Aku memegang tangan Mas Doni. “Itu tidak akan terjadi, Mas. Kita akan selalu di sampingnya untuk melindungi dan menjaga gadis itu.
Pria itu mengangguk. Usai berbicara, Mas Doni pamit menuju kamar Mira. Dia ingin melihat gadis belia yang selama ini hidupnya begitu menderita.Aku mengikut Mas Doni. Rencana kalau gadis itu masih terjaga, aku hendak membicarakan rencana kami juga. Namun, ketika kami tiba di kamarnya, Mira sudah tertidur.Kuurungkan niat masuk ke dalam kamar gadis itu. Aku hanya berdiri di ambang pintu untuk melihat Mas Doni yang sedang membenarkan letak selimut gadis itu. Setelahnya Mas Doni membisikan kata maaf padanya. Sebelum keluar kamar, lembut pria itu mengecup dahi putrinya. Pria itu menitikkan air mata.***“Mir, kamu baru bangun. Sini.” Aku melambaikan gadis yang baru saja masuk ke dapur.Gadis belia itu, pagi tadi kembali tidur usai melaksanakan salat Subuh. Aku sengaja membiarkannya karena konAku begitu syok melihat video yang diperlihatkan oleh Mira. Sebuah adegan tak senonoh antara Jodi dan Mira. Aku segera minta Mira untuk tak lagi memperlihatkan video yang hanya memperlihatkan wajah Mira.Dalam video ada banyak komentar. Kebanyakan komentar tersebut menghujat Mira. Ada yang berkomentar dengan mengatakan Mira itu pelacur, wanita murahan dan masih banyak lagi.Mira terus saja menangis. Gadis itu pasti merasa malu atas video tadi. Apalagi kebanyakan yang berkomentar adalah teman-temannya. “Bu, aku harus bagaimana? Aku benar-benar malu.” Dia menangis tergugu.Semenjak kejadian tempo hari di hotel, membuat Mira memblokir segala akses tentang Jodi. Bukan hanya Wa yang diblokirnya. Pun demikian dengan akun sosmed lainnya. Video tersebut diunggah pada aplikasi berwarna merah muda dengan logo kamera. Video itu diunggah pria tersebut delapan jam lalu. Benar saja, ketika Mira juga membuka blokir nomornya. Banyak laporan pesan dari nomor Jodi. Tak hanya satu atau dua pesan. Ada
“Bu, bagaimana ini. Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu?” Gadis itu menangis.“Ibu ada uang. Kita bisa gunakan uang itu.”“Bagaimana, Sayang?” Jodi kembali bertanya. Rasanya benar-benar jijik mendengarnya.“Baiklah, tapi beri aku waktu untuk mengumpulkan uang tersebut,” jawab Mira. Gadis itu awalnya bilang, sayang kalau uangnya diberikan pada Jodi cuma-cuma. Aku meyakinkan Mira, uang masih bisa dicari.“Aku akan memberi waktu hingga besok.” Pria itu benar-benar serakah. Selama ini dia juga sudah menghasilkan uang dari pria yang mendekati Mira. “Aku minta waktu seminggu.” Entah apa yang dipikirkan gadis belia itu, hingga dia meminta waktu selama itu.“Baiklah.” Akhirnya Jodi setuju.“Aku akan menyiapkan uangnya, tapi kamu harus menghapus video itu terlebih dahulu,” pinta Mira. “Ok, tapi ada syarat lain yang harus kamu lakukan kalau kamu ingin aku menghapus video itu sebelum aku mendapat uangnya.” Entah apa lagi yang diinginkan pria itu.“Baiklah. Apa yang kamu inginkan?”“
Sedih. Bimbang. Mungkin saja keputusanku tepat untuk menemui Jodi agar keluargaku tak diganggunya. Usai kudengar mobil Bu Santi pergi, aku merebahkan diri. Menenggelamkan kepala di bantal. Menangis aku pikir dapat melegakan pikiran Nyatanya tidak.Penyesalan demi penyesalan memenuhi pikiranku. Andai aku tak sebodoh itu. Pasti nasibku tak seperti ini. Aku memang bodoh membenci orang tua sendiri. Anak mana yang tak kecewa ketika hadirnya tak di harapkan. Bahkan, dalam administrasi nama ayah dan ibu, bukanlah orang tua yang sebenarnya. Melainkan nenek dan kakek.Ketika mengetahui semua tentang jadi diri dari nenek buyut yang selama ini merawatku, hatiku hancur. Kenapa aku tinggal bersama nenek buyut, alasannya untuk menemani mereka. Memang, mereka membiayai segala kebutuhanku. Akan tetapi, bukan itu yang aku inginkan. Aku ingin seperti anak lain yang hidup berlimpah kasih sayang.Bandel, tak bersemangat untuk hidup membuatku sering bolos sekolah. Hingga pada
“Mira.” Aku merasakan seseorang menyentuhku. Hangat. Mungkin aku sedang bermimpi.“Mira.” Lagi aku merasakannya. Suara itu, mirip suara Bu Santi. Aku membuka mata. Benar. Wanita itu ternyata menyusulku bersama Papa.“Bu.” Gegas aku bangun.Aku tak tahu kapan mereka tiba. Pasti mereka masuk menggunakan kunci lainnya yang ada pada mereka.Beberapa saat kami terdiam di ruang keluarga. Kami bertiga duduk di atas karpet yang sempat aku bersihkan sebelum kami duduki.Dari raut wajah Papa, aku melihat amarah. Pria itu pasti kecewa dengan apa yang terjadi padaku.“Mira, seharusnya kamu bijak dalam memutuskan segala sesuatu. Kamu itu sudah besar.” Papa berbicara sedikit keras padaku. Aku hanya diam mendengarkannya.“Bagaimana dengan Papa. Apakah dulu Papa bisa mengambil keputusan sendiri? Tidak kan?” Apa bedanya aku dengan papa. Papa dulu juga melakukan kesalahan. Bedanya aku perempuan
“Mas, Mira kok belum kelihatan , ya? Apa dia belum bangun, ya?” tanyaku pada Mas Doni yang sedang melipat sajadah yang baru saja dikenakannya.Kami baru saja menunaikan salat Subuh berjamaah, di musala kecil yang ada di dalam rumah. Tadi aku sempat ingin membangunkan Mira, tapi kuurungkan niat karena kasihan dan memberinya sedikit waktu lagi. Namun, hingga aku. Selesai menunaikan kewajiban salat, dia belum bangun.“Coba kamu bangunkan, San?”“Apa dia sudah salat di kamarnya, ya?” tanyaku lagi.“Lebih baik kamu cek dia, San. Khawatirnya dia belum bangun.”Segera aku melepas mukena yang masih menempel di tubuh dan menggantungnya. Bergegas aku menuju ke kamar Mira.“Mir.”Beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi tak ada sahutan. Padahal Azan Subuh sudah tak lagi terdengar. Matahari sebentar lagi, muncul. Tanda waktu subuh sudah hampir berakhir.Rencana, usai salat kami ak
“Mas.” Melihatku Mas Doni menghentikan aktivitas meneleponnya. Aku memperlihatkan pesan Mira padanya.Pria itu lantas kembali menghubungi teman-temannya. Dia juga memintaku untuk mengambil tangkapan layar pesan Mira dan mengirimkannya padanya.“Kamu jangan khawatir, San. Sebentar lagi, polisi akan datang. Aku akan ikut mereka mencari Mira,” terang Mas Doni.Rasanya tak tenang kalau hanya menunggu di rumah. Aku meminta Mas Doni untuk membawaku serta.“San, kamu di rumah saja. Ini terlalu berbahaya.” Dia takut aku akan terluka. Apalagi Mira bersama Jodi. Pria itu pasti akan berbuat apa saja untuk mendapatkan yang diinginkannya.“Mas, aku mohon. Izinkan aku ikut.”“Tidak usah. Kamu tunggu saja di rumah.” Mas Doni memegang kedua bahuku.Aku meyakinkan pria itu kalau aku pasti akan baik-baik saja. Karena ada dia di sampingku.“Mas, di rumah sendiri, menunggu k
Mas Doni menggandengku. Sedangkan polisi yang bersama kami memimpin jalan.Tak berselang lama, sebuah rumah kayu terlibat. Seorang polisi menunggu kami. Bergegas kami menghampirinya.Dua orang polisi lainnya berpencar ke arah samping dan belakang. Sedangkan polisi yang bersama kami ke sisi lainnya.Aku dan Mas Doni menunggu bersama polisi bernama Mahendra di depan rumah itu.Argh!Teriakan Mira. Mendengarnya seketika tubuhku terasa lemas. Aku takut terjadi sesuatu pada gadis itu.“Mas.” Aku menatap Mas Doni yang berdiri di sampingku. Menggenggam erat lengannya.“Jangan takut, Mira pasti akan baik-baik saja.” Entah bagaimana pria itu bisa setenang itu. Padahal Mira adalah darah dagingnya.“San, kamu tunggu di sini, aku akan melihat ke sana.” Mas Doni melepas genggaman tanganku. Pria itu masuk ke rumah.Dari luar aku bisa mendengar beberapa kali suara tembakan terdengar. Bukan hanya itu, beberapa kali jug
“Bu.” Wanita yang tak ada hubungan darah denganku itu, rela mengorbankan nyawanya untukku.Aku tak menyangka, orang yang kukira hadirnya akan merusak kebahagiaanku itu justru menjadi orang yang melindungi dan menyayangku. Padahal aku pertama melihatnya saja sudah begitu benci. Aku juga sering mengungkapkan kebencianku lewat kata-kata.Saat ini melihatnya terkapar dengan bersarang di punggungnya.“Tolong!”Papa berlari ke arah kami dengan seorang polisi. Melihat Ibu yang matanya terpejam, Papa terlihat ketakutan. Pria itu langsung menggendongnya.Dengan air mata berurai, aku mengejar mereka. Saat ini yang aku rasakan bukan sakit karena badan yang penuh lebam dan lecet. Akan tetapi, sedih melihat orang yang sempat aku benci ternyata justru melindungi.“Pa, Mira ikut,” tanyaku ragu ketika Papa hendak masuk ke mobil yang di dalamnya ada Bu Santi.“Masuklah Mira.” Aku masuk ke jok sama dengan I