Share

7. Flashbacks

Author's POV

Flashback...

Hujan lebat mengguyur sebuah kota sore hari itu. Kampung kecil yang biasanya banyak anak-anak bermain, hari ini tak terlihat seorangpun. Rupanya hujan yang mengguyur sejak pagi membuat warga kampung enggan beranjak dari rumah masing-masing.

Sebuah Taman Pendidikan Al-Qur'an di kampung tersebut juga dihadiri oleh lebih sedikit anak-anak kali ini akibat hujan lebat. Dari total puluhan anak, hari ini hanya nampak tujuh orang saja. Maka kegiatan mengaji hari itu pun selesai lebih awal dari biasanya.

Haikal dan anak-anak lain yang hadir pada hari itu, dan juga dua orang pengajar, duduk di ruang depan sambil menatap hujan yang tak henti-hentinya mengguyur. Meskipun mereka telah selesai dalam kegiatan belajar-mengajarnya, pengajar mereka tetap menyuruh mereka di tempat sampai hujan sudah cukup reda.

Haikal yang berusia 10 tahun menghela napas bosan. Ia beralih memandangi jalanan yang nampaknya mulai terbanjiri oleh air hujan.

Sampai kemudian ia melihat sesosok anak laki-laki yang kira-kira sebayanya sedang duduk bertekuk lutut di bawah pohon. Ia tak melihatnya terlalu jelas karena jarak antara mereka berdua cukup jauh. Tapi ia yakin, ada seseorang di bawah pohon sana.

Saat hujan agak reda, Haikal pun membuka payungnya dan berjalan pulang. Syukurlah anak itu masih ada di sana, maka ia menghampirinya.

Si anak laki-laki yang sedang bertekuk lutut pun mengangkat wajahnya karena ia tak lagi merasa rintik hujan mengguyurnya. Digantikan oleh suara rintik yang teredam oleh sesuatu di atasnya.

Wajah anak itu cukup tampan. Hanya saja keadaanya sedang sayu dengan jejak air mata menghiasi pipinya.

"Kamu kehujanan," Kata Haikal.

"E-eh...?" Anak itu terbata.

"Rumahmu di mana? Ayo pulang bareng. Nanti kamu masuk angin."

Kemudian anak itu pun berdiri dan mereka berjalan beriringan.

Ia memperkenalkan dirinya yang bernama Sulaiman. Ia sedang takut pulang ke rumah karena orangtuanya sering bertengkar, jadi ia berteduh di bawah pohon tersebut.

Haikal pun mengajaknya untuk ke rumahnya. Di sana, sambil makan bersama keluarga Haikal, ia bercerita kepada orangtua Haikal bahwa ia sering melihat ayahnya bertengkar dengan ibunya.

Ibu Haikal yang tampaknya sedikit mengenali Ibu dari Sulaiman menyayangkan hal itu. Lalu ia menawarkan kepada Sulaiman untuk sering-sering bermain bersama Haikal. Kemudian beliau juga berkata bahwa apabila Sulaiman butuh bantuan, ia bisa menceritakannya pada keluarga Haikal.

Tak mereka sangka, ternyata Sulaiman menjawab, "Tidak perlu repot-repot, Tante. Saya yang akan membantu Haikal saja. Saya justru berhutang budi pada Haikal yang telah menolong saya." Ujarnya dengan pandangan penuh arti kepada Haikal.

...

...

[...]

...

...

"Soni, kamu kiper, ya! kamu kan gendut." Seru seorang anak yang terlihat paling hiperaktif di antara anak-anak lain.

"Gakmau ah! Rio kan juga gendut!"

"Rio di timnya Andi! Jadi kamu di timku ya, Son!"

Sore itu tampak mendung, namun itu tak menghalangi anak-anak di kampung tersebut bermain sepakbola di lapangan yang saat ini dihembus angin yang cukup kencang, pertanda sebentar lagi akan turun hujan.

Kemudian anak-anak kecil itu pun melakukan suit untuk menentukan siapa yang bermain duluan. 

Setelah ditentukan, semua menyebar ke posisi masing-masing. Mereka baru saja akan memulai permainan sepakbola itu ketika seorang anak kecil berparas putih dan imut berlari ke arah mereka.

"Tunggu! Aku juga mau ikut main!"

Anak-anak lain yang mendengar seruan itu sontak menoleh.

Faisal, yang sudah dianggap 'ketua' bagi para anak-anak di kampung itu karena paling jago bermain sepakbola, terlihat geram.

"Kenapa kamu ikut, Haikal? Memangnya kamu bisa main bola?"

"Ta-tapi... aku kan bisa belajar...."

"Kita langsung main, lho! Kamu bisa jadi penyerang gak?"

"Penyerang itu... apa?"

"Tuh kan! Bahkan kamu tidak tahu apa itu penyerang! Sudah sana, nonton aja di pinggir!"

Faisal yang kehilangan kesabaran segera mendorong-dorong bahu Haikal kecil, diikuti anak-anak lain yang juga mendorong sambil meneriakinya.

Haikal yang didorong dengan kasar jadi terjerembab. Sedangkan anak-anak yang melihatnya jatuh dan menangis terpaku sebentar, sebelum satu per satu meninggalkannya, dengan bergumam "bukan aku, bukan aku...."

Tangisan Haikal semakin keras. Kaus bergambar kartun Snoopy-nya ternodai oleh tanah lapangan, dan mengenai telapak tangannya juga. Karena ia tak bisa menghentikan tangisnya, maka dengan punggung tangannya ia mengusap wajahnya yang kini basah oleh air mata sambil sesenggrukan.

Gerimis mulai merintikkan butiran-butirannya, seakan ikut bersedih melihat Haikal yang tidak boleh ikut bermain bersama teman-teman sebayanya. Cukup lama sampai sebuah tepukan mendarat di bahunya.

Haikal mengangkat wajahnya. 

Seorang anak laki-laki yang 2 tahun lebih tua darinya, berlutut di sebelahnya dengan senyuman manis merekah di wajahnya yang tampan.

Haikal yang mengenali wajah itu segera berhambur ke pelukannya. "Mas Iman!" serunya sambil memeluk tubuh Sulaiman dengan erat, sampai Sulaiman jatuh terduduk.

Tapi Haikal tidak peduli, ia tetap menangis sambil membenamkan wajahnya ke dada Sulaiman.

"Hei, hei, kenapa, Kal?" Tanyanya sambil membelai rambut Haikal.

"A-aku... gakboleh... ikut main... mas... hiks hiks..."

"Main apa? Oh, main bola ya. Faisal emang jahat tuh. Udah jangan nangis," hiburnya sambil meraih wajah Haikal untuk menatapnya. Ia lalu mengusap air matanya dengan sayang.

Tangisan Haikal mulai mereda.

"Main sama aku aja, yuk?" Ajak Sulaiman. 

"Main... apa, mas?"

"Hmm, gaktau. Kamu sukanya apa?"

Sebelum Haikal sempat menjawabnya, kilat petir menyambar langit gelap disertai rintik hujan yang kian deras. Anak-anak yang sedang bermain bola pun menjerit kaget dan membubarkan diri.

"Hujan! Ayo kita berteduh di gazebo itu aja." Ujar Sulaiman sambil bangkit dan menggandeng tangan Haikal berlari menuju sebuah gazebo kayu di sudut lapangan.

Sesampainya di sana, Haikal mencuci tangannya dengan air hujan sebentar sebelum duduk di sebelah Sulaiman.

Setelah duduk, Sulaiman menatapnya lekat. Sampai-sampai Haikal merasa malu.

"Kenapa, mas?" Tanyanya agak terbata karena sedikit kedinginan, tetapi juga karena malu.

Sulaiman tak langsung menjawabnya, ia terus menatap Haikal dengan pandangan lembut, namun intens.

"Kamu tau gak, Kal...." Ia tersenyum, lembut.

"Iya?"

"Kamu beneran manis banget, Kal...." Senyumnya semakin lebar.

Kemudian suara hujan mendadak tak terdengar lagi oleh Haikal. Waktu pun seakan berhenti. Sulaiman mencium pipinya.

Wajah si anak yang dicium semakin merah. Ia menundukkan kepalanya, menyembunyikan semburat merahnya yang imut tersebut.

...

...

[...]

...

...

"Ada layangan putus! Ayo kita ambil!"

Setelah seorang anak berseru, anak-anak lain mengikutinya berlari mengejar layangan putus yang bergerak menuju sebuah pohon mangga besar di ujung jalan.

Kemudian layangan itu pun tersangkut di antara cabangnya.

Beberapa anak memanjat pohon untuk meraih layangan merah tersebut, namun tak ada yang berhasil. Layangan itu tersangkut di batang pohon yang susah dijangkau.

"Faisal! Aku juga mau main layangan!"

Semua anak menoleh. Tampak Haikal yang berlari ke arah mereka.

"Layangannya aja tersangkut di pohon! Kamu mau ambil? Kalau kamu bisa ambil kamu boleh main."

"Di mana?"

"Itu!" Tunjuk Faisal ke arah atas pohon. Haikal mengikuti arah yang ditunjuk.

Seketika ia takut. Cabang yang ada layangannya tersebut sangat tinggi, tapi kalau tidak dia ambil, ia pasti tidak boleh ikut bermain.

"Aku... gakbisa ambil."

"Yaudah, gausah main."

Haikal ingin menangis lagi, tapi buru-buru dihapusnya air mata itu dan dengan perlahan meraih batang pohon untuk ia panjat.

Ia pun berhasil naik ke cabang yang paling rendah.

"Wah, kamu bisa manjat pohon, Kal!"

Haikal yang tadinya ingin menangis jadi senang mendapatkan pujian. Ia pun bergerak lagi untuk memanjat cabang yang lebih tinggi.

Tapi saat ia memanjat lagi, seorang anak tiba-tiba berseru untuk mengajak mereka bermain yang lain. Mereka semua pun meninggalkan Haikal sendirian dalam keadaan masih di atas pohon.

Haikal meneriaki anak-anak itu, namun tak ada yang membalasnya.

Kini Haikal sendirian. Ia pun menangis lagi karena takut ketinggian.

Kemudian seseorang yang ia harap untuk datang pun menampakkan dirinya juga. Seperti mimpi. Sulaiman selalu datang di saat yang tepat.

"Kenapa kamu di situ, Kal?"

"Mass... aku takut, hiks... aku disuruh ambil layangan di sana, tapi aku ditinggal pergi..."

"Udah gausah diambil, susah. Sini, turun."

"Gak bisa, mas... tinggi banget..."

"Lompat aja, aku tangkep."

Masih dengan terisak, anak laki-laki imut itu melompat ke bawah. Sulaiman menangkapnya dan mereka jatuh berguling di tanah dengan berakhir Sulaiman yang di bawah.

Sulaiman terkekeh.

"Kamu berat ternyata."

Isak Haikal telah berhenti. Tapi matanya masih terlihat sembab.

Air mata itu diusap oleh Sulaiman.

"Jangan nangis dong. Mau kubelikan layangan?"

Haikal menangguk pelan dengan malu-malu.

"Oke aku belikan. Tapi cium dulu dong." Kekehnya lagi sambil menunjuk pipinya.

Haikal terlihat tersipu namun dengan perlahan ia mendekat ke arah pipi Sulaiman, menciumnya pelan.

...

...

[...]

...

...

Pintu rumah Haikal diketuk pelan. Haikal yang sedang menonton TV di ruang tamu pun membukanya. Ternyata itu Faisal, membawa sebuah bungkusan di tangannya.

"Faisal?"

"Hai, eh... Haikal. Ada siapa aja di rumah?"

"Cuma ada Mamahku, lagi mandi. Ada apa, Sal?"

"Aku... eh, aku masuk dulu ya."

"Oke." Kata Haikal mempersilakan Faisal masuk.

"Aku mau minta maaf, Kal."

"Kenapa?"

"Gini. Aku mau minta maaf kalo aku pernah kasar sama kamu. Sebenarnya aku gak bermaksud kasar ke kamu. Tapi kamu harus janji satu hal ya sama aku."

"Iya?"

"Tolong jangan bilang Sulaiman aku minta maaf ke kamu. Kamu bisa jaga rahasia?"

"Memangnya kenapa, Sal?"

"Udah, cukup jaga rahasia aja. Jangan bilang Sulaiman aku minta maaf ke kamu, ya."

"Iya deh."

"Oke. Ini kukasih mainan buat kamu." Faisal pun memberikan bungkusan itu kepada Haikal. Sebuah mobil mainan model Jeep.

"Ini buat permintaan maafku. Jaga baik-baik ya. Jangan sampai Sulaiman tahu aku ngasih ini ke kamu dan minta maaf. Kamu bisa jaga rahasia kan? Tolong dijaga, ya!"

"Ehm.. okedeh, Sal."

Flashback Off.

Mata coklat itu mengerjap. Haikal perlahan bangun dari tidurnya setelah otaknya dihujani oleh ingatan-ingatan masa lalu.

Sepanjang perjalanannya ke sekolah ia terpikirkan lagi sesuatu. Ia harus membalaskan dendamnya kepada Firdaus! Ia harus melawannya kalau ia dibully lagi, dengan cara apa saja! Yang penting nekad.

Panjang umur, Firdaus tepat berada di depannya ketika ia memikirkan hal tersebut. Maka Haikal pun menghela napas besar, meyakinkan diri sendiri sebelum berkata, "Permisi, kak."

Ia tetap berkata begitu walaupun Firdaus yang saat ini memunggunginya tak terlalu menghalangi jalannya. Tujuannya agar cowok jangkung itu menoleh.

Dan benar saja, Firdaus menoleh.

Haikal berjalan cepat melewatinya. Namun anehnya, kali ini Firdaus tak mencoba menyentuh sesuatu dari dirinya. Entah itu menarik tasnya, atau menjegalnya, atau apa saja.

Maka dengan perasaan heran pun Haikal berlalu.

Namun dadanya masih bergemuruh, karena menanti suatu hal bully yang sepertinya akan dilakukan Firdaus. Walaupun akhirnya tidak dilakukannya, dan itu otomatis membuat Haikal gagal dalam membalas dendam.

Mungkin Haikal akan merencanakan untuk langsung mengajaknya bicara saja kapan-kapan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status