Content Warning 21++ Kedua lutut Grace terasa lemas, dia pun jatuh berlutut. Tak pernah disangka, dia akan dipermalukan seperti saat ini, tak ada lagi kata-kata konyol, makian, atau ketololan yang biasa Grace lakukan terhadap Edward. Edward berlutut di belakang Grace, kedua tangannya memegang bahu Grace, “Berbaliklah, lihat aku,” ujar Edward, nada suaranya melemah. Grace berbalik, kedua matanya benar-benar sudah merah. Entah mengapa kondisi saat itu berbeda dengan pertama kali dia bertemu Edward, tak ada perasaan malu atau terhina seperti yang dirasakannya sekarang. "Kau sudah puas?” Edward tak banyak bicara, menarik tubuh Grace ke dalam dekapannya, "Maafkan aku, maaf ... kumohon.” "Kenapa?” "Sssht ... diamlah, biarkan aku memelukmu, bukan seperti ini yang kuinginkan, kenapa kau selalu membuatku kesal dengan semua tingkah lakumu?!” "Kau tak menginginkannya, Ed?” "Apa maksudmu?” Edward memejamkan kedua matanya, menarik kepala dan mencium kening Grace. "Tidak, bukan ini yang aku mau, aku terbawa emosi. Grace, entah kenapa setiap aku melihat Kevin menyentuhmu, dadaku terasa sesak, dan kau membuatnya semakin parah. Aku tak mengerti perasaan apa ini.”
View MoreAvery Street, Detroit, 21st January 2019
Grace masih belum mendapatkan bus yang akan membawanya ke tempat kerja, tangannya dimasukkan ke dalam saku mantel tebal, bibirnya membentuk bulatan, kepulan asap mengepul dari bibir. Musim dingin masih belum berakhir, dan dia sadar, keuangannya mulai menipis, bahan makanan pun berkurang, sedangkan kedua orang tua Grace tidak memiliki pekerjaan tetap.
“Grace!”
Mendengar namanya dipanggil, Grace menoleh.
Seorang gadis berlari-lari kecil menghampirinya, dia itu Natalie, sahabat dari kecil Grace. Sama-sama orang susah yang tinggal di tempat kumuh, tak jauh dari sebuah klub malam di mana para pelacur-pelacur mengais rejeki tiap malamnya
“Aha, kukira kau sudah berangkat lebih dulu.” Grace menyambut tepukan tangan Natalie. Toss.
“Sepertinya ... aku akan berhenti bekerja di toko kue, aku ingin melamar bekerja di sebuah coffee shop, mereka bilang gajinya lebih besar dari toko kue itu. Bagaimana menurutmu, G?”
‘G’ itu adalah panggilan kesayangan Natalie pada Grace.
Sebetulnya Natalie sedang berbohong, dia bukannya ingin melamar kerja di sebuah coffee shop, melainkan ada seorang lelaki tua yang ingin menjadikannya seorang simpanan dengan syarat Natalie harus mampu melayani syahwatnya.
Laki-laki tua itu bersedia membelikannya sebuah apartemen dan mobil mewah, karena menurut lelaki itu, istrinya sudah tak sanggup melayaninya lagi, sudah renta, sakit-sakitan, bahkan tak mampu lagi melakukan gaya ‘seminary.'
Kalian bisa membayangkan pasangan kakek dan nenek yang sudah uzur melakukan gaya seperti itu, bahkan sutradara film dewasa pun tak sudi melirik, ah ... memang laki-laki, mau sudah tua pun kadang tak tahu diri. Itulah laki-laki, sekali lagi dikatakan, itulah laki-laki!
Grace lalu melirik curiga ke arah Natalie, “Betul? Aku merasa, kau sedang berbohong padaku?” ujar Grace.
“Wah, buat apa aku berbohong,” jawab Natalie sembari meninju kecil lengan Grace. Padahal dia memang berbohong.
“Sudahlah, itu bis kita, ayo,” ajak Grace lalu menarik tangan Natalie.
Sedangkan di tempat lain, di malam yang sama, sekelompok pemuda dari kalangan elite di Detroit, seperti tak memiliki tujuan. Mereka merasa kehidupan mereka selama ini sangat monoton.
Sebuah mobil Rolls Royce berwarna hitam berhenti tepat di depan klub malam, menjadi tontonan kekaguman beberapa orang yang berada di luar klub.
Tak perlu pusing mencari tempat hiburan malam, dengan wanita-wanita yang senang bersedekah melalui pakaian mereka yang apa adanya tanpa diberi bahan tambahan. Ditambah lagi, Detroit bukanlah sebuah kota yang susah untuk mendapatkan hiburan-hiburan seperti itu. Tempat prostitusi, perjudian, dan hiburan haram lainnya tersedia dengan baik di sana.
Semua mata tertuju pada seorang pemuda tampan yang bergerak keluar, dengan sigap membuka pintu di sebelah kanan, memersilakan Edward untuk turun. "Silakan turun, Tuan Muda," ujar pemuda bernama Vanes bergaya ala-ala supir, meski sama sekali tak cocok menjadi supir dengan rambut panjang berwarna coklat tembaga sebahu, tubuh tinggi, kulit putih, dan bibirnya merupakan bagian paling seksi, membuatnya lebih cocok menjadi gundik simpanan tante-tante, ya, dia tampan, seisi mobil itu semuanya tampan.
Edward, Vanes, Mark, dan Kevin. Siapa yang tak mengenal keempat pemuda tampan dan rupawan itu?
Ketampanan mereka bahkan bisa membuat otakmu berfantasi liar semaunya dengan melihat sosok, dan wajah mereka.
Sumpah, keempat pemuda itu benar-benar bisa membuatmu memelas untuk ditiduri tanpa bayaran sekalipun. Mereka seksi, sangat seksi. Apalagi Edward.
Edward, pemuda berusia 28 tahun itu, merupakan anak dari salah satu pemilik perusahaan software terbesar di dunia. Memiliki 50 hotel mewah berbintang lima yang tersebar di 20 negara, lalu 25 restoran besar dan terkenal, memilki 10 mall besar yang selalu ramai pengunjung, dan masih banyak kekayaan yang tak mungkin dijabarkan satu per satu. Tak ada yang tak kenal dengan keluarga Madison.
Dengan malas, Edward pun turun. "Ya, Terima kasih, tapi jangan berharap aku akan menggajimu hanya karena telah membukakan pintu untukku," ujarnya.
Setelah Edward turun, di belakangnya dua orang lagi menyusul; Mark dan Kevin.
Saat keempat pemuda itu berjalan beriringan, wanita-wanita muda bahkan nenek-nenek yang melintas di jalan sampai menelan ludah. Bagaimana tidak? Empat mahakarya yang nyaris sempurna, tubuh mereka yang tinggi, tegap, berdada bidang, dibalut kemeja dan jas hitam rancangan desainer terkenal—Armani—membuat mereka tampak seperti pangeran tanpa kuda yang tersasar di tengah kota.
Mark sendiri tak kalah kayanya, dia adalah anak seorang pemilik universitas ternama di Detroit, dan pemilik sebuah brand terkenal yang memproduksi berlian-berlian berkualitas yang di ekspor ke luar negeri.
"Aku ingin membeli kue di sana," ujar Edward seraya menunjuk ke seberang jalan.
"Hah, kau mau membeli kue? Untuk siapa?" tanya Mark. Mark, seorang playboy kelas kakap, dengan tatapannya dia bisa memikat perempuan manapun untuk dibawanya berleha-leha di atas ranjang, tanpa terkecuali.
Edward melirik Mark dan menaikkan satu alisnya, wajahnya terlihat datar. "Buat siapa? Aku yang membeli berarti buat kumakan. Kau pikir, aku membeli kue untuk gadis-gadis malam yang selalu menggelayut manja di tubuhmu?" sindir Edward.
Sayangnya, kuping Mark sudah tebal dengan kalimat-kalimat sarkasme dari Edward, sahabat masa kecilnya itu. Dia tahu betul watak Edward, lelaki tampan, yang selalu dingin pada siapa pun. Sekalipun ada perempuan telanjang di hadapannya, Mark sangat yakin, Edward tak akan menyentuh sedikit pun. Keperawanan pun dijamin aman, tetap tersegel.
Mark bersiul kepada seorang gadis berambut merah yang melintas di sampingnya, "You're so sexy, Babe," godanya dan tanpa sungkan meremas gemas bokong tipis milik gadis itu. Anehnya, gadis itu hanya tersenyum, sedikit pun tak marah, malah melemparkan ciuman di udara. Sinting!
"Kurasa sebentar lagi kau akan terkena penyakit kelamin, dengan kelakuanmu yang seperti itu," ujar Edward. "Gadis tadi sama sekali tak ada menarik-nariknya, bokong tipis, dada mungkin hanya seukuran 34A, wajah standar, apa yang membuatmu melihatnya sebagai seorang yang seksi?"
“Kau memang aneh, gadis tadi cantik, kau tahu Naomi Lewis?”
“Siapa dia, apakah dia salah satu pelacur yang kau temui di jalan, kemudian berpura-pura sakit lalu ikut denganmu ke rumah dan—“
“Sshtt ... kau benar-benar norak,” balas Mark.
“Lalu?”
“Ehem." Kevin berdehem, semua mata tertuju padanya, “Naomi Lewis, artis situs porno.”
Edward melihat Kevin dengan pandangan jijik. Sejak kapan sahabatnya yang terkenal pendiam, yang hanya sibuk menekan-nekan tuts piano, tiba-tiba bisa menyebut salah satu artis porno dengan lancar.
“Kau berlangganan di sana?” tanya Edward datar.
“Tidak, apakah ada yang salah? Dadanya bagus, itu saja, aku tidak—“
“Hey, hey, diam-diam kau nakal juga, Kev.” Mark menyolek pinggang Kevin, dan menjawil hidung mancung Kevin.
Keempatnya tiba di depan toko kue. Mereka berempat masuk ke dalam, di sana ada Grace dan Natalie yang sedang sibuk membersihkan rak-rak display.
Lagi-lagi mata nakal Mark memang tak bisa melihat barang bagus, dia sibuk memerhatikan Grace dari ujung kaki hingga ujung rambut. Kaos polo putih ketat yang melekat di tubuh Grace menunjukkan dengan sangat jelas lekuk tubuh bagian atasnya, padat, berisi.
“Hai, selamat datang, ada yang bisa kubantu?” tanya Grace seraya mendekati keempatnya.
Tatapan Mark masih tertuju pada bagian dada Grace, dan Grace menyadarinya. Seorang pemuda tampan berpenampilan necis, memperhatikan dengan seksama bagian dada tanpa berkedip, pasti pemuda ini nakal.
“Hey. Apa yang kau lihat?” tanya Grace lagi.
“Eh, apa kau punya kue susu?” jawab Mark, ya kue ‘susu’ sambil melirik jenaka ke arah dada.
Edward maju ke arah Grace, kemudian menarik tangan Grace mengajaknya menjauhi Mark.
“Aku ingin membeli kue tiramisu yang ada di showcase, tolong bungkuskan empat buah,” ujar Edward, masih tak menyadari jika tangannya masih menggenggam tangan Grace.
“Hm, bisa lepaskan tanganku lebih dulu?” tunjuk Grace ke arah tangannya yang masih dengan erat dalam genggaman Edward.
Ups, wajah Edward seketika memerah menahan malu, Grace tertawa terbahak-bahak lalu berlalu dari hadapan Edward, dan menyiapkan pesanan miliknya.
**
Sepulang kerja Grace melewati lokasi di mana sebuah klub malam yang cukup besar berdiri tak jauh dari tempat tinggalnya. Setiap dia melewati lokasi itu, seketika dia akan menghentikan langkahnya sejenak. Dia terpesona dengan kecantikan para perempuan-perempuan penghibur yang bekerja di sana. Perempuan-perempuan itu terlihat cantik di mata Grace. Mereka terkadang melintas di depan Grace, dan wangi parfum mahal selalu mengusik penciumannya.
Entah uang darimana, pikir Grace saat itu. Sepertinya pekerjaan yang mereka lakukan bisa menghasilkan uang banyak, membeli barang-barang mewah dan selalu berganti-ganti mobil tiap malamnya.
“Apakah mereka masih membutuhkan pekerja di sana, aku ingin sekali bekerja di klub itu."
========================================================
Untuk para pembaca setia, kalian bisa membuka bab berbayar jauh lebih murah dari sebelumnya, karena sudah ada pembaruan jumlah koin untuk membuka kunci. Semoga bisa menikmati novel ini sampai akhir :)
Jangan lupa untuk terus mengikuti novel ini sampai akhir karena pada akhir Februari akan ada giveaway bagi satu pembaca yang beruntung yang mengirimi gems terbanyak. Pemenang akan diumumkan di f* penulis. Silakan mengadd dengan nama pena yang sama :)
Lindsay berencana pergi menemui Tuan Besar Dupont, untuk menagih sesuatu yang telah dijanjikannya. Setidaknya, meski Michael Dupont kurang menyukainya, wanita itu mampu mengerjakan pekerjaan yang terkadang tak mungkin dilakukan orang lain. Apa pun demi uang dia akan melakukannya meski melakukan hal terkotor sekalipun.Lindsay merayap naik ke atas tempat tidur, dilihat Travis masih tertidur pulas dan mendengkur. Semalam dia tak bisa melupakan betapa jantan Travis di atas ranjang, membuatnya kewalahan melayani nafsu liar pria itu.Travis dan Lindsay, kedua berencana untuk menikah tak lama lagi. Sayang, tampaknya pernikahan itu harus tertunda atau mungkin tak akan pernah benar-benar terwujud.Lindsay menyentuh wajah Travis yang dipenuhi bulu-bulu halus. Ketampanan serta keperkasaan pria itu benar-benar membuat Lindsay tergila-gila.“Sayang, kenapa kau selalu mampu membuatku memohon kepadamu untuk menikmati setiap cumbuanmu di tubuhk
“Kalau kau tak paham, mungkin senjata ini mampu membuatmu mengingat kembali kejadian di pelabuhan.”Tak perlu berbicara panjang bagi Timothy. Dia menodongkan sebuah pistol ke arah kening Eric dan bersiap untuk menarik pelatuknya.Tubuh Eric seketika menegang dan membeku di tempat, begitu melihat raut wajah Timothy yang benar-benar menyeramkan baginya. Awalnya dia mengira Timothy hanya sekadar mengancamnya, nyatanya ... dia siap menearik pelatuk itu kapan saja, jika Eric berani membantahnya!“Aku ... sungguh tak mengerti dengan apa yang kamu katakan, Tuan. Kejadian di pelabuhan? Mungkin kita bisa membicarakannya dengan kepala dingin?” tanya Eric, berusaha bernegosiasi, agar setidaknya Timothy berbaik hati menurunkan senjata itu dari kepalanya.Beberapa wanita yang sedang bersama Eric di dalam ruangan itu perlahan keluar dari dalam ruang VIP, mereka seketika merasakan seperti dewa kematian berada di dalam ruangan. Tak ada yang berani
Ethan langsung memahami maksud dari perkataan Timothy barusan. Jadi siapa yang akan diburu Timothy saat ini?Sebelumnya Timothy tak mengatakan apa pun pada Ethan, dia mengira-ngira apa yan akan dilakukan Timothy, dan siapa yang menjadi targetnya kali ini. Ethan mengajak Grace ke sebuah restoran mahal, dia mengajak gadis yang dicintainya itu untuk menikmati makan siang di sana.Grace yang biasanya manja pada Ethan, kini terlihat kaku dan canggung, perasaan bersalah itu terus menghantuinya. Dia merasa benar-benar bodoh, kalau saja dia tak mabuk saat itu, tentu tak akan menjadi seperti ini suasananya. Meski Ethan mencoba bersikap biasa saja, tetap perasaan ganjil itu ada di dalam hatinya.“Apa kau ingin memesan sesuatu?” tanya Ethan.“Kau saja yang memesannya untukku,” jawab Grace,Besok dia harus menemui John karena harus menemui seorang klien spesial, seorang produser yang tertarik padanya, dan ingin memakai dir
Kevin merasa pria tua yang menolongnya benar-benar misterius, senyuman yang diberikan padanya seperti memiliki kesan tersendiri yang dia sendiri tak bisa mengerti apa maksudnya.Tetapi dia tak terlalu memikirkannya, karena pria itu setidaknya telah menyelamatkan hidupnya. Jika bukan karena dirinya, bisa dipastikan dia sudah mati jauh sebelumnya. Dia tak tahu bagaimana caranya membalas hutang budi pada Cornelius, hanya saja begitu dia bisa kembali ke kota, dia akan memberikan sesuatu pada pria tua itu.Kevin mencoba mengingat nomor telepon milik Timothy. Hanya nomor milik Timothy yang bisa diingatnya, karena nomor itu memiliki beberapa angka yang sama.Panggilan tersambungkan.Timohty melihat sebuah nomor tak dikenal muncul di layar ponsel meminta jawaban darinya.“Ya, dengan siapa?” tanya Timothy dengan kening berkerut. Biasanya dia malas untuk menjawab panggilan tak dikenal, tapi kali ini dia mengikuti kata hatinya untuk
Baru kali ini dia merasa jatuh cinta itu menyesakkan perasaan dan dia paham apa yang dirasakan Edward dulu kini dirasakan olehnya. Berkali-kali dia menyakiti Edward, mengacuhkan perasaannya, mengabaikan perhatian yang diberikan, dan saat Edward melupakan kenangan bersamanya dia merasa sakit yang didapat berkali lipat dari apa yang dirasakan Edward sebelumnya.Grace pun berjalan meninggalkan Edward, berusaha untuk tak mengabaikan Edward.“Asal kau tahu, sewaktu ingatanmu belum hilang, aku tak pernah mencintaimu!”Begitu mendengar apa yang baru saja dilontarkan dari mulut Grace, Edward terdiam dan mematung di tempat. Dia tak menyangka kalimat yang baru saja didengarnya mampu membuat dadanya terasa ditusuk oleh sebilah pisau tajam, dan membuatnya berdarah-darah.Ethan telah menunggu Grace di luar, begitu dilihatnya Grace telah keluar dengan wajah yang terlihat sedih, dia mengerti sesuatu memang telah terjadi di antara kedua or
“Jason, kumohon jangan gegabah. Michael Dupont sekarang berbeda dengan yang dulu. Aku rasa keluarganya telah mendapatkan dukungan yang cukup kuat di Paris. Lagi pula, tak semudah itu membalasmu.”Jason hampir saja menepis cangkir kopi yang berada di atas meja, karena terbakar oleh amarah pada Keluarga Dupont.“Aku tak pernah semarah ini, Cathy. Kau lihat apa yang telah diperbuatnya? Mereka benar-benar telah membuatku terbakar amarah. Mereka sengaja sepertinya menggunakan Edward untuk memancingku keluar. Cepat atau lambat aku menemuinya jika itu yang mereka inginkan!”Cathy memeluk suaminya, dia tak pernah menyangka, masa lalu yang seharusnya berlalu kembali menghantui kehidupannya yang disangkanya telah benar-benar tenang.Sedangkan di tempat lain, Ethan merasakan sedikit perubahan terjadi pada Grace semenjak dia kembali ke apartemen. Gadis itu terlihat lebih pendiam, bahkan dia tak lagi begitu perhatian pada Ethan. M
Lily tak percaya, Edward bisa sedemikian kasar pada dirinya. Selama ini dia percaya, rahasia yang dipendamnya akan tetap aman, ternyata ... tak semudah yang dipikirkan olehnya.“Kau percaya dengan kebohongan yang mungkin kau dengar dari orang lain?” tanya Lily, masih berusaha menutupi kebenaran yang sudah mulai terbuka dikit demi sedikit.“Bagaimana jika orang lain yang kau katakan berbohong padaku, ternyata telah menunjukkan sebuah kebenaran padaku?”Lily terdiam, wajahnya menjadi pucat, sepucat kapas. Lily menjadi ragu jika Edward benar-benar masih lupa ingatan. Melihat cara Edward memandangnya, dia yakin ada sesuatu yang tak beres saat semalaman Edward tak kembali ke apartemen.Sebetulnya siapa yang ditemui Edward? Pikiran-pikiran seperti itulah yang kini memenuhi kepala Lily.“Ma-maksudmu apa?” tanya Lily terlihat semakin gugup. Edward kian menatap tajam ke arah Lily. Dia yakin, apa yang dikatak
Ethan terkejut melihat Grace yang telah kembali dengan penampilan yang sangat berantakan, dia berdiri di depan pintu dan menatap Ethan. “Kau ke mana, semalaman kau tak kembali membuatku khawatir, Grace,” ucap Ethan. Ethan menghampiri Grace dan langsung memeluknya. Grace sama sekali tak merapikan diri saat akan pulang. Dia tak tahan dengan rengekan Edward yang terus memaksa untuk pergi bersamanya. Sedangkan dia tak bisa meninggalkan Ethan. Meski dia tahu, dia tak mencintai Ethan, tapi perasaan bersalah karena telah tidur dengan Edward terus menghantuinya. Melihat wajah Ethan yang begitu mencemaskan dirinya, semakin memperkuat rasa bersalah yang dirasakan Grace. “Aku pergi ke bar, lalu karena merasa pusing, aku menyewa hotel untuk tidur di sana. Maafkan aku, karena aku tak menghubungimu sama sekali, Ethan.” “Aku senang kau kembali, aku pikir kau akan meninggalkanku,” jawab Ethan. Seandainya saja Ethan tahu, jika Grace telah mengkhianatin
Apakah Grace tak salah mendengar dengan permintaan Edward padanya?Pria itu menginginkannya pergi bersama, dan hanya berdua?Jika saja dia tak bersama Ethan, mungkin dengan senang hati Grace akan menerima tawaran Edward barusan. Perasaan cinta itu masih ada dan masih sama seperti sebelumnya. Tak ada yang bisa mematikan rasa yang tak pernah padam di dalam hati Grace.Grace meraih selimut yang berada di atas ranjang, dengan segera ditutupi tubuhnya. Edward menatap liar ke arah Grace dengan sesungging senyum penuh arti di wajahnya.“Aku ... tak bisa menerima tawaranmu. Biar bagaimanapun, aku telah membuat keputusan untuk meninggalkanmu saat di Detroit dan pergi bersama Ethan. Lagi pula kau tak mengingat siapa diriku, apa yang bisa kuharapkan dari pria yang sama sekali tak mengingat masa lalunya?”Edward terdiam begitu mendengar kalimat Grace yang cukup tajam menusuk perasaannya.Dia memang lupa ingatan.Dia memang tak menging
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments