“It doesn’t matter if you are ready or not,” his whispering breath sent tremors through my body. “You are already mine.” A spark of pleasure tingled my pussy as his hands held my waist tightly to himself. I was falling for him faster than I had imagined. A one night stand a stranger who ended up being her uncle, after being betrayed by her boyfriend, Ryan, got Cassie trapped in a world full of tension and lust. Every odd was against her but she couldn’t resist falling for her uncle, whose charms he couldn’t resist. Nicholas will not stop until he gets what he wants, his ex-wife is also pushing hard to regain what she had lost, and Ryan is lurking in the corner to destroy everything, Cassie finds herself trapped in a game of power, desire, and obsession. Will she fight for the man she’s falling for? Or will her past mistake cost her everything?
View MoreNuansa klasik menyambutku kala memasuki kafe. Sebuah kafe sederhana yang terletak di tengah-tengah kota dengan menu yang disajikan yaitu aneka kopi dan makanan ringan. Beberapa pelayan mulai bersiap untuk membuka kafe. Kafe ini sangat diminati oleh orang-orang yang akan pergi ke kantor maupun mahasiswa yang akan berangkat ke kampus. Kafe buka saat jarum jam tepat di angka 9.
Semua pelayan seketika menghentikan aktivitasnya lalu membungkuk hormat kearahku, “selamat pagi, nona,” sapa mereka bersamaan.
Aku tersenyum, “pagi.”
Inilah kehidupanku, sebagai pemilik kafe yang memegang kendali 10 karyawan. Sudah tiga tahun, aku menjalani rutinitas ini dan kafe ini semakin lama semakin banyak dikenal. Tugasku disini hanyalah memeriksa pengeluaran, memantau, dan sisanya bersantai. Aku berniat untuk mencari rekan untuk membantuku mengembangkan kafe ini. Namun mendapatkannya tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.
Kudorong perlahan pintu di depanku lalu masuk ke dalam ruangan pribadiku. Ruangan yang hanya berukuran 5x5 meter, namun dengan perabotan yang lengkap. Kusandarkan punggungku di sofa sembari menghela napas pelan. Keputusanku untuk berangkat pagi merupakan sebuah kesalahan, karena biasanya aku akan datang pukul 10 siang. Sekali lagi, aku menghela napas merutuki kebodohanku sendiri.
Sebuah ketukan pintu membuatku segera memperbaiki dudukku lalu menatap kearah pintu, “masuk.”
Pintu terbuka perlahan dengan seorang laki-laki berpakaian karyawan memasuki ruangan. Dia membungkuk kearahku lalu berucap, “maaf mengganggu, Nona Carissa.”
Aku tersenyum lalu menggeleng, “tidak sama sekali. Ada perlu apa, Beni?”
Laki-laki itu menegakkan tubuhnya sembari menatapku, “maaf, Nona. Persediaan kopi kita mulai menipis dan kemarin saya lupa untuk mampir di agen penjual kopi. Saya benar-benar minta maaf, Nona. K-Kalau boleh, saya akan keluar untuk membeli kopi?”
Aku berpikir sejenak lalu mengangguk. Aku mengambil beberapa lembar uang lalu berdiri, “dimana posisimu bekerja?”
“Sebagai kasir, Nona.”
“Baiklah. Pergilah, dan beli apa yang kurang di kafe. Aku akan menggantikan posisimu untuk hari ini,” kuserahkan uang di tanganku padanya.
Beni menatapku terkejut sekaligus tidak percaya, “N-Nona akan ikut bekerja?”
Aku mengangguk mantap. Tidak ada salahnya ikut bekerja, daripada aku terus diam di dalam ruanganku.
Beni menggelengkan kepala, tidak menyetujui usulanku, “tidak perlu, Nona. Biar yang lain saja yang menggantikan saya. Nona tetap di ruangan Anda.”
Aku tersenyum dan berusaha untuk menyakinkannya, “bukan masalah bagiku. Kamu bisa pergi dengan tenang, aku akan menjaga kasirnya. Apa uangnya cukup?” aku kembali menyodorkan uang di tanganku padanya, memastikan jumlah yang cukup.
Beni menerimanya lalu mengangguk, “kalau begitu, saya permisi, Nona.” Beni berjalan keluar ruangan dan menghilang di balik pintu.
Aku pun segera keluar ruangan. Kafe baru saja di buka, dan sudah ada beberapa orang yang sudah duduk di kursi sembari menunggu pesanan. Tugasku adalah melayani pembayaran, maka dari itu aku harus berdiri di di belakang meja kasir. Di posisi saat ini, aku bisa melihat karyawanku yang bekerja.
Seorang pelayan berjalan mendekat kearahku dengan tatapan tidak percaya, “Nona? Kenapa Anda ada disini?”
Aku tersenyum, “Beni sedang membeli kopi jadi aku menempati posisinya. Hanya untuk hari ini.”
“Tapi, Nona. Yang lain juga bisa menggantikannya. Anda tidak perlu susah payah untuk menggantikan Beni,” balasnya.
Aku tersenyum sembari mengibaskan tanganku, “bukan masalah, Mako. Aku juga ingin melihat bagaimana karyawanku bekerja.”
Mako hanya bisa mengangguk pasrah mendengar jawaban dariku, “jangan memaksakan diri, nona. Jika lelah, anda bisa istirahat.”
Aku tersenyum dan mengangguk, “Mako, boleh aku minta segelas kopi?”
Mako tersenyum lebar, “dengan senang hati, Nona. Akan segera saya siapkan.” Mako membungkuk lalu berjalan cepat menuju ke dapur.
Pelanggan masih belum ada yang berdiri di depan kasir, dengan kata lain aku bisa bersantai sembari menunggu kopiku dihidangkan. Belum sampai sepenuhnya aku duduk, seorang pembeli sudah berdiri di depan kasir. Aku pun mau tidak mau segera berdiri dan melayaninya, “totalnya 30 ribu.”
Pelanggan tersebut menyerahkan uang yang dipegangnya padaku.
Tanganku menerimanya lalu tersenyum, “terima kasih atas kunjungan Anda.”
Pelanggan tersebut tersenyum lalu melambaikan tangan sembari melangkah keluar kafe. Pelanggan keluar kafe bersamaan dengan seorang laki-laki berjas rapi memasuki kafe dan mencari tempat duduk.
Mataku mengikuti arah langkahnya hingga dia duduk di dekat jendela. Entah kenapa aku tidak asing dengan laki-laki itu. Tapi aku tidak bisa mengingat kapan bertemu dengan laki-laki itu.
“Silahkan nona,” secangkir kopi di hidangkan di depanku membuat lamunanku seketika buyar.
Kepalaku menoleh kearah Mako yang berdiri tidak jauh dariku, “terima kasih, Mako.”
Mako mengangguk lalu kembali ke posisinya bekerja.
Aroma khas kopi hitam memenuhi rongga hidungku, membuatku tertarik untuk mencicipinya. Menikmati kopi di pagi hari memang yang paling nikmat karena sejak dulu aku sudah menyukainya. Hingga sekarang sudah banyak aneka rasa dan jenis kopi yang kucicipi, beberapa kuhidangkan dalam menu kafe ini.
“Carissa!” sebuah pekik dari seorang wanita membuatku seketika menoleh kearah pintu masuk.
Wanita itu berdiri di depanku sembari tersenyum lebar, “hai, Carissa.”
Aku ikut tersenyum, “ada apa, Widi?” dia adalah sepupuku yang masih kuliah dan sebentar lagi akan lulus.
Widi mendekat padaku lalu menarik kursi dan duduk. Senyumnya masih sama seperti sebelumnya, “aku hanya berkunjung.”
Aku pun duduk di kursi yang tersisa menatap kearahnya, “tidak ada kelas hari ini?”
Widi mengalihkan wajahnya dengan sorot mata malas, “nanti siang dan aku malas masuk.”
Aku terkekeh pelan lalu berdiri saat tahu seorang pelanggan berjalan kearah kasir, “aku juga tidak pernah melihatmu semangat masuk kuliah.” Tanganku segera menjumlah pesanan pelanggan di depanku lalu menyebutkan nominal yang harus dibayar oleh pelanggan tersebut. Aku mengulas senyum kearahnya sembari menerima uang darinya, “terima kasih atas kunjungan anda.”
Pelanggan tersebut tersenyum lalu keluar kafe.
Widi yang duduk di depanku tiba-tiba berdiri, “aku akan mencari sarapan.”
Aku melirik sekilas kearahnya namun segera kembali ke tugasku, “pastikan kamu membayarnya.” Seorang laki-laki dengan suit abu-abu berdiri di depanku, dengan sigap aku segera melayaninya dan menyebutkan nominal yang harus dibayarnya.
Laki-laki itu mengeluarkan kartu kredit dan menyerahkannya padaku. Aku pun menerimanya lalu menggeseknya di alat khusus dan segera memintanya untuk mengisikan password. Setelah selesai, kartu yang kupegang segera kukembalikan pada pemiliknya, “terima kasih atas kunjungan anda, tuan.”
Laki-laki di depanku menerima kembali kartunya lalu tersenyum, “dengan senang hati, aku akan berkunjung setiap hari, Nona.”
Aku terdiam dengan senyum tertahan. Aku tidak tahu bagaimana membalas ucapannya dan pada akhirnya kalimat yang keluar dari mulutku adalah terima kasih.
Laki-laki di depanku tertawa pelan melihat reaksiku. Hal itu justru membuatku harus menahan malu di depannya. “Sampai jumpa lagi, Nona,” laki-laki itu melangkah keluar kafe dan menghilang dari pandanganku.
Segera kutarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Aku benar-benar malu saat ini. Ingin rasanya aku tenggelam saja ke laut. Sial! Bagaimana jika aku bertemu dengannya lagi? Aku harus bersikap bagaimana? Astaga!
“Kenapa, Carissa?” suara dari Widi seketika menarikku kembali ke dunia nyata.
Aku segera menoleh kearahnya lalu tersenyum, “bukan apa-apa.”
Widi hanya mengangguk lalu duduk di kursinya, mulai menikmati sarapan di tangannya. Aku pun segera kembali fokus pada tugasku. Satu pelanggan, dua pelanggan hingga tiga pelanggan bergantian berdiri di depanku.
“Carissa,” Widi membuka suara setelah sarapannya habis.
Aku hanya bisa meliriknya sekilas karena harus fokus pada pelanggan di depanku, “apa? Aku sedang sibuk. Kita bisa bicara nanti.”
“Tidak, bukan itu. Lihat laki-laki yang duduk di dekat jendela itu,” ucap Widi.
Begitu pelanggan terakhir keluar kafe, pandanganku beralih mengikuti apa yang Widi katakan. Seorang laki-laki yang kuperhatikan sebelumnya saat ini tengah menatapku sembari menengguk secangkir kopi.
Sudah kuduga, aku mengenalnya tapi siapa? batinku.
Tiba-tiba Widi berdiri membuatku terkejut, “gawat! Aku harus pergi sekarang!” Widi cepat-cepat meletakkan piring yang dibawanya lalu berjalan cepat menjauh dari kasir, “aku pergi dulu, Carissa.”
Aku hanya berdehem dan menatapnya yang sudah keluar dari kafe. Beberapa pengunjung kafe pun terlihat memperhatikan tingkah Widi.
“Maaf menunggu lama, nona,” sebuah intruksi dari Beni membuatku mengalihkan pandangan menatapnya.
Aku tersenyum lalu berganti posisi dengan Beni. Kubawa piring kotor ke dapur lalu kembali ke meja kasir untuk mengambil cangkir kopiku. Setelah itu, aku duduk di salah satu kursi yang masih kosong.
Mako kembali menghampiriku dan menawarkan makanan, “mau makan, Nona?”
Aku mengangguk, “Omurice dan sandwich.”
Mako mengangguk lalu segera menuju ke dapur. Kepergian Mako justru mendatangkan seseorang yang lain yaitu laki-laki yang sedari tadi menatap kearahku. Laki-laki itu berdiri di dekatku sembari tersenyum.
“Boleh aku duduk?” tanyanya.
Mataku beralih menatapnya dan pandangan kami pun bertemu. Sekarang aku ingat, siapa laki-laki di depanku saat ini. Aku tersenyum lalu mengangguk, “silakan.”
Laki-laki itu pun dengan sigap segera menarik kursi lalu duduk di depanku, “lama tidak bertemu, Carissa. Sepertinya kabarmu baik-baik saja.”
Aku tertawa pelan, tanpa mengalihkan pandanganku darinya, “lama tidak bertemu, Ren. Sudah tiga tahun kita tidak bertemu.”
Ren ikut tersenyum, “padahal tadi, kamu menatapku seakan tidak mengenalku.”
Mendengar ucapannya spontan membuatku mengalihkan wajah, menghindari tatapannya, “tidak ... bukan seperti itu maksudku. Aku mengingatmu tapi tidak dengan namamu.”
Ren hanya menanggapi ucapanku dengan senyuman, “aku punya sesuatu untukmu.”
Kualihkan wajahku kembali menatap Ren yang tengah merogoh sakunya mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Dia menyodorkan benda di tangannya padaku, “ini untukmu.” Sebuah kalung dengan liontin berwarna perak. Kalung yang sangat indah bagiku.
Tanganku dengan ragu menerimanya, “kamu yakin memberikannya padaku?” tatapanku lurus menatapnya dengan perasaan tidak percaya.
Namun, Ren justu tersenyum lembut kearahku, “sebagai tanda pertemuan kita. Kamu tidak suka?”
Ren menatapku dengan tatapan memelas membuatku menggeleng cepat dan menggenggam kalung di telapak tanganku, “suka. Sangat suka. Terima kasih.” Aku berniat menyimpan kalung di tanganku namun Ren lebih dulu menahan tanganku.
“Kenapa tidak langsung dipakai?” tanyanya.
Ah, dia ada benarnya. Kulepas pengait kalung lalu memakai kalung tersebut pada leherku. Kurapikan kembali rambutku lalu menatapnya, “sudah, kan?”
Ren mengacungkan jempolnya, “sip. Sangat cocok. Carissa, apa akhir pekan ini kamu senggang?”
Aku berniat langsung menjawab namun Mako lebih dulu datang mengantarkan makanan pesananku. Aku berterimakasih padanya lalu kembali menatap Ren, “aku tidak memiliki jadwal apapun. Memangnya kenapa?”
“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Aku akan menjemputmu pukul 9 pagi,” Ren berucap seakan aku menyetujui ajakannya. Tiba-tiba dia berdiri lalu tersenyum kearahku, “sudah waktunya menghadiri pertemuan. Sampai jumpa akhir pekan, Carissa.” Dia melambaikan tangannya lalu menuju ke kasir.
Aku hanya duduk dan mengikuti pergerakannya yang berjalan keluar kafe. Aku bahkan tidak sempat menyela ucapannya. Mau bagaimana lagi, lagipula tidak ada hal yang ingin kulakukan di akhir pekan.
Pukul 5 sore. Tidak ada lagi pelanggan yang duduk di dalam kafe. Para karyawan pun mulai bersih-bersih. Setelah itu, mereka pun meninggalkan kafe, pulang ke rumah masing-masing. Begitu juga denganku yang saat ini sudah mengendarai motor menuju ke rumah.
Menikmati indahnya langit sore memang pas dengan mengendari motor berkecepatan sedang. Sore ini pun aku memilih mengendarai motorku melewati jalanan perkebunan. Jarak rumahku dapat ditempuh selama tiga puluh menit. Aku terlahir di keluarga sederhana, bisa menjalankan bisnis hingga saat ini adalah hal yang luar biasa. Aku adalah anak satu-satunya di keluargaku. Orang tuaku bekerja sebagai petani dan mereka tinggal di desa.
Kubelokkan motorku memasuki pelataran rumah. Mataku menatap heran sepasang sepatu yang berada di teras rumah. Sepatu yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Ayah tidak memiliki sepatu seperti ini. Lalu siapa? Apa di dalam sedang ada tamu?
Kulepas sepatuku lalu menaruhnya di rak. Perlahan aku masuk namun belum sepenuhnya berada di dalam rumah, aku dikejutkan dengan seorang laki-laki dengan suit abu-abu yang saat ini tengah duduk di sofa ruang tamu.
Dia pun terlihat terkejut saat melihat kearahku, namun detik berikutnya dia tersenyum, “hai. Kita bertemu lagi.”
.
.
Genevieve’s POVIt had been too easy. Men always were. You just had to know which strings to pull and which old ghosts to resurrect. Nicholas was no exception, even if he pretended otherwise.The trick wasn’t in winning him back. I’d lost him long ago when my own games turned on me. The trick now was in making sure no one else had him either. Especially not the one he held so dear, Cassie Montgomery.The wide-eyed little girl who reminded me so much of Victoria, especially in her university days. She was grown and daring enough to think she could stand where I once stood. I’d heard the whispers, seen the way Nicholas softened around her. And when I finally confirmed it? Oh, it was delicious to the point where I was so jealous, I wouldn’t lie.But she was still young, fragile, and breakable. So, breaking her would hurt Nicholas more than anything I could ever do directly, which makes her the perfect weapon for my plan.That’s why I called Ryan.He’d been floundering since Cassie cut hi
I had never been good at hiding secrets, but this one sat inside me like a ticking bomb because I dared not spill it except I wanted my head rolling on the floor. Every morning I woke up, my hand went to my stomach as if to remind myself that it wasn’t a nightmare, that there really was a tiny life growing there. Nicholas’s life. My life and our life.And yet, the last thing I could do was tell my mother. Not when she still moved around the house like a typhoon waiting to take over the entire city.She had stopped ignoring me, but we weren’t us again. Her words came in clipped instructions, her gestures deliberate. The love was there with the tiny gestures like dinner cooked, laundry folded, and the occasional blanket tugged over me when I fell asleep on the couch, but it was silent love, unspoken, and very fragile.One afternoon, she appeared at the dining table where I was pushing food around my plate.“Cassandra,” she said, her voice firm but not unkind. She would only call me that
|Cassie|I sat slumped against the front door, knees drawn to my chest, and stared at the passcode panel like it was some kind of wall between my life and everything I wanted. The silence of the house pressed in on me. My mother’s absence felt like abandonment, like the floor had been pulled out from under me.I pulled my phone out with shaking hands and turned it on. The first thing I did was call Nicholas. He would know what to do. He always knew what to do when my world tilted but the call didn’t go through. I tried again and again. By the fourth attempt, the message popped up in cold, merciless letters: Service Unavailable.It hit me then. She had cut me off. My mother had cut off my voice and connection to him. She had disabled the service for my number and I have been left stranded. Even the Wi-Fi password for the house had also been changed, so there was no way I could connect to the internet.The tears came hot and fast, blinding me. I pressed my forehead against my knees, clu
The silence in the house was loud as we stared at each other. Mum’s face had gone pale with fury after Ryan’s poison had spilled into her ears.“Mum, please…” I followed her across the living room, hands trembling, and my voice cracking. “I’m sorry. I should have told you sooner, but.. but…”She stopped at my statement. She stood there stiff, her shoulders rising and falling like she could barely breathe. But she didn’t turn to face me even as I talked. She didn’t say a word with all that I had said.“Mum,” I tried again, tears burning my throat. “I didn’t betray you. I like him. I was the one that liked him first. Long before I even admitted it to myself, I couldn’t stop thinking about him and I found peace with him. You’ve seen me; you know how happy I’ve been in these past few months, you even confirmed it; do you remember? Doesn’t that matter anymore? Don’t you want me to be happy like I have been?”Her silence sliced sharper than any words could; she didn’t have any response to
The entire place looked like a storm had passed through it. My room was a mess of tissues, pillows tossed everywhere, and the curtains half-drawn like even they were tired of me. I didn’t know how long I’d been crying before the banging on my door came.“Cassie! Open up, it’s us!” Chloe’s voice rang through the door. It sounded sharp and urgent.Mia’s was a bit softer, before a trembling one followed. “Don’t make us kick this thing down. Open this door while we are being nice and calm with you.”As expected, I knew they would show up anytime soon, but I wasn’t sure if their visit was based on Nicholas’s call or me not answering their texts or picking up their calls before my phone went dead, and I didn’t care about charging it.I dragged myself up, my body leaden and face blotchy from tears. When I unlocked the door, they both rushed in like they’d been holding their breath, expecting me to open the door.“Oh, Cassie…” Chloe’s arms were around me in a second, her palm pressing the bac
The moment she said, “I don’t love you,” I felt the heart that was previously happy inside of me crack.It didn’t give a dramatic sound like the shatter of glass, but the quiet, brutal kind of break you only feel in your chest when the air suddenly refuses to move through your lungs due to external forces caused by an unpalatable situation.She’d stepped out of the car like she was fleeing a fire, her small frame stiff with resolve, and her bag clutched like a shield to her chest tightly. And me? I just sat there, watching her silhouette vanish behind the gate, her shadow swallowed by the streetlamp glow. I couldn’t do anything at that moment.I didn’t move, even when the engine hummed beneath me and the street emptiness and silence engulfed my brain and thoughts. I gripped the steering wheel, my knuckles white, and my chest tight from insufficient air.Cassie had broken up with me.No, not just broken up. She’d gutted me with words I knew weren’t true. I’d seen it in her eyes, in the
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments