“Ka-kau ... kenapa dengan ma-matamu?” tanya Ethan terbata-bata.
“Tidak apa, aku hanya mengkhawatirkanmu, aku takut kau tiba-tiba mati, Ethan,” ujar Grace.
“Heh, mati? Jadi kau berharap aku mati?”
“Bu-bukan begitu, maksudku, bagaimana kalau kau tiba-tiba mati?”
“Gadis bodoh, aku tak semudah itu mati,” jawab Ethan sembari mengacak rambut Grace lalu berusaha tersenyum. Jika saja tadi Ethan tak mengalah, dipukuli sampai babak belur, para pemuda itu pasti akan berbuat nekat, mungkin mereka akan menyakiti Grace atau bahkan lebih dari itu. Dia tak akan pernah bisa merelakan jika sesuatu terjadi pada Grace, tidak akan pernah!
Edward tak benar-benar pergi, tak ada yang tahu dia berada di luar kamar dan melihat keduanya dari celah pintu, dia bisa melihat perlakuan Ethan pada Grace, dia yakin Ethan sudah memiliki rasa pada Grace, tapi dia sendiri tak bisa mundur, ataupun menyerah, karena baginya ...Grace tak bisa dimiliki siapa pun kecuali dirinya!
Grace terdiam sejenak berusaha mengingat-ingat sesuatu, “Iya, dia mengatakan sesuatu yang membuatku bertanya-tanya sampai saat ini, dia ...,” Grace tak melanjutkan kalimatnya. “Dia mengatakan apa?” desak Kevin. “Dia ... mengajakku pergi ke Italia, tapi tak mengatakan alasannya kenapa mengajakku ke sana, menurutmu apa dia ingin mengajakku jalan-jalan?” tanya Grace polos. Kevin sudah menduganya, Ethan mengajak Grace ke Italia? Hanya berdua? Apalagi! Ethan telah memiliki perasaan lebih kepada Grace, dan dengan ajakannya yang entah serius atau pun tidak, berarti Ethan ingin mendului dirinya dan Edward, dan berusaha memiliki Grace sepenuhnya, tanpa atau dengan persetujuannya Edward dan dirinya. “Jadi ... begitu ya?” Grace mengangguk, “Iya, dia bilang, ‘Grace, kau mau ikut bersamaku ke Italia?’ dia hanya berkata seperti itu, setelahnya dia pingsan dan tak sadarkan diri.” “Grace,” panggil Kevin dan menatap kedua mata Grace den
Ethan meremas jari-jarinya, dilepasnya selang infus dibiarkannya darah mengalir dari tangannya, kemudian dengan susah payah dia beranjak turun dari tempat tidur, menepis tangan Mark yang berusaha menahannya. Dihampirinya Edward, dan mencengkram leher kemeja Edward. “Meski aku habis babak belur seperti ini, jangan kaukira ... aku tak sanggup menghabisimu,” kata Ethan menggertakkan gigi-giginya, cengkeramannya di leher kemeja Edward semakin mengetat. “Kukira ... kau memberiku waktu, tapi rupanya kau lebih licik dari yang kukira, dan kau mendahuluiku,” bisik Edward. “Kau tak akan pernah bisa memanfaatkan waktu yang kuberikan, sifat kasarmu tak akan pernah bisa berubah. Kau menyukainya tapi yang kaulakukan justru kebodohan yang akan menjauhkanmu darinya,” balas Ethan dengan berbisik juga. “Bangsat kau, Ethan,” kata Edward pelan. Suasana di dalam kamar lagi-lagi memanas, Mark bersiap-siap untuk memisahkan kedua kakak beradik yang sedang bersitegang
“Thanks,” Grace membaca name tag yang ada di sebelah kiri seragam bartender itu, “sekali thanks, Grey.” Grey tertawa ketika mendengar Grace menyebut namanya. “Kau memang hebat, setiap kau tampil para pengunjung akan berteriak histeris.” “Aku suka menari di bawah lampu sorot panggung, membuat adrenalinku semakin terpacu, dan semua masalahku seakan hilang begitu saja.” “Grace, itu kan namamu?” Grace mengangguk. “Benar, namaku Grace Collins. Kenapa, Grey?” Grey tersenyum. “Apakah lain waktu, di luar jam kerja aku bisa mengajakmu pergi?” tanya Grey dengan sopan. Grace tertawa renyah, kemudian menjawab, “Tentu saja. Hari minggu ini aku libur.” “Pas sekali. Hari minggu juga aku libur. Mungkin kita bisa jalan-jalan ke pantai? Atau kau yang menentukan tempatnya,” ujar Grey. Grace tak langsung menjawab, diperhatikannya Grey dengan seksama. Pemuda yang sedang berbicara padanya saat ini terlihat menarik. Tubuh Grey
“Lagi-lagi dengan pemuda yang berbeda, harus berapa banyak pria yang mengejarmu? Apa yang kurang dariku, Grace?” ujar Edward seorang diri. Di dalam restoran, Grey dan Grace tertawa-tawa tanpa menyadari kalau Edward masih memperhatikan keduanya. Rasanya Edward ingin segera masuk ke dalam restoran, meghardik Grey dan melemparkan wajahnya dengan sebuah bangku. “Besok, aku akan menjemputmu di kampus, lalu mengajakmu pergi sebentar sebelum kau ke bar, apa boleh?” tanya Grey dengan sopan. “Boleh, kau tahu kan di mana kampusku?” “Winston University sudah sangat terkenal, siapa yang tak tahu kampus itu. Lagi pula aku heran, kau berasal dari keluarga berada kenapa kau mau bekerja di bar?” “Aku kebetulan mendapatkan beasiswa di kampus, dan rumah beserta fasilitasnya bukan milikku, itu semua milik pamanku. Aku—“ “Paman?” Grace melonjak kaget dari bangkunya melihat Edward sudah berada di samping meja dan memelototinya. “Kau mau apa
“Ed, kau pulang saja. Sudah kubilang aku tak mau melihatmu!” “Aku tak akan pulang tanpamu. Seandainya kau sadar, kau yang membuatku seperti ini. Selama ini aku tak pernah memohon hanya demi seorang gadis. Kau selalu membuatku sakit, kau selalu membuatku marah, apa kau tak sadar?!” Grace terdiam, didengarnya Edward terus berbicara. Sampai saat ini pun dia masih tak mengerti kenapa Edward begitu ngotot. Edward selalu marah jika dia berdekatan dengan pria lain. Edward selalu mengamuk jika melihat pria lain berbicara atau menyentuhnya, sebenarnya apa yang dia mau. “Kumohon. Kau selalu mengulik amarahku dengan berdekatan dengan laki-laki lain, apa kau tak mengerti apa yang kurasakan saat ini?” “Karena aku tak mengerti, maka jelaskan!” jawab Grace. Dia pun keluar dari balik punggung Grey dan menatap Edward dengan lantang, menantang Edward sebuah penjelasan. Grey mundur ke belakang membiarkan Grace saling berhadapan dengan Edward, dia merasa bukan ra
Edward terhenyak seakan baru saja terbangun dari lamunan panjang begitu mendengar nama Ethan. Bagaimana kalau sampai Ethan sampai membawa Grace ke Italia meski dia masih memiliki waktu? “Aku bisa gila jika Ethan berani melakukannya.” “Tapi kau terlalu lambat.” “Sudahlah, sekarang bantu aku.” “Kurasa yang kau rasakan saat ini lebih dari sekadar rasa suka,” kata Vanes. “Maksudmu?” “Kau mencintainya?” Menyatakan suka saja tak sanggup, apalagi harus menyatakan cinta? Vanes terus menanyakan pertanyaan yang Edward tak mampu untuk jawab. “Aku tak tahu.” “Sebentar lagi kau akan kehilangannya kalau kau terus ragu seperti ini, Ed. Rivalmu selain Kevin, Ethan sangat kuat. Kau dan Ethan sama-sama keras kepala, hanya bedanya Ethan lebih mampu menyatakan perasaannya, makanya dia bisa mendapatkan Karen.” “Tunggu, aku akan menyatakan perasaanku saat ulang tahun Grace. Apakah itu cukup?” “Tidak cukup bagiku
Ethan bergegas menuju rumah Grace, tapi Grace sudah berangkat kerja dan dia hanya bertemu dengan beberapa pembantu di sana. Kedua orangtua serta adik-adiknya pun tak ada di rumah. Tanpa berpikir lebih panjang, Ethan segera pergi menuju bar tempat Grace bekerja. Di dalam perjalanan dia terus memikirkan Grace. “Apakah kejadianku akan kembali terulang pada Edward? Aku tak yakin Edward mampu mengatasinya. Laki-laki tua itu benar-benar kejam dan tak pandang bulu, bahkan mampu menyingkirkan semua lawan bisnisnya dengan segala taktiknya,” kata Ethan sembari menyetir. Tak sampai setengah jam, Ethan sampai di bar. Dia langsung berlari ke arah ruang ganti di tempat biasa Grace bersiap-siap sebelum tampil, dan tebakannya pas. Grace ada di sana sedang bersiap-siap. “Grace!” seru Ethan membuat Grace berhenti memulas wajahnya. “Ethan? Ada apa?” “Ikut aku sekarang. Kau jangan banyak tanya.” “Ta-tapi pekerjaanku?” “Aku yang akan berneg
“Edward, kenapa aku tak pernah menyadarinya, Ethan,” ujar Grace pelan serupa bisikan. “Kenapa?” “Aku menyadari sesuatu, mungkin aku memang egois, keras hati, tapi aku tak pernah berniat menyakitinya.” “Grace, kali ini semua keputusan ada padamu. Kau harus bisa memilih; aku, Edward, atau Kevin. Tapi sekalipun kau sudah memilih, aku mungkin tetap tak akan pernah mundur.” “Ethan, apa benar aku menyakiti Edward?” “Bukti apa yang kurang? Apa kau pernah tahu jika Edward pernah melukai tangannya? Vanes pernah bercerita, beberapa bulan lalu saat kembali ke rumah dalam keadaan hancur dan berantakan, dia melukai telapak tangannya dengan menekan sebuah gelas di dalam genggamannya. Aku tak tahu masalah apa, yang aku ingat Vanes berkata saat itu dia habis bersamamu.” Grace teringat di malam saat dia dan Edward bertengkar di hotel. Edward merobek gaunnya, setelah itu Edward meminta maaf dan menawarkan diri mengantarkan Grace pulang dan dia menolak d