Kicauan burung meriuhkan suasana halaman rumah Gayatri. Gayatri yang tengah menyapu halaman tiba-tiba dilempari batu oleh seseorang hingga mengenai kepalanya. Untungnya, batu tersebut ukurannya tidak terlalu besar.
"Ya Allah ... pagi-pagi udah adaorang iseng." Gayatri berucap sendiri seraya mengelus dadanya.
Gayatri tahu, jika masih banyak orang yang tidak menyukainya di sini. Padahal, mereka tahu, jika Gayatri terlahir di desa ini. Namun, begitulah manusia. Sekali seseorang melakukan dosa, selamanya akan dianggap sebagai pendosa.
Deru mobil terdengar memasuki halaman. Debu-debu saling beterbangan saat mobil itu melintas. Raut wajah Gayatri berubah ceria. Itu adalah mobil Bu Nurma. Wanita yang selalu dipikirkannya beberapa hari ini.
"Assalamualaikum, Nak,"salam Bu Nurma. Gayatri tercengang saat melihat Bu Nur
Seorang gadis tengah berdiri dibelakang jendela sambil tersenyum bahagia. Kebaya putih dan jarik motif SidaMukti melekat di tubuhnya. Motif Sida Mukti merupakan motif yang seringdigunakan saat acara akad nikah. Arti kata Mukti sendiri adalah kehidupansejahtera dan makmur, sehingga diharapkan agar kedua mempelai mempunyai sifatmengerti dan pemurah terhadap sesama."Nduk, sudah siap?" Bu Tini tersenyum seraya menepuk pundakGayatri."Insyaallah," sahut Gayatri.Bu Tini terlihat menyeka sudutmatanya yang berlinang. Menyaksikan putri semata wayangnya memakai kebayaberbalut jilbab syari dan dihiasi roncean bunga melati. Hatinya seolah-olahmendayu melihat penampilan Gayatri. Sebentar lagi, kewajibannya sebagai seorangibu akan berpindah tempat ke tangan Ustaz Haikal."Doakan aku, ya, Bu. Semoga akubisa menjadi istri salihah untuk Ustaz Haikal," ujar Gayatri."Ibu selalu mendoakan yangterbaik untukmu, Nak." Bu Tini memeluk putrinya dengan penuh sayang."Nak, ayo, kita berangkatsekarang!" ajak
Kegembiraan tak dapat disembunyikanoleh Gayatri. Wajah semringahyang ia tampilkan membuat wajahnya semakin ayu. Binar-binar bahagia terpancarjelas di wajahnya."Assalamualaikum," salamHaji Yusuf yang baru datang."Waalaikumsalam," sahutsemua penghuni rumah serempak."Silakan duduk, Abah. Dudukdikursi saja biar nanti tidak susah berdiri," tutur Gayatri."Sudah, Nak. Di bawah saja biarsama seperti yang lain. Lagi pula,abah masih kuat," sahut Haji Yusuf."Monggo, Ji. Sambildinikmati," ujar Pak Sugeng seraya menunjuk ke arah hidangan."Iya. Terima kasih. Lebih baiksekarang acaranya kita mulai, ya. Kasihan Nak Haikal sudah tidak sabar,"celetuk Haji Yusuf yang membuat Ustaz Haikal merasa malu."Silakan, Nak Haikal. Sampaikanmaksud dan tujuanmu datang ke mari bersama keluargamu." Haji Yusuf mempersilakanUstaz Haikal berucap.Ustaz Haikal menarik napas panjangdan mengeluarkannya melalui mulut. "Bismillahirrahmanirrahim. Bapak Sugengsekeluarga yang diridhoi Allah. Saya, Muhammad Haikal Firmans
Sang buana disambut oleh hangatnyasinar mentari. Kabar tentang Gayatri yang akan menikah telah menyebar keseluruh desa. Pelbagai komentar positif dan negatif turut mengiringi beredarnyakabar itu.Biarlah bagaimana orang menilai. Lagipun Gayatri tidak ingin merusak suasana hati. Setiap penilaian orang itu benar.Tergantung dari sisi mana mereka menilai.Kini, di rumah Gayatri sedang banyakorang yang membantu ibudan bapaknya. Ada yang membuat kue, rawon, dan soto. Sudah menjadi tradisi didesa Gayatri untuk saling membantu saat akan ada acara sakral, seperti lamaranataupun mantu.Raut kebahagian terpancar dari wajahBu Tini. Begitu pula Pak Sugeng yang tak henti melepas pandangan dari istrinyaitu. Ah, semoga saja kelak Gayatri juga sepertimereka, batin Gayatri."Ustaz Haikal mungkin sudah adadi desa ini," gumam Gayatri sambil memainkan ponsel. Selama ini, Gayatridan Ustaz Haikal tak pernah bertukar kabar. Mungkin, karena rasa malu yangmelanda."Assalamualaikum." Suarasalam terdengar di am
Kokok ayam saling bersahutan,diiringi mentari yang terbit dari ufuk timur. Gayatri masih betah di peraduan.Entah mengapa rasanya sulit untuk keluar dan menemui bapaknya.Asap mengepul membuat udara seantreorumah berbau sangit. Ternyata, di dapur Bu Tini sudah bergelut dengan api, air,dan makanan. Seulas senyum tersungging dari bibir Pak Sugeng saat melihatnya.Ingatan masa lalu saat masih bersama istrinya kembali melintas dalam kepalanya."Tini?" panggil Pak Sugeng.Bu Tini yang tengah sibuk memasakmenoleh kala melihat suaminya berdiri di pintu dapur. "Iya, ada apa?"tanya Bu Tini."Gayatri belum bangun, ya?"tanya Pak Sugeng."Biasanya dia sudah bangun.Mungkin masih betah di kamar," sahut Bu Tini menoleh sebentar, lantaskembali melanjutkan pekerjaannya.Pak Sugeng mengerti. Mungkin Gayatrimasih belum bisa menerima dirinya. Memang tak mudah memaafkan kesalahannya yangbegitu besar. Pak Sugeng pun memutuskan untuk menemui Gayatri di kamarnya.Tok! Tok! Tok!Gayatri menoleh ke arah pintu. T
Suara melengking Gayatri membuatsemua penghuni rumah menoleh. Tuan Darwin tersenyum miring menyaksikan Gayatriyang berlari ke arahnya dengan wajah merah padam.Plak!Tamparan keras berhasil mendarat dipipi Tuan Darwin. Bu Tini terkejut saat menyaksikan reaksi Gayatri. SedangkanPak Sugeng bingung dengan apa yang tengah terjadi."Sebaiknya Anda pergi darisini!" usir Gayatri sambil menunjuk Tuan Darwin."Cih! Dasar pelacur!" decihTuan Darwin.Seketika wajah Pak Sugeng pucat pasi.Sebuah peristiwa pertemuan dengan Gayatri melintas di dalam otaknya. Sakingbanyaknya wanita yang pernah ia jemput untuk menemui Tuan Darwin sehingga lupabahwa ia juga pernah menjemput Gayatri dan mengantarkannya ke hotel.Ya ... Pak Sugeng ingat bahwa Gayatriadalah wanita yang sempat menangis di dalam mobil yang ia sopiri waktu itu.Mengingat itu, Pak Sugeng luruh ke lantai merutuki kebodohannya. Bagaimanamungkin ia lupa dengan anaknya sendiri? Bagaimana mungkin, ia tak mengenalianak kandungnya sendiri?Bu Tini ya
Senyum merekah tergambar jelas diwajah Pak Sugeng. Dengan hati-hati, ia melangkah keluar kamar menemui Tuannya.Tuan Darwin berjanji bahwa ia akan mengantarkannya pulang ke rumah."Pak Sugeng!" panggil Tuan Darwin yang berada di ruang tengah.Gegas Pak Sugeng menemui tuannya. "Iya, Tuan?" sahutPak Sugeng."Ini untukmu. Terima kasih ataspengabdianmu bekerja padaku selama hampir sepuluh tahun ini." Tuan Darwinmengulurkan amplop cokelatbesar yang sangat tebal."Ta—tapi, ini terlalu banyak, Tuan."Pak Sugeng menerima amplop tersebut dengan bergetar. Selama ini, ia tak pernahmemegang secara langsung uang sebanyak ini."Sudahlah, itu masih tidaksebanding dengan pengorbananmu," timpal Tuan Sugeng."Kau bisa membangun rumahmu didesa dan hidup lebih baik," imbuh Tuan Darwin.Pak Sugeng tak mampu menahan airmata. Rasa haru menyeruak dalam hatinya. Dengan uang itu, Pak Sugeng akanmembangun rumah impian bersama keluarganya.Pak Sugeng masih ingat saat duluhidup bersama istrinya. Rumah yang ia tempa