Buru-buru Kiran memungut handphone-nya yang sedikit lagi diraih Raka. Raka bertanya kenapa Kiran menjatuhkan ponselnya dan kelihatan syok. "Bukan apa-apa." Kiran masukkan benda pipih itu ke saku celana sebelah kanan, tak lupa senyum meyakinkan. "Yang benar?" "Iya." Kiran yang mengajak ke kantin dulu dan Raka mengikutinya di pinggir. Kiran tidak ingin berpikir negatif dengan memeriksa foto tadi di kantin saat masih bersama Raka, meskipun rasa ingin tahunya membludak. Raka kembali setelah membeli minuman dingin bersoda dan bolu rasa coklat bertabur keju. "Terima kasih." Kiran menerima minumannya usai tutup botol dibuka Raka. Jangan salah paham, dari zaman SMP dia sudah act of service. "Ranu masih rapat?" "Hm. Kenapa gak suruh Ranu kemari? Kita bertiga sudah lama gak makan bersama." "Hiraukan Ranu. Aku sengaja melarangnya ikut karena ingin bicara empat mata denganmu berhubung waktunya mendukung." Kiran memerhatikan Raka tanpa kedip sehingga yang diperhatikan melihat arah lain me
Sekretaris Angga menatap layar ponselnya selagi mengikuti Vilas menghadiri meeting di Kantor Pusat Grup Hirawan. Bocornya informasi ruang kerja Pimpinan Utama dibobol oleh anonim diketahui dewan direksi dan komisaris dari artikel di jejaring sosial. Berita menyebar sangat cepat dibagikan puluhan ribu pengguna hingga masuk berita terkini pagi tadi. Angga selaku sekretarisnya mengabaikan telepon silih berganti dari orang-orang penting yang bersangkutan dengan Vilas. Kebanyakan dari mereka memprotes takut adanya kebocoran informasi penting perusahaan memberi dampak buruk. Ada hampir 20 orang hadir di pertemuan. Hampir seluruh raut khawatir dan kesal terlihat. Angga duduk di sisi Vilas yang mulai membuka rapat kali ini. "Saya meminta maaf sebesar-besarnya atas berita yang tersebar sangat cepat membuat semua orang khawatir." "Pak Vilas, apa artikel itu benar? Di kantor utama Grup Hirawan, yang keamanannya sangat sulit ditembus orang asing?" tanya Pak Adiyaksa, Direktur Manajemen Risik
Bulan sabit bersinar tengah malam, meski langit gelap terasa terang. Yang dilihat oleh gadis bernama Kiran Nawasena hanya kegelapan, bukan sinar bulan yang biasanya menarik perhatian orang. Hal itu menjelaskan dirinya.Perempuan kelahiran tahun 2002 yang kini bekerja sebagai buruh pabrik mengakui semakin dia bersinar maka kegelapan mengelilinginya.Banyak orang berbisik tentang Kiran. Percuma punya paras cantik kalau auranya suram. Penolakan berteman membuat mereka kapok dekat-dekat Kiran. Ada saja momen apes kalau berani menjahilinya.Satu-satunya cara Kiran bertahan di dunia fana ini ialah diam dan memendam segalanya seorang diri. Membiarkan awan hitam menyelimutinya supaya tidak menarik perhatian makhluk gaib.Sejak usia 4 tahun Kiran menyadari tidak semuanya manusia di alam yang ia pijaki. Mendiang ayahnya ketar-ketir berlarian mencari cara memutus kutukan Kiran.Penglihatan Kiran bukanlah anugerah. Kematian Tarendra Nawasena disebabkan karena kegagalan dalam usaha tersebut. Roh j
Selesai jogging Ria memutuskan istirahat depan rumah Kiran yang dekat dengan rute putaran.Jangan tanya Ranu, dia pamit pulang ke kos pas lewat depan gang meninggalkan mereka.Ria memegang botol mineral yang dibeli di warung depan selagi matanya berkaca-kaca teringat perkataan Ranu."Sejak kapan?" Kiran menoleh kaget. "Apanya, Mbak?" "Itu, kamu rawan kerasukan.""SD.""Sekarang gimana?""Intensitasnya jarang, tapi sesekali lepas kendali seperti kemarin."Ria melotot lebih kaget pastinya. "Maksudnya pas malam-malam di pabrik, lampu pecah itu karena— " Sungguh dia tidak bisa melanjutkan ucapannya lagi setelah melihat wajah Kiran sedekat sekarang. Mengetahui proses kerasukan Kiran amat parah sampai memecahkan lampu satu gedung artinya Ria harus waspada dengan sesuatu di balik wajah polosnya."Mbak tenang saja. Aku kerasukan terparah cuma pas bulan purnama."Intinya sering dirasuki. "Mana bisa tenang. Kamu sudah berobat ke orang pintar? Aku punya kenalan, mau coba ke sana?" Ria memegang
Alhasil habis menangis di pojokan pintu, Kiran tidak bisa tidur sama sekali. Ini yang dinamakan menenggelamkan diri ke laut. Masuk kerja malam tapi paginya jogging, siangnya nangis, sorenya bersih-bersih rumah.Lantas apa yang diharapkan dari karyawan yang mengantuk berat sedang bekerja? Target? Haha. Menahan mata supaya tidak terpejam saja memberi efek pusing, mual, dan sebagainya.Sering terjadi saat mengantuk dia dikejutkan dengan hantu seliweran. Kiran cuma berharap tidak halusinasi setelah kemarin dirasuki.Apa solusi dari mengantuk selain tidur? Kopi. Kiran berangkat 10 menit lebih awal agar sempat beli es kopi di warung pangkalan depan pabrik. Di depan gang ia bertemu Ria. Mereka sama-sama terkejut papasan tanpa janjian.Usai tersenyum awkward, Ria mengaitkan tangan kanannya ke tangan kiri Kiran. "Barengan.""Aku mau mampir beli kopi. Mbak, mau?" "Tumben. Aku sudah bawa." Ria mengangkat totebag transparan yang berisi tumbler dan bekal makan. "Kalau bilang aku bikinin sekalian
Kepala Kiran rasanya berkedut dan sakit sekujur tubuh usai terbangun di atas bed klinik. Ia pernah istirahat di sini pas nyeri haid, jadi langsung mengenali tempatnya berada."Kenapa aku di sini? Kerasukan lagi?" lirihnya turun pakai sepatu. Setelah lihat jam dinding yang terletak di atas pintu masuk menunjuk angka enam lebih lima belas menit, dirinya buru-buru berdiriRia masuk ke bangsal klinik membawakan teh hangat untuk Kiran dan melihat dia mau pergi. "Mau ke mana? Duduk dulu." "Ini pagi atau sore, Mbak?" "Kalau sore kamu bukan di sini lagi, tapi kamar mayat." Masuk akal. "Pagi ya." Kiran diajak duduk di kursi tunggu dekat meja resepsionis sambil menyeruput teh buatan Ria. Ria menyukai klinik sebab ber-AC. Tidak panas seperti di luar maupun dalam gedung pabrik. "Mau langsung pulang atau sarapan di warung dulu?" “Langsung.” Cangkir teh ia sodorkan kembali pada Ria. Pertanyaan selanjutnya, "Aku kerasukan lagi pas kerja, Mbak? Tapi seingat aku terakhir lagi ngobrol sama Mas Ranu
Ria dibuat gila mencari keberadaan Kiran. Dari bagian depan hingga belakang gedung sama sekali tak ditemukan tanda-tanda batang hidungnya. Notifikasi pesan dari grup tiap bagian muncul serentak berisi informasi karyawan dipulangkan selagi olah TKP pihak kepolisian. "Sudah ada polisi?" Lampu sirine yang berasal dari mobil polisi terlihat dari pintu yang terbuka lebar. Usai dibubarkan, rombongan karyawan pulang sambil menahan rasa penasaran siapa identitas mayat dalam tanah. Dari kumpulan polisi dan satpam yang sedang mengobrol Ria melihat Kiran dari posisinya sekarang. "Ngapain dia di sana?" Tanpa babibu dia berlari menghampiri Kiran. Plak! Ria memukul punggung orang yang dia cari satu gedung sampai ngos-ngosan. "Mbak?" Punggungnya terasa panas tiba-tiba dipukul. "Kamu dari mana saja?!" Setengah teriakan Ria mengejutkan semua pihak, termasuk Kiran. Pak Imron menunjuk Ria saat sedang memberi keterangan. "Itu saksi pertama, Pak." "Aku cari kamu dari ujung ke ujung!" Ria mengusap
Ria pun penasaran bagaimana mula cerita Ranu berbagi informasi. Seharusnya Ria bertanya hal yang sama kemarin siang, bukan menelan mentah-mentah. Jika sudah begini jadi Kiran salah paham tentang mereka. "Mas, dijawab." Ria mendesak pria itu supaya cepat beri jawaban. Pertanyaan Kiran tidaklah sulit. "Kalau saya jawab iya, kamu mau apa?" "Gimana kalian berdua bisa bertemu?" tanya Kiran. "Dulu. Udah lama sebelum orang tua saya kecelakaan." Akhirnya Ranu jujur. Ia pikir terbuka sekarang lebih baik untuk bekerja sama melenyapkan Gataka dengan menggabungkan cerita mereka. Ria sangat terkejut bahwa Gataka menewaskan keluarga Ranu. "Pasti sulit nerima takdir ya, Mas." "Itu udah gak penting sekarang. Saya sekarang fokus cari jalan ke luar. Cuma kamu yang bisa bantu saya." Kiran malah bengong diajak bicara. Ria yang sedikit-sedikit curiga Kiran kerasukan langsung mengibaskan tangannya ke wajah Kiran. "Heh, Kiran!