Share

Violet dan Jeffry [4]

Jeffry tak bisa menyembunyikan kekagetannya saat menoleh ke arah sang pacar. Namun lelaki itu segera menguasai diri dengan “Kamu sudah selesai?” tanyanya tenang, seakan tidak terjadi apa-apa barusan. Senyum tipisnya bahkan mengembang. Violet tidak yakin apakah Jeffry menyadari bahwa yang dilakukannya tadi sudah membuat kekasihnya kesal.

“Sudah!” cetus Violet dengan wajah merengut. Tanpa bicara, gadis itu melangkah menuju kasir dan harus antre di sana. Dia sempat melirik Jeffry yang berdiri menunggu di dekat pintu keluar. Kali ini, lelaki itu menunduk karena sibuk memainkan gawainya.

Violet berkali-kali menghela napas untuk menenangkan diri sekaligus meredakan kemarahannya. Di tak mau mempermalukan diri sendiri. Meski begitu, dadanya masih naik turun karena emosi yang bergelombang di dalam sana. Seakan siap merubuhkan dinding-dinding ketenangan yang dimiliki Violet.

Nyaris sepuluh menit gadis itu harus mengantre. Sebenarnya, ketidaksabaran sudah memukul-mukul setiap urat nadinya. Akan tetapi, sekuat tenaga Violet berusaha bertahan. Hari ini sepertinya tidak akan pernah termasuk dalam daftar hari yang menyenangkan.

“Hobi” Jeffry memandangi perempuan menawan, mulai menjadi gangguan di bulan keempat sejak mereka berpacaran. Violet tak peduli apa yang dilakukan Jeffry saat di belakangnya. Akan tetapi, ketika mereka bersama, Violet berharap sang kekasih bisa lebih  menjaga perasaannya. Apakah itu bermakna bahwa Violet menuntut terlalu banyak dan berlebihan? Rasanya tidak.

Usai membayar di kasir, Violet berjalan dengan langkah cepat. Namun Jeffry yang memiliki kaki lebih panjang, menyamai langkah-langkahnya dengan mudah. Untuk kali pertama dalam hidupnya, Violet sangat ingin bisa terbang. Andai dia memiliki sepersepuluh saja kemampuan si manusia krypton, alangkah senangnya.

“Mau ke mana lagi, Vi?”

Ke neraka, Violet ingin mengucapkan kata-kata itu. Namun, dia mustahil melakukannya. Karena itu dia cuma menjawab pendek, “Pulang.”

“Pulang?” Jeffry melihat jam tangannya. “Ini masih belum genap pukul delapan. Untuk apa cepat-cepat pulang ke tempat kosmu? Apa kamu nggak pengin ke tempat lain?” pria itu tampak keheranan. “Kamu kenapa? Kok jadi tiba-tiba cemberut dan malah pengin pulang?”

Violet memperlambat langkahnya sebelum akhirnya berhenti di area yang dianggapnya takkan mengganggu orang yang lewat. Dia menatap mata Jeffry dengan ketajaman serupa silet.

“Saat ini, aku cuma mau pulang dan nggak pengin ke mana-mana lagi. Jelas?” Violet kembali memberi tekanan pada tiap kata yang meluncur dari bibirnya.

Jeffry tak bicara apa-apa, dan Violet sangat mensyukuri itu. Karena andai kekasihnya mengucapkan satu kata lagi yang bisa membuat emosinya memuncak, ledakan mungkin tak akan terhindarkan.

Jeffry mencoba memegang tangan kekasihnya, tapi ditepis oleh Violet. Potret jelas kegundahan hatinya. Violet berharap, Jeffry menyadari kesalahan yang sudah dibuatnya. Karena selama ini, Jeffry cenderung merasa tak berdosa jika menyangkut tentang kebiasaannya yang sangat suka memandangi para gadis cantik yang mereka temui.

Violet terluka, terutama harga dirinya. Jeffry terang-terangan melirik perempuan lain di depan matanya. Meski Jeffry bersikukuh bahwa dia tak pernah berselingkuh, kelakuannya itu sudah membuat perempuan mana pun yang menjadi pasangannya, merasa tersinggung.

“Kamu kenapa? Sejak tadi kamu nggak menjawab pertanyaan itu.” Jeffry akhirnya tak tahan terus membisu. Begitu mobil keluar dari halaman parkir Botani Square, pria itu bersuara.

“Menurutmu aku kenapa?” Violet mati-matian menahan suaranya agar terdengar datar.

Dari ekor matanya, Violet melihat Jeffry mengangkat bahu. Secepat cahaya, gadis itu menoleh ke arah kekasihnya.

“Kamu nggak tahu kenapa aku mengajakmu untuk pulang?” tanyanya tak percaya.

“Nggak,” aku Jeffry. “Memangnya ada apa? Kamu nggak enak badan? Atau mendadak bad mood karena rindu kampung halaman?”

Violet ingin menepuk kepalanya sendiri. Gemas sekali saat seseorang tidak merasa bersalah untuk sesuatu yang seharusnya sudah sangat jelas. Itu pendapatnya. Yang menjadi masalah, Jeffry sepertinya memiliki pemikiran yang berbeda.

Violet akhirnya berada di titik akhir kesabaran. Suaranya terdengar tajam saat gadis itu mulai bicara. “Aku capek kalau harus mengulang-ulang masalah ini. Tadi aku sudah mengingatkanmu untuk berhenti memelototi cewek-cewek cantik dan seksi saat aku berada di sebelahmu, kan? Tapi, kamu tidak peduli dengan pendapatku. Kamu selalu beralasan bahwa yang terpenting kamu nggak selingkuh. Intinya bukan itu, Jeff. Aku merasa kamu sama sekali nggak menghargaiku!”

Seperti biasa, Jeffry segera membela dirinya. “Aku nggak jelalatan, Vi! Selain itu, siapa bilang aku nggak menghargaimu, sih?”

Violet mendengkus, lelah dan marah. Nada suaranya merendah, tidak setinggi sebelumnya. “Kamu nggak pernah mau mengakui hal itu. Tapi, aku melihat sendiri caramu menatap cewek yang memakai hot pants tadi. Atau... ah, apa harus kusebutkan satu per satu? Kapan kamu akan berhenti, Jeff?”

Jeffry bahkan menoleh beberapa detik ke arah Violet, mungkin terlalu kaget dengan nada tajam di suara gadis itu. “Vi, berhenti apa?”

“Berhenti jelalatan. Apa hidup begitu membosankan tanpa harus melirik perempuan yang lewat di kanan dan kirimu? Kalau kamu melakukannya di belakangku, mungkin aku nggak akan bawel. Tapi, lain halnya karena kamu berulah di depan mataku,” sungut Violet. Wajahnya tampak kaku dengan rahang bergerak-gerak.

“Vi, aku kan....”

“Bahkan pramusaji yang membawakan makanan kita pun kamu pelototi! Padahal ada aku di depanmu,” Violet menggigit bibir di ujung kalimatnya. Violet membuang muka ke kiri. Violet merasakan tangan kanannya yang ada di pangkuan, digenggam oleh Jeffry. Gadis itu berusaha menariknya, tapi Jeffry tak membiarkannya. Lalu rentetan kata-kata maaf mulai menyapu telinga.

“Maafkan aku kalau kamu jadi tersinggung. Aku nggak bermaksud untuk membuatmu tersinggung atau merasa tak dihargai. Itu kebiasaan jelek yang seharusnya kubuang jauh-jauh. Tapi, ada satu hal yang kamu perlu tau. Aku cuma mencintaimu, Vi! Nggak ada perempuan lain. Sampai detik ini, aku setia padamu. Percayalah! Aku....”

Kemarahan Violet yang tadinya mirip api cair, berubah perlahan karena hujan kata-kata dari Jeffry. Permintaan maaf lelaki itu dilisankan dengan suara lembut. Setiap kalimat Jeffry diucapkan dengan nada yang sungguh-sungguh. Semua itu menjadi antiklimaks untuk segala kekesalan dan kemarahan Violet tadi. Gadis itu menatap Jeffry tak berdaya.

Diam-diam, gadis itu memaki dirinya yang tak bisa kebal dari kata-kata bernada membujuk yang berasal dari Jeffry.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yielda Sofyan
kapan mo sadarnya Jeff
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status