Ethan mengangguk dengan tegas, dia tak pernah main-main dengan ucapan, apa yang ingin dilakukan, akan dijalankannya tanpa keraguan. Ethan adalah Ethan, bukan Edward yang masih saja mementingkan ego, membuatnya terlihat seperti orang dungu yang terus meratapi nasib, tanpa mampu berbuat apa pun.
“Aku akan membawa Grace jika sampai batas waktunya kau masih juga tak bisa berterus terang.”
“Lalu mau kau apakan Grace?”
“Menjadikannya milikku seutuhnya, kau tahu ... aku yakin dia pasti akan menerimaku, jika nanti kau gagal mengatakan perasaanmu. Lagipula kenapa kau begitu suka menahan rasa sakit, kau tak lihat, Kevin sudah mendahuluimu, lalu kalau kau tak berani juga, kau akan kehilangan Grace.”
“Menjadi milikmu, dan begitu percaya dirinya, kalau Grace mau menerimamu?”
“Tentu saja percaya diri,” Ethan terdiam kemudian tersenyum dan melanjutkan kembali kalimatnya, “ada sesuatu yang mampu mengikat kita, sesuatu dari diri Grace, semakin kau berusaha men
Mrs. Jason menggebrak meja dengan kencang membuat Andrew terdiam, dadanya berdebar sangat kencang, takut-takut kalau permaisuri di hadapannya akan memakinya. “Penari telanjang maksudmu? Atau penari apa? Lalu di klub malam, mau jadi apa masa depan anakku! Segera bereskan gadis itu!” bentak Mrs. Jason setengah berteriak saking kesalnya. Andrew pun mengangguk dan keluar dari ruangan Mrs. Jason. Ya, hal itu baru sampai di telinga ibu dari Edward, bagaimana kalau sudah sampai di telinga ayahnya? Kujamin, perang antara Irak dan Iran tak ada apa-apanya! * Grace mulai memasuki babak baru kehidupannya, dia, adik-adiknya, dan kedua orangtuanya pindah ke rumah baru yang sengaja dbelikan Edward untuknya. Sebetulnya sudah berkali-kali Grace menolak, karena dia tak mau merasa berutang budi, semakin ditolak, Edward justru mengamuk. Di pagi hari dia akan pergi ke kampus hingga pukul tiga sore, lalu malamnya dia akan menjadi seorang pekerja di sebuah klub malam, menar
Grace membetulkan pakaiannya yang sempat diacak-acak kelima pemuda sinting yang kini saling bersitegang dengan Ethan, entah kenapa Ethan terlihat begitu jantan di mata Grace ketika sedang membelanya. “Kau pergi saja duluan,” ujar Ethan bergerak mundur berusaha menghampiri Grace yang berdiri di belakangnya, kemudian menuntun Grace dan membuka pintu dengan satu tangannya. “Aku tak mau, aku mau pergi bersama-sama,” jawab Grace. “Gadis berkepala batu, pergilah, orang-orangku akan menjagamu. Kelima cecunguk ini biar aku yang menjaganya dan memberikan sedikit pelajaran.” Grace berbisik ke telinga Ethan, “Kau yakin? Mereka bertubuh sama sepertimu, apa kau mau mati konyol?” “Sshht, kau tak percaya denganku?” Salah seorang pemuda maju ke depan dan langsung memberikan salam perkenalan di rahang kiri Ethan, membuat Ethan terhuyung dan hampir terjatuh, oke ... baru pemanasan, dan Ethan mulai mempersiapkan diri untuk menerima serangan berikutnya.
Pelipis kiri Ethan berdarah, belum lagi bibirnya, pasti sangat sakit, dan Grace tak bisa membayangkan rasanya. Ethan bergerak pelan, sembari mengerang, seluruh tubuhnya terasa nyeri. Kedua mata Ethan berusaha membuka, dilihatnya Grace sedang menangis sambil memanggil namanya. "Gadis idiot, buat apa menangis?" Grace mengusap airmata yang membasahi kedua pipinya dan memaksakan dirinya untuk tertawa, "Heh, kau membuatku khawatir. Kenapa kau berkorban seperti ini? Kau bisa mati," jawabnya, dan Grace tetap tak bisa menahan tangisannya. Ethan berusaha mengangkat satu tangannya, kemudian perlahan mengusap pipi Grace yang basah dengan airmata, "Se-seandainya, aku mati pun karena berkorban untukmu... aku tak akan pernah menyesal. Grace... ikutlah denganku," kata Ethan terpatah-patah. "I-ikut ke mana?" "Pergi bersama ke Italia, kau pasti paham maksudku, aku--" Belum sempat Ethan melanjutkan kalimatnya, dia pun terdiam. Pi
“Ka-kau ... kenapa dengan ma-matamu?” tanya Ethan terbata-bata. “Tidak apa, aku hanya mengkhawatirkanmu, aku takut kau tiba-tiba mati, Ethan,” ujar Grace. “Heh, mati? Jadi kau berharap aku mati?” “Bu-bukan begitu, maksudku, bagaimana kalau kau tiba-tiba mati?” “Gadis bodoh, aku tak semudah itu mati,” jawab Ethan sembari mengacak rambut Grace lalu berusaha tersenyum. Jika saja tadi Ethan tak mengalah, dipukuli sampai babak belur, para pemuda itu pasti akan berbuat nekat, mungkin mereka akan menyakiti Grace atau bahkan lebih dari itu. Dia tak akan pernah bisa merelakan jika sesuatu terjadi pada Grace, tidak akan pernah! Edward tak benar-benar pergi, tak ada yang tahu dia berada di luar kamar dan melihat keduanya dari celah pintu, dia bisa melihat perlakuan Ethan pada Grace, dia yakin Ethan sudah memiliki rasa pada Grace, tapi dia sendiri tak bisa mundur, ataupun menyerah, karena baginya ...Grace tak bisa dimiliki siapa pun kecuali dirinya!
Grace terdiam sejenak berusaha mengingat-ingat sesuatu, “Iya, dia mengatakan sesuatu yang membuatku bertanya-tanya sampai saat ini, dia ...,” Grace tak melanjutkan kalimatnya. “Dia mengatakan apa?” desak Kevin. “Dia ... mengajakku pergi ke Italia, tapi tak mengatakan alasannya kenapa mengajakku ke sana, menurutmu apa dia ingin mengajakku jalan-jalan?” tanya Grace polos. Kevin sudah menduganya, Ethan mengajak Grace ke Italia? Hanya berdua? Apalagi! Ethan telah memiliki perasaan lebih kepada Grace, dan dengan ajakannya yang entah serius atau pun tidak, berarti Ethan ingin mendului dirinya dan Edward, dan berusaha memiliki Grace sepenuhnya, tanpa atau dengan persetujuannya Edward dan dirinya. “Jadi ... begitu ya?” Grace mengangguk, “Iya, dia bilang, ‘Grace, kau mau ikut bersamaku ke Italia?’ dia hanya berkata seperti itu, setelahnya dia pingsan dan tak sadarkan diri.” “Grace,” panggil Kevin dan menatap kedua mata Grace den
Ethan meremas jari-jarinya, dilepasnya selang infus dibiarkannya darah mengalir dari tangannya, kemudian dengan susah payah dia beranjak turun dari tempat tidur, menepis tangan Mark yang berusaha menahannya. Dihampirinya Edward, dan mencengkram leher kemeja Edward. “Meski aku habis babak belur seperti ini, jangan kaukira ... aku tak sanggup menghabisimu,” kata Ethan menggertakkan gigi-giginya, cengkeramannya di leher kemeja Edward semakin mengetat. “Kukira ... kau memberiku waktu, tapi rupanya kau lebih licik dari yang kukira, dan kau mendahuluiku,” bisik Edward. “Kau tak akan pernah bisa memanfaatkan waktu yang kuberikan, sifat kasarmu tak akan pernah bisa berubah. Kau menyukainya tapi yang kaulakukan justru kebodohan yang akan menjauhkanmu darinya,” balas Ethan dengan berbisik juga. “Bangsat kau, Ethan,” kata Edward pelan. Suasana di dalam kamar lagi-lagi memanas, Mark bersiap-siap untuk memisahkan kedua kakak beradik yang sedang bersitegang
“Thanks,” Grace membaca name tag yang ada di sebelah kiri seragam bartender itu, “sekali thanks, Grey.” Grey tertawa ketika mendengar Grace menyebut namanya. “Kau memang hebat, setiap kau tampil para pengunjung akan berteriak histeris.” “Aku suka menari di bawah lampu sorot panggung, membuat adrenalinku semakin terpacu, dan semua masalahku seakan hilang begitu saja.” “Grace, itu kan namamu?” Grace mengangguk. “Benar, namaku Grace Collins. Kenapa, Grey?” Grey tersenyum. “Apakah lain waktu, di luar jam kerja aku bisa mengajakmu pergi?” tanya Grey dengan sopan. Grace tertawa renyah, kemudian menjawab, “Tentu saja. Hari minggu ini aku libur.” “Pas sekali. Hari minggu juga aku libur. Mungkin kita bisa jalan-jalan ke pantai? Atau kau yang menentukan tempatnya,” ujar Grey. Grace tak langsung menjawab, diperhatikannya Grey dengan seksama. Pemuda yang sedang berbicara padanya saat ini terlihat menarik. Tubuh Grey
“Lagi-lagi dengan pemuda yang berbeda, harus berapa banyak pria yang mengejarmu? Apa yang kurang dariku, Grace?” ujar Edward seorang diri. Di dalam restoran, Grey dan Grace tertawa-tawa tanpa menyadari kalau Edward masih memperhatikan keduanya. Rasanya Edward ingin segera masuk ke dalam restoran, meghardik Grey dan melemparkan wajahnya dengan sebuah bangku. “Besok, aku akan menjemputmu di kampus, lalu mengajakmu pergi sebentar sebelum kau ke bar, apa boleh?” tanya Grey dengan sopan. “Boleh, kau tahu kan di mana kampusku?” “Winston University sudah sangat terkenal, siapa yang tak tahu kampus itu. Lagi pula aku heran, kau berasal dari keluarga berada kenapa kau mau bekerja di bar?” “Aku kebetulan mendapatkan beasiswa di kampus, dan rumah beserta fasilitasnya bukan milikku, itu semua milik pamanku. Aku—“ “Paman?” Grace melonjak kaget dari bangkunya melihat Edward sudah berada di samping meja dan memelototinya. “Kau mau apa