Jeffry tak bisa menyembunyikan kekagetannya saat menoleh ke arah sang pacar. Namun lelaki itu segera menguasai diri dengan “Kamu sudah selesai?” tanyanya tenang, seakan tidak terjadi apa-apa barusan. Senyum tipisnya bahkan mengembang. Violet tidak yakin apakah Jeffry menyadari bahwa yang dilakukannya tadi sudah membuat kekasihnya kesal.
“Sudah!” cetus Violet dengan wajah merengut. Tanpa bicara, gadis itu melangkah menuju kasir dan harus antre di sana. Dia sempat melirik Jeffry yang berdiri menunggu di dekat pintu keluar. Kali ini, lelaki itu menunduk karena sibuk memainkan gawainya.
Violet berkali-kali menghela napas untuk menenangkan diri sekaligus meredakan kemarahannya. Di tak mau mempermalukan diri sendiri. Meski begitu, dadanya masih naik turun karena emosi yang bergelombang di dalam sana. Seakan siap merubuhkan dinding-dinding ketenangan yang dimiliki Violet.
Nyaris sepuluh menit gadis itu harus mengantre. Sebenarnya, ketidaksabaran sudah memukul-mukul setiap urat nadinya. Akan tetapi, sekuat tenaga Violet berusaha bertahan. Hari ini sepertinya tidak akan pernah termasuk dalam daftar hari yang menyenangkan.
“Hobi” Jeffry memandangi perempuan menawan, mulai menjadi gangguan di bulan keempat sejak mereka berpacaran. Violet tak peduli apa yang dilakukan Jeffry saat di belakangnya. Akan tetapi, ketika mereka bersama, Violet berharap sang kekasih bisa lebih menjaga perasaannya. Apakah itu bermakna bahwa Violet menuntut terlalu banyak dan berlebihan? Rasanya tidak.
Usai membayar di kasir, Violet berjalan dengan langkah cepat. Namun Jeffry yang memiliki kaki lebih panjang, menyamai langkah-langkahnya dengan mudah. Untuk kali pertama dalam hidupnya, Violet sangat ingin bisa terbang. Andai dia memiliki sepersepuluh saja kemampuan si manusia krypton, alangkah senangnya.
“Mau ke mana lagi, Vi?”
Ke neraka, Violet ingin mengucapkan kata-kata itu. Namun, dia mustahil melakukannya. Karena itu dia cuma menjawab pendek, “Pulang.”
“Pulang?” Jeffry melihat jam tangannya. “Ini masih belum genap pukul delapan. Untuk apa cepat-cepat pulang ke tempat kosmu? Apa kamu nggak pengin ke tempat lain?” pria itu tampak keheranan. “Kamu kenapa? Kok jadi tiba-tiba cemberut dan malah pengin pulang?”
Violet memperlambat langkahnya sebelum akhirnya berhenti di area yang dianggapnya takkan mengganggu orang yang lewat. Dia menatap mata Jeffry dengan ketajaman serupa silet.
“Saat ini, aku cuma mau pulang dan nggak pengin ke mana-mana lagi. Jelas?” Violet kembali memberi tekanan pada tiap kata yang meluncur dari bibirnya.
Jeffry tak bicara apa-apa, dan Violet sangat mensyukuri itu. Karena andai kekasihnya mengucapkan satu kata lagi yang bisa membuat emosinya memuncak, ledakan mungkin tak akan terhindarkan.
Jeffry mencoba memegang tangan kekasihnya, tapi ditepis oleh Violet. Potret jelas kegundahan hatinya. Violet berharap, Jeffry menyadari kesalahan yang sudah dibuatnya. Karena selama ini, Jeffry cenderung merasa tak berdosa jika menyangkut tentang kebiasaannya yang sangat suka memandangi para gadis cantik yang mereka temui.
Violet terluka, terutama harga dirinya. Jeffry terang-terangan melirik perempuan lain di depan matanya. Meski Jeffry bersikukuh bahwa dia tak pernah berselingkuh, kelakuannya itu sudah membuat perempuan mana pun yang menjadi pasangannya, merasa tersinggung.
“Kamu kenapa? Sejak tadi kamu nggak menjawab pertanyaan itu.” Jeffry akhirnya tak tahan terus membisu. Begitu mobil keluar dari halaman parkir Botani Square, pria itu bersuara.
“Menurutmu aku kenapa?” Violet mati-matian menahan suaranya agar terdengar datar.
Dari ekor matanya, Violet melihat Jeffry mengangkat bahu. Secepat cahaya, gadis itu menoleh ke arah kekasihnya.
“Kamu nggak tahu kenapa aku mengajakmu untuk pulang?” tanyanya tak percaya.
“Nggak,” aku Jeffry. “Memangnya ada apa? Kamu nggak enak badan? Atau mendadak bad mood karena rindu kampung halaman?”
Violet ingin menepuk kepalanya sendiri. Gemas sekali saat seseorang tidak merasa bersalah untuk sesuatu yang seharusnya sudah sangat jelas. Itu pendapatnya. Yang menjadi masalah, Jeffry sepertinya memiliki pemikiran yang berbeda.
Violet akhirnya berada di titik akhir kesabaran. Suaranya terdengar tajam saat gadis itu mulai bicara. “Aku capek kalau harus mengulang-ulang masalah ini. Tadi aku sudah mengingatkanmu untuk berhenti memelototi cewek-cewek cantik dan seksi saat aku berada di sebelahmu, kan? Tapi, kamu tidak peduli dengan pendapatku. Kamu selalu beralasan bahwa yang terpenting kamu nggak selingkuh. Intinya bukan itu, Jeff. Aku merasa kamu sama sekali nggak menghargaiku!”
Seperti biasa, Jeffry segera membela dirinya. “Aku nggak jelalatan, Vi! Selain itu, siapa bilang aku nggak menghargaimu, sih?”
Violet mendengkus, lelah dan marah. Nada suaranya merendah, tidak setinggi sebelumnya. “Kamu nggak pernah mau mengakui hal itu. Tapi, aku melihat sendiri caramu menatap cewek yang memakai hot pants tadi. Atau... ah, apa harus kusebutkan satu per satu? Kapan kamu akan berhenti, Jeff?”
Jeffry bahkan menoleh beberapa detik ke arah Violet, mungkin terlalu kaget dengan nada tajam di suara gadis itu. “Vi, berhenti apa?”
“Berhenti jelalatan. Apa hidup begitu membosankan tanpa harus melirik perempuan yang lewat di kanan dan kirimu? Kalau kamu melakukannya di belakangku, mungkin aku nggak akan bawel. Tapi, lain halnya karena kamu berulah di depan mataku,” sungut Violet. Wajahnya tampak kaku dengan rahang bergerak-gerak.
“Vi, aku kan....”
“Bahkan pramusaji yang membawakan makanan kita pun kamu pelototi! Padahal ada aku di depanmu,” Violet menggigit bibir di ujung kalimatnya. Violet membuang muka ke kiri. Violet merasakan tangan kanannya yang ada di pangkuan, digenggam oleh Jeffry. Gadis itu berusaha menariknya, tapi Jeffry tak membiarkannya. Lalu rentetan kata-kata maaf mulai menyapu telinga.
“Maafkan aku kalau kamu jadi tersinggung. Aku nggak bermaksud untuk membuatmu tersinggung atau merasa tak dihargai. Itu kebiasaan jelek yang seharusnya kubuang jauh-jauh. Tapi, ada satu hal yang kamu perlu tau. Aku cuma mencintaimu, Vi! Nggak ada perempuan lain. Sampai detik ini, aku setia padamu. Percayalah! Aku....”
Kemarahan Violet yang tadinya mirip api cair, berubah perlahan karena hujan kata-kata dari Jeffry. Permintaan maaf lelaki itu dilisankan dengan suara lembut. Setiap kalimat Jeffry diucapkan dengan nada yang sungguh-sungguh. Semua itu menjadi antiklimaks untuk segala kekesalan dan kemarahan Violet tadi. Gadis itu menatap Jeffry tak berdaya.
Diam-diam, gadis itu memaki dirinya yang tak bisa kebal dari kata-kata bernada membujuk yang berasal dari Jeffry.
Quinn Zaugustus mendengarkan sang kekasih yang sedang bicara dengan penuh semangat. Eireen, nama gadis yang berhasil menaklukkan hati Quinn itu. Keduanya menjadi pasangan sejak enam minggu silam. Mereka sedang berada di restoran yang menyajikan steak, makanan favorit Eireen. Quinn tak terlalu menikmati menu western, tapi dia ingin menyenangkan sang pacar.Eireen adalah gadis supel yang begitu menawan. Bukan hanya secara fisik, melainkan juga karena kepercayaan dirinya yang kuat. Eireen merupakan sosok yang langsung menarik perhatian kaum adam. Itu juga yang terjadi pada Quinn. Dia baru berkenalan dengan Eireen tujuh bulan silam. Kala itu, Eireen menjadi salah satu pagar ayu di sebuah resepsi yang digelar di hotel tempat Quinn bekerja, The Suite.Sejak itu, Quinn tak melepaskan kesempatan untuk mendekati gadis itu. Apalagi setelah Eireen memastikan bahwa dia tidak memiliki kekasih. Quinn pun cukup intensif berkomunikasi dengan gadis itu hingga akhirnya
Setelah tiba di halaman parkir ke The Suite, Quinn menyempatkan diri menelepon Eireen, mencari tahu apakah gadis itu sudah tiba di rumahnya atau belum. Eireen malah mengaku dia sedang mampir ke sebuah coffee shop untuk bertemu seorang teman.Satu setengah tahun terakhir, Quinn menduduki posisi bergengsi sebagai residence manager. Jabatan itu membuatnya mengepalai delapan manajer lini pertama. Jadi, tanggung jawab Quinn memang cukup berat karena harus mengawasi dan bertanggung jawab atas kinerja semua departemen di bawahnya.Sudah bergabung di The Suite sejak berusia 24 tahun, hanya berjarak sebulan sejak meraih gelar sarjana, Quinn mengawali kariernya sebagai petugas housekeeping. Setelah itu, secara berkala Quinn berpindah bagian. Mulai dari bagian akunting, food and beverage, front office, engineering, hingga marketing.“Kamu harus paham tiap bagian di hotel ini. Bahkan, kalau bisa, nggak sekadar paham. T
Quinn bertemu dengan Eireen sekitar dua puluh menit kemudian. Sepanjang perjalanan, dia menyetir dengan jantung dag dig dug tak keruan. Quinn tidak tahu pasti apa yang terjadi selain bahwa Eireen terlibat kecelakaan. Karena tadi dia buru-buru memutuskan perbincangan mereka. Bodohnya Quinn, dia bahkan tidak bertanya apakah Eireen terluka atau tidak.“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Quinn setelah bertemu pacarnya. Dia menatap Eireen dari ujung rambut sampai ujung kaki dan menarik napas lega karena tidak menemukan tanda-tanda bahwa gadis itu terluka. Mobil Eireen diparkir di halaman sebuah restoran cepat saji yang jam operasionalnya sudah berakhir.“Aku baik-baik saja,” balas Eireen. Perempuan itu berderap ke arah Quinn sebelum memeluk sang kekasih. “Tadi, aku betul-betul takut, Quinn,” bisiknya.Lelaki itu mendekap kekasihnya. Tangan kanannya mengusap punggung Eireen dengan gerakan lembut. Dari tempatnya berdiri, Quinn bisa mel
Hari Jumat selalu menjadi hari yang ditunggu oleh para karyawan, bukan? Karena dua hari ke depan ada libur yang bisa dimanfaatkan untuk melepaskan diri dari rutinitas. Dan melakukan hal-hal yang menggembirakan hati tanpa harus memikirkan pekerjaan. Bersantai.Violet melirik sekilas jam dinding. Sudah hampir pukul lima. Itu artinya, dia akan segera meninggalkan kantor tak lama lagi. Lebih bergegas lagi, perempuan itu membereskan mejanya seraya meneliti lagi hasil pekerjaannya. Violet tersenyum manis, kombinasi antara perasaan lega dan senang.Menjadi sarjana sastra Inggris, Violet diterima bekerja sebagai staf HRD di sebuah perusahaan manufaktur yang memproduksi produk perawatan wajah khusus untuk kaum hawa. Sepanjang pengalamannya setahun terakhir ini, pendidikannya nyaris tidak berkorelasi dengan pekerjaan yang dilakukannya. Kecuali kemampuannya bercas cis cus dalam bahasa negeri Pangeran William itu saja. Itu pun tidak banyak dibutuhkan dalam menuntaskan pekerjaannya
Violet pulang dengan kepala yang terasa berat. Dia masih bisa membayangkan detail garis wajah Nindy saat mendengar kata-katanya. Temannya itu seperti habis disambar petir. Bahkan mungkin lebih parah. Tak hanya hangus, Nindy berubah seperti debu.“Apa? Dari mana kamu tahu ... eh ... mengambil kesimpulan seperti itu?” Nindy langsung panik. Kepucatan di wajahnya kembali lagi.Violet tersenyum tipis. Namun dia yakin jika senyum yang terukir di bibirnya menyerupai lekukan patah yang menyedihkan. Hati Violet ikut nyeri melihat eskpresi temannya. Mengapa Nindy bertahan dengan pria kasar seperti Randy? Apakah tampang dan latar belakang keluarga memang segalanya?“Aku pernah beberapa kali melihat memar-memar di pipi atau lenganmu. Meski kamu berusaha menutupinya dengan make up atau beralasan macam-macam, aku tahu kalau bukan itu yang terjadi,” gumam Violet hati-hati. Di depan gadis itu, bibir Nindy terbuka.Violet memang tidak berd
“Teman sekantormu, ya? Apa dia tak ingin putus dari kekasih yang seperti itu? Sepupuku juga ada yang mengalami hal semacam itu. Bedanya, yang memukuli adalah suaminya sendiri. Sepupuku itu sempat kabur bertahun-tahun sebelum pulang ke Indonesia.” Kelly ikut emosional. “Kalau aku, tak akan pernah kubiarkan ada orang yang mengaku mencintaiku tapi melakukan hal-hal itu padaku. Aku anti kekerasan, fisik ataupun verbal.”Violet mengangkat bahu. Dia benar-benar merasa lelah. “Yang kudengar, mereka akan segera bertunangan.”Mata Kelly membesar. “Apa?”“Iya, sudah beberapa minggu ini temanku bercerita tentang rencana pertunangannya.”“Dan kayaknya dia tetap akan melanjutkan rencana itu? Walau pacarnya begitu berengsek?” desak Kelly dengan nada tak percaya.“Sepertinya begitu. Tadi, kubilang kalau aku tahu dia sering dipukuli. Tapi katanya itu semua karena kesalahannya. Dia tak in
Quinn melepas kacamata bacanya, meletakkan benda itu di atas laptop yang baru saja ditutup. Punggungnya terasa pegal. Lelaki itu bersandar di kursi sembari meregangkan tubuh. Dia memejamkan mata selama sesaat. Saat ini sudah pukul lima sore. Hari Jumat. Bagi karyawan kantoran biasa, Jumat selalu menjadi hari yang ditunggu-tunggu. Namun hal itu tidak berlaku bagi Quinn atau orang-orang yang bekerja di The Suite.Setelah berlalu sekitar lima menit, Quinn pun menegakkan tubuh. Tatapannya disapukan ke arah dua kursi kosong tepat di depannya. Sebelum beralih ke layar monitor di bagian kanan mejanya yang menampilkan rekaman kamera CCTV di berbagai titik. Ya, The Suite memang memiliki ruang khusus yang menampilkan semua gambar dari kamera CCTV yang dipasang. Beberapa di antaranya bisa dilihat Quinn dari ruangannya.“Kenapa kamu minta layar monitor juga ditaruh di ruang kerjamu, Quinn?” tanya Jan, kala pertama kali cucunya mengajukan permintaan itu.“S
Jan menutup telepon setelah menggumamkan selamat malam. Quinn pun melanjutkan perjalanan menuju supermarket. Seharusnya dia berbelanja kemarin. Akan tetapi, Quinn terpaksa pulang lebih larut karena harus menghadapi tamu yang komplain dengan makanan di restoran dan -bisa dibilang- membuat keributan.Jan tinggal di sebuah rumah nyaman, tak jauh dari The Suite sekaligus mes yang ditempati Quinn. Entah berapa ratus kali kakeknya meminta lelaki itu pindah agar mereka bisa tinggal serumah. Namun Quinn menolak.Dia tak keberatan bekerja di The Suite, memanfaatkan hubungan kekerabatan dengan kakeknya. Akan tetapi, lain ceritanya jika dia harus tinggal serumah dengan Jan. Quinn hanya ingin menerima fasilitas yang memang juga didapatkan oleh pegawai lain, sesuai dengan posisi masing-masing. Walau tak sepenuhnya efektif meredam omongan miring yang terkadang masih terdengar, tapi Quinn tahu dia sudah berusaha semaksimal mungkin. Supaya dirinya dinilai berdasarkan kinerja dan bukan