Beranda / Romansa / Frozen in Love / Violet dan Jeffry [4]

Share

Violet dan Jeffry [4]

Penulis: Indah Hanaco
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-16 16:00:45

Jeffry tak bisa menyembunyikan kekagetannya saat menoleh ke arah sang pacar. Namun lelaki itu segera menguasai diri dengan “Kamu sudah selesai?” tanyanya tenang, seakan tidak terjadi apa-apa barusan. Senyum tipisnya bahkan mengembang. Violet tidak yakin apakah Jeffry menyadari bahwa yang dilakukannya tadi sudah membuat kekasihnya kesal.

“Sudah!” cetus Violet dengan wajah merengut. Tanpa bicara, gadis itu melangkah menuju kasir dan harus antre di sana. Dia sempat melirik Jeffry yang berdiri menunggu di dekat pintu keluar. Kali ini, lelaki itu menunduk karena sibuk memainkan gawainya.

Violet berkali-kali menghela napas untuk menenangkan diri sekaligus meredakan kemarahannya. Di tak mau mempermalukan diri sendiri. Meski begitu, dadanya masih naik turun karena emosi yang bergelombang di dalam sana. Seakan siap merubuhkan dinding-dinding ketenangan yang dimiliki Violet.

Nyaris sepuluh menit gadis itu harus mengantre. Sebenarnya, ketidaksabaran sudah memukul-mukul setiap urat nadinya. Akan tetapi, sekuat tenaga Violet berusaha bertahan. Hari ini sepertinya tidak akan pernah termasuk dalam daftar hari yang menyenangkan.

“Hobi” Jeffry memandangi perempuan menawan, mulai menjadi gangguan di bulan keempat sejak mereka berpacaran. Violet tak peduli apa yang dilakukan Jeffry saat di belakangnya. Akan tetapi, ketika mereka bersama, Violet berharap sang kekasih bisa lebih  menjaga perasaannya. Apakah itu bermakna bahwa Violet menuntut terlalu banyak dan berlebihan? Rasanya tidak.

Usai membayar di kasir, Violet berjalan dengan langkah cepat. Namun Jeffry yang memiliki kaki lebih panjang, menyamai langkah-langkahnya dengan mudah. Untuk kali pertama dalam hidupnya, Violet sangat ingin bisa terbang. Andai dia memiliki sepersepuluh saja kemampuan si manusia krypton, alangkah senangnya.

“Mau ke mana lagi, Vi?”

Ke neraka, Violet ingin mengucapkan kata-kata itu. Namun, dia mustahil melakukannya. Karena itu dia cuma menjawab pendek, “Pulang.”

“Pulang?” Jeffry melihat jam tangannya. “Ini masih belum genap pukul delapan. Untuk apa cepat-cepat pulang ke tempat kosmu? Apa kamu nggak pengin ke tempat lain?” pria itu tampak keheranan. “Kamu kenapa? Kok jadi tiba-tiba cemberut dan malah pengin pulang?”

Violet memperlambat langkahnya sebelum akhirnya berhenti di area yang dianggapnya takkan mengganggu orang yang lewat. Dia menatap mata Jeffry dengan ketajaman serupa silet.

“Saat ini, aku cuma mau pulang dan nggak pengin ke mana-mana lagi. Jelas?” Violet kembali memberi tekanan pada tiap kata yang meluncur dari bibirnya.

Jeffry tak bicara apa-apa, dan Violet sangat mensyukuri itu. Karena andai kekasihnya mengucapkan satu kata lagi yang bisa membuat emosinya memuncak, ledakan mungkin tak akan terhindarkan.

Jeffry mencoba memegang tangan kekasihnya, tapi ditepis oleh Violet. Potret jelas kegundahan hatinya. Violet berharap, Jeffry menyadari kesalahan yang sudah dibuatnya. Karena selama ini, Jeffry cenderung merasa tak berdosa jika menyangkut tentang kebiasaannya yang sangat suka memandangi para gadis cantik yang mereka temui.

Violet terluka, terutama harga dirinya. Jeffry terang-terangan melirik perempuan lain di depan matanya. Meski Jeffry bersikukuh bahwa dia tak pernah berselingkuh, kelakuannya itu sudah membuat perempuan mana pun yang menjadi pasangannya, merasa tersinggung.

“Kamu kenapa? Sejak tadi kamu nggak menjawab pertanyaan itu.” Jeffry akhirnya tak tahan terus membisu. Begitu mobil keluar dari halaman parkir Botani Square, pria itu bersuara.

“Menurutmu aku kenapa?” Violet mati-matian menahan suaranya agar terdengar datar.

Dari ekor matanya, Violet melihat Jeffry mengangkat bahu. Secepat cahaya, gadis itu menoleh ke arah kekasihnya.

“Kamu nggak tahu kenapa aku mengajakmu untuk pulang?” tanyanya tak percaya.

“Nggak,” aku Jeffry. “Memangnya ada apa? Kamu nggak enak badan? Atau mendadak bad mood karena rindu kampung halaman?”

Violet ingin menepuk kepalanya sendiri. Gemas sekali saat seseorang tidak merasa bersalah untuk sesuatu yang seharusnya sudah sangat jelas. Itu pendapatnya. Yang menjadi masalah, Jeffry sepertinya memiliki pemikiran yang berbeda.

Violet akhirnya berada di titik akhir kesabaran. Suaranya terdengar tajam saat gadis itu mulai bicara. “Aku capek kalau harus mengulang-ulang masalah ini. Tadi aku sudah mengingatkanmu untuk berhenti memelototi cewek-cewek cantik dan seksi saat aku berada di sebelahmu, kan? Tapi, kamu tidak peduli dengan pendapatku. Kamu selalu beralasan bahwa yang terpenting kamu nggak selingkuh. Intinya bukan itu, Jeff. Aku merasa kamu sama sekali nggak menghargaiku!”

Seperti biasa, Jeffry segera membela dirinya. “Aku nggak jelalatan, Vi! Selain itu, siapa bilang aku nggak menghargaimu, sih?”

Violet mendengkus, lelah dan marah. Nada suaranya merendah, tidak setinggi sebelumnya. “Kamu nggak pernah mau mengakui hal itu. Tapi, aku melihat sendiri caramu menatap cewek yang memakai hot pants tadi. Atau... ah, apa harus kusebutkan satu per satu? Kapan kamu akan berhenti, Jeff?”

Jeffry bahkan menoleh beberapa detik ke arah Violet, mungkin terlalu kaget dengan nada tajam di suara gadis itu. “Vi, berhenti apa?”

“Berhenti jelalatan. Apa hidup begitu membosankan tanpa harus melirik perempuan yang lewat di kanan dan kirimu? Kalau kamu melakukannya di belakangku, mungkin aku nggak akan bawel. Tapi, lain halnya karena kamu berulah di depan mataku,” sungut Violet. Wajahnya tampak kaku dengan rahang bergerak-gerak.

“Vi, aku kan....”

“Bahkan pramusaji yang membawakan makanan kita pun kamu pelototi! Padahal ada aku di depanmu,” Violet menggigit bibir di ujung kalimatnya. Violet membuang muka ke kiri. Violet merasakan tangan kanannya yang ada di pangkuan, digenggam oleh Jeffry. Gadis itu berusaha menariknya, tapi Jeffry tak membiarkannya. Lalu rentetan kata-kata maaf mulai menyapu telinga.

“Maafkan aku kalau kamu jadi tersinggung. Aku nggak bermaksud untuk membuatmu tersinggung atau merasa tak dihargai. Itu kebiasaan jelek yang seharusnya kubuang jauh-jauh. Tapi, ada satu hal yang kamu perlu tau. Aku cuma mencintaimu, Vi! Nggak ada perempuan lain. Sampai detik ini, aku setia padamu. Percayalah! Aku....”

Kemarahan Violet yang tadinya mirip api cair, berubah perlahan karena hujan kata-kata dari Jeffry. Permintaan maaf lelaki itu dilisankan dengan suara lembut. Setiap kalimat Jeffry diucapkan dengan nada yang sungguh-sungguh. Semua itu menjadi antiklimaks untuk segala kekesalan dan kemarahan Violet tadi. Gadis itu menatap Jeffry tak berdaya.

Diam-diam, gadis itu memaki dirinya yang tak bisa kebal dari kata-kata bernada membujuk yang berasal dari Jeffry.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yielda Sofyan
kapan mo sadarnya Jeff
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Frozen in Love   Epilog

    Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam

  • Frozen in Love   Mengikuti Kata Hati [3]

    Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb

  • Frozen in Love   Mengikuti Kata Hati [2]

    “Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,

  • Frozen in Love   Mengikuti Kata Hati [1]

    Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua

  • Frozen in Love   Keraguan [5]

    David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m

  • Frozen in Love   Keraguan [4]

    “Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa

  • Frozen in Love   Keraguan [3]

    Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m

  • Frozen in Love   Keraguan [2]

    Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya

  • Frozen in Love   Keraguan [1]

    Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status