perbatasan tempat tinggalnya.Erna yang sedari tadi fokus pada layar ponsel melirik sinis ke arah kakaknya itu."Kenapa? Takut kalau mbak Arini tahu kelakuan bejat kalian!" sinisnya."Makanya, punya otak di pake dong! Kalian pikir mbak Arini bodoh, hah! Mbak Arini diam bukan berarti dia bisa kalian dzalimi dan kalian injak-injak!" tegas Erna. Wahyu hanya diam dan terus fokus pada jalanan."Sudah berapa kali aku peringatkan kamu, Bang! Tapi sepertinya tak cukup hanya dengan bogemanku waktu itu, apa perlu aku congkel matamu sekalian? Atau aku potong pusakamu, Bang?" Erna menatap tajam Wahyu yang berubah pias, terlihat susah payah menelan saliva."Dan kau, lo*te! Pergilah sebelum kurobek selangkanganmu! Atau perlu kusebar foto telanjangmu di sosial media, hah! Biar Ibumu sendiri yang menghajarmu!" ucapnya mentap tajam Salwa yang sedari tadi hanya diam m