Felix Natajaya, seorang putra pengusaha terkenal yang hidupnya cuma buat foya-foya saja. Mengencani banyak wanita dan sering terlibat masalah dengan beberapa geng anak nakal di ibu kota.
Setiap hari kegiatannya hanya berisi hal-hal tidak berfaedah semacam nongkrong di pinggir jalan bersama anak-anak tongkrongannya.Felix sudah lulus SMA setahun yang lalu, tetapi ia lebih memilih tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal tersebut membuat Papanya geram.Ferdinand--Papa Felix, sudah kehabisan akal untuk membimbing anaknya itu. Setiap cara yang ia coba selalu mental dan tidak mempan untuk mengancam Felix.Ferdinand pernah mengancam Felix kalau ia akan menyita semua fasilitas yang ia berikan, mulai dari kartu kredit, mobil dan motor kesayangannya, tetapi hal itu tidak berpengaruh sama sekali. Felix bahkan mengancam balik Papanya, kalau Ferdinand sampai melakukan hal tersebut, Felix akan nekat merampok. Akhirnya Ferdinand pasrah, ia tak mungkin membiarkan anak satu-satunya itu merampok. Felix itu nekat, bisa dipastikan kalau itu bukan hanya ancaman semata seandainya Ferdinand tetap bersikeras.Dulu Felix tidak seperti ini. Terakhir kali yang Ferdinand ingat, Felix adalah anak baik yang penurut sebelum kematian ibunya--Marissa."Sekarang apa lagi ini?" kata Ferdinand sambil menatap Felix geram. Ia menyodorkan tagihan kartu kredit yang nominalnya tidak sedikit.Demi Tuhan, Ferdinand tidak mengerti, kenapa Felix bisa menghabiskan uang sebanyak itu dalam waktu sebulan. Sangat banyak dan tidak masuk akal kalau dihabiskan untuk keperluan biasa."Kamu enggak kecanduan obat-obatan terlarang, kan? Kalau sampai Kamu nyentuh barang haram itu, papa pasung Kamu, Felix," gerutu Ferdinand. Ia sebenarnya tidak terlalu perhitungan kalau masalah uang, tetapi setidaknya harus jelas ke mana dan untuk apa uang itu digunakan."Enggak lah, gini-gini Felix masih sayang nyawa dan tubuh. Masa iya ganteng gini malah kecanduan obat, kan enggak keren," jawab Felix santai, ia suka sekali dengan ekspresi geram Papanya."Bagus kalau Kamu paham, sekarang gimana Kamu jelasin ini?" kata Ferdinand sambil menunjuk sekali lagi kertas tagihan itu. "Kasih Papa penjelasan yang masuk akal," lanjutnya."Kenapa, sih, timbang segitu aja dipermasalahin. Felix kan, anak Papa, wajar dong kalau ngabisin duit Papa," kata Felix membela diri. "Lagian Papa enggak mungkin bangkrut karena uang segitu. Kerja aja lagi rajin-rajin," lanjut Felix dengan ekspresi wajah tak berdosanya.Ferdinand yang mendengar jawaban anaknya itu mengela napas kasar. "Kamu pikir cari duit segitu, gampang? Itu seratus juta, loh, yang Kamu habisin dalam sebulan. Otak Kamu ada di mana?" ujar Felix geram."Di dalem sini, nih, masa Papa enggak tau. Ciri-ciri orang enggak pernah belajar biologi, nih," ujar Felix sambil menunjuk kepalanya."Iya di sana, tapi otak Kamu rada-rada longsor dan cuma dijadiin pajangan doang, makanya Kamu badung," ucap Ferdinand kemudian berbalik pergi. Ia sudah tak tahan berdebat dengan Felix. Ujung-ujungnya pasti anak itu yang menang. Ferdinand tak bisa marah pada putranya, karena hanya Felix keluarganya yang tersisa."Gen dari Papa, nih," jawab Felix saat mendengar Ferdinand mengatakan otaknya rada-rada longsor."Papa dulu enggak badung kayak Kamu. Papa itu ganteng, baik dan penurut. Kalau Kamu blangsak," teriak Ferdinand yang sudah berada di lantai dua rumahnya. Lebih baik ia tidur daripada meladeni Felix.Felix yang mendengar hal tersebut tertawa, narsis sekali Papanya itu. Ngomong-ngomong tentang uang seratus juta itu, Felix sebenarnya meminjamkannya pada Etthan--teman karibnya. Entah akan digunakan untuk apa, Felix tak terlalu peduli. Toh, kalau ia bilang pada Papanya kalau Etthan yang meminjam pasti Ferdinand tak akan marah.Bicara tentang Etthan, kebetulan sore ini Felix ada janji untuk bertemu dengannya dan beberapa teman yang lain.Felix mengambil ponselnya dan mengirimi Etthan satu chat.[Jadi enggak, nih?]Satu pesan berhasil terkirim. Tak lama setelahnya, balasan diterima Felix.[Jadi, dong, di tempat biasa, ya.]Pesan balasan dari Etthan itu tak dibalas oleh Felix, ia lebih memilih bangkit dan berjalan ke kamarnya untuk bersiap-siap.***Felix sampai di tongkrongan tempat mereka janjian untuk bertemu. Tempat ini adalah warung kopi sederhana yang sering gengnya kunjungi."Oi, bos," sapa salah satu anggota geng yang melihatnya pertama kali turun dari motor dan berjalan ke arah warung.Felix tak menjawab, ia hanya mengangkat sebelah tangannya sebagai tanda menyapa. Di sana ia melihat Etthan sedang duduk sambil mengisap rokok ditemani segelas kopi."Bagi rokok lo," kata Felix sambil menepuk pundak Etthan dan duduk di sebelahnya.Etthan tak menjawab dan menyodorkan rokok untuk Felix, ia terlalu sibuk dengan rokoknya.Felix menerimanya cepat dan mulai menyulut rokok yang disodorkan Etthan sebatang. Ia juga larut dengan rokok di tangannya."Gimana perkembangan hidup lo?" tanya Etthan setelah sekian lama diam.Felix mengerutkan dahinya bingung. "Kenapa dah lo nanya kek gitu? Kayak Papa gue aja," katanya."Kali aja lo dah insaf," ujar Etthan."Pengalaman gue masih cetek, gue belum puas main-main," jawab Felix sambil terkekeh kecil. "Nanti ada saatnya gue bakal serius," lanjutnya."Belum puas mainin cewek-cewek maksud lo," tanya Etthan."Nah itu tau." Felix menjawab santai.Keduanya asik mengobrol tanpa memedulikan keadaan sekitar, tak ada yang berani menegur mereka di sini karena segan."Tapi akhir-akhir ini gue lumayan bosen pacaran sama model-model centil itu, mereka posesif sama agresif banget," curhat Felix.Memang benar, akhir-akhir ini Felix tidak lagi berminat dengan cewek-cewek kelas atas yang terlalu banyak menuntut dan bergaya hidup konsumtif."Lagian lo kenapa mau-mau aja sama mereka?" tanya Etthan. Ia bingung dengan Felix, kenapa mau-mau saja menjalin hubungan dengan model-model pencari sensasi yang ingin terkenal dengan cara instan itu."Mereka mulus, lumayan buat bikin iri ketua geng sebelah," jawab Felix. "Tapi sekarang gue bosen. Gue maunya sesuatu yang menantang." Felix berkata dengan menggebu."Serius? Gue sebenarnya ada saran, sih, tapi enggak yakin kalau lo mau," kata Etthan."Apaan?""Lo cari aja cewek dan jalin hubungan lewat aplikasi 'Kontrak Pacar', itu cukup menantang menurut gue," jawab Etthan. "Lo cuma harus cari yang cocok sesuai kriteria dan tanda tangan kontrak. Biayain semua kehidupan cewek itu selama kalian terikat kontrak," jelas Etthan."Gue enggak lagi nyari sugar baby. bisa gawat kalau Papa gue sampe tau, bisa dipasung beneran nanti gue," jawab Felix bergidik ngeri."Ini bukan hubungan kayak sugar daddy dan sugar baby kayak yang lo pikirin. Ini cuma pacaran kontrak. Lo bebas kayak orang pacaran pada umumnya, tapi di sini ada beberapa ketentuan yang enggak boleh dilanggar. Kalau ngelanggar bakal ada sanksi sesuai kesepakatan," jelas Etthan lagi."Buset, dah, hafal banget lo, Than. Tau dari siapa, sih?" tanya Felix. Ia penasaran, Etthan terlihat sangat tahu tentang aplikasi 'Kontrak Pacar' ini."Dari Om gue, biasalah dia duda dan nyari gebetan di sana. Dia sempat nawarin ke gue, tapi gue kaga tertarik. Kali aja lo yang tertarik," jawab Etthan."Gue pikir-pikir nanti, deh. Sekarang mau cabut dulu, ada urusan," kata Felix sambil bangkit dari duduknya.Etthan cuma mengangguk saja, sedangkan anak lain yang melihat Felix hendak pergi bertanya. "Mau ke mana, bos?""Gue cabut duluan. Kalian aja yang keliling malam ini. Kalau ada yang ngelunjak, mampusin aja," kata Felix sambil berlalu pergi."Siap, bos," kata anak-anak geng semangat.Felix baru saja selesai dengan urusannya, ia tadi pergi menemui Talitha, salah seorang model yang sedang menjalin hubungan bersamanya, tetapi itu beberapa saat yang lalu, karena sekarang sudah jadi mantan sepenuhnya. Yap! Benar sekali, Felix memutuskan kekasih modelnya itu. Sudah Felix bilang kan, kalu ia sedang bosan dengan model-model centil itu. Ngomong-ngomong tentang pacar, Felix teringat obrolannya dengan Etthan tadi sore terkait aplikasi Kontrak Pacar itu. Felix mulai membuka handphone-nya dan mencari aplikasi itu kemudian ia d*wnload. Saat dilihat, aplikasi itu ternyata banyak juga peminatnya, did*wnload ribuan orang, berbintang empat dengan beribu ulasan tentang aplikasi itu. Felix makin tertarik. Setelah mend*wnload, cowok jangkung itu mulai mendaftar. Di sana dikatakan kalau mendaftar, sebaiknya jangan gunakan nama asli untuk menjaga keamanan informasi pribadi. Oke, Felix menggunakan user name DaddyF sebagai ganti namanya. Kemudian tahap selanjutnya adalah mengisi data
Kemarin setelah membawa Ara dan memperkenalkannya sebagai pacar di depan semua anak geng, Felix memutuskan untuk mengantar gadis itu pulang ke kosnya. Ara menyewa salah satu kos-kosan yang terbilang sangat sederhana, penjaga kosnya juga galak dan Felix tak suka itu. Ia dilarang bertamu sampai larut malam di sana, padahal ia tak akan melakukan apa pun dengan Ara. Ia hanya masih ingin menggoda dengan membuat kesal gadis itu.Tetapi tenang saja, setelah semalaman berpikir, Felix akhirnya punya solusi untuk masalah tersebut, yaitu dengan membelikan apartemen untuk Ara supaya ia bebas untuk mengunjunginya. Satu apartemen bukan masalah yang besar baginya. Felix mulai mendial nomor Ara, kemarin mereka bertukar nomor ponsel, pada dering ketiga, telepon dari Felix diangkat. "Halo," sapa Ara di seberang sana, suaranya terdengar serak seperti baru bangun tidur. "Baru bangun?" tanya Felix heran, pasalnya ini sudah jam sepuluh pagi, kebo sekali gadis itu. "Iya, tadi malam gadang." Jawaban dari
Setelah kemarin Felix menghabiskan waktu seharian untuk membantu Ara pindahan, mereka akhirnya memutuskan menandatangani kontrak perjanjian yang sudah direvisi.Poin-poin dalam perjanjian itu mulai berlaku dan tak boleh dilanggar, kalau dilanggar akan ada hukuman yang menanti. Felix saat ini sedang berada di markas gengnya. Tempat ini adalah apartemen Etthan mulanya, tetapi karena tak lagi dipakai, mereka mengubahnya menjadi markas. Anggota geng sering kumpul di sini. "Lo ternyata seriusan sama aplikasi itu, Lix, enggak nyangka banget, mana gercep lagi," kata Etthan pada Felix yang terlihat sibuk memegang ponselnya dan senyum-senyum sendiri. "Hm." Felix hanya bergumam sebagai jawaban, ia lebih tertarik berbalas pesan dengan Ara dari pada mengobrol dengan Etthan. "Buset, dah, yang pacaran mah dunia serasa milik berdua, yang lain cuma ngontrak," ujar Etthan yang merasa diabaikan kehadirannya. "Sirik aja lo," ketus Felix. Mood-nya tiba-tiba berubah karena Ara tak bisa diajak jalan ka
Talitha mendengus kesal, ia tak suka karena ada yang mengganggu ciumannya bersama Felix, apalagi oleh seorang gadis. "Pergi!" seru Felix sekali lagi, suaranya lebih keras kali ini, tatapannya masih mengarah ke arah gadis di depannya--Ara. Talitha tersenyum senang, Felix pasti sangat menikmati ciumannya dan tak suka diganggu, makanya ia sampai semarah itu. Talitha kasihan dengan gadis yang tak ia tahu namanya itu. "Oke, aku pergi," kata Ara datar. Kalau Felix memang ingin ia pergi, maka ia akan segera pergi. Ia mulai membalikkan badannya, tetapi terhenti karena perkataan pria itu lagi. "Bukan Kamu," kata Felix cepat dan berjalan mendekap gadis itu. Bukan Ara yang ia suruh pergi, melainkan Talitha. Tatapannya memang mengarah ke Ara, tetapi ia tak bermaksud seperti itu. "Felix," raung Talitha marah melihat hal tersebut. Ia sudah senang karena mengira Felix lebih memilihnya dan mengusir gadis pengganggu itu, tetapi kenyataannya malah ia yang diusir. Awas saja nanti. "Pergi sana!" per
"Eiiittsss, jangan sentuh, jangan sentuh! Ingat, Kamu masih dalam masa hukuman, tinggal dua hari lagi," peringat gadis yang sedang asik makan di depan Felix kali ini, siapa lagi kalau bukan Ara. Felix datang dan mengunjungi Ara setiap hari ke apartemen gadis itu. Seperti hari ini, ia datang dengan membawa satu kotak pizza sebagai buah tangan. Bukannya memeluk atau mencium Felix sebagai ucapan terima kasih, Ara malahan cuma mengambil kotak pizza-nya dan menjaga jarak dari pria itu, Ia bahkan tak mau duduk terlalu dekat. Felix yang menjalani hukumannya selama lima hari ini terasa bagai di neraka. Oke, itu mungkin berlebihan, tetapi sungguh, ia dibuat tak berdaya oleh gadis manis, tetapi galak itu. Ara selalu berkeliaran di apartemen dengan celana pendek dan kaos atau kemeja kebesaran yang membuat Felix gemas setengah mati, tetapi karena hukuman sialan ini, ia tak bisa berbuat apa pun. "Kapan ini akan berakhir?" tanya Felix gusar. Ia terlihat sangat frustrasi, rasanya tak akan sanggu
"Yeay!" Ara berseru senang ketika ia sudah sampai di salah satu mall terbesar di Jakarta. Melihat hal itu, Felix yang berada di sebelah gadis itu hanya memasang senyum kecil saja. Di matanya sekarang, Ara seperti bocah umur sepuluh tahun yang baru pertama kali diajak ke luar oleh Ibunya. "Jangan jauh-jauh, nanti ilang!" perintah Felix, ia takut kalau Ara akan tersesat nantinya karena gadis itu terlalu antusias memerhatikan sekitar dan tak menghiraukan keberadaan Felix. "Aku bukan anak kecil!" Ara merengut kesal mendengar perkataan Felix yang seolah-olah mengatakan ia bisa hilang kapan saja di tempat ini. "Tingkah Kamu kayak anak kecil," kata Felix santai. Ara menghentakkan kakinya kecil, ia tambah kesal dengan perkataan Felix barusan. "Ish!" seru Ara. "Nanti kalau ilang beneran, nangis," ucap Felix, ia gemas dengan tingkah gadis di sampingnya ini. Katanya bukan anak kecil, tetapi lihat sekarang, Ara memasang tampang cemberut sambil memegang ujung baju Felix. 'Sangat menggemaska
[Lix, Lo udah putus sama Ara?] Felix yang baru sampai di rumahnya langsung membaca pesan yang dikirim Etthan. Pesan tersebut membuat dahi Felix berkerut dalam, ia tentu saja bingung, kenapa Etthan bisa menanyakan hal tersebut, padahal Felix tak ada masalah apa-apa dengan Ara, mereka baik-baik saja. Akhirnya, setelah cukup lama terdiam dan larut dalam pikirannya, Felix memutuskan untuk membalas pesan dari sahabatnya itu. [Enggak, emangnya kenapa, sih?] Tak sampai tiga menit, balasan dari Etthan segera datang. [Tadi gue ketemu Ara di jalan dan anterin dia pulang. Kata dia, Lo bukan pacarnya lagi.] Balasan tersebut membuat Felix tambah bingung, berbagai macam pertanyaan tentang kenapa Ara bisa dihantar pulang oleh Etthan merasuki pikiran Felix sekarang. "Tunggu dulu ...," gumam Felix seperti tengah mencoba mengingat sesuatu. "Sialan!" Felix mengumpat keras saat mengingat kalau dirinya meninggalkan Ara sendiri di mall, padahal ia sudah berjanji untuk menjemput gadis itu. Felix yan
"Kamu mau ketemu sama Etthan?" tanya Felix, ia sangat penasaran, tadi ia sempat menanyakan hal serupa pada Etthan tetapi tak dijawab.'Sungguh sialan!' Felix diam-diam mengumpat sahabatnya yang dengan tega membuatnya merasa penasaran, awas saja nanti. "Enggak tahu!" jawab Ara, gadis itu masih sedikit ketus saat menjawab, rupanya acara marah-marah hari ini belum berakhir. "Kok gitu, sih?" tanya Felix lagi, sungguh ia mulai kesal sekarang, ia hanya ingin tahu saja, kenapa Ara membuatnya sangat sulit. Hening, Ara kembali bungkam dan mengabaikan Felix. "Pokoknya Kamu enggak boleh ketemu Etthan!" kata Felix tegas.Mendengar kalau Ara akan menemui sahabat karibnya itu membuat Felix sedikit khawatir, alasan kekhawatirannya juga tak jelas, intinya Felix tak ingin mereka bertemu, itu saja. "Kamu sebenarnya ada masalah apa, sih?" tanya Ara ikutan kesal.Siapa yang tak kesal kalau hidupnya diatur-atur seperti itu. Ini pertama kalinya ia merasa kewalahan menghadapi partner-nya sejak terjun ke