Quinn Zaugustus mendengarkan sang kekasih yang sedang bicara dengan penuh semangat. Eireen, nama gadis yang berhasil menaklukkan hati Quinn itu. Keduanya menjadi pasangan sejak enam minggu silam. Mereka sedang berada di restoran yang menyajikan steak, makanan favorit Eireen. Quinn tak terlalu menikmati menu western, tapi dia ingin menyenangkan sang pacar.
Eireen adalah gadis supel yang begitu menawan. Bukan hanya secara fisik, melainkan juga karena kepercayaan dirinya yang kuat. Eireen merupakan sosok yang langsung menarik perhatian kaum adam. Itu juga yang terjadi pada Quinn. Dia baru berkenalan dengan Eireen tujuh bulan silam. Kala itu, Eireen menjadi salah satu pagar ayu di sebuah resepsi yang digelar di hotel tempat Quinn bekerja, The Suite.
Sejak itu, Quinn tak melepaskan kesempatan untuk mendekati gadis itu. Apalagi setelah Eireen memastikan bahwa dia tidak memiliki kekasih. Quinn pun cukup intensif berkomunikasi dengan gadis itu hingga akhirnya mereka menjadi pasangan kekasih. Sejak itu, tiap kali memiliki waktu luang, Quinn akan menghabiskan waktu bersama sang pacar.
“Reuni SMA-ku diadakan dua tahun lalu. Tapi, waktu itu aku nggak bisa datang karena kena demam berdarah. Padahal, pengin sekali bertemu teman-teman lama, mendengarkan cerita mereka. Pasti seru sekali,” oceh Eireen. Gadis itu meraih botol air mineral yang dipesannya dan mulai meminum isinya.
“Aku setuju. Memang seru dan mengasyikkan karena akhirnya bertemu teman-teman lama setelah berlalu bertahun-tahun,” aku Quinn sambil mengangguk. “Aku pernah hadir di acara reuni SMP dan SMA. Sayangnya, aku nggak bisa datang di acara yang sama untuk level kampus. Karena aku sudah pindah dan bekerja di sini.”
“Nah, untungnya tiga minggu lagi, kakak kelasku akan menikah. Jadi, acara itu sekalian akan dimanfaatkan menjadi semacam reuni. Mudah-mudahan kali ini aku bisa datang dan nggak mendapat halangan apa pun,” selorohnya. “Eh iya, resepsinya diadakan di The Suite, lho! Jadi, kamu bisa menemaniku sambil tetap bekerja, kalau memang sedang nggak libur.”
“Aku memang nggak pernah libur di akhir pekan, Reen. Karena hotel sedang ramai. Hari liburku adalah Selasa,” beri tahu Quinn. Seingatnya, ini kali keempat dia membahas tentang hari libur dengan sang pacar.
“Kamu sering pulang ke Yogyakarta, Quinn? Tiap bulan, ya?” tanya Eireen, beralih ke topik yang berbeda. Gadis itu menyibakkan rambut sebahunya dengan gerakan hati-hati.
“Nggak. Paling cepat setengah tahun sekali. Karena aku harus fokus bekerja, nggak bisa terlalu sering bolos atau mengambil cuti,” sahut Quinn sambil tersenyum.
“Masa, sih? Padahal, pasti nggak akan ada masalah kalau kamu sering pulang. Toh, tujuannya untuk bertemu keluarga. Apalagi, The Suite kan punya kakekmu. Jadi, beliau pasti bisa memaklumi,” gumam Eireen dengan nada menyayangkan.
“Memang betul. Kakek mungkin nggak akan marah. Tapi, memang aku yang nggak mau. Orangtuaku juga melarang. Mereka pengin aku bekerja semaksimal mungkin. Jangan sampai membuat malu keluarga.”
“Kenapa bisa begitu?” Eireen tak paham.
“Orang-orang yang bekerja di The Suite tahu kalau aku bekerja di sana karena Kakek. Kalau aku nggak sungguh-sungguh, pasti cuma dianggap memanfaatkan koneksi untuk bisa mendapat jabatan bergengsi. Makanya, aku harus bekerja dua kali lebih keras dibanding seharusnya, Reen. Aku harus membuktikan diri, bahwa memang pantas ada di posisiku yang sekarang,” urai Quinn.
“Wah, seserius itu? Aku sama sekali nggak menyangka. Kukira, kamu bisa lebih santai untuk urusan pekerjaan.” Eireen bertopang dagu sembari menatap Quinn.
Quinn tersenyum. Sebenarnya, kata-kata Eireen membuatnya merasa tak nyaman. Namun, makin ke sini, dia kian terbiasa dengan kalimat sejenis. Eireen bukan orang pertama yang bicara seperti itu pada Quinn. Dan sudah pasti takkan menjadi manusia terakhir.
“Kalau aku termasuk tipe orang yang nggak bertanggung jawab, bisa saja, sih! Tapi, aku nggak nyaman dan nggak mau seperti itu. Lagi pula, seperti yang tadi kubilang, orangtuaku selalu mewanti-wanti supaya aku bekerja sungguh-sungguh. Jangan mentang-mentang The Suite milik Kakek, lantas aku malah seenaknya.”
Eireen tersenyum, menampakkan pemandangan memikat yang sudah pasti membuat banyak pria terpesona. Termasuk Quinn. “Kamu benar-benar orang yang bertanggung jawab, ya? Aku kagum, Quinn. Walau menurutku prinsipmu itu terlalu kaku dan agak berlebihan.”
Lelaki itu tertawa kecil sembari bersandar di kursinya. “Nggak masalah dianggap berlebihan. Kadang, aku sendiri menyadari bahwa diriku terlalu idealis.”
Diam-diam, Quinn melirik arlojinya. Seharusnya, dia sudah kembali ke hotel saat ini. Sekarang ini hari Sabtu, Quinn selalu bekerja sampai larut. Tadi dia menyempatkan mengajak kekasihnya makan malam. Mereka berjanji bertemu di restoran untuk menghemat waktu. Sejak awal, Quinn sudah memberi tahu Eireen bahwa mereka takkan bisa memanfaatkan malam Minggu seperti pasangan lain. Eireen tak keberatan.
Quinn adalah pria berusia 29 tahun. Kakeknya berdarah campuran, Belanda dan Jawa. Quinn mewarisi hidung bangir dan kulit putih dari sang kakek. Juga tubuh jangkung setinggi 182 sentimeter. Jika terkena sinar matahari, kulit wajahnya akan berubah semerah tomat matang. Quinn bermata cokelat yang sewarna dengan rambutnya. Lelaki itu dikaruniai Tuhan bibir tipis nan kemerahan. Dagunya berkesan tegas karena bentuknya yang persegi. Rambut Quinn dipotong pendek, tapi entah kenapa selalu berkesan berantakan.
“Quinn, minggu depan aku dan teman-teman kantor akan ke Bandung. Berangkat hari Jumat malam, kembali Minggu siang atau sore. Kamu bisa ikut?” Eireen bersuara.
“Aku nggak bisa libur mendadak saat akhir pekan, Reen. Apalagi minggu depan ada banyak tamu penting. Bukannya nggak pengin menemanimu, tapi memang waktunya nggak memungkinkan,” sahut Quinn dengan nada lembut.
Eireen agak cemberut meski gadis itu tidak marah. “Aku tahu, kamu pasti akan menolak. Cuma, aku tetap berusaha mengajakmu. Siapa tahu kamu mau dan bisa.”
“Aku mau, tapi nggak bisa. Minggu depan betul-betul nggak mungkin membolos. Lain kali, akan kuusahakan. Tapi, aku nggak bisa janji. Karena seperti yang kubilang tadi, akhir pekan hotel memang selalu ramai,” cetus Quinn dengan nada membujuk. “Maaf ya, Reen.”
Setelah itu, Quinn terpaksa mengingatkan Eireen bahwa kini saatnya dia kembali ke hotel. Dia sudah memanfaatkan waktu istirahat makan malam selama hampir dua jam. Mau tak mau, Quinn harus kembali ke hotel. Dengan berat hati, dia dan Eireen mesti berpisah. Sekali lagi, Quinn pun meminta maaf karena tak bisa mengantar kekasihnya pulang.
“Nggak apa-apa. Lagi pula, aku bawa mobil sendiri. Kalau kamu mengantarku pulang, malah bolak-balik jadinya,” ucap Eireen, masuk akal. “Selain itu, rumahku dan The Suite berlawanan arah.”
Mereka pun meninggalkan restoran itu sembari berpegangan tangan. Saat melintasi ruangan yang dipenuhi meja-meja berbentuk bundar dan banyak pengunjung itu, Quinn tahu betapa banyak mata kaum adam yang tertuju pada Eireen. Seperti sejak awal mereka berkenalan, Eireen tampaknya sangat memahami pesonanya. Gadis itu menikmati setiap bentuk kekaguman dari lawan jenisnya.
Tak ada yang salah dengan hal itu, kan?
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa