Pukul empat sore Mas Dika benar sudah pulang, dia langsung membuat kopi dan menyambar cemilan yang ada di meja makan. Aku ingin bertanya hal apa yang membuatnya pulang secepat itu, tetapi dia bilang tidak ingin ditanya apa pun dulu.
Mereka mungkin menganggap aku tidak penting sampai seperti ada rahasia yang disembunyikan. Mereka semua bertindak tanpa aku ketahui apalagi melibatkan untuk ikut mengambil peran. Semuanya penuh sandiwara.
"Mereka datang!" tukas Mas Dika tanpa menatapku.
"Siapa, Mas?"
Tidak ada jawaban, aku langsung mengekor di belakang Mas Dika yang sedang membuka pintu. Rupanya mereka berdua. Baru saja hendak ke kamar, tangan dicekal kuat.
Mas Dika menyeret tangan ini dan membuatku duduk di sampingnya. Dia seperti ingin melindungi. Aku hanya diam, tidak ingin pula menatap salah satu dari keduanya. Skenario Tuhan memang tidak bisa kita tebak, kesedihan berganti bahagia dan kini ketegangan.
"Minta maaf sama Yumna!" titah Mas
"Selama ini kamu mandang rendah aku karena dianggap orang ketiga antara Mas Ilham dan Yumna padahal kamu sadar gak sih kalau kamu itu sudah bersikap munafik!" cerca Nurul, matanya merah. Tidak jarang ketika kita sudah berserah diri, merelakan segalanya, justru di sanalah keajaiban datang dengan tiba-tiba. Meskipun pada kenyataannya pasrah itu tidak semudah membalikkan tangan, tetap harus belajar karena seperti inilah hakikat kehidupan sesungguhnya. Masalah datang untuk membuat kita dewasa. "Tidak usah membela diri, Nurul. Selama ini kamu salah menilaiku dan membuka semua kedokmu. Bahkan sebelum aku mengajakmu bersahabat, bukankah sudah lebih dulu bersikap munafik?" "Apa maksudmu, Amel?" Mas Ilham turut membuka suara. Amel tersenyum sambil mengotak-atik ponselnya, lalu menunjukkan sebuah video. "Video itu aku rekam ketika bersama Yumna dan dia tidak tahu itu. Kamu sendiri bisa melihat Nurul yang melepas jilbab, kan? Dia bersama seorang lelaki dan bukan hanya sekal–" "Cukup!" potong
"Ibu ini memang suka ngerjain anak sendiri. Lihat, Yumna sudah baper padahal cuma bercanda!" tegur ayah membuat senyumku pudar."Tunggu! M-maksud Ayah apa?""Ibumu bercanda, Nduk. Tadi itu Gus Qabil datang bertamu saja, terus bertanya tentang duduk masalah yang kamu alami."Mas Dika terbahak mendengar penuturan ayah. Bibir manyun lima senti karena kecewa, sementara ibu tetap diam seakan tidak ada yang terjadi. Aku merutuki diri sendiri yang mudah dikerjain.Siapa yang tidak bahagia jika dilamar pemuda seperti Gus Qabil. Walaupun sudah duda, tetap saja keren. Menikah dengan pemuda salih nan gagah adalah impian setiap perempuan beragama. Namun, sepertinya hanya sebatas angan."Makanya, jangan ngarep! Gus Qabil gak mungkin suka sama kamu, Yum!" tukas Mas Dika, kemudian kembali melanjutkan tawa."Sudah-sudah, lebih baik sekarang kita semua tidur atau besok akan kesiangan." Kini ibu mulai membuka suara.Aku beranjak masuk kamar. Setelah me
"Ada apa, Amel?" tanyaku setengah berbisik ketika kami berada di kamar yang sudah terkunci.Amel diam, berulang kali dia menarik napas panjang dan mengembuskan secara perlahan. Aku jadi semakin khawatir merasa ada sesuatu yang terjadi, terlebih ketika mengingat mimpi tadi malam.Bahkan hingga satu menit berlalu, Amel masih mengatup bibir rapat. Matanya terus menatapku seperti mencari jawaban. Aku tidak suka seperti ini karena jantung tidak berhenti berdegup kencang."Amel, ada apa? Terjadi sesuatu?" tanyaku tidak sabar."Aku pikir masalah sudah selesai, Yum," lirih Amel setelah beberapa saat."Maksudnya masalah apa? Aku tidak mengerti."Perempuan berjilbab biru itu mendesah pelan, aku tahu sekarang kalau ada beban yang sedang dibawanya. Seseorang yang memakai ekspresi itu merasa dadanya seperti dihantam batu besar. Aku tahu karena sudah berulang kali merasakan.Tangannya terlihat gemetar, aku semakin tidak sabar. Kenapa Amel mengulur
"Mel, bangun!" Aku menggoyang-goyangkan tubuh Amel. "Kenapa?" "Ada pesan dari Mas Ilham." Tanpa kata, Amel gegas bangun dan menyambar ponselku. Dia membaca tanpa suara. Air mukanya jelas terkejut. Aku saja sampai shock beberapa detik. "Mas Ilham mengaku kalau yang membajak akun itu adiknya sendiri?" "Lah iya, itu dia tulis sendiri." Amel membaca ulang pesan Mas Ilham, kali ini suaranya terdengar walau pelan. "Yumna, maaf karena aku baru mengirim pesan ini padamu. Sebenarnya yang membajak akun kamu itu adik aku sendiri si Latifah. Dia diajak Nurul dengan janji bakal dibeliin hp baru. Maaf banget, apa kamu marah?" Jelas aku marah karena merusak harga diriku apalagi sampai melibatkan Gus Qabil. Aku yakin Nurul sengaja karena jengkel pada beliau pasal kemarin. Dendam yang terus tumbuh dalam hati memang membinasakan. Amel berdiri dengan berkacak pinggang, dia memaksaku untuk mendatangi Nurul langsung. Memang tebakan kami sebelumnya benar, tetapi aku tidak ingin melabrak karena hanya
Beruntung kami tidak menabrak langsung karena Amel menjatuhkan motornya. Hanya luka sedikit, tidak sampai berdarah. Aku lega, kemudian membantu Amel berdiri."Kamu baik-baik saja, Mel?" tanyaku khawatir."Tidak. Aku tidak baik-baik saja melihat pelipismu berdarah begitu."Aku memegang pelipis dan ada jejak darah di telapak tangan. Amel masih belum kuat berdiri hanya bisa duduk di pinggir jalan, mungkin ada sakit yang tidak bisa ditahannya. Aku memahami.Sembilan menit berlalu, ada mobil putih berhenti di samping kami. Seseorang ke luar dari kursi depan dengan sedikit menundukkan kepala. Dia memakai sarung hitam bermotif, baju kemko dan pecih putih."Kalian baik-baik saja?""Tadi kami hampir menabrak mobil, Gus," jawabku menatap Gus Hanan."Innalillāhi, kalau begitu ikut mobil kami saja, Mbak. Pelipismu juga ada lecet begitu.""Terimakasih, Gus, tapi kami baik-baik saja." Amel ikut menjawab ketika aku menoleh padanya.Tid
"Gak bilang apa-apa, cuma ngetik bacot pakai kapital semua.""Pantas saja!"Saat merasa cukup baikan, Amel pamit pulang. Aku mencegah memintanya istirahat dulu sampai Mas Dika pulang, dia menolak. Entah, sekarang Amel seperti menghindari masku."Kalau begitu aku yang antar! Nanti dijemput Mas Dika sepulang kerja," tawarku lagi.Amel tetap kekeh dengan penolakannya. Aku tidak bisa berbuat banyak selain hanya mengangguk pasrah. Sejujurnya hati merasa tidak tenang kalau Amel pulang sendirian, tetapi dia sangat keras kepala.Lihat saja, dia sudah berada di motornya. Pandai sekali mengambil kesempatan di saat tidak ada ibu di rumah. Amel pulang dengan senyum manisnya. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran perempuan itu.***Saat makan siang bersama ibu, ponsel di kamar berdering. Aku gegas menyudahi makan dan melangkah cepat. Takut-takut terjadi sesuatu. Gelas yang sejak tadi aku bawa tanpa sadar jatuh ke lantai hingga pecah berk
"Hidup tidak selalu sesuai rencana karena ada Tuhan yang paling berkuasa. Namun, aku tidak ingin lagi berputus asa atau mencoba jalan yang salah karena pada hikatnya kita akan mempertanggungjawabkan setiap perbuatan." —Yumna Alishba Nazafarin. *** Kabar Amel masih belum ada, begitu juga dengan Mas Dika. Aku bisa merasakan bagaimana khawatirnya masku itu. Ya, semua karena cinta jadi pasti tidak akan kembali atau bisa tidur tenang jika belum menemukan sosok yang dicarinya. Bukan hanya itu, kehadiran Gus Hanan dan buku yang diserahkan pada ibu turut menambah pikiran. Pasalnya sejak menerima buku itu, ibu masih mengurung dalam kamar. Aku tahu beliau sedang membaca semua isinya. Sebuah amanah agar tidak memberitahu yang lain menjadikan ibu pelit berbagi. Aku penasaran dengan dua kakak beradik itu. Apa yang terjadi sampai menyerahkan buku segala? Bersamaan pula dengan hilangnya Amel. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal karena belum bisa memecah teka-teki. Ponsel masih hening, tidak ad
Mas Dika mengantarku pulang ketika mendengar Mama Amel menyampaikan maksud anak sambungnya. Aku tahu ada rasa tidak enak di raut wajahnya. Mau bagaimana lagi karena orang sakit memang harus dituruti.Aku seperti musafir yang mengembara tanpa tujuan. Teman di rumah sakit dan tidak mau dijenguk, masa libur beribadah belum usai, pun masa mengaji di Ustaz Hasan belum dimulai. Ke mana kaki melangkah seharusnya sementara selain Amel, aku tidak punya teman."Turun, mas mau ke toko dulu, kerja lembur malam ini karena izin tadi."Aku turun dari motor tanpa merespons Mas Dika. Hati terasa hampa bahkan hampir saja muntah karena kepala pusing. Bagaimana jadinya jika Amel tidak mau bertemu dalam kurun waktu panjang? Dulu banyak kesibukan karena masih mahasiswi, setelah Mas Ilham datang menghancurkan segalanya aku jadi seperti pengangguran banyak acara.Patutkah menyalahkan Mas Ilham atas keputusan yang aku buat dahulu? Apakah penyesalan ini akan mendapat sesuatu yang