Share

6. His Car and Secrets


Haikal's POV

Aku masih tak percaya aku ada di sini. Di dalam mobil bersama dengan seseorang yang beberapa waktu lalu pernah membully-ku... dan hampir saja membuatku terluka.

Dan lebih gilanya lagi, aku mau-mau saja ditraktir makan olehnya tadi. Mana tadi aku makannya habis banyak pula...

Harusnya aku tadi makan dulu di rumah!

Eh, memang niatnya sih sekalian makan juga tadi sama Jibril. Gaktaunya malah ni orang dateng.

Dan kini... Oh iya! Aku bahkan belum memberitahu alamat rumahku ke dia.

"Ehm-"

Ia melirikku sekilas dan menaikkan alisnya tanda menungguku berbicara.

Tapi... aku malah jadi terdiam dibuatnya. Lidahku jadi kelu.

Hening lagi jadinya.

Sampai dia menjawab, "Apa?"

"Kakak udah tau alamatku?"

"....Belum."

"Kenapa engga tanya?"

"Ya gapapa, tinggal kuturunin di sekolah, trus kutinggal pulang hahaha," Candanya yang membuatku mendengus kesal.

Kemudian aku pun menyebutkan alamatku.

"Oh... okey. Mau dianterin sampe ruang tamu apa sampai kamar?"

Mendengar itu refleks membuat tanganku otomatis memukul-mukul bahunya. Firdaus berusaha menghindar sambil mengaduh, tapi juga tertawa-tawa. "Hei, hei, canda ei. Gitu aja kok marah, sih? Jangan-jangan emang pengen lagi."

Dan... aku pun semakin keras memukul-mukulnya. Kali ini dengan kedua tanganku. Sambil mencubit-cubitnya pula. Firdaus jadi tidak konsen mengemudi. Ia melindungi tubuhnya dengan tangannya sebisa mungkin tapi aku tak peduli, aku terus memukul dan mencubit apa saja yang bisa kena.

Toh itu tak terlalu mengganggu aktivitas mengemudinya. Sore ini sedang jam-jam sibuk orang yang kebanyakan pulang kerja. Jadi jalanan cukup padat, walaupun masih bisa bergerak pelan-pelan. Tidak macet total.

Aku akhirnya menghentikan aktivitas memukulku dan memperbaiki ujung hoodie-ku, sebelum duduk manis lagi. Tapi tetap melayangkan tatapan benci ke Firdaus yang masih terkekeh-kekeh.

Setelah itu hening lagi.

Firdaus yang mulai bosan oleh kemacetan sesekali menepuk-nepuk kemudi sambil menggumamkan suatu nada lagu. Kemudian menyandarkan punggungnya dengan rileks ke sandaran jok dan membuka ponsel pintarnya.

Awalnya kukira aku akan dicereweti ini-itu olehnya jika menbonceng mobil bersamanya seperti ini. Ngomong-ngomong, itu juga yang aku takutkan sebelum akhirnya aku masuk mobil ini.

Eh, ternyata tidak terlalu buruk. Dia bukan tipe yang terlalu basa-basi rupanya. Sungguh beda pada saat aku pertama berjalan menuju kelasku, di kantin, dan di... toilet laki-laki.

Aku merasakan wajahku memanas kalau mengingat toilet laki-laki. Bagaimana kalau tiba-tiba Firdaus nyosor lagi seperti waktu itu? Bagaimana kalau aku nantinya diapa-apakan olehnya juga?

Semoga tidak... semoga tidak....

Aku pun berpura-pura mengecek hp-ku untuk bercermin, memastikan apakah wajahku benar-benar merah atau tidak.

Syukurlah, tidak.

Hmm... tapi kalau tidak diajak ngomong begini aku jadi canggung juga. Meskipun aku intovert yang tak terlalu suka ngobrol yang tidak penting--apalagi yang kepo sama kehidupan pribadiku--tapi enggak sehening ini juga kali.

Sumpah, di dalam sini senyap banget. Suara hiruk pikuk kendaraan dan keramaian jalanan di luar sana benar-benar teredam. Hanya suara klakson kendaraan yang cukup keras untuk didengar dari dalam sini.

Sesekali kulirik Firdaus. Dia menyandarkan salah satu tangannya ke pintu mobil sambil mengusap dagunya.

Firdaus ini tampan. Garis rahangnya tegas walaupun tidak membuat suaranya terlalu berat. Mukanya bersih kayak idol Korea. Berbeda denganku yang jerawatan walaupun sedikit. Tapi aku tidak terlalu merawatnya juga, karena Mama dan Tanteku suka mencubit pipiku yang katanya chubby. Sakit. Aku tak suka. Jadi kubiarkan saja kotor tak terawat biar tidak dicubit. Paling sesekali kalau jerawatku terasa agak sakit, atau terlalu berminyak, barulah aku merawatnya sedikit.

Melihat Firdaus yang baru SMA sudah bisa menyetir mobil, aku jadi termotivasi ingin bisa juga. Biar nanti kalau aku punya cewek aku mengajaknya jalan-jalan pakai mobil..

Memikirkan itu membuatku agak kedinginan oleh AC mobilnya.

Sejenak aku hanya meremas-remas tanganku sendiri, sampai akhirnya kumatikan AC yang terletak di ujung kiri.

"Kedinginan ya?" 

"Enggak." Jawabku acuh.

Firdaus terkekeh lagi. Kali ini aku benci tawanya, karena seperti mengejekku.

"Kok dimatiin?"

"Ya iyalah kedinginan, peak." Ketusku. Tawa simpulnya pun semakin keras.

Tapi jadi hening lagi beberapa saat kemudian. Kendaraan-kendaraan semakin bergerak lambat karena macetnya semakin menjadi.

Aku akhirnya bosan. Kubuka HP-ku dan...

Sekelebat ide melesak ke otakku.

Bagaimana kalau kuputar lagu keras-keras sampai Firdaus terganggu? Barangkali bisa membuatnya menurunkanku di jalan terus aku pesan ojek online untuk pulang. Sebab aku sudah amat sangat canggung banget pakai banget kalau terus bersamanya seperti ini. Maaf lebay, tapi emang benar adanya.

Tapi aku perlu mempelajari dulu fasilitas media player di mobilnya ini. Karena mobil ini termasuk mobil keluaran baru dan aku belum pernah merasakan naik ini sebelumnya.

Buset... canggih benar. Ada juga layar monitor kecil dan tempat untuk meletakkan minuman.

Lagi-lagi Firdaus mendapatiku tengah memperhatikan fasilitas mobilnya. Mungkin karena badanku yang terlalu kucondongkan.

"Mau nyetel lagu?"

"Ehm... kalau boleh."

"Haha, setel aja. Gini nyalainnya." Ujarnya sambil mengatur pemutar medianya.

Aku terkejut lagi. Gila, dia benar-benar berbeda sekarang, tidak seperti di sekolah yang suka menggangguku. Dan yang lebih gilanya lagi, aku tak merasakan takut padanya seperti biasanya di sekolah. Hanya sedikit canggung, tapi bukan berarti takut.

"Dah. Pakainya bluetooth, nyalain bluetooth-mu."

Aku pun memutarkan DJ Remix di youtube yang sekiranya paling berisik dan mengganggu. Seketika suasana di dalam mobil jadi bising. Tapi Firdaus lagi-lagi malah ketawa saja.

"Kamu sukanya lagu begini ya, hahaha," Katanya sambil menepuk-nepuk kemudinya mengikuti irama lagu.

Aku mendengus. Dia tak terganggu rupanya.

Maka aku menggantinya dengan lagu lain yang lebih berisik.

"Engga juga." Jawabku sambil memutar musik metal.

Kali ini Firdaus sedikit terkejut. Ia refleks memelankan volume.

"Biarin keras aja." Kataku.

"Kenapa?"

"Ya... biar lu keganggu." Aduh! Kenapa aku bilang begitu.

"Hahaha... ohh jadi mau gangguin aku ya."

Hm. Oke. Gagal. Dahlah, lupakan. Aku akan diam saja sampai ke rumah.

Waktu menunjukkan hampir pukul 5 sore saat mobil Fidaus sampai ke depan halaman rumahku. Syukurlah aku tidak diapa-apakan olehnya seperti yang kutakutkan tadi. Aku pun mengucapkan terimakasih sebelum membuka pintu.

Tapi Firdaus membalas, "Aku pamitan dulu lah sama orang rumah."

"Yaudah." Ujarku acuh. Aku pun turun, diikuti olehnya.

"Assalamualaikum, Mah! Haikal pulang." Seruku sambil meletakkan tas kecil yang tadi kubawa ke sofa, lalu menuju dapur.

"Waalaikumsalam..." jawab Mamaku yang sedang menyapu rumah.

"Mah..." Panggilku.

"Iya? Ganti baju sana. Trus mandi."

"Ehmm... mah. Ada yang mau pamitan."

"Pamitan?"

"Iya. Aku diantar temanku."

"Oh, iya sebentar ya," Mamahku merapikan rambutnya sebentar dengan bercermin di kaca rak piring, lalu menuju keluar. Aku mengikutinya.

"Iya, mas..." Mamahku terlihat tertegun sejenak saat melihat Firdaus. Seperti memikirkan sesuatu.

"Assalamualaikum Bu, saya cuma mau mengantar Haikal aja. Maaf ya, saya langsung pamit..."

"Eh, kamu... Namanya siapa ya?"

"Firdaus."

"Firdaus... Firdaus..." Gumam Mamah sambil mengingat-ingat sesuatu.

"Oh! Putranya Bu Yulia ya!" Tebak Mamaku dengan riang.

"Eh iya, Ibu, Ibu kenal sama Bu Yulia?"

"Ohh... dulu waktu kecil teman sepermainan. Sini Mas, duduk dulu! Sini makan dulu. Sudah makan belum?" Mamah meraih tangan Firdaus.

"Sudah, bu! Sudah! Tadi sudah makan bareng Haikal. Saya mau langsungan aja..."

"Ohh ya sudah kalau begitu. Titip salam buat Bu Yulia, ya. Dari Bu Melati."

"Iya, Bu. Firdaus pamit ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Jawabnya sambil berdiri di pintu ruang tamu memandang kepergian Firdaus.

Fiuhh. Akhirnya pergi juga. Aku bisa tiduran di kamar sekarang.

"Eh, Haikal!" Mamaku memanggil tiba-tiba. "Antar dong sampai ke halaman. Jangan dibiasakan ditinggal."

"Hhh... iya Mah..." Jawabku malas.

Aku pun ikut keluar sampai ke depan pagar. Kutunggui Firdaus pergi.

"Makasih lagi ya..." Aku berbasa-basi.

"Aku yang makasih," jawabnya sambil menghadap tepat di depanku. Aku merasa pendek sekali di hadapannya.

Cup. Ia mencium pipiku. Gerakannya teramat cepat, bahkan ketika dia sampai masuk mobil dan berlalu pergi, aku tak sempat protes padanya.

Hari ini hariku di sekolah sangat tenang. Firdaus tidak menggangguku. Aku sempat heran, tapi aku berfikir lagi, seharusnya aku bersyukur. Maka aku pun makan di kantin dengan nyaman bersama Jibril. 

Aku bertemu dengannya di kantin, sih. Tapi dia seperti tak acuh padaku. Lebih seperti ke pura-pura tidak mengenalku. Waktu aku mendekat ke arahnya pun ia cuma melirik sekilas.

Dasar orang aneh. Awalnya suka mengganggu, lalu sok kenal sok dekat, dan akhirnya jadi songong. Maunya apa sih dia?

Ya sudahlah. Toh aku juga berharap semoga dia seperti ini saja, tidak menggangguku lagi.

Saat jam pulang sekolah berdering, aku duduk-duduk di depan gerbang utama sekolah, sambil berniat menunggu bis. Jibril berpamitan padaku untuk pulang duluan.

Tiba-tiba Firdaus mengirim chat.

sini. gw di belakang kantin. ada yang mau gw omongin.

Aku pun membalasnya.

- oke tapi sebentar aja ya, aku nungguin bis soalnya.

Lalu aku melangkahkan kakiku ke sana.

Tumben sekali jam segini sekolah sudah sangat sepi. Biasanya masih ramai. Cuma ada ekskul tari klasik yang berlatih di lapangan olahraga. Itu pun mungkin hanya sekedar perkenalan saja. Terbukti karena mereka hanya duduk melingkar dengan seseorang yang berbicara di tengah.

Tapi menakutkan juga ya kalau sepi seperti ini. Apalagi saat ini mendung gelap. Aku yang cowok aja juga jadi agak takut.

Kantin pun mulai sepi. Penjual jajanan kantin yang terakhir pulang pun sudah mengemasi barangnya dan berpapasan denganku di lorong antar kelas.

Kini hanya ada aku dan angin kencang yang berhembus. Itu membuatku parno, aku pun memanggil Firdaus.

"Fir!"

Tak ada jawaban.

"Fir! Kamu di mana?"

"...Di sini." Akhirnya ada jawaban sayup-sayup dari ujung belakang kantin.

Dengan penuh tanya aku melangkah ke sana. Kenapa harus di belakang kantin?

Ngomong-ngomong, ada sebuah area yang bertolak belakang dengan pintu masuk kantin di sekolahku. Area itu adalah sebuah tanah lapang yang sampingnya menjulang tinggi jendela-jendela kelas mulai dari kelas X, kelas XI dan kelas XII. Di paling ujung belakangnya adalah toilet siswa, bisa digunakan sih, namun karena letaknya yang bikin merinding, toilet ini hampir tak pernah tersentuh. Areanya pun hanya menajdi tempat pembuangan beberapa bangku kelas yang rusak. Seringnya digunakan oleh pedagang kantin yang mencuci peralatan masak, terkadang mereka juga mengambil air dari dalam toilet jika persediaan air untuk mencuci peralatan mereka habis.

Aku menemukan Firdaus sedang duduk di bangku reyot yang berdebu. Ia duduk menyamping dengan bersandar pada dinding bangunan kelas, dan menoleh ketika melihatku datang. Tapi yang membuatku heran, ia tak terlihat memakai tas ataupun jaketnya. Ia hanya membawa ponselnya yang ia genggam dengan tangan kiri.

Ia pun berdiri dan menghadapku.

"Kenapa, Fir?"

Sorot matanya kali ini terlihat kosong. Ia menatapku tapi pandangannya seperti melamun, sulit diartikan. Beberapa saat kemudian ia tersadar, dan terlihat lebih fokus menatapku.

"Gue... mau bicara sesuatu sama lu." Katanya sambil memutar posisi kami. Sekarang aku yang membelakangi toilet. Aku terkejut dengan gerakannya yang tiba-tiba itu.

"Eh, kenapa-"

"Apa menurut lu gue orang baik?"

"Eh... engg... emang kenapa?"

"Jawab aja."

"Umm... ya kamu baik..." Tatapannya yang mengintimidasiku membuatku jadi takut untuk balas menatapnya. Kini aku jadi mengerling ke berbagai arah, menghindari tatapannya.

Ia mengerjap sebentar, lalu tersenyum yang entah artinya apa.

"Masa, sih?"

"Ya emang kenapa kamu tanya gitu?"

Ia menghela napas. 

"Yah cuma mau bilang aja... gue gak sebaik yang lu bilang. Walaupun gue tau lu cuma bohong."

"Yaudah, maaf..."

"No. Gue yang minta maaf."

Mataku sedikit membulat. Aku tak menyangka dia akan minta maaf.

"Maaf karena... gue bukan orang baik." Ia melanjutkan lagi.

Sumpah aku tak mengerti. Apa yang dia maksud? Kemana arah pembicaraan ini? Masa mau minta maaf aja harus sembunyi-sembunyi begini?

"Emang kenapa, Fir?"

Firdaus maju selangkah. Aku yang parno, refleks mundur selangkah.

Firdaus maju lagi, aku mundur lagi. "Ehm... Fir?"

Tapi ia tidak menjawabnya. Ia hanya terus maju perlahan dengan senyum pahit anehnya itu, dan aku pun hanya bisa mundur karena area ini lebih ke memanjang ke belakang daripada luas.

Aku terus mundur sampai punggungku menabrak pintu toilet yang tertutup.

Tetapi Firdaus masih maju lagi sampai hanya beberapa senti dari wajahku. Salah satu telapak tangannya pun ia tempelkan ke pintu.

Kumohon jangan seperti waktu itu lagi... kumohon... aku salah apa?

"Maaf Fir, aku salah apa?" Tanyaku dengan agak terbata.

Tatapannya sungguh misterius. Teduh, namun kosong. Seakan mengandung seribu arti yang terkunci rapat.

"Gue... yang salah."

"Kenapa?"

Hening lagi. Tangannya yang satu lagi terlihat membawa seperti tali rafia yang ia sembunyikan di belakangnya... tetapi aku melihatnya. Tapi sepertinya ia tak begitu mempermasalahkan aku yang memergokinya menyembunyikan sesuatu.

"Karena... Ini." Ia pun memperlihatkan tali rafia itu.

Tentu saja aku jadi langsung terbayang oleh kejadian di toilet tersebut.

Belum selesai aku panas dingin karena parno, Firdaus meraih bahuku untuk tidak bersandar pada pintu toilet, dan membuka pintunya.

Kemudian dengan sekali hentakan, ia mendorongku ke toilet hingga aku menabrak bak mandi.

Awalnya kukira ia akan ikut masuk, tapi ternyata tidak. Ia dengan cepat menutup pintu itu lagi dan menguncinya dengan tali rafia yang tadi. Lalu meninggalkanku.

Aku panik! Aku berteriak! Aku menggedor-gedor pintu sambil meneriakkan namanya. Untungnya ada ventilasi yang sejajar dengan tinggiku di sebelah pintu, dan membuatku bisa melihat dengan jelas.

Aku menarik-narik pegangan pintu sekuat tenaga. Tak bisa terbuka. Aku menggedor-gedornya lagi. Kuteriakkan Firdaus sampai ternggorokanku terasa kering. Teriakanku semakin melemah saat aku hampir terisak.

Akhirnya tangisku pecah. Aku tak peduli lagi jika aku cowok yang cengeng, aku benar-benar kesal padanya. Hidupku selalu tak lepas dari orang-orang pembully, dan aku lebih kesal lagi pada diriku sendiri yang selalu tak bisa melawan pembully-pembully itu.

Sore semakin gelap karena mendung yang sudah teramat sangat gelap, dan angin berhembus kencang. Benar-benar tidak ada lagi orang lain di sekolah ini sekarang. Aku terduduk di lantai dengan masih terisak. Beberapa saat sampai aku terpikirkan sesuatu. Ponsel!

Aku pun mengeluarkan ponsel dari dalam tasku dan berniat menelfon Jibril, atau siapa saja yang bisa menolongku.

Tapi sialnya... bateraiku tinggal 1%! Sebelum aku berhasil mencapai chat dengan Jibril, tak lama kemudian ponselku pun mati.

Sial!! Sial, sial, sial, sial!

Aku kembali terisak. Kali ini aku tak menahan isakanku untuk lebih keras. Kubiarkan semuanya meluap.

Ya Allah, tidurkanlah saja aku, jangan bangunkan aku sampai pagi menjelang...

Ya Allah, kenapa Firdaus tega sekali... ?

Entah sudah berapa saat berlalu, aku sayup-sayup mendengar suara langkah kaki. Aku pun berusaha mengatur isakanku, walau masih sesenggrukan.

"Ada orang...?" Suara itu bertanya dari kejauhan.

Aku langsung menghapus air mataku dan bangkit ke ventilasi.

Aku pun refleks bersyukur berkali-kali begitu aku melihat sosok itu. Mas Iman!

"Mas! Mas! Ini Haikal, Mas!" Teriakku sekeras mungkin.

"Haikal?" Ia terkejut dan segera berlari ke sini.

"Mas, tolongin aku, mas..." Suaraku jadi lirih karena saking bahagianya melihat Mas Sulaiman datang di saat yang sangat tepat.

Mas Iman menarik-narik ikatan rafia itu tetapi karena terlalu kuat, ia pun mengeluarkan kunci mobilnya dan memotong tali itu menggunakan kunci.

Aku langsung memeluknya sambil menangis. Aku sudah tak peduli aku akan dibilang cengeng atau apa. Iya, aku memang cowok yang cengeng. Entah sudah yang keberapa kali Mas Iman menyelamatkanku lagi.

"Sssshh.. sudah, sudah... pulang, yuk. Oke?" Katanya menenangkanku sambil mengelus-elus bahuku.

Aku pun diajak masuk ke mobilnya. Badanku masih bergetar, bahkan dia sampai membantu melepaskan tasku dan menaruhnya di jok belakang.

Selama perjalanan aku hanya melamun saja.

Sampai akhirnya, "Dek." Panggil Mas Iman.

"Hmm."

"Udah sampai."

Aku melirik ke luar. "Iya, Mas. Makasih..."

Mas Iman meraih kedua pipiku dengan kedua tangannya.

"Jangan sedih lagi ya..." ucapnya lalu mendekat ke wajahku untuk... menciumku. Di pipi, tapi sedikit lebih dekat ke bibirku.

Perasaanku pun jadi campur aduk. Antara masih shock dengan kejadian tadi, juga terkejut sama gerakan tiba-tiba Mas Iman, salah tingkah, malu, baper, penuh tanya....

Ditambah lagi Mas Iman yang tersenyum setelahnya. Membuatku jadi tambah malu. Kurasa mukaku merah lagi.

Author's POV

"Keren sekali kau sampai menguncinya di dalam kamar mandi. Itu diluar ekspektasiku."

Firdaus bergeming. Ia tertunduk kosong menatap tanah.

"Hei, hei. Semangat, dong. Itu kerja bagus loh." Sosok yang berbicara pada Firdaus membuang puntung rokok yang telah habis dihisapnya ke samping, lalu bangkit dan mendekat ke Firdaus.

Sedangkan si pemuda yang lebih kurus masih bergeming sambil bersandar pada dinding.

Sosok itu pun mengapit kedua pipi Firdaus dengan satu tangannya, untuk memaksanya menatap matanya.

"Aku tak tahu kau sebegitu inginnya menerima bayaran lebih dariku, Firdaus," Kata sosok itu setengah berbisik. Firdaus menatapnya lemah dan kosong.

Kemudian sosok itu melepasnya lagi dan merogoh sesuatu dari dalam kantongnya, lalu menyodorkannya untuk diambil Firdaus.

Tapi Firdaus hanya menatap benda itu.

"Ini. Ini hakmu. Ambillah," pancing sosok itu.

Firdaus masih bergeming untuk beberapa saat. Kemudian menggerakkan tangannya perlahan untuk meraih uang itu.

Sosok itu menjauhkan lagi uang tersebut, "Eits... aku minta kembalian."

Firdaus menatapnya tidak percaya.

"Hehehe... bukan kembalian berupa uang, kok." Sosok tersebut cengengesan sambil terus menekan Firdaus di antara dirinya dan tembok.

"Ngomong-ngomong, mulutmu kissable juga..." ia meraba bibir Firdaus lalu menciumnya.

Firdaus terbelalak. Ia meronta dan berusaha menjauhkan sosok yang lebih besar darinya itu, tetapi kedua tangannya dikuncinya menempel tembok. Tak hanya itu, sosok tersebut juga sedikit menggesekkan selangkangannya dengan selangkangan Firdaus.

Firdaus menutup matanya rapat-rapat menahan sakit karena ciuman itu sangat menuntut. Bibirnya digigit dan isi mulutnya dihisap berkali-kali. Bahkan sosok itu juga mengeluarkan gumaman-gumaman erotis yang malah terdengar psikopat oleh Firdaus.

Setelah beberapa saat akhirnya ia dilepaskan juga. Firdaus pun segera melayangkan tinjunya namun karena sosok itu lebih besar daripadanya, ia menangkis tangan Firdaus dan balik menghantamnya.

Firdaus pun tersungkur di tanah.

Sosok itu melemparkan segepok uang ke samping Firdaus lalu pergi.

Firdaus meringis kesakitan sambil berusaha menegakkan duduknya dan meraih uang itu. Beberapa lembar seratus ribuan rupiah.

Tetapi Firdaus merasa janggal dengan tumpukan uang itu. Seperti ada sesuatu di dalamnya. Ia pun membuka ikatannya.

Suatu benda aneh, sebuah plastik bening yang membungkus sesuatu berbentuk butiran, diselipkan di antara tumpukan uang itu.

Firdaus masih menerka-nerka sambil membaca label kode aneh yang ditempel di bungkusan tersebut.

Seketika Firdaus pun langsung melemparkan bungkusan itu dengan ngeri! Nafasnya jadi tercekat, dan berusaha ia atur.

Ia mengerjap-ngerjap. Firasatnya menyadarkannya bahwa bungkusan tersebut adalah...

...narkoba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status