“Selamat datang pada acara perhelatan akbar pernikahan Putra tunggal calon pewaris Gasendra Grup yaitu Tuan Evander Gasendra dengan Nona Kasih Permata Hati! Silakan semua mengikuti kami!” jelasnya. Sontak kalimat itu membuat semua orang menganga. Kaki Vania mendadak lemas dan berpegangan pada Niki---calon mertuanya. Ayah memegang dadanya karena terlalu kaget dengan kenyataan yang di luar dugaan. Para tetangga riuh saling mengungkapkan rasa tak percaya mereka. “Mari, silakan masuk Bapak dan Ibu … acara akan segera dimulai!” tukas salah satu panitia yang memang sejak tadi mengarahkan mereka masuk. Para tamu undangan yang merupakan tetangga Handoyo langsung berjalan mengikuti panitia, beberapa dari mereka berdecak dan memuji keberuntungan Kasih yang tak disangka-sangka. “Vani kenapa, Van?” Niki membantu Vania untuk berdiri. Dia menatap perempuan muda yang tampak shock itu. “Gak apa-apa, Tan! Mungkin agak sedikit lelah saja,” tukas Vania. Tak mungkin jika dia bercerita kalau terkejut
Syahnaz melirik sinis ke arah Niki yang berjalan memunggunginya. Namun fokusnya segera teralihkan pada Evan. Dia memeluk putranya. “Maafin mama, Van!” bisiknya disela isak. “Aku yakin Mama pasti pulang! Mama sudah janji akan menghadiri pernikahanku!” Evan menahan rasa yang berbaur tak karuan di hatinya. Usai memeluk Evan, Syahnaz memeluk Kasih. Dia menangkup kedua pipi Kasih. “Subhanallah … istrinya Evan secantik bidadari … semoga bisa menemani Evan hingga hari tua nanti, ya!” tukasnya. Sorot mata penuh sayang membuat Kasih tersenyum tetapi hatinya gamang. Dia melirik Evan, ya pernikahan ini pun entah. Dia tak tahu isi hati lelaki yang ada di sampingnya. Tak pernah sekalipun Evan menyatakan rasa cinta untuknya. Pernikahan ini hanya untuk kepentingan. “Iya, Mah ….” Kasih hanya mampu mengucap dua patah kata. Dia pun menerima pelukan dari Syahnaz. Ayah dan Ibu Kasih sudah berdiri manis di tempat yang sudah ditunjuk panitia. Dia hanya melihat tetapi tak fokus pada apa yang tengah te
Keduanya akhirnya kembali saling menjauh. Kasih meneruskan kegiatannya meskipun dengan sedikit canggung. Bagaimanapun rasa gugup mendera, seumur hidup ini adalah pengalaman pertamanya sekamar berdua dengan seorang lelaki. Evan tampak cuek saja. Dia bergegas ke kamar mandi dan membawa pakaian gantinya dari dalam lemari. Tampak dia menyalakan water heater sesaat sebelum masuk. Hingga akhirnya guyuran shower yang terdengar dari dalam kamar mandi. Kasih yang sudah selesai membersihkan make up berdiri mematung. Bingung berada di ruangan asing ini. Kamar yang luas dan rapi, nuansa kamar yang dominan putih membuat kesan lapang semakin kuat. Tak berapa lama, Evan keluar dari kamar mandi sudah berganti dengan kaos oblong dan celana pendek. Dia pun menoleh pada Kasih yang masih terduduk pada sofa dan memainkan gawainya. “Belum tidur?” tanya Evan seraya duduk pada sofa, berjarak hanya beberapa jengkal saja dari istrinya. “Ahm, belum solat isya! Kamu sudah, Mas?” Kasih berdiri dan berjalan m
Semua sudah berkumpul. Stevani dan Vania berjalan bersisian. Stevani lagi-lagi menebak-nebak apa yang akan disampaikan. Namun Vania tak acuh, hatinya masih sangat kacau apalagi hari ini Reyvan tak masuk. Di aula utama, akhirnya semua berkumpul dengan penuh suka cita. Rupanya Tuan ingin memperkenalkan langsung Evan dan Kasih pada seluruh Karyawan. Semua mata tertuju pada pasangan pengantin baru yang tak lepas mengumbar senyuman.Tuan Gasendra mengumumkan jika hari ini, sebagai bukti kebahagiaannya. Akan dibagikan voucher belanja untuk seluruh karyawan yang sudah bisa diambil di bagian GA setelah pulang kerja. Semua bersorak, suka cita dan bahagia kecuali satu orang yang hatinya penuh dengki, iri dan rasa tersaingi---Vania.Deretan kursi yang sudah disiapkan oleh tim GA dan helper sudah penuh terisi. Beberapa karyawan yang tertinggal tampak berlarian dari lorong-lorong yang terhubung dan memburu pintu aula. Semua saling berbisik, apalagi yang kemarin belum sempat hadir pada perhelatan
“Hallo, Van! Pulang kerja ikut Papa.” Dia berbicara melalui internal telepon. “Ke mana, Pah?” “Ke hotel sehati.”“Untuk?” “Tante Niki mau ketemu.” “Ck, dia lagi. Kenapa sih, Papa masih saja-” “Sssst! Papa ajak kamu karena Papa gak ingin kesalahpahaman terjadi lagi.” “Ok!” Evan menutup gagang telepon dan tersenyum hambar. Dia duduk dan kembali berkutat dengan pekerjaan yang hari ini baru digelutinya. Sementara itu, Kasih yang sudah mulai bosan berada di ruangan. Dia berjalan-jalan berkeliling, tetapi para temannya waktu kerja di helper, bahkan segan ketika dirinya sekadar menyapa pun. *** Kasih duduk di samping Evan. Keduanya tengah menuju hotel sehati seperti yang disampaikan Tuan Gasendra. Sementara itu, sang ayah berangkat dengan mobilnya sendiri juga ke sana. “Mau ngapain sih, Mas?” Kasih menoleh pada Evan. “Lo, eh kamu ikut saja. Sekalian mau cari kamar buat bulan madu gak?” Evan tersenyum ringan dan mengerling pada sang istri.“Bulan madu? Gak salah?” Kasih mengedik la
"Evelyn! Tunjukkan pada keluargaku seperti apa busuknya perempuan ini!” titah Syahnaz dengan anggun. Perempuan yang dipanggil Evelyn itu mengeluarkan sebua tablet dari tas yang diselempangnya. Lalu dia mulai membuka layar dan menunjukkan pada semua orang yang ada di sana. Dia menunjukkan beberapa capture percakapan antara Niki dengan seseorang yang tampak tengah membuat sebuah rencana untuk menjebaknya. Kedua bola mata Niki membulat, bahkan dia mundur beberapa langkah dan hampir terjatuh ke belakang. “Dia tak suka aku kembali, Mas! Wajah lugunya yang membuat kamu selalu mengasihi dia sebagai mantan adik yang paling setia hanyalah tipuan. Iniliah dia yang asli. Dia ingin kembali menyingkirkanku lagi.” Syahnaz menuruni anak tangga. Wajah Niki tampak pucat. Dia tak menyangka jika perempuan yang dulu begitu mudah di provokasi kini sudah berubah. Syahnaz tersenyum ringan dan dia pun mendekat. “Apa kamu mau menyampaikan pembelaan?” Syahnaz mendekat pada Niki.“Mbak gak bisa nuduh aku g
Gasendra menatap istri dan anak menantunya yang baru saja turun dari mobil. Ada helaan napas berat yang dia hembuskan. Dia pun mengusap wajah sebelum akhirnya melangkah pada ketiga orang yang menuju ke arahnya yang tengah duduk sendirian di teras rumah. “Papa mau bicara, Mah!” tukasnya pada Syahnaz yang berjalan menggandeng Kasih. “Kalau kamu cuma mau membela wanita itu, gak usah dibahas sekarang, Mas. Jangan rusak momenku dengan menantuku. Kami tengah merencanakan hal menarik setelah ini!” Syahnaz menatap Gasendra. “Bukan, aku tak akan membahas soal Niki. Aku mau bahas soal kita.” Gasendra menatap penuh harap. Perempuan keras yang ada di depannya itu mau memberinya waktu. Syahnaz menoleh pada Kasih. Dia menepuk pundak menantunya itu. “Sayang … besok kita bahas lagi terkait kelas music untuk kamu itu, ya! Mama pasti carikan instruktur terbaik buat kamu!” tukasnya seraya tersenyum lembut.“Baik, Mah. Makasih, ya!” tukas Kasih seraya menatap hangat perempuan yang membuatnya merasa
Niki menatap Hangga yang baru saja mematikan ujung rokoknya. Lelaki itu tersenyum lalu mengulurkan tangan pada perempuan dengan wajah ditekuk di depannya. “Ayolah … kamu jelek kalau cemberut!” kekeh Hangga seraya menjawil dagu belah yang selalu memabukkannya itu. “Aku gak nyangka perempuan itu pintar sekarang.” Niki berdecak. “Karena kamu sudah tahu, maka sebaiknya ke depan lebih berhati-hati, apalagi kalau dia sampai mengendus hubungan kita. Bisa-bisa kejadian dulu waktu kamu menjebaknya denganku akan kembali dia ungkit dan dibongkar pula,” tukas Hangga seraya menyandarkan tubuh pada sofa. “Kapan sih kamu mau meresmikan hubungan kita, Sayang? Aku kalau sudah resmi jadi Nyonya Hangga gak perlu lagi menanti nafkah dari Gasendra.”Niki mendelik. Lelah juga sebetulnya menjalin hubungan yang tanpa kepastian. Memang dirinya yang salah, dulu mendekati Hermawan yang dikiranya adalah adik kandung Gasendra dan sama-sama memiliki waris untuk mega perusahaannya. Namun seiring berjalannya wakt