Kita punya banyak pilihan untuk yang terjadi ke depannya. Pilihlah hal yang menurut kita baik, maka kita akan mencintainya.
___
Pemandangan di luar jendela kantor terlihat mendung. Aku duduk termangu sambil sesekali menatap layar komputer. Banyak hal kupikirkan, semuanya cukup menguras tenaga dan pikiran.
"Tumben Nada jadi diem, biasanya semangat tuh ngerjain tugas-tugas yang udah numpuk," sindir Daniel. Benar katanya, melihat setumpuk kertas di hadapanku saja rasanya ingin muntah. Kutopang dagu malas, menaruh pulpen di bibir atas sambil menaikkan bibir. Fokus mataku tertuju pada pulpen itu.
"Mau kopi?" Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Kutaruh kembali pulpen itu ke atas meja.
Aku mendongakkan kepala untuk memastikan siapa pemilik suara tersebut. Rafi? Lalu pandanganku beralih pada tangannya yang sedang menyodorkan satu gelas kopi. Kuterima karena kebetulan saat ini aku sedang haus.
Lagi-lagi tanpa banyak bicara dia kembali pergi, seperti sebelumnya. Memang orang yang tak suka-basa basi. Dia Menawarkan kopi lainnya untuk Arumi dan Daniel. Dua orang itu terlihat heboh saat menerima pemberian Rafi.
"Makasih, Fi." ujar Arumi sambil tersenyum kearahnya.
"Thanks, bro!" Daniel kulihat merangkul Rafi.
Pandanganku beralih pada mangkuk kecil pemberian Rafi. Latte, minuman favoritku. Ternyata dia tahu apa kesukaanku.
"Makasih, Fi!" teriakku.
Aku melambaikan tangan, mengucapkan terima kasih padanya. Sejenak, dia menoleh walaupun samar terlihat aku yakin dia tersenyum.
___
Mata bulat itu tak kunjung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Gawai di tangan menjadi perhatian yang tak mau dilewati oleh gadis di depanku, siapa lagi kalau bukan Arumi.
"Nad, Minggu ada acara nggak?" tanya Arumi. Aku menoleh padanya. Pandangannya tak lagi berfokus pada layar gawai.
"Hem, ada Rum," Aku lanjut memasukkan nasi ke dalam mulut dengan lahap. Tak lupa menelan air putih agar tak tersedak.
"Ah, nggak seru, padahal kita mau ngajak lo ikut acara salah satu teman kantor yang yang sebentar lagi ultah."
Daniel angkat bicara. Mulut yang penuh dengan banyak potongan kentang itu terus saja berbicara, hingga muncrat kemana-mana membuat Arumi memasang tampang jijik.
"Telan dulu baru bicara, jorok tau!" titah Arumi. Gadis itu mencubit bahu Daniel geram. Mengelap meja yang penuh dengan potongan kecil kentang yang berhamburan. Aku tertawa kecil melihatnya. Mereka itu memang cocok.
"Eh, besok hari apa?" tanyaku pada mereka. Keduanya menatapku sebentar lalu saling berpandangan.
"Sabtu."
"Sabtu!"
Aku baru ingat. Besok kontrak pekerjaanku sebagai babysitter baru akan dimulai.
Menepuk jidat, tanganku meraih tas yang tergeletak di kursi di sebelahku. Membukanya, lalu mencari kartu kecil yang diberikan oleh lelaki itu.
Dapat. Kuperhatikan lamat-lamat kartu itu. Nama, alamat, nomor handphone lengkap tertera. Tak perlu repot-repot harus kutemui dirinya. Aku menghela napas lega, untung saja aku jauh-jauh menaruhnya di tempat yang mudah dijangkau.
Kebiasaan buruk-ku terhadap sesuatu, adalah pikun. Aku sering menaruh sesuatu, lalu melupakannya. Mungkin karena faktor usia. Ah, mana mungkin padahal usia-ku baru akan menginjak 23 tahun bulan 10 tahun ini. Belum terlalu tua untuk terkena penyakit pikun.
Namun, hal itu tak pernah berlaku untuk kenangan buruk. Tidak. Bahkan saat kenangan itu sangat ingin kulupakan, aku selalu mengingatnya.
Hidup tak bisa harus seperti yang kita inginkan.
Ada hal yang bisa dengan mudah dilupakan, ada hal yang paling ingin dilupakan namun tetap membekas bahkan tak mau menghilang.
"Kenapa, Nad?" tanya Arumi menatapku bingung. Gelas di tangannya beralih ke atas meja. Begitu juga Daniel, pandangannya sesekali dia arahkan padaku hanya saja dia tetap sibuk meladeni makanan di hadapannya.
Aku menggeleng sembari tersenyum padanya. Tak mungkin kukatakan padanya kalau aku juga bekerja sampingan untuk CEO perusahaan itu.
Kumasukkan kembali kertas itu ke dalam tas sebelum mereka berusaha mengambilnya paksa. Keduanya terlihat mengangguk-nganggukan kepala entah untuk apa.
"Kalian, pernah merasa bosan nggak sih, sama pekerjaan sekarang. Monoton dan nggak ada perubahan. Capek, pengen istirahat." ujar Arumi, ia menopang dagu malas lalu memanyunkan bibir. Mengaduk gelas di depannya tak bersemangat.
Gadis itu terlihat menggeser layar gawainya tak bersemangat. Daniel mengangguk di sampingnya, kelihatannya dia setuju dengan perkataan Arumi.
Aku tersenyum sebentar sebelum berbicara pada mereka,
"Capek boleh, ngeluh apalagi, tapi ingat masih banyak orang diluar sana yang enggak seberuntung kita. Enggak punya pekerjaan, harus hidup di kolong jembatan, di jalanan dan bahkan enggak bisa makan seperti yang kita lakukan sekarang. Se-enggaknya sehari masih bisa makan 3 kali, pulangnya masih bisa rebahan. Kita, sebenarnya sedikit dari banyak orang yang beruntung dari kerasnya hidup. "Eh, maaf jadi mellow gini ...."
Keduanya terdiam. Ada raut sedih di wajah mereka. Sepertinya, sedikit dari kata-kataku membuat mereka lebih paham. Sebab hidup bukan hanya tentang mengeluh.
"Sori, Nad. Gue jadi banyak ngeluh karena belakangan ini capek banget banyak masalah," Arumi menatapku. Raut wajahnya menyiratkan kesedihan dan kelelahan. Setelah digelar napas dan kembali bersikap ceria seperti biasanya.
"Nggak masalah, ngeluh boleh capek boleh kayak yang dibilang Nada. Tapi ingat, harus tetap bersyukur."
Daniel menimpali. Kami semua tersenyum bersama. Hari ini berkumpul bersama mereka, aku jadi belajar untuk banyak bersyukur walaupun kadang masih sering mengeluh ini itu pada Sang Pemberi Kehidupan yang sangat dengan baik hati memberi banyak hal dan memaafkan kesalahan manusia untuk banyak hak buruk yang telah diperbuat.
___
"Pak, sate-nya tiga bungkus, ya." ucapku dari meja. Seperti biasa, aku duduk sambil menunggu pesanan selesai. Sudah dipastikan rasanya sangat enak, karena memang aku sering membeli sate di sini. Jadi tak diragukan lagi rasanya.
Tempat makan yang menyediakan tempat duduk untuk pengunjung. Juga, suasana malam yang dipenuhi banyak bintang membuat orang pasti betah berlama-lama di sini.
Bapak yang nyaris seluruh kepalanya itu dipenuhi rambut putih tersenyum sembari mengangguk ke arahku. Pak Rahmat namanya, orangtua dengan 5 orang anak yang sudah remaja, tetap mencari nafkah walaupun sudah lanjut usia. Menjadi punggung keluarga memang tidaklah mudah. Kalau sudah begini, aku pasti jadi teringat tentang Papa. Ah, aku tak mau menangis lagi.
Bau harum sate sungguh menggiurkan. Dari gerobak itu bisa kulihat asap menguar di atasnya. Beberapa tusuk sate mulai dibakar di atas panggangan dengan dikipas sesekali. Aku sudah tidak sabar membawanya ke rumah untuk di makan bersama Mama dan Alif. Membayangkannya sudah membuatku senang.
Sejenak pandangan mataku mengabur. Aku menguceknya agar bisa melihat dengan jelas. Di sana, di bawah lampu jalan kulihat seseorang berjalan menuju ke arahku. Hoodie hitam juga ada topi di atas kepalanya. Karena tak mau dianggap kepo aku mengalihkan pandangan ke arah lain.
Gawai yang kutaruh di atas meja bergetar. Di atas layar terkunci, pesan dari nomor tak dikenal masuk.
Aku menautkan alis.
Sepertinya tak asing nomor itu. Kubuka kunci layar dan langsung menekan ikon kotak pesan.
"Besok, jangan lupa datang, saya tunggu di rumah."
Aku bersungut-sungut kesal.
Padahal kalau saja tak kuterima tawaran itu besok harusnya adalah hari untuk ber-mager-mageran.
Hah!
Hilang sudah hari rebahan untuk diri sendiri. Aku menopang kedua sikut di atas meja, memijit kepala yang mulai berdenyut pusing.
Tepukan ringan di bahu membuyarkan lamanunanku.
Kaget, aku terburu menolehkan kepala ke samping. Hoodie hitam dan topi abu-abu. Dia orang tadi yang kulihat hendak kemari.
Aku menyipit, bingung menanggapinya seperti apa.
Tangannya melepas topi dari kepala. Orang itu membenarkan posisi rambut yang menutupi wajahnya.
"Kamu--!"
Setelah melewati berjam-jam perjalanan. Kini Malik tiba di depan halaman rumah sakit. Sebelumnya Kyla telah ia titipkan pada Rama. Awalnya gadis itu meminta ingin ikut, tapi Malik menolak karena tak ingin membuat Kyla kembali kambuh sakitnya. Sebab gadis itu baru saja sembuh. Langkah kakinya lebar-lebar saat memasuki pintu otomatis. Dalam kekalutan, hanya ada satu nama yang terus digaungkan di hatinya. Nama yang terus melekat kuat, hingga meski datang padanya adalah hal yang sungguh sulit, akan tetap dilewati Malik. Semuanya hanya demi satu nama ....... Nada. Tangannya menekan tombol lift. Diketuknya beberapa kali sepatu pada lantai keramik. Dipijatnya pangkal hidung demi meredakan pusing yang mendera. Malik mendongakkan wajah, nomor yang tertera di atas sana masih terlalu jauh untuk tiba ke lantai satu. Sialan. Tak ada waktu. Umpat Malik. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju tangga darurat. Lantai 4
Hari ini setelah berbicara dengan dokter tentang kepulangan mereka ke Indonesia, Malik sudah menyiapkan segalanya agar bisa segera pulang ke tanah air. Ia meminta asistennya-Rama--untuk menyiapkan keperluan ini dan itu. Termasuk membayar seluruh biaya rumah sakit Kyla.Setelah drama yang cukup lama dan menguras emosi dengan Tante Anin dan Sarah yang berkeras menahannya untuk tetap tinggal di rumah sakit lebih lama, akhirnya dengan persetujuan dari Irish sendiri Malik bisa pulang tanpa harus lebih lama meladeni dua wanita menyebalkan itu. Sepertinya sekarang, Irish itu jauh lebih baik dibandingkan mereka berdua. Pikir Malik.Bandara.Kyla sudah bersiap dengan kursi rodanya. Gaun selutut yang dikenakan gadis itu terlihat feminin dengan warna peach dan putih corak bunga anggrek. Pita pink di rambut Kyla, menambah kesan imut pada gadis itu.Malik mendorong kursi roda Kyla. Melangkah pelan sambil sesekali mengecek jam tangan. Pukul 8 pagi. Itu berarti dua jam
Malik duduk di sebelah ranjang Kyla. Mengumbar senyum saat gadis itu membuka mata, tangan mungil itu mengucek mata sembari duduk. "Abang?" "Hm?" Malik tak mengalihkan pandangannya dari buku milik Kyla. Tangannya sibuk meneruskan membaca hampir di bagian pertengahan. Setelah dilihat-lihat lagi. Kini Kyla malah terlihat malu. Pipinya semerah kepiting rebus. Ditarik kasar buku itu dari tangan Malik, lalu mendekap kuat-kuat seolah akan diambil lagi oleh lelaki itu. "Jangan dilihat, Bang!" "Loh ... kenapa?" "Semua rahasia Kyla ada di sini. Jadi, jangan dipegang dan baca titik!" "Kan, abang cuma mau lihat, Kyla." Malik mencoba membujuk. Mengulurkan tangan pada gadis itu. Sedangkan Kyla tetap tidak mau memberikan buku itu, lalu memasukkan buku tadi ke bawah bantalnya. Dengan wajah cemberut, sekilas dipandangnya ke arah Malik lalu tidur berbalik memunggungi lelaki itu.
Malam hari "Tunggu saja, aku akan membuatmu kembali secepatnya ...." Tin. Suara klakson mobil membuat sosok dengan penutup kepala hoodie dengan masker hitam itu menggeser tempatnya dengan hati-hati lalu menunduk, bersembunyi di balik tembok agar tak terlihat. Untungnya ia sudah masuk ke dalam pagar secara diam-diam sejak tadi. Matanya masih sibuk memperhatikan bayangan seorang gadis dari balik gorden. Sudah cukup lama ia mengawasinya. Mendengar suara pagar yang terbuka, secepat kilat langkahnya berlari ke tempat rerumputan lebat. Dengan napas memburu dan kaki yang gemetaran. Dipilihnya untuk duduk sembari memerhatikan terlebih dahulu. Aman atau tidak. Dan benar saja, dari arah pagar matanya menangkap sosok seorang wanita dan seorang bocah. Mereka akan masuk ke dalam rumah itu. Matanya membulat tak percaya. Sepertinya ia mengenal mereka. *** Nada mondar-mandir di sisi ranja
Malik mengetuk pintu di hadapannya. Ruangan dokter yang menangani Kyla selama di sini. Rencananya, pria itu ingin mengajak Kyla berjalan-jalan di luar, mungkin sekedar lihat-lihat suasana kota ini dan juga membeli hadiah untuk gadis itu. Untuk itu Malik menanyakan pada sang dokter untuk meminta izin pada dokter membawa Kyla berjalan-jalan keluar sebentar. Pintu diketuk tiga kali. Suara dari dalam menyahut, menyuruh Malik masuk. Diputarnya knop pintu, lalu wajah pria bertubuh gemuk dengan kacamata bertengger di hidungnya itu tersenyum ramah. "Pak Malik, senang melihatmu lagi!" Pria itu berujar dalam bahasa inggris, tangannya masih sibuk mengetik di laptop. Sedang senyumnya merekah sehingga membuat keriput di wajahnya terlihat. Malik menutup kembali pintu, berjalan mendekat ke meja kerja pria itu lalu menarik kursi untuk duduk. "Saya juga," balas Malik. Matanya memperhatika
"Irish! Sudah hampir setengah jam kamu di dalam sana. Buka pintunya sekarang! Tak ada jawaban. Masih seperti setengah jam yang lalu, hening sekali seperti tidak ada aktivitas. "Irish, kuhitung sampai tiga. Kalau kamu tidak membukanya akan kudobrak sekarang juga!" Tetap saja, tak ada jawaban. Sarah menggigit bibir bawah, antara kesal dan khawatir. "Satu ... dua ... tiga ....!" Sarah menghantam tubuhnya pada toilet di hadapannya. Sekali, pintu masih masih terkunci, dua kali tetap saja terkunci. Lalu yang ketiga. Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan Irish yang sedang berdiri di sana. Tertunduk lesu dengan wajah yang muram. Rambut dan pakaiannya terlihat berantakan. Seperti kena embusan angin yang begitu kencang. Habis apa anak ini di dalam kamar mandi lama sekali? Ada yang tidak beres dengannya. Pikir Sarah. Sarah mendorong pintu agar lebih terbuka lebar. Adiknya kelihatan seperti mayat hidup. Wajahnya pucat, dan sa