Hangga Wijaya yang sudah tersadar beberapa saat lalu dari efek obat, tergelak ketika mendapati permintaan Niki. Perempuan yang masih terbaring nyaman di sampingnya itu masih melingkarkan tangan pada perut Hangga. “Hanya itu permintaanmu, Sayang? Aku bisa memberikannya lebih, tetapi tidak sekarang,ya! Kita harus hancurkan dulu Gasendra.” Hangga memiringkan tubuhnya dan menatap perempuan yang menatap manja itu. “Buktikan dulu. Aku gak percaya.” Niki menaikkan satu alisnya ke atas. Dia beringsut bangun lalu turun dari tempat tidur dan menuju lemari pakaian. “Aku pasti akan membuktikannya setelah kamu menolongku membuat hancur keluarga Gasendra. Aku janji, Sayang.” “Aku gak percaya. Aku akan membantu kamu setelah kamu memasukkanku dalam akta notaris perusahaanmu. Jadikan aku direktur, Sayang. Aku pastikan semua rencanamu akan berjalan lancar.” Niki mengambil beberapa helai pakaian ganti. “Eh, kamu mau ke mana, Sayang?” Hangga menatap bingung perempuan yang tadi memeluknya dengan ba
Semua orang sudah duduk di ruang tengah sekarang. Kondisi yang sempit membuat semuanya duduk pada tepian tembok dan melingkar. Vania tak bisa menghindar, dia hanya duduk menunduk sambil diam. Sementara itu, Azzam menjelaskan semuanya agar tak jadi salah paham. “Tadi saya hanya sedang membetulkan lampu. Baru habis salat zuhur ketika terdengar Nia menjerit di ruang tengah. Rupanya ada arus pendek dan lampu terbakar. Umi baru saja pergi mau membeli teh, hanya ke warung depan sebetulnya. Jadi kesannya kami cuma berdua."Semua duduk diam menyimak penjelasan Azzam. Lelaki itu kembali melanjutkan ucapannya. Dia pun melanjutkan ucapannya. “Nia membantu memegangi kursi yang ditumpuk, karena saya tak sampai ketika hendak mengganti lampunya. Namun mendengar ucapan salam, Nia malah hendak membuka pintu dan melepas pegangannya dua kursi yang ditumpuk yang saya injak, jadinya oleng dan jatuh. Hanya saja sialnya, malah menindih tubuh Nia. Jadi kalian mengira kami sedang melakukan hal yang bukan-buk
Hangga menurunkan Niki agak jauh dari kediaman Evan, lalu dia memesankan mobil online untuk perempuan itu. Satu set parsel dibawa Niki sebagai tanda sayang seorang tante kepada ponakannya. Di dalam set parsel itu tak ada yang aneh, hanya berisi makanan-makanan dan camilan yang ditata sedemikian rupa. Sementara itu, dua bungkusan kecil sudah dia serahkan pada Niki dan dibalut rapi dengan keresek hitam. Dua bungkusan itu harus diletakkan Niki di salah satu laci. Kasih cukup kaget ketika menerima tamu yang tak pernah dia sangka. Seorang Niki Sianto yang selama ini selalu berseteru dengan Ibu mertunya, tiba-tiba datang. Namun tak urung, dia mempersilakan Niki masuk. Kasih pun gegas menyuguhkan minuman untuk tamunya. “Silakan diminum, Tan!” Kasih baru kembali setelah beberapa menit. “Makasih, Sayang!” Niki mengangguk sopan dan penuh senyuman. Kasih yang merasa heran pun, pada akhirnya bertanya terkait keperluan Niki datang ke rumahnya. Apalagi hari ini, memang hari kerja. Evan tak ada.
“Mungkin Anda salah orang, Pak. Justru saya yang memberikan laporan dan yang harus diperiksa itu kediaman Evander Gasendra!” Hangga mencoba meluruskan.“Maaf, Pak Hangga! Namun kami mendapatkan surat tugas ini untuk memeriksa kediaman Bapak! Mohon izin untuk melaksanakan tugas!” jelasnya dengan tegas. Sontak Hangga menelan saliva. Namun kelima polisi lainnya sudah merangsek masuk dan mulai melakukan pemeriksaan. Diandra menatap bingung pada ayahanya, sedangkan para lelaki berseragam cokelat itu langsung menyebar. Hangga berjalan mendekat dan duduk lemas di depan putranya.“Pah, kenapa mereka memeriksa rumah kita?” Diandra menatap paras Hangga yang tampak tak tenang.“Mereka mendapatkan laporan jika di kediaman kita ada barang terlarang, Andra.” Hangga bersandar lemas. Dia sama sekali tak mempersiapkan apapun bahkan dia juga tak ingat apakah jejak-jejak pembelian barang kemarin itu sudah dihilangkan. Setengah jam berlalu ketika seorang polisi yang tadi meminta izin memeriksa mobil mi
Suara petikan gitar terdengar mendayu diiringi alunan lagu yang membuat suasana menjadi syahdu. Evan mengangsurkan satu buah jagung bakar yang baru saja dibeli dari seorang lelaki paruh baya. Sebelum pergi ke villa keluarga yang di Bandung, Evan menanyakan pada Kasih tempat yang ingin ia kunjungi. Akhirnya mereka terdampar di sini, di sebuah pasar malam di pinggiran kota. “Makasih, Mas!” Kasih tersenyum seraya menerima jagung bakar. Menjelang malam perpisahan mereka, masing-masing boleh memberikan tiga permintaan dan harus dikabulkan. Inilah permintaan pertama Kasih untuk Evan, makan jagung bakar di tempat umum.“Kamu mau?” Kasih menunjuk jagung yang dipegangnya oleh sudut matanya. Namun Evan menggeleng. Kasih terkekeh, mungkin Evan tak terbiasa makan di tempat pinggiran jalan seperti ini. Kasih pun menikmati jagung bakarnya dengan santai, padahal waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam dan mereka akan melaju ke Bandung. Evan duduk di sampingnya sambil bersila. Sesekali dia mene
“Mau mandi? Kenapa, mau ikut?” tukasnya datar. Evan mengambil handuk dari lemari pakaian. Mang Dirman sudah menyiapkan dua set handuk di sana rupanya. “Ih mulai, deh! Aku kan cuma nanya!” Kasih membuang muka. Kadang kesal kalau Evan sudah mulai dengan sikap jahilnya. Namun seiring dengan kekehannya, lelaki itu malah kembali menghampirinya ke atas ranjang. Evan menatap wajahnya lekat-lekat. “Hmmm … andai ini jadi permintaanku yang kedua, maka kamu mau kan mengabulkannya! Ayo!” tukasnya seraya menarik tangan istrinya itu. Kasih terkesiap, kedua netranya melotot menatap Evan yang tampak menatapnya dengan tatapan yang berbeda. “Mas!” Kasih menarik tangannya yang ditarik Evan, tetapi cengkeraman pada pergelangannya cukup erat. Evan malah terkekeh dan menariknya lagi. Akhirnya terjadilah tarik menarik untuk beberapa saat, hingga akhirnya Kasih menarik tangannya sekuat tenaga. Bruk!“Mas!” Bohong kalau Evan bilang tubuh yang menimpa Kasih itu karena tarikan tangan Kasih yang terlalu kua
“Semua perjanjian kita sudah berakhir dan aku tak ingin melihatmu menjadi orang lain. Aku ingin, mulai saat ini kamu harus belajar untuk mencintaiku dan menjadi istriku yang sesungguhnya! Mengakhiri perjanjian bodoh yang kita sepakati! Pernikahan ini suci dan betulan, Sayang! Aku ingin memulai semuanya dari awal lagi bersamamu! Apakah kamu mau?”Kalimat yang terlontar dengan begitu tegas dan jelas membuat tenggorokan Kasih tercekat. Berulang dia mencoba menelan saliva. Bahkan Kasih menarik tangan yang digenggam Evan dan berulang mencubit pipinya.“Cewek aneh!” Evan mengedik lalu ikut mencubit pipi Kasih. Suasana yang sekejap romantis tadi seketika berubah.“Ih kamu kok nyubit aku, sih?”Kasih melempar protes. Debuman dalam dada masih bergemuruh hebat bak ombak tsunami yang menyapu daratan. Meluluh lantakkan semua kecemasan. Namun entah kenapa, dia masih ingin menyembunyikan riak bahagia yang sebetulnya sudah berlompatan.“Aku cuma bantuin kamu.”“Bantuin apa?”“Bantuin kalau buktiin sem
Azzam yang baru saja memarkirkan sepeda motornya di halaman gedung perusahaan Gasendra Grup, gegas memutar arah sepeda motornya. Ayah menelpon jika Vania mengurung diri di kamar setelah pagi-pagi dia mengamuk dan melempar-lempar barang.Lelaki yang sengaja izin tidak masuk kerja itu, mau tak mau harus gegas pulang. Meskipun hubungannya dengan Vania tak seperti kebanyakan suami istri lainnya, tetapi saat ini, Vania masih tanggung jawabnya.Usai berpamitan pada security, Azzam gegas mengemudikan sepeda motornya. Melaju dengan kecepatan sedang menuju kediaman mertuanya.Setibanya di depan rumah milik keluarga Vania, Azzam memarkirkan sepeda motor jadul miliknya. Kebetulan ada tukang sayur yang tengah mangkal di depan rumah. Jarak yang tak terlalu jauh akhirnya mampu membuat kuping Azzam menangkap desas-desus dari para Ibu yang tengah berbelanja.“Tuh, itu, tuh … itu mantunya Bi Asih. Lihat tampangnya saja kumal kayak gitu. Asal kalian tahu, ya … dia itu cuma kuli bangunan.”“Oalaaah … sua