Share

Chapter 4. Sam, Summer, F*ck Buddy, & Firstime

FALL

Sam tersenyum, mendekatiku. Jelas aku mundur. Lalu pandangannya teralih ke bawahku dan terkesiap.

Otomatis aku mengikuti pandangannya. Dan apa yang kulihat membuatku merutuk.

Luar biasa, Fall! Saking terkejutnya, kau sampai tidak merasakan telah menginjak pecahan cangkir.

"Jangan ke mana-mana!" seru Sam dengan nada panik.

"Memang aku mau ke mana?" balasku kesal sambil melihat keadaan kakiku. Ternyata, banyak pecahan cangkir kecil-kecil bertebaran menusuk telapak kaki kananku.

Sam mengambil kursi terdekat. "Duduk di sini, biar aku yang ambil pecahannya." Kuikuti arahannya. 

Dia berjongkok dan mengangkat kakiku di depan wajahnya. "Whoa, telapak kakimu sudah seperti kepala shower!" Sudut mulutku mengedut mendengar pernyataannya. "Yang dua ini cukup dalam. Sebentar, aku ambil kotak P3K dulu."

"Enggak usah!" bentakku, tapi dia malahan berlari tidak mempedulikanku. Sam datang dengan peralatannya, dan kembali jongkok di hadapanku. Saat dia akan menarik pecahannya dengan pinset, sikap kekanak-kanakanku keluar. "Aku bisa sendiri!"

Kepala Sam miring ke kiri. "Biar aku bantu, oke! Nanti kujelaskan semuanya."

Aku menggigit gerahamku keras-keras. "Sudah kubilang jangan berarti jangan! Aku nggak butuh bantuanmu!"

"Kenapa kau jadi sinis begini?" Sam berdiri, menatapku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Astaga, bau apa ini?"

"Telur dadarmu gosong."

"Ya, ampun!" Kaki manis Sam yang bersandal jepit merah muda, kembali berlari kecil.

Kaki manis Sam?

Apa yang ada di pikiranmu, Fall?

Aku mengurus pecahan-pecahan cangkir yang menusuk telapak kakiku, menariknya satu per satu dengan pinset, dan mencari antiseptik di kotak P3K. Namun tidak ada.

"Biar aku saja," ujar Sam, memegang larutan antiseptik di dalam mangkuk kecil. Dia kembali jongkok lalu melakukan tugasnya.

Aku hanya bisa pasrah sembari menelitinya dari dekat. Astaga, dengan atau tanpa riasan dia tetap terlihat cantik. 

Setelah selesai membalut lukaku dengan plester, tangan Sam beristirahat di dengkulku. "Aku minta maaf, ini kulakukan untuk riset novelku."

"Omong kosong!"

"Aku serius." Sam mengusap-usap dengkulku. "Dengar, aku niat kembali ke hotel sambil membawa semua masakan ini. Setelah kau makan, aku mau menceritakan semuanya."

"Sudah kubilang jangan omong kosong denganku. Jelas-jelas kau kabur--"

"Aku meninggalkan pesan di dekat bantal--"

"Nggak ada pesan di situ--"

"Di saku celanamu juga." Sam mengedipkan sebelah matanya.


"Enggak ada."

"Cek dulu, Fall," balasnya parau.

Mendengar dia memanggil namaku dengan suara bak wanita penggoda, aku hanya bisa mengerang dalam hati.

Aku menarik saku celanaku yang kiri juga yang kanan. "Tuh, nggak ada!" Tangannya menyelusup ke saku belakangku, membuatku terkesiap. "Mau apa kau?"

"Nih." Sam memberi selembar kertas yang kuingat betul berasal dari buku kecil merah mudanya.

Kuremas kertas tersebut, lalu mengembalikan ke tangannya. "Ini sudah enggak penting lagi. Kau sudah mengelabuiku," aku menggeleng-geleng, "syukurlah, kita tidak jadi tidur bersama... kalau jadi, aku pasti jijik setengah mati."

"Kenapa jijik?" alis cokelat mudanya bertaut. "Oh, tadi kau bilang aku fück buddy sobatmu--"

"Yeah," potongku.

"Memang masalahnya apa kalau aku fück buddy sobatmu?"

"Bukan masalah fück buddy saja, perasaanku mengatakan, ini bukan untuk riset novel."

"Sudah kubilang, itu alasannya--"

"Dengar, kau juga tahu kalau kamar yang kita pesan--menyediakan breakfast, jadi jangan omong kosong denganku!"

Sekilas terlihat kedutan geli di sudut mulutnya sebelum dia berbalik dan berjalan untuk mencuci tangannya, lalu pergi ke arah kulkas.

Suara musik rap, yang mungkin dari Jepang atau Korea, masih menggema di ruangan. Aku yakin, bukan Cina, karena sedikit banyak, aku mengerti bahasa itu dari teman sekuliahku.

"Wow, kau sudah menyiapkan sarapan untuk Master-mu ini," sahut Corbin yang entah bagaimana tiba-tiba nongol dan berdiri di hadapanku. "Aku nggak nyangka seleramu berubah ke musik 'a cing cong bai' begini." Dia tertawa dengan leluconnya sendiri.

Sedetik kemudian terdengar derai tawa indah yang membuat Corbin menjatuhkan rahangnya ke lantai.

"Itu musik Korea," ucap Sam dengan nada geli.

"Ka-kau pasti temannya Sam. Perkenalkan, aku Corbin Baruchel."  Dia mengulurkan tangan pada... 

Apa...? Dia Sam, atau bukan?

Gadis ini membalas jabatan tangan Corbin. "Sepertinya sobatmu ini, menganggapku Sammy atau Samantha, fück buddy-mu." Dia menyeringai dengan seksinya, dan baru kali ini aku melihat pipi Corbin semerah tomat. "Aku Summer, biasa dipanggil Sam." Dia melepas jabatan tangannya, berjalan meninggalkan aku dan Corbin dengan segelas jus jeruk di tangannya.

"What the hell, Dude?" Corbin menepuk bahuku. "Apa maksud Summer?"

"Summer. Nama kami saja cocok, sama-sama nama musim." Aku mengangguk-angguk sambil menyumpahi ketololanku. Apa dia bisa memaafkanku? Tapi kan, dia juga menipuku. "Apa...?" teriakku, mengusap pipiku yang ditampar oleh Corbin.

"Kenapa dia bilang begitu? Dan kenapa pecahan gelas bertebaran di sini?"

"Tolong ambilkan aku sandal, Mate." Setelah memakai sandal jepit miliknya, aku langsung berdiri. "Nanti saja. Sekarang, ada hal penting yang harus kuurus." 

Summer sedang duduk santai di sofa kulit abu-abu--dengan sepiring waffle di tangannya. Ternyata dia telah mematikan musiknya. "Apa kau mau terus menjadi patung di situ, hmm?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari TV.

Aku terkekeh, tidak sadar telah memandanginya cukup lama. Aku berjalan tertatih, duduk di sebelahnya lalu berdeham. "Aku minta maaf. Aku benar-benar berengsek telah menuduhmu seperti itu, tapi kau juga telah memperdayaiku--"

"Aku jujur mengatakan hal itu, Fall."

Lagi-lagi telinga juga tubuhku menyukai saat dia menyebut namaku dengan parau, seperti saat...

Sadar Fall!

"Jujur, aku masih belum percaya dengan alasanmu, tapi aku juga bersalah sudah menyangka kau yang tidak-tidak. Mau memaafkanku, nggak?"

Summer hanya menatapku, kepalanya miring ke kiri. "Dengan satu syarat, kau harus jadi pacarku."

Bloody hell.

Saat bersamaan, tawa seseorang meledak dari arah meja makan. Ternyata sedari tadi Corbin telah menjadi kelelawar. Sialan.

"Kau gila, ya?" kataku bingung. "Kita kan, baru saja kenal." 

Bahu Summer bergoyang, payudaranya yang menggiurkan ikut menari. "Kalau fück buddy, gimana?"

Aku dan Corbin menyumpah bersamaan. 

"Gimana?" Summer mengedipkan sebelah matanya.

Kali ini aku dan Corbin mengerang. Summer malahan terbahak serak, membuat darahku berdesir seketika.

Ini gawat. 

Lama-lama dengannya malahan membuat otak dan tubuhku makin tidak beres.

"Fall..." tangan Summer memainkan ikal rambut di leherku, membuat seluruh tubuhku merinding, "gimana?"

"Aku enggak--"


Summer menutup bibirku dengan jarinya. "Aku tunggu jawabanmu lima hari lagi."

Tak tahu bagaimana, Corbin sudah berada di samping Summer. "Sobatku ini, terbiasa dengan cara-cara kolot, dia nggak akan mau one night stand, apalagi--"

"Semalam kami one night stand," cengir Summer.

Mata Corbin membelalak. "Tidak mungkin!" Dia menaikkan sebelah alisnya padaku.

"Ceritanya panjang," jawabku malas.

"Sudah kubilang, kan, dia terlalu kolot dan gentleman. Kau lebih baik berurusan denganku," angguk Corbin, lengkap dengan senyuman durjananya.

"Pasti, kalau Fall menolakku," jawab Summer yang membuat aku dan Corbin kembali mengerang. "Kalian nggak makan?"

"Kau yang memasak semuanya?" tanya Corbin. Summer mengangguk. "Keren. Aku benar-benar beruntung mempunyai roommate cantik, seksi, pintar memasak lagi. Sempurna." 

"Terima kasih," kekeh Summer serak. 

"Tidak, Love, aku yang seharusnya berterima kasih." Corbin mengedipkan sebelah matanya, berdiri, lalu berjalan ke arah meja makan. 

Tentu saja aku cuma bisa mendesis dalam hati pada gaya merayu Corbin.

Lagi-lagi kepala Summer miring ke kiri. Sekarang aku tahu, dia selalu melakukan hal itu kalau sedang berpikir atau meneliti sesuatu. "Kenapa diam saja? Kau belum makan, kan?"

"Jadi, kalau aku menolakmu, kau akan tidur dengan Corbin?"

Matanya menari-nari. "Lihat saja nanti."

Lagi-lagi aku menyumpah dalam hati. "Terserah kau!"

Summer mengecup pipiku. "Kau menggemaskan, tahu, kalau lagi cemburu."

"Kau hanya akan melihat itu, di mimpimu!" Aku berdiri, hampir-hampir meraba dadaku yang berdegup kencang atas kecupannya barusan.

"Aku mau makan dulu."

"Makan di sini, ya, bareng aku." Sebelah mata Summer mengedip.

Oow, aku berhadapan dengan Corbin versi wanita. 

"Aku biasa makan di meja makan."

"Masih banyak pecahan cangkir di sana. Tetapi, kalau kau memaksa makan di sana, tatap aku terus ya, dari kejauhan."

Aku menahan senyuman dan mengedikkan bahu. Ternyata benar dugaanku, dia gadis penggoda.

Saat aku di meja makan, Corbin dengan seringaian di mulutnya malahan membawa sepiring makanan dan secangkir teh ke ruang TV yang memang hanya berjarak 5 kaki dari meja makan. 

Oh, dia mau jadi sainganku rupanya?

 

Ada apa dengan saingan ini? Kau jelas akan menolak jadi fück buddy Summer, kan, Fall?

Ya, aku akan menolaknya.

 

Setelah membersihkan pecahan cangkir, aku duduk di kursi makan, mengambil waffle dan roti peanut butter jelly, juga menuang susu putih ke dalam gelas.

Oke, sambil makan, aku juga menguping percakapan mereka.

Corbin asyik menceritakan tentang pekerjaannya sebagai fotografer di Glam, majalah wanita dan fashion. Parahnya, dia akan menjanjikan goodie bag Maybelline dan Mars... bukan, ternyata Nars--untuk Summer, kalau melakukan pemotretan minggu ini. 

Tentu saja Summer langsung berteriak senang dan menggenggam tangan Corbin. 

Dan si Bajingan itu hanya nyengir seperti orang tolol. 

Ketika mata Corbin bertemu denganku, langsung kuberikan tatapan membunuh. Dia malahan menyengir lebih lebar dan memberikan anggukan sombong padaku. Dasar berengsek.

Tidak beberapa lama, datanglah Samantha alias Sammy, fück buddy Corbin. 


Yeah, benar seperti yang Corbin bilang, Sammy memang seksi, dengan rambut jet black panjang sepinggang, dan wajah yang meneriakkan kemanisan tingkat tinggi.

Oke, dia tipeku, tapi demi ayahku di surga, aku tidak akan pernah mendekati bekas Corbin. 

Samantha mengobrol dengan Summer dan Corbin, tapi matanya tertuju padaku. Dia seperti kucing betina yang menemukan mangsa baru.

Aku berdiri, berjalan ke arah Samantha, dan mengulurkan tanganku. "Hai, aku Fall Reed, sobatnya Corbin."

Sudah pasti dia terpesona dengan aksenku, lalu menjabatku dengan erat. "Aku Samantha Johnson, panggil saja Sammy. Selamat datang di New York, Fall Reed. Dan kalau butuh pemandu kota ini, atau 'apa pun' aku siap membantu." 

Gila. Gadis-gadis New York benar-benar singa perkotaan, siap menerkam siapa pun yang menarik perhatian mereka.

"Sori," Summer memeluk lenganku, membuatku tercekat, "dia sudah memintaku untuk menjadi pemandunya karena semalam kami tidur bersama."

"Kau one night stand dengannya?" Ada nada tidak percaya dalam suara Samantha.

Summer mengangguk. Aku hanya mengedikkan bahu.

"Aku nggak ngerti? Kau tidur dengannya, nggak?" tanya Samantha padaku.

Belum juga aku menjawab, 'ini bukan urusanmu', tapi Corbin keburu menyela, "Sepertinya mereka hanya tidur bersama, tanpa..." dia menggantung omongannya, tersenyum geli.

Samantha terkekeh-berdecak. "Sudah kuduga. Jadi," dia mendekatiku, membelai pipiku, "aku membuka tawaranku, Fall."

Bloody hell. Wanita-wanita Big Apple cukup menakutkan. 

Aku melirik Summer yang memberikan tampang memohon padaku. Mereka memang berteman, tapi kurasa diam-diam saling bersaing. "Terima kasih, Samantha, tapi Summer sudah menawarkan duluan. Bahkan kami akan ke IKEA hari ini."

Sudut-sudut mulut Summer tertarik membentuk senyuman lebar, sebelum bibirnya mendarat di pipiku. "Kita akan bersenang-senang."

Samantha memutar bola matanya. "Kau yang rugi, Fall."

"Salah, kau yang rugi!" seru Summer, melirikku. "Di mana koper-kopermu? Ayo, masukkan dulu ke kamarku. Nanti malam, kau tidur saja di sana, aku mau tidur yang terakhir kalinya di kediaman ibuku."

Aku menarik napas dalam-dalam. Summer benar-benar tidak bisa tertebak. "Koperku ada di kamar Corbin."

"Biar kuambilkan. Sesudah itu, kita berganti pakaian, lalu pergi ke IKEA!"

Aku mengangguk. "Aku saja yang ambil, kopernya berat."

"Kita ambil bareng-bareng," ujar Summer semangat.

Corbin dan samantha malahan berdecak bersamaan. 

"Apa?" tanyaku.

"Kalian seperti pasangan kekasih yang sudah lama tidak bertemu," cengir Corbin, penuh nada menyindir. Yang langsung diangguki oleh Samantha.

"Iri, ya?" ceplos Summer, mengulurkan tangannya padaku yang langsung kugenggam tanpa pikir-pikir. 

"Oh, Corbin, aku harus menolakmu menjadi calon fück buddy-ku!"

"Kau menawarkan menjadi fück buddy, Sam?" tanya Samantha pada Corbin dengan nada kesal.

"Hello... kau yang terang-terangan merayu Fall di sini. Lagi pula, balik lagi ke awal, kita bukan apa-apa--selain roommate, dan pernah nge-fück dua kali!"

Samantha terkesiap, melipat tangannya di dada. "Kalau aku tahu teman gantengmu akan datang kemari, mungkin aku nggak akan tidur denganmu!"

"Touché!" seru Corbin. "Kalau kau beri tahu aku--temanmu ini lebih seksi dari pada kau, mungkin aku akan dengan sabar menunggu!"

Summer malahan menarikku ke arah kamar Corbin. Setelah kami kembali ke ruang TV, mereka masih saja bertengkar. 

"Astaga, sekarang kalian yang seperti sepasang suami istri!" ledek Summer; aku terkekeh; mereka diam seketika. "Ayo, Fall."

Aku masih saja terkekeh ketika Corbin dan Samantha pergi ke kamar mereka masing-masing, dan membanting pintu kamarnya bersamaan. 

"Fall," panggil Summer parau. Darahku berdesir tanpa diundang. "Ayo." Dia menggerakkan kepalanya ke arah kamar. Otomatis aku mengangguk. 

Kenapa dari kemarin aku selalu menuruti kemauannya? Dan kenapa aku tidak kuasa mencegahnya?

"Bagaimana kamarku?" tanya Summer, duduk di ranjang beludru abu-abu.

"Dari pertama melihatnya, aku sudah suka. Keren."

"Kau pernah masuk ke sini?"

"Kemarin siang." Aku duduk di sebelahnya, mengambil bantal merah muda. "Ehh, kau sangat suka warna abu-abu dan merah muda, ya?"

Summer merebahkan tubuhnya ke ranjang. "Aku bahkan enggak bisa memutuskan, warna mana yang paling kusukai." 

"Berarti kau suka keduanya," kekehku. "Jangan diambil pusing." Dia malahan menarik lenganku hingga aku tertidur di sampingnya. Kami bertatapan selama beberapa detik. Kenapa jantungku jadi berdebar tak keruan? 

"Umm, kau juga suka lagu Korea, ya?" tebakku.

"Sahabatku yang meracuniku," kikiknya.

"Sahabatmu orang Korea?"

"Lucunya dia dari Indonesia. Bulan kemarin, kami sampai kemping di City Field hanya untuk menonton konser BTS."

"Kemping hanya untuk nonton konser?" tanyaku tidak mengerti.

"Ya," senyumnya. "Lain kali kita akan kemping..." Ketika melihat gelengan kepalaku, tawa indahnya memenuhi ruangan. "Aku bercanda, Fall."

"Jail," senyumku. Kami kembali bertatapan. Ada beberapa bintik ciuman matahari di ke dua pipinya, membuat dia semakin cantik. Terlalu.

Telunjuknya menyentuh ringan pangkal hidungku, pada bekas luka yang hampir samar, bukti kenakalan masa remajaku. "Mmh, jujur deh, apa kau senang aku nggak tuli dan bisu?"

"Ya. Tetapi aku juga nggak masalah kalau kau--"

"Aku tahu itu," potong Summer, jari-jarinya kini beralih membelai cambang yang baru tumbuh di pipiku. "Makanya aku menginginkanmu menjadi fück buddy-ku."

Aku mengerang. Dia malahan terkikik serak. "Kau sering melakukan ini, ya?"

"Membuatmu mengerang?"

Aku tertawa kecil, memainkan untaian rambutnya yang terlepas. "Maksudku, fück buddy?"

Sudut-sudut mulut Summer tertarik membentuk senyuman semanis gula. "Ini pertama kalinya untukku, Fall."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status