Arkan tersenyum miring. "Kita tidak akan melakukannya sampai kesalahpahaman teratasi. Kau sudah membuat suasana hatiku buruk sejak hari itu." Lunar maju beberapa langkah ke depan sebelum mendorong pintu kamar dengan kuat. Dorongan menciptakan suara yang cukup nyaring. Setelah itu, dia menguncinya agar tidak ada yang keluar atau pun masuk ke dalam kamar. "Apa yang kau lakukan?" Lunar menarik kerah baju pria itu hingga tatapan mereka benar-benar bertemu. "Bukankah kau ingin kesalahpahaman kita berakhir? Jadi, katakan padaku, apa kau benar-benar membayangkan Raya ketika berbaring bersamaku?" Arkan berusaha menyingkirkan tangan yang mencengkeram kerahnya, tetapi sebaliknya tangan Lunar satunya lagi melakukan hal yang sama, mencengkeram kerahnya dengan kuat. "Aku tidak menyukai sikapmu ini, Lunar." "Aku tidak akan berhenti sebelum kau menjawabnya. Apa kau membayangkan Raya ...." Kali lini Arkan sungguh tidak bisa menoleransi. Dia menghentikan kalimat itu berlanjut dengan sebuah ciuma
Dering ponsel membangunkan Raya yang tadinya lelap dalam tidur. Susah payah dia mencari-cari ponsel hingga harus bangkit dari baringan. Di saat itu pula dia terkejut mendapati Sekretaris Ham sedang tidur dengan posisi duduk di lantai dan kepala rebah di tepi ranjang. Seingatnya tadi malam mereka pergi minum. Apakah dia mabuk dan Sekretaris Ham membawanya ke kamar hotel seorang diri? Raya membangunkan Sekretaris Ham dan tidak lama kemudian tatapan mereka bertemu. Tanpa bisa diprediksi, orang yang dibangunkan langsung bangkit dengan sikap terkejut. Lebih daripada itu, ada hal yang membuatnya sangat khawatir mengenai mereka. "A-apa kau yang membawaku kemari?" Sekretaris Ham hanya menganggukkan kepala tanpa menjawab. Entah apa yang sedang dipikirkan pria itu sekarang mengenai dirinya, Raya sama sekali tidak tahu. "Bagaimana kau membawaku?" "S-saya memapah ...." Raya mengambil kotak tisu di atas nakas, lalu langsung melemparkannya pada Sekretaris Ham. "Apa aku sangat berat sampai kau
Lunar bangkit dari sana dengan yakin. "Aku sangat lelah hari ini. Sebaiknya kita bicara lagi besok. Apa kau akan tetap tidur di sofa?" Arkan ingin membantah, tetapi tidak bisa karena alasan itu mutlak. Mereka baru pulang dari perjalanan jauh dan memerlukan istirahat, apalagi selama di kamar hotel banyak tenaga yang mereka kerahkan untuk saling memuaskan satu sama lain. Dia menoleh ke arah lain dan memejamkan mata sebagai jawaban. Jika Lunar membutuhkan ketenangan, maka dia juga membutuhkannya. Bayangan Lunar dan Nico masih terus membuat pikirannya berlarian tanpa henti. Lebih baik jika mereka tidak berada dekat untuk membuatnya tenang. Lunar yang menyimpulkan sikap acuh sebagai penolakan pun tidak lagi berkata-kata. Dia langsung berbaring di ranjang, lalu membenamkan diri dalam selimut. Dia membelakangi Arkan yang berada jauh darinya. Lunar membayangkan kembali apa yang terjadi saat mengunjungi Sora. Tadi adalah pertengkaran emosional di antara sesama saudara. Sora berkata kalau se
Lunar hanya diam saja memperhatikan. Setelah itu, dia turun dari mobil dan lambat-lambat berjalan menghampiri. Sora tampaknya menyadari ada orang selain dirinya di sana sehingga mereka langsung bertemu tatap. Dia tersenyum, tetapi kakaknya langsung berpaling. "Mari kita bicarakan baik-baik mengenai masalah tadi malam," ucap Lunar. Sora mengembuskan napas panjang. "Baiklah. Mari kita bicarakan baik-baik." Lunar mengambil napas dalam-dalam, mengeluarkannya perlahan, dan berkata, "Kehidupanku tidak sebaik yang kau kira. Mungkin, kau berpikir kalau aku sangat senang dengan apa yang aku miliki sekarang. Suami yang muda, tampan, dan kaya raya. Aku bahkan diselingkuhi di hari pernikahanku." Nico yang dilirik tampaknya mendengar kalimat barusan, langsung mengalihkan pandangan seketika. Pria pengkhianat itu memberi jarak agar kakak beradik bisa berbicara dengan bebas. Lunar menatap kakaknya kembali dengan yakin setelah diam beberapa saat lamanya. "Ya, mungkin aku sedikit lebih baik darimu.
Mereka tiba di sebuah restoran yang berada jauh dari pusat kota. Lebih tepatnya, restoran ini berada di jalan persinggahan. Sengaja mereka memilih tempat itu agar jauh dari tatapan mata yang mungkin akan mengetahui siapa Lunar. "Aku benar-benar minta maaf padamu mengenai pernikahan kita." "Jangan membahasnya lagi." Lunar tidak ingin mendengarkan masalah yang telah membawa dirinya pada kerumitan hidup. Dia saat ini sedang ingin mengatasi kesedihannya tentang Arkan, bukan untuk menambah kesedihannya dengan kejadian lalu. "Aku baru tahu kalau di sini terdapat restoran bagus untuk beristirahat," ucap Lunar sembari terkesima memandangi sekeliling. "Terkadang aku mampir ke mari untuk beristirahat dari perjalanan bisnis." Lunar menganggukkan kepala sambil mengurai senyuman. Dia hampir saja lupa kalau pria yang akan menikahinya ini adalah seorang pria kaya juga. Namun, dia baru tahu kalau Nico tidak memiliki masalah jika berada di lingkungan sederhana begini. "Kau ingin berkeliling sebe
"Apa? Piknik?" Suara Arkan seolah sedang tidak habis pikir dengan apa yang diucapkan barusan. "Jadi, itu hal penting yang kau maksud?" Lunar menganggukkan kepala. "Aku ingin pergi ke tempat yang jauh bersamamu." "Bersamaku?" "Ya. Hanya kita berdua." Tidak mendengar jawaban membuat Lunar kembali berkata, "Apa ... tidak bisa? Kau memiliki jadwal pada saat itu? Atau, kau akan pergi bersama Raya?" "Tidak. Aku hanya berpikir kalau kita akan pergi berdua saja." "Kau tidak suka?" "Aku sangat suka. Tapi ke mana tempat jauh yang kau maksud?" *** Seperti rencana yang telah disusun oleh Lunar, mereka pergi piknik ke suatu daerah. Tempat piknik itu sangat tinggi dan melelahkan. Arkan saja rasanya tidak sanggup untuk melanjutkan perjalanan mereka. Lunar menolehkan kepala dan senyumannya kian mengembang. "Sebentar lagi kita akan sampai. Ayo, cepat!" "Orang-orang akan duduk di atas karpet dengan sajian makanan sambil menikmati keindahan alam. Tapi piknik ini jauh berbeda dari bayanganku,"
Tidak adanya respons membuat Rian menoleh. Dia sangat terkejut dengan pemandangan yang dilihat. Napasnya dihela singkat dengan mata yang tidak lagi mengarah pada tubuh Arkan, lambat-lambat dia memutarkan tubuh pula. Mandi bersama pria tidak seharusnya membuat dia khawatir. "Dia sangat jutek, bahkan setelah kami bertahun menikah. Untuk itu aku membawanya mendaki agar aku bisa mengungkapkan perasaan padanya. Aku rasa ... dia tidak cukup puas denganku." Rian menyambung perkataannya. Kini Arkan yang menghela napas singkat. Dia melirik ke bawah, menilai sesuatu yang bertumpu di sana. "Apa kau berpikir kalau istrimu tidak puas dengan ukuranmu? Hey, Bro! Itu sudah cukup besar. Mungkin ada hal lain yang membuat istrimu bersikap dingin. Coba bicarakan baik-baik padanya." "Benarkah?" Arkan meletakkan sabun di tepi bak mandi. "Lunar adalah wanita yang baik, tapi kadang kala membuatku kesal dengan sikapnya. Dia sangat cerewet untuk hal-hal tertentu. Kami akan bertengkar untuk sesuatu yang keci
"Ibu, Royal Grey adalah perusahaan besar. Sudah pasti jika Arkan sangat sibuk. Lagi pula, kita mengabari secara mendadak," ucap Sora. "Apa maksudmu kita harus membuat jadwal pertemuan terlebih dahulu baru bisa bertemu? Bagaimana bisa pada keluarga sendiri begitu?" "Sudahlah, Ibu. Ayo kita rayakan saja ulang tahunku." Mereka merayakan hari ulang tahun dengan gembira. Kebersamaan itu adalah apa yang dirindukan Lunar selama berada jauh dari keluarganya. Momen ini adalah penantian panjang yang sangat berharga. Usai pesta kecil-kecilan itu semua orang tertidur kecuali Lunar. Selain itu, Nico juga masih terbuka lebar matanya. Sekarang sudah sangat malam dan sebaiknya dia mengantarkan Nico keluar sebelum waktu semakin larut. "Aku ingin bercerita banyak denganmu, tapi waktu sepertinya tidak mengizinkan. Apa kita bisa bertemu lagi setelah ini?" Lunar menganggukkan kepala. "Jika waktu mengizinkan." Nico tersenyum tipis. "Selamat malam, Lunar. Aku berharap kau memimpikanku." Lunar tidak m