Perempuan dalam balutan gaun berwarna merah maroon itu mengerjap tak kalah bingung. Serena memutar cepat otaknya untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia memang selalu berharap untuk bisa bertemu dengan Daffin namun bukan berarti harus bertemu di tempat seperti ini juga. Rambut gadis itu yang biasanya berwarna-warni kini sudah berganti warna menjadi cokelat tua.
"Gue tahu lo terkejut karena sama gue juga. Tapi apa lo harus seterkejut itu?"
"Melihat lo di sini itu lebih nggak mungkin daripada melihat alien di luar angkasa." Desis Daffin.
Serena mendelik. "Dan lo sendiri ngapain di sini?"
"She is my cousin."
“Siapa?” Kernyit Serena menoleh ke kanan dan kiri masih tidak bisa paham.
“The bride, of course.”
Mata Serena membulat, tangannya refleks menutup mulutnya yang terbuka. Ini fakta paling mengejutkan yang pernah ia dengar selama hidup. Daffin dan Cath adalah saudara sepupu? Apa semesta sedang bercanda?
"So, what you doing here?" Tanya Daffin balik sambil mempersiapkan diri, kira-kira seberapa mengejutkan jawaban yang akan ia dengar.
"Em, numpang makan?" Kekeh Serena sambil menunjuk meja yang penuh makanan.
Belum sempat Daffin membuka mulut, ada tangan lain yang menepuk pundaknya. Serena hanya bisa menipiskan bibir melihat siapa orang itu.
"Hey, I can not find you anywhere!" Suara Brian excited.
Serena teringat akan Daffin yang pernah bilang jika ia punya hubungan baik dengan Brian. Tapi ia tidak menyangka jika hubungan baik yang dimaksud adalah hubungan yang sebaik ini. Brian, laki-laki yang memiliki wajah khas Eropa itu adalah senior mereka yang sudah menjadi alumni tahun lalu sekaligus kakak sepupu Serena.
"Oh, wow. Siapa ini? Long time no see!" Katanya tak kalah heboh ketika menyadari kehadiran Serena di sana.
Serena hanya menjukan cengiran dan membuka tangan menyambut ketika Brian maju untuk memeluknya. Kerutan pada dahi Daffin makin terlihat banyak.
Daffin maju bertanya pada Brian. "Who is she?"
"Serena. Bukannya kita satu kampus?"
Daffin menghela napas sabar. "Then, why is she here?" Suaranya tertahan.
Brian melemparkan tatapan the-fuck-are-you-talking-about. Daffin menggeleng benar-benar tak mengerti.
"Lo beneran enggak tahu?"
"I fucking really am!" Jawab Daffin frustasi.
Brian menoleh pada Serena. "And you neither?"
Serena mengangguk. "Barusan dia mengaku sebagai sepupunya Catherine."
"Memang tingginya nilai akademik seseorang itu nggak bisa menjamin apa pun." Kata Brian sambil menatap dua orang itu bergantian.
Serena melengos sedangkan Daffin tak membalas hanya menatap Brian dengan tuntutan. Yang ditatap malah ikut melemparkan pandangan pada gadis di sana. "Why don't you introduce yourself, sist?"
Serena diam sesaat sebelum mengatakan dengan berat hati. "Gue adiknya Galendra."
"YOU ARE? HOW CAN—" Daffin kehilangan kata-kata.
Sedangkan Brian tertawa puas. "This is the funny thing of the year. I swear!"
Daffin terlalu shock untuk bisa meluncurkan tawa. Situasi sekarang ini lebih dari sekedar lucu baginya. Masuk akal semua kelakuan-kelakuan seenak jidat Serena di hadapan Galendra selama ini. Jelas saja gadis itu bisa berlaku se-maunya di kampus.
"Okay, gue pikir kalian butuh untuk bicara berdua. Enjoy your time!" Putus Brian sambil menepuk punggung Daffin kemudian memeluk Serena sekilas sebelum pergi menjauh dari sana.
Daffin hanya mengangguk samar, pikirannya langsung tertuju pada nama lengkap Serena. Sejak dulu memang Serena tidak pernah memperkenalkan diri dengan menyebut nama panjangnya. Setiap menulis juga selalu ia singkat. Serena J. W. Kebanyakan orang tidak terlalu memusingkan hal tersebut. Daffin juga mengira itu hanyalah sebuah kebiasaan. Memang pada kenyataannya itu adalah kebiasaan Serena sejak kecil.
"Did you hide your identity or what?" Daffin masih belum bisa menghilangkan rasa terkejutnya.
Serena mendengus pelan entah kenapa merasa tersindir. "I'm not. Orang-orang aja yang nggak tahu."
"Jadi W di nama lo itu untuk Wijaya?"
Serena mengangguk.
"How about J?"
"Nama nyokap gue." Jawab Serena singkat.
"Well, kalau dilihat-lihat kalian memang mirip." Ucapan Daffin mengacu pada Serena dan Galendra.
Serena nyaris tertawa. Mirip? Ia dengan Galendra? Memang benar. Hampir semua orang bilang mereka berdua itu mirip sekali meski terpaut jarak beberapa tahun. Ingin mencari peralihan, pandangan Serena jatuh pada jas Daffin yang membentuk corak akibat dari cocktail yang tumpah tadi. Serena sedikit kurang suka ketika membicarakan keluarganya.
"Baju lo kotor."
“Gara-gara siapa, huh?”
Serena melemparkan tatapan malas. “Perlu gue belikan yang baru?”
“Ini cuman ada satu, tahu.”
Serena sedikit mengernyit tapi kemudian mengangguk paham. “Ah, Catherine.”
Istrinya Galendra itu adalah seorang fashion designer yang sudah brand sendiri dan cukup menjadi favorit dikalangannya. Gaun yang Serena kenakan juga dibuat oleh Catherine khusus untuknya malam ini.
Daffin menunduk melihat kondisi jasnya. Sambil menghela napas ia memilih untuk menanggalkan jas itu menyisakan kemeja putih yang menyetak jelas tubuh bidangnya.
"Untuk seseorang yang menghabiskan waktunya cuma di depan komputer, badan lo bagus." Komentar Serena bermaksud memuji.
"I knew."
Serena memutar matanya malas. "Etikanya orang yang dipuji itu memuji balik. Gue cantik kan hari ini? I mean gue memang tiap hari cantik, tapi hari ini kelihatan beda dong pastinya."
Daffin melengos. "Lo tetap mau se-flirty ini walau tahu gue sepupunya Cath?"
"Malah bagus dong, nggak perlu payah-payah merayu ibu mertua. Setelah Cath diambil orang, nyokap lo kan jadi nggak punya teman perempuan lagi."
Daffin justru mengernyit. Darimana pula Serena tahu kalau orang tua-nya sangat-sangat terobsesi dengan yang namanya anak perempuan. Berubung mereka hanya punya Daffin, ibunda Daffin jadi sangat menyayangi sepupu perempuannya itu. Tapi Daffin tak membahasnya lebih lanjut. Ia memilih untuk menaruh gelas cocktail-nya pada nampan pelayan yang kebetulan lewat tak jauh dari tempat mereka berdiri. Namun laki-laki itu tak kembali membuat Serena merengut.
"Mau kemana?!" Sergah Serena sambil mengejar.
Daffin menoleh malas. "Toilet. Mau ikut?"
Sedetik kemudian langsung cowok itu menyesali perkataannya. Tentu saja Serena mengangguk dengan semangat. Ia bahkan sudah meliingkarkan lengannya erat pada lengan Daffin.
Cowok itu mendelik sambil berusaha membebaskan tangannya. "Enggak! Enggak ada! Lepas, nggak?"
"Sampai lepas gue cium lo di sini." Ancam Serena tak mau kalah.
Daffin melotot namun tetap mengerahkan tenaganya. Serena juga masih bertahan sekuat tenaga namun akhirnya memilih untuk melepaskan karena beberapa tamu undangan lain yang mulai menaruh perhatian pada mereka. Serena menarik senyum profesionalnya sembari mengangguk meyakinkan bahwa ia dan Daffin baik-baik saja. Daffin tentu saja menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri dari sana.
Serena mengumpat tanpa suara.
***
Galendra menghela napas lelah sambil memperhatikan Serena yang sedang berbincang dengan beberapa tamu undangan. Ia bergidik membayang bagaimana ibunya bisa membuat—menyeret—gadis itu untuk datang ke pesta pernikahannya hari ini. Lengkap dengan rambutnya yang sudah kembali normal, tidak lagi berwarna-warni.
"Aku enggak tahu ternyata Serena memang secantik itu." Ucap Cath di sebelahnya.
Galendra menoleh sekilas dan hanya bergumam mengiyakan. Cath memang tidak pernah bertemu dengan Serena sebelumnya. Galendra sadar, bersamaan dengan situasinya dan Serena yang tak kunjung membaik, Galendra masih belum berani untuk meninggalkan dua perempuan itu tanpa pengawasan darinya. Karena masalahnya dengan Serena tidaklah se-sederhana itu.
"She looks like you. Her smile is just you." Kata Cath lagi.
"Oh, ya?" Galendra menahan dengusan sinisnya setiap kali ada yang mengatakan seberapa miripnya ia dengan sang adik. Baginya situasi seperti itu lebih dari sekedar lucu.
Catherine mengangguk. Dalam hati benar-benar berharap ia bisa menjadi lebih dekat dengan Serena. Mungkin tidak sekarang karena setahunya Serena sedang sibuk mengurusi kuliahnya yang sudah mendekati semester akhir.
"Mereka teman-temanmu?" Tunjuk Galendra pada salah satu meja.
Cath menunjukan cengirannya. "Aku mau ke sana. Boleh?"
Galendra tersenyum lembut dan mengelus pucuk kepala perempuan itu. "Take your time, babe."
Cath mengecup sekilas bibir Galendra sebelum menjinjing sedikit gaunnya dan pergi menghampiri meja yang tadi mereka bicarakan.
"Ugh, such a romantic." Gumam Serena yang sedari tadi melihat scene dua sejoli itu dari tempatnya berdiri. Gadis itu memutuskan untuk menghampiri Galendra. Sebagai kakak-adik tentu saja mereka harus terlihat akrab bukan?
"Apa aku harus mengucapkan selamat atas pernikahanmu?" Ucap Serena memecah suasana diantara mereka.
Galendra menoleh padanya. "Mami datang ke apartement kamu?"
Serena melengos. Mengingat bagaimana tadi ibunya datang dan menggeretnya begitu saja ke salon. Melemparkan gaun padanya serta tidak lupa untuk menyuruhnya menyunggingkan senyum dan menyapa para tamu yang hadir.
"Dibanding itu. Kenapa kamu enggak bilang?"
"Bukannya sudah kusuruh kamu pulang, ya?"
Serena menggeleng. "Bukan. Kenapa enggak bilang kalau Daffin itu sepupunya Cath?"
Galendra tertawa. Tadi Brian sudah menceritakan padanya tentang bagaimana ekspresi dua orang itu ketika mengetahui identitas satu sama lain.
"Kupikir kamu sengaja mendekati Daffin karena tahu dia adalah sepupunya Cath." Jawab Galendra.
“Ketika aku bahkan enggak tahu wajah seorang Catherine?”
“Ketika aku bahkan enggak diberi kesempatan untuk berbicara denganmu?” Sindir Galendra balik.
Serena mendelik sebal. “Kan kamu yang mulai membahas ini dan itu sehingga merusak suasana.”
Galendra hanya mengedikan bahu tak acuh. Ia sedang tidak berminat untuk berdebat di hari sucinya ini. Laki-laki itu memilih untuk memperhatikan perempuan yang kini sudah resmi menjadi miliknya di sana.
"However, she looks gorgeous." Komentar Serena yang juga ikut memperhatikan Cath. Kemudian ia menoleh pada Galendra. "Selamat atas pernikahan kalian, meskipun aku nggak berharap kamu untuk bahagia, tapi kamu harus membahagiakan Cath." Lanjutnya kemudian melenggang pergi.
Sesak sekali.
"Lo enggak benar-benar suka sama si cupu kan? Selera lo jadi rendah sekarang?"Serena melirik sinis laki-laki di depannya itu. Kepalanya sudah sakit karena kuis dadakan dari kelas barusan dan sekarang malah dihadang oleh manusia yang sangat terobsesi dengannya ini. Ingin sekali Serena melempar bola bowling ke kepala cowok itu. Ia pikir setelah setahun tak melihatnya laki-laki itu akan sembuh."Kalau Daffin rendah, lo apa? Barang gagal produksi?"Adit membuang napas marah. "Apa sih yang lo lihat dari Daffin?"Kucing depan kampus pun tahu bagaimana lebih-nya seorang Daffin dari cowok yang otaknya hanya sebatas tali bra perempuan. Serena jadi tertawa sarkas."Jauh banget kali kalau dibandingkan sama lo." Jawab Serena enteng.Adit melotot tak terima. "Setahun enggak kuliah otak lo jadi korslet, yah? Lo bandingin gue sama cowok kuper itu?"Serena setuju Daffin memang sangat-sangat kurang pergaulan. Itulah alasan satu-satunya yang paling ma
Serena berani jamin pada awalnya ia tak berniat sama sekali untuk mengajak Daffin datang ke tempatnya. Ajakan kencan yang ia lontarkan di kelas tadi juga hanya iseng semata. Apalagi perihal mengerjakan tugas, tak ada keinginan sama sekali.Tapi melihat bagaimana Daffin merespon membuat gadis itu jadi merasa tertantang. Tanpa berpikir atau ragu sedikit pun laki-laki itu terang-terangan menolak. Serena sudah menebak memang, ia pasti akan ditolak. Tapi ia tak menyangka kalau ditolak itu sebegini menggores harga dirinya.Maka di sinilah mereka sekarang. Di ruang tamu unit apartement Serena. Unit mewah dengan biaya sewa yang jelas tak ingin Daffin kira-kira.Bukannya Daffin memiliki pikiran yang agak melesat jauh ke mana-mana, tapi laki-laki itu telah mempersiapkan mental dan rohani-nya sejak pertama kali melangkahkan kaki dari pintu masuk. Karena jelas ini adalah Serena. Perempuan yang hobi menyerang kapan saja. Tapi diluar perkiraan, Serena tidak melakukan apa pun.
"Want to beg, eh?" Menelan umpatannya dalam hati, Serena berusaha mengatur dirinya sendiri. Gadis itu tidak menyukai situasi saat ini. Seharusnya ia yang memegang kendali. Harusnya ia yang membuat laki-laki itu frustasi. Kenapa justru sebaliknya? Tidak, Serena menolak untuk disebut frustasi. Gadis itu hanya sedang merutuki tubuhnya sendiri karena terlalu peka terhadap sentuhan. Sejak Serena mengambil gerakan untuk duduk di atasnya, Daffin sudah meraung dalam hati. Laki-laki itu memang tidak terlihat mengumbar apa-apa namun percayalah Daffin tetap seorang pria normal. Perempuan secantik Serena kini berada di pangkuannya, pria normal mana yang bisa baik-baik saja? Yang jelas bukan Daffin. Walau selalu menolak, faktanya laki-laki itu tidak pernah benar-benar menolak ketika Serena menyentuhnya. Daffin tahu dengan pasti menghadapi Serena itu harus dengan tenang mengikuti arus yang sengaja gadis itu buat. Dengan begitu maka kendali pun berhasil didapatkan. Tak mempedulikan cengkraman Sere
Bukan Daffin yang tidak bisa menahan umpatannya ketika bel apartement Serena berbunyi. Mau tak mau melepaskan rengkuhannya dari gadis itu dan meraup wajahnya agar bisa berpikir jernih. Serena berdiri di sana dengan muka tertekuk namun dalam hati merasa bersyukur karena ada yang mengganggu sehingga ia dan Daffin masih bisa bertahan di zona aman. "Lo berantakan," Daffin mengingatkan. Serena menunduk melihat kondisinya sendiri. Kemeja yang ia kenakan bagian kerahnya sudah terbuka hingga memperlihatkan bahunya. Serena membenarkan sedikit bentuk kemejanya dan menyisir helaian rambutnya dengan tangan. Kemudian langsung menuju pintu untuk melihat siapa yang berkunjung ke rumahnya. Melalui intercome, perempuan itu bisa melihat siapa orang di balik pintu. Serena membeku beberapa detik sebelum mengumpat kemudian. Galendra Wijaya ada di sana. Serena berani bertaruh, laki-laki itu pasti sudah berada di ambang kesabarannya sampai-sampai memutuskan untuk datang ke
Serena mengusap telinganya yang mulai terasa perih. Bukan luka sungguhan, hanya efek samping dari mendengarkan ocehan Bianca dan Sarah tentang progress skripsi mereka yang tak kunjung menemukan titik terang. Kena coretnya satu baris, omelannya satu alinea. Apalagi kalau satu bab hampir semua paragrafnya terdapat coretan merah. Bianca dan Sarah langsung ingat pada tuhan seketika.“Percuma gue punya teman pinter banget, IP-nya udah kayak jumlah member Blackpink tapi ternyata enggak bisa diandelin.”Serena nyaris melemparkan sumpitnya pada Bianca yang baru berbicara barusan. “Lo dapat judul juga dari gue heh, Maemunah!”“Iya ini gara-gara judul dari lo gue jadi serasa ketemu Dajjal tiap kali bimbingan!”Soalnya judul yang diusulkan oleh Serena itu menarik perhatian dosen pembimbing Bianca, tapi ternyata cukup rumit untuk dilaksanakan.“Gue bisa bantu untuk urusan programing, tapi kalau pembah
Sembari menunggu Sarah dan Bianca yang sedang berada di ruang bimbingan, Serena memutuskan untuk mengunjungi toilet yang tak jauh dari sana. Ia sedang ingin mengeluarkan sisa-sisa dari hasil metabolisme tubuhnya. Tidak lupa mengirimkan pesan pada Bianca dan Sarah kalau ia sedang berada di toilet. Padahal tadi dua temannya itu berjanji kalau bimbingan hari ini tidak akan berlangsung lama. Serena tahu Brian saat ini sedang bersama dengan Daffin karena tadi saat makan siang laki-laki itu memberitahunya. Sayangnya untuk sekarang Serena sedang tidak ada mood untuk mengganggu Daffin. Serena sadar ia tidak perlu susah-susah merajuk, soalnya Daffin juga tidak terlalu peduli. Menyelesaikan urusan metabolisme tubuhnya, seperti ritual wanita lain pada umumnya Serena bercemin kemudian. Ia mencuci tangannya dan mulai memperbaiki riasan diwajah walau sebenarnya kondisi make up-nya masih terlihat bagus. Tidak lupa menata kembali rambut panjangnya. Mencoba mengikatnya namun kemudian
Serena meneguk habis tequila dari gelasnya. Rasa pahit langsung menyebar di dalam mulut dan tenggorokannya terasa panas. Gadis itu memberi kode pada bartender yang sedang mengobrol dengan pelanggan lain untuk mengisi kembali gelasnya. Tapi laki-laki itu hanya mengedipkan sebelah matanya membuat Serena ikut memutar mata malas. Berusaha sabar menunggu, Serena mengetuk-ngetukkan pelan jari telunjuknya pada gelas dan pikirannya kembali melayang jauh. Tentang pertanyaan Daffin mengenai perasaannya. Satu pertanyaan singkat yang bahkan tak bisa Serena jawab. Dalam kepalanya Serena sudah siap untuk mengatakan ‘tidak’ namun pada kenyataannya gadis itu tak bisa mengutarakan apa-apa. Serena bahkan tidak tahu kenapa ia tidak bisa menjawab. Entah apa pun alasannya, satu yang pasti. Serena masih ingin berada di sekitar Daffin. Lalu, apakah perasaannya sungguhan? Serena menarik senyum separuh, tertawa sinis dalam hati. Sejak awal ia bahkan tidak tahu apa arti sebuah ‘perasa
Serena langsung melepaskan rengkuhannya pada Daniel dan memperhatikan wajah Daffin lamat-lamat. Kemudian cengir kudanya muncul begitu saja. Cukup bagi Daffin untuk mempertanyakan sebanyak apa yang sudah gadis itu minum.“Oh, lo Daffin ternyata. Bagus, deh. Bawa nih cewek lo, cari-in helikopternya sekalian!” Racau Daniel sekalian mendorong Serena makin mendekat pada Daffin. Laki-laki itu sendiri langsung melipir pergi kembali pada table-nya sambil terhuyung.Daffin mengernyit tapi tak ingin mengatakan apa pun. Tidak berniat juga untuk bertanya siapa dan apa hubungan cowok itu dengan Serena. Perhatian Daffin teralih karena lehernya terasa berat. Kini Serena telah bergelayut pada lehernya. Laki-laki itu menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya.“Katanya enggak mau datang,” Serena mencebikan bibirnya.“Kata siapa?”Daffin sebisa mungkin mendorong wajah Serena menjauh karena sedikit terganggu dengan bau alk