Kasih sekuat tenaga meronta, tetapi salah satu tangan melingkar kuat pada perutnya. Lalu tiba-tiba bekapan itu pun memudar dengan sendirinya seiring dengan rontaan dia dan tangan yang memegang handuk kecil itu beralih memeluknya. Kasih sudah hampir menjerit seandainya tak sadar dengan bau maskulin yang menguar. Tiba-tiba kepala orang yang merengkuhnya dari belakang itu bertumpu pada pundak kanannya dan menjadikan wajah mereka sejajar, pipi mereka hampir bersentuhan. “Mas, ih! Gak lucu!” Kasih melempar protes pada lelaki yang kini memeluknya dari belakang itu. “Kalau pengen lucu, lihat badut!” jawabnya tanpa mengubah posisi tubuhnya yang merengkuh Kasih dari belakang. “Aku kira, aku diculik!” Kasih masih mengatur napas turun naik karena dirinya benar-benar merasa takut. “Yang berani nyulik kamu, biar aku cincang! Kamu ngapain di sini, Sayang? Ayo temani aku makan!” Suara Evan terdengar lembut. Wajah mereka yang berhimpitan membuat Kasih bisa mencium aroma mint dari hembusan napas
Vania melenggang masuk dengan perasaan penuh tanda tanya. Apa sebenarnya yang terjadi sampai-sampai dirinya dipanggil ke ruangan HRD. Sementara itu, Reyvan gegas ke ruangan Evan untuk mengupdate kondisi terkini. Vania mengetuk pintu kaca ruangan sang manager, lalu mengangguk sopan ketika diberikan kode untuk masuk dari dalam. Didorongnya pintu itu perlahan lalu dirinya melangkah masuk. “Pagi Pak Ramdan! Tumben sepagi ini nyari saya?” Vania berbasa-basi seraya mendekat ke arah Pak Ramdan. Selama ini memang dirinya bukan karyawan bermasalah yang sering keluar masuk ruangan HRD untuk mendapatkan teguran. “Pagi Vania! Silakan duduk, Vani!” tukas Ramdan seraya mempersilakan Vania untuk duduk di depannya. “Makasih, Pak. Hmmm ada apa, nih? Jangan-jangan saya mau naik gaji, ya?” kekeh Vania yang sama sekali tak merasakan jika dirinya akan diberhentikan secara tidak hormat. “Sebentar, saya ambil dulu berkasnya, ya!” tukasnya seraya membuka lacinya yang masih dia kunci. Lalu dia mengeluark
Vania merasakan seluruh dunianya hancur. Hangga seolah mengangkatnya tinggi-tinggi lalu menjatuhkannya. Kedatangan Diandra yang beberapa saat lalu membuat hatinya berbunga-bunga, kini membuat rasa itu patah sepatah-patahnya. Setelah dia bisa mengendalikan tangisnya, Vania berdiri lalu melangkah gontai meninggalkan resto makanan cepat saji itu. Menuju ke parkiran dengan hati tercabik-cabik. Ingin rasanya dia berteriak agar semua orang tahu seburuk apa lelaki yang sering kali memamerkan pecitraan itu. Namun, akal sehatnya masih memiliki sedikit kewarasan. Vania mengendarai mobilnya tanpa arah, mengikuti jalanan yang entah akan membawanya ke mana. Rasa malu dan hancur membuatnya tak memiliki keberanian untuk pulang. Apalagi Ayah sudah dengan sangat bangga bercerita pada para tetangga jika Vania tak kalah beruntung dari adiknya. Vania dilamar satu-satunya pewari perusahaan Wijaya Grup yaitu Diandra. Kabar itu sempat membuat hari-hari Vania menyenangkan. Pujian demi pujian dia terima da
Alunan melodi mengiringi langkah Kasih yang beberapa saat lalu dipanggil ke atas pentas. Dia berjalan menunduk sambil mendengarkan irama untuk memulai mengambil nada. Evan, lelaki yang sejak tadi menggenggam tangannya tampak sudah berada pada kursi VVIP. Dia mengacungkan dua jempol padanya dan tersenyum. Ah, senyuman yang begitu tulus dan menyejukkan hati Kasih. Hingga perlahan wajahnya yang penuh ketegangan berubah sumringah. Kasaih memulai bait pertama dengan memandang Evan yang tampak tersenyum dan lekat memandangnya.Suara merdunya diiringi riuh tepukan tangan para fansnya yang terdengar memekik, bersorak sora menyarakan kata ter-kasih. Spanduk bertebaran pada beberapa deretan tempat duduk yang kebanyakan dipenuhi oleh para remaja. Kasih menyanyi dari hati, karena lagu itu dia tujukan untuk suami tercinta. Sebuah lagi yang di dalam liriknya mengungkapkan betapa beruntungnya dia dicintai oleh lelaki yang begitu sempurn, diangkat dari keterpurukan dan dibimbing meraih puncak kebah
Rasa sakit menjalar pada sekujur tubuhnya. Kepalanya terasa berat dan berdenyut. Vania mengerjap, menyesuaikan dengan pijar lampu yang merambat. “Aduh!” Vania melenguh. Rasa ngilu pada pundak sebelah kanan dan kepala membuatnya tak bisa menyembunyikan rasa sakit. Namun tiba-tiba dia mengedar pandang. Sekelebat bayangan wajah bengis tiga orang yang memburunya berlarian. Vania memekik ketakutan dan menutup wajahnya. “Pergi! Pergi! Pergi!” Derit pintu kamar di mana dia dibaringkan terdengar terbuka. Vania masih menjerit-jerit seraya menutup wajahnya. “Sudah sadar rupanya, Mbaknya … tenang … di sini kamu aman.” Terdengar suara seorang perempuan yang membuat Vania membuka mata dan menoleh ke arahnya. “K--kamu siapa?!” bentak Vania masih dalam kondisi ketakutan. Perempuan dengan kerudung lebar itu mendekat. Lalu dia menuju ke atas meja rias di mana ada satu gelas ceret di sana berdampingan dengan air bening. “Saya Masitoh, Mbak … kemarin malam putra saya yang menyelamatkan Mbaknya.”
"Aku tahu semua hal tentang kamu, bahkan hal yang sengaja kamu sembunyikan,” bisik Evan seraya tersenyum. Tatapannya membuat Kasih salah tingkah dan menunduk. Namun dia tetap mengikuti langkah lelaki yang menggamit jemarinya itu menuju lift. Hatinya bertanya-tanya, apakah benar Evan tahu semua tentang dirinya? Apakah lelaki itu juga tahu terkait perasaan yang tumbuh subur di hatinya?Kamar yang mereka tuju sudah di depan mata. Evan mengetuk daun pintu sebelum masuk. Namun jemari mereka tak terlepas dan masih saling bertaut. Kasih yang merasa malu, membukanya paksa. Membuat kekehan Evan dan lelaki itu mengacak pucuk kepalanya. “Malu?” bisiknya.Kasih tak menjawab karena dia harus mengucap salam ketika pintu sudah tak lagi menjadi penghalang. Tampak Handoyo yang terbaring di ranjang rawat. “Ibu, Ayah ….” Kasih mendekat dan mencium punggung tangan mereka. “Kasih, alhamdulilah kamu sudah datang ….” Ibu memeluk Kasih dan menumpahkan tangis pada bahu putrinya. Kasih membiarkan Ibu menang
Sudah hari kelima, Vania tinggal di tempat Umi Masitoh. Siang itu, Umi Masitoh merasa kurang enak badan. Karenanya dia meminta Azzam mengantar Vania ke pasar. Dia tetap harus berjualan, katanya kasihan yang pada mencari sarapan. Sudah biasa berlangganan nasi uduknya. “Maaf ya, Nia. Ini uangnya … ini catatan belanjanya.” “Iya, Umi. Gak apa. Aku juga bosen sebetulnya di rumah terus.” Azzam meraih kunci motor dan jaketnya. Lalu dia memegang dahi Umi Masitoh. “Demamnya belum reda, Umi. Paracetamolnya masih?” “Iya, Zam … habis. Beli sekalian, ya!” “Iya, Umi. Paling pulangnya nanti. Sekarang masih shubuh. Belum pada buka apoteknya.” Waktu memang baru menunjukkan pukul empat lewat empat puluh lima menit. Beberapa menit lalu baru saja mereka menyelesaikan ibadah dua rakaat. Azzam pun menyalakan sepeda motornya, tetapi butuh beberapa kali Azzam menyalakan manual sepeda motornya. Maklum sepeda motor tua yang starternya sudah tak lagi hidup. Vania duduk di teras seraya memperhatikan par
“Sepertinya Nia depresi, Mas Evan. Dia hampir atau sudah diperkosa ketika saya tolong waktu itu!” Azzam menatap Vania dengan iba.“Astaghfirulloh ….” Kasih hampir saja tumbang ketika mendengar kalimat yang Azzam ucapkan. Beruntung Evan sigap menangkap tubuhnya yang gemetar menahan isak. “Sayang! Kamu duduk dulu, ya!” Evan menggandeng Kasih lalu mendudukkannya pada sebuah kursi. “Apakah Mas Azzam sudah buat laporan terkait kejadian itu?” Evan menatap Azzam dengan lekat. Lelaki yang ditatapnya menggeleng. “Saya rasa yang lebih berhak membuat laporan, Mbak Vanianya sendiri atau dari pihak keluarga dan bukan saya, Mas. Namun Mbak Vania sendiri menolak diperiksa ke dokter apakah benar mereka telah berhasil melakukannya atau belum. Hanya saja ketika saya dan teman-teman datang waktu itu, Mbak Vania memang sudah tak sadarkan diri dan maaf, nyaris tanpa pakaian.” “Pergi! Pergi!” Vania menjerit-jerit lagi mendengar kalimat yang Azzam paparkan. Sementara itu, Kasih yang sudah tak tahan, dia