Serena mematung di anak tangga paling atas ketika melihat seorang gadis berambut pendek keluar dari pintu kamar Daffin. Literally perempuan tulen yang memakai dress one piece sedikit di atas paha. “Makasih, kak. Maaf kalau saya ngerepotin jangan kapok, ya kak,” Dari tempatnya Serena bisa mendengar suara halus gadis itu yang membuatnya bergidik. Ini bisa-bisanya ada ayam dateng darimana anjir?! “Iya, hati-hati.” Suara Daffin terdengar meskipun wujudnya tak terlihat. Serena menggeram dalam hati, semoga ini ayam jatoh keserimpet terus langsung jadi semur kecap! Sambil menaikan dagunya, Serena berjalan mendekat. Suara sepatunya cukup untuk mengalihkan perhatian si gadis ayam bahkan Daffin ikut menyembulkan kepalanya untuk melihat siapa yang datang. Serena bersidekap, menatap gadis berambut pendek di depannya dari atas sampai bawah. “Kak Serena?” Serena mengangguk sambil tersenyum, tapi gadis itu justru membulatkan matanya merasa panik. Baru kemarin ia mendengar soal keributan di de
“Enggak capek? Lo sering plank ya?” Serena bertanya heran karena selama ia berbicara panjang kali lebar, Daffin tidak sedikit pun bergeser dari posisinya. Bertahan di atas Serena dengan siku sebagai tumpuan. Sebenarnya cowok itu tidak terlalu mendengarkan karena fokus pada wajah Serena dan sibuk menaruh kecupan sesekali. Posisi yang rasanya terlalu intim hanya untuk sekedar ber-story telling, tapi berhubung mood Serena sedang bagus, ia tetap menceritakan hal-hal tentang hidupnya dari yang penting tak penting hingga yang benar-benar penting. “Lanjutin aja,” pinta Daffin sambil mengusap lembut garis rahang Serena dengan ibu jarinya. “Bokap kandung lo programmer juga?”Serena menggeleng samar. “He is an artist. Gue masterpiece-nya,” katanya bercanda sambil tertawa kecil tapi kemudian tersenyum sedih, “Sayang umurnya enggak panjang.”“I knew. Bokap lo meninggal waktu lo umur lima tahun kan? Makanya lo ikut tante Jane ke Indo,”Serena mengangkat kedua alisnya tinggi baru saja sadar akan
Gue cabut, makasih buat tumpangannya. I'm better now, don't worry :) Serena membaca berkali-kali tulisan pada memo yang ada di genggamannya kurang lebih dalam lima menit pertama. Baru menit selanjutnya ia mengeluarkan ponsel dan men-dial nomor si penulis memo, Sarah. Dering demi dering terus terlewat namun jawaban tidak kunjung didapatkan. Tidak menyerah Serena mencoba sekali lagi, membiarkan memo yang ada di tangannya diambil alih oleh tangan lain. “Gue kira lo benar-benar enggak tahu dimana keberadaan Sarah.” Daffin bergumam setelah membaca kertas di tangannya. Rencananya sore ini mereka mampir ke unit Serena hanya untuk mengantarkan makanan kesukaan Sarah. Akan tetapi saat mengambil air minum untuk membasahi tenggorokan, Serena malah menemukan sepotong sticky note tertempel di lemari pendinginnya.Serena berdecak karena deringnya lagi-lagi tidak terjawab. “Kemana pula sih manusia ini?!”“Fase denial-nya udah selesai. Mungkin sekarang she wants to clean up everything.” “Kalau ju
Memang benar kata Bianca, film semi sama realita mah enggak ada apa-apanya. Serena sangat-sangat menyetujui statement itu ketika berhadapan dengan Daffin yang sedang dalam mode dominant seperti sekarang ini. Ketika kulit telanjangnya menyentuh dinginnya porcelain bathup kamar mandi, Serena lagi-lagi hanya bisa memasrahkan segalanya pada Daffin. Hangatnya air mengalir mulai terasa membasahi kain yang masih tersisa di badan. Serena bahkan tidak mau memikirkan lagi kapan dan bagaimana Daffin menyalakan air itu. “Bilang kalau kamu enggak nyaman,” Daffin membelai sisi wajah Serena. Tapi Serena malah melayangkan kecupan di bibir. “It is okay. No need to hold your feelings tho,” katanya sekaligus isyarat bagi Daffin agar tak perlu menahan diri. “Sure. I don't even trying.”Kalimat terakhir Daffin sebelum merobek kain terakhir Serena dan membuangnya keluar bathup. Serena langsung merasakan dua jari merambah ke dalam sana. Ia memekik dan melenguh kemudian. Lima jari Daffin melingkari lehe
"Setahun ini rektornya semedi doang, ya? Percuma bayar UKT mahal-mahal." Omel Serena sambil memutar bola mata malas. Ia kesal karena ternyata fasilitas lift masih belum tersedia untuk para mahasiswa sedangkan kelas pertamanya hari ini ada di lantai lima. Padahal selama mengambil cuti ia terus membayar ukt penuh. Ingin sekali rasanya Serena menyumpahi para motivator yang mengatakan bahwa kuliah itu tidak penting. Karena berbekal anggapan para motivator tersebut serta satu dan lain hal, Serena memutuskan untuk cuti setahun lalu. Sekarang beginilah akibatnya, ia tertinggal cukup jauh dengan teman-teman seangkatannya. Yang lain sudah mulai garap skripsi sebagai syarat kelulusan, Serena masih harus berebut dosen dengan adik tingkat. Percuma ia sudah mempunyai banyak ide-ide untuk skripsinya sejak semester awal. Sayonara cumlaude. Melirik arlojinya yang sudah hampir tepat pukul delapan gadis itu mempercepat langkah kakinya. Hingga tiba di belokan
Setahun berlalu tidak ada perubahan sedikit pun pada bangunan-bangunan kampus selain pada parkiran mobil yang telah bertambah lahannya. Setidaknya Serena tidak perlu lagi rebutan sana-sini dengan mahasiswa lain. Begitu juga dengan gedung perpustakaan ini yang masih saja menggunakan interior klasik membosankan. Tidak heran selain mahasiswa akhir yang sedang mengerjakan skripsi atau pun tesis tidak ada mahasiswa lain yang berminat untuk menetap di perpustakaan."Gue penarasan siapa yang pertama kali menciptakan skripsi sampai harus jadi syarat kelulusan begini?" Gumam Bianca miris di depan layar laptopnya. "Apa dia nggak sadar kalau udah jadi beban jutaan mahasiswa di bumi?""Beratkan skripsian? Ngulang aja temenin gue." Kata Serena santai. Serena benar-benar tidak punya teman di kelas saat ini. Sudah hukum alam, ketika kamu populer di kalangan pria maka para wanita akan membencimu."Gue kira lo nggak akan balik kuliah lagi." Kata gadis lain di sana yang juga seda
Kelas yang satu selesai, kemudian kelas lainnya akan dimulai dalam beberapa waktu. Begitulah siklus perkuliahan. Rencana awal Serena untuk menunggu kelas selanjutnya adalah pergi ke perpustakaan untuk menemui Bianca dan Sarah sekaligus berharap bertemu juga dengan Daffin. Walau setelah ia cium, Daffin tidak lagi menampakan diri di perpustakaan. Cukup membuat Serena kesal karena ia merasa tak diacuhkan. Ditambah lagi hari ini Bianca dan Sarah tidak datang ke kampus karena jadwal bimbingan mereka dibatalkan.Jadilah Serena melangkahkan kakinya ke lab komputer tempat biasa mereka praktikum setelah tadi menghubungi Wildan—si penanggung jawab lab komputer I—untuk memastikan tidak ada praktikum yang sedang berlangsung. Namun siapa sangka ternyata malah ada manusia yang sedang ia cari-cari di sini. Mungkin dewi keberuntungan mulai kasihan padanya."Jadi lo ngungsi ke sini, ya?" Tanya Serena tepat setelah Daffin menyadari kehadirannya."Ngungsi? Apa
Yang namanya tugas kelompok itu pasti bukannya menjadi ringan tapi malah akan menjadi beban. Makanya Daffin sangat-sangat membenci tugas kelompok. Sejak masa sekolah laki-laki itu tidak segan untuk menghapus nama anggota kelompoknya yang tidak membantu. Karenanya tidak sedikit yang memandang Daffin sinis. Dan kejadian seperti itu tentu saja terulang lagi di Universitas sehingga banyak teman-temannya yang perlu berpikir dua kali untuk satu kelompok dengan Daffin.Awalnya Daffin merasa tidak masalah dengan daftar kelompok yang dibagikan karena hanya ada namanya dan nama Serena sebagai anggota kelompoknya. Dengan kemampuan Serena, Daffin yakin ia tidak akan kesulitan.Setidaknya begitu pemikiran Daffin sebelum kenyataannya Serena lagi-lagi tidak menghadiri kelas Pak Galendra minggu ini. Tanpa keterangan yang jelas. Sebenarnya kemana gadis itu?Seperti semesta yang ingin membantunya, siang ini Daffin bertemu dengan Serena di depan ruang dosen. Perempuan itu sedang b